Anda di halaman 1dari 4

A.

SISTEM EKONOMI DUALISME


Sejak jaman penjajahan sampai sekarang ini perekonomian indonesia masih juga
menunjukkan ciri-ciri adanya dualisme, baik dualisme yang bersifat teknologis maupun yang
bersifat ekonomis, sosial, dan kultural. Masalah dualisme telah dibahas secara mendalam oleh
ahli ekonomi Indonesia dan ahli ekonomi asing J. Boeke, yang menadakan penelitian untuk
program doktor ekonominya di Indonesia pada tahun 1953 memberikan definisi yang
termasyhur mengenai masyarakat dualitas sebagai :

"Masyarakat yang mempunyai gaya sosial berbeda, yang masing-masing hidup


berdampingan, Dalam proses evoluşi sejarah normal yang berlaku bagi masyarakat homogen,
ke dua gaya sosial tersebut mewakili tahap perkembangan sosial yang berbeda, dipisahkan
oleh sam gaya sosial lain yang mewakilİ suatu tahap transisi, misalnya masyarakat sebelum
kapitalisme dan masyarakat kapitalisme majü yang dipisahkan oleh masyarakat kapitalisme
awal. Di dalam masyarakat düalistis satu dari kedua sistem sosial yang hidup berdampingan
itu, dan seialu yang lebih maju, berasal dari luar masyarakat tersebut dan mengalamj
perkembangan di lingkungan yang baru tanpa menggeser atau berasimilasi dengan sistem
sosial yang asli. Dan akhirnya adak akan timbul satu ciri umum yang berlaku bagi
masyarakat tersebut secara keseluruhan”.

Selanjutnya Boeke mengatakan bahwa adarıya sikap yang masih bersifat "pra kapitalis" di
dalam masyarakat dualistis membedakan sikap penduduk asli masyarakat tersebut dengan
masyarakat Barat terhadap rangsangan ekonomis di dalamnya.

Para pengamat umumnya berpendapat bahwa ciri-ciri dualistis perekonomian Indonesia


seperti digambarkan Boeke masih tetap nyata terlihat, dan dari berbagai segi ciri-ciri tersebut
menjadi semakin nyata akibat adanya perubahan teknologi. Masuknya modal asing sejak
tahun 1968 telah mempertajam perkembangan antara sektor modem dan sektor tradisional.

Pada dasamya ekonomi dualisme melihat dunia terbagi ke dalam dua keiompok besar, yakni
negara-negara kaya dan miskin, dan di negara-negara berkembang terdapat segelintir
penduduk yangkaya di antara begitubanyak pendudukyang miskin. Dualisme adalah konsep
yang menunjukkan adanya jurang pemisah yang kian antara negara-negara kaya dan miskin,
serta di Antara orang-orang kaya dan miskin pada berbagai tingkatan di setiap negara. Pada
dasarnya konsep ekonomi dualisme ini terdiri dari empat elemenkunci sebagai berikut :

1. Beberapa kondisi berbeda, terdiri dari elemen “superior” dan "inferior", hadir secara
bersamaan (atau berkoeksistensi) dalam waktu dan tempat yang sama. Inilah hakikat
dari konsep dualisme. Contoh penerapan konsep dualisme ini antara lain dapat dilihat
pada pemikiran A. Lewis tentang koeksistensi metode-metode produksi modern di
kota metode tradisional di pedesaan, koeksistensi kelompok elit yang kaya raya dan
terdidik dengan banyaknya orang-orang miskin yang buta huruf, adanya koeksistensi
antara negara-negara industri yang serba makmur yang berkuasa dengan negara-
negara agraris kecil yang miskin serta lemah di dalam perekonomian internasional.
2. Koeksistensi tersebut bukanlah satu hal yang bersifat sementara atau transisional,
melainkan satu hal yang bersifa baku, permanen atau kronis. Koeksistensi ini juga
bukan merupakan fenomena sesaat yang akan mengikis seiring dengan berlalunya
waktu. Artinya, elemen yang superior memiliki kekuatan untuk mempertahankan
superioritasnya, sedangkan elemen yang inferior tidaklah mudah untuk meningkatkan
posisinya. Dalam kalimat lain, koeksistensi internasional antara kaya dan miskin
bukanlah hanya merupakan sesuatu fenomena sejarah yang akan membaik dengan
sendirinya bila saatnya sudah tiba.
3. Kadar superioritas serta inferioritas dari masing-masing elemen tersebut bukan hanya
tidak menunjukkan tanda-tanda akan berkurang, melainkan bahkan cenderung
meningkat. Sebagai contoh, kesenjangan produktivitas antara para pekerja di negara-
negara maju dengan para pekerja di negara-negara berkembang tampaknya semakin
lama semakin melebar.
4. Hubungan saling keterkaitan antara elemen-elemen yang superior dengan elemen-
elernen yang inferior tersebut terbentuk dan berlangsung sedemikian rupa sehingga
keberadaan elemen-elemen superior sangat sedikit atau sama sekali tidak membawa
manfaat untuk meningkatkan kedudukan elemen-elemen yang inferior. Dengan
demikian apa yang disebut sebagai prinsip "penetesan kemakmuran ke bawah"
(trickle down effect) itu sesungguhnya sulit diterima. Bahkan di dalam kenyataannya,
elemen-elemen superior tersebut justru tidak jarang memanfaatkan, memanipulasi,
mengeksploitasi ataupun menggencet elemen-elemen yang inferior. Jadi, yang mereka
kembangkan justru keterbelakangannya.

Unsur pemikiran pokok yang terkandung pada masyarakat dualistis telah secara implisit
terkandung dalam teori perubahan struktural dan secara eksplisit telah dinyatakan dalam teori
ekonomi pembangunan ketergantungan internasional, sehingga konsep masyarakat dualistis
telah merupakan dasar dari teori pembangunan ekonomi.

B. Sistem Ekonomi Sosialis ala Indonesia

Istilah sistem ekonomi Sosialis ala Indonesia muncul ada periode akhir dari kepemimpinan
Presiden Sukarno, yakni sekitar tahun 1960. Pada periode tersebut kiblat politik Indonesia
adalah ke negara-negara sosialis Eropa Timur, Rusia dan RRC; tidak ke negara-negara
kapitalis Amerika Serikat dan Eropa Barat. Pada periode tersebut Indonesia adalah anti neo
kolonialisme dan neo liberalisme, dan malahan keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan
membentuk masyarakat baru yang disebut New Emerging Forces. Perekonomian pada
periode itu sangat mirip dengan sistem perekonomian negara sosialis, yang antara lain,
sebagai berikut:

1. Pemerintah Indonesia telah menyusun Pembangunan Semesta Berencana Delapan


Tahun 1960-1968. Rencana tersebut bersifat menyeluruh di segala sektor dan seluruh
wilayah (semesta), namun belum sempat dilaksanakan.
2. Perusahaan-perusahaan besar dimiliki oleh negara. Hal ini adalah akibat dari
nasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta Belanda sekitar tahun 1957. Beberapa
perusahaanperusahaan hasil nasionalisasi adalah usaha penerbangan,perusahaan
kereta api, perusahaan Bus Damri, perusahaan pelayaran Pelni, perusahaan
perdagangan yang bergerak di bidang ekspor impor, perusahaan perbankan,
perusahaan perkebunan dan sebagainya. Oleh karena nasionalisasi tersebut,
perekonomian Indonesia baik dalam maupun luar negerinya dilaksanakan/dikuasai
oleh perusahaan milik negara dan koperasi. Ini tidaklah berarti swasta sama sekali
tidak berperan. Katakanlah pada perdagangan eceran dan perusahaan kecil serta
kooperasi. Pasar-pasar tradisional masih tetap berperan dan, meskipun lambat, terus
berkembang.
3. sistem perbankan; semula adalah bank-bank swasta milik Belanda yang telah
dinasionalisasi menjadi miIik Pemerintah, kemudian diubah menjadi sistem
perbankan Rusia. Ini dikerjakan dengan cara mengubah nama-nama bank pemerintah
menjadi satu nama dengan unit-unit tertentu. Sebagai contoh, Bank Indonesia diubah
namanya menjadi Bank Negara Indonesia Unit I, BNI 1946 diubah menjadi BNI Unit
H, Bank Rakyat, Bank Pembangunan Indonesia, Bank EkSpor Impor dan sebagainya
diubah menjadi BNI unit ....... sistem perbankan yang demikian ini persis merupakan
sistem Perbankan di Rusia
4. Sistem Devisa yang dipakai waktu itu adalah sistem devisa yang sangat umum dipakai
oleh negara-negara sosialis, yakni Exchange Control. Pada sistem ini tidak
diperkenankan mata uang asing (devisa) beredar di masyarakat. Semua devisa
dimiliki negara. Devisa hasil ekspor, pinjaman/bantuan negara luar kepada Indonesia
dan hasil devisa lainnya yang masuk ke Indonesia harus diserahkan/dijual kepada
negara. Kemudian negara menjual devisa yang dimilikinya kepada importir atau siapa
saja yang memerlukan devisa. Pemerintah menentukan kurs devisa, dan oleh karena
itu sistem devisa seperti ini ‘u disebut sistem devisa dengan harga tetap (fixed
Exchange Rate) atau juga disebut sistem devisa dengan harga yang di pakukan
Harga barang dan jasa di dalam negeri, sebagaimana kita ketahui yang berlaku di Indonesia
waktu itu, selalu mengalami kenaikan. Atau dengan kata lain, nilai tukar Rupiah selalu
mengalami penumnan, yang akibatnya dibandingkan dengan nilai tukar devisa (dolar) karena
kurs devisa yang tetap, rupiah dinilai terlalu tinggi (over valued). Untuk mengatasi hal
tersebut pemerintah perlu mengadakan penyesuaian nilai mata uangnya dengan
melaksanakan kebijaksanaan Devaluasi.

Sebelum Pemerintah melaksanakan devaluasi Rupiah, dengan adanya kenaikan harga-harga


umum di dalam negeri, para eksportir merasa enggan (disinsentif) untuk melakukan ekspor,
karena merasa dirugikan. Nilai ekspornya yang tetap, dengan kurs dolar yang tetap, mereka
memperoleh hasil ekspor dalam rupiah yang makin kecil nilainya. Di samping itu, para
importir makin bergairah untuk mengimpor barang, karena harga devisa (dolar) yang tetap
dan relatif rendah. Kebijaksanaan devaluasi membalikkan posisi tersebut. Iadi devaluasi
bersifat mendorong ekspor dan mengekang impor. Tabel berikut ini menunjukkan harga dolar
di pasar, sedangkan harga resmi yang ditentukan oleh pemerintah adalah tetap.

Guna mendorong ekspor, di samping melaksanakan kebijakan devaluasi, Pemerintah


Indonesia pada waktu itu, meluncurkan program perangsang ekspor melalui kebijaksanaan
bahwa kepada setiap dolar hasil ekspor, para eksportir diperkenankan memakainya secara
langsung sejumlah persentase hertentu dari hasil ekspomya. Sebelum kebijaksanaan tersebut,
eksportir harus menyerahkan/ menjual semua dolar hasil ekspomya kepada negara dengan
kurs yang sudah ditentukan. Dengan adanya kebijaksanaan tersebut para eksportir
diperkenankan menggunakan persentase tertentu dari ekspomya (10 persen) untuk
keperluannya sendiri (misalnya untuk mengimpor mobil atau barang lainnya). Kebijaksanaan
perangsang yang demikian ini dikenal sebagai Alokasi Devisa Otomatis (ADO) Eksportir.

Rangsangan ekspor tidak hanya diberikan kepada eksportir. melainkan juga kepada daerah
penghasil ekspor. Perangsang im disebut ADO Daerah. ADO daerah ini diberikan kepada
daerah penghasil barang/jasa ekspor yang diperhitungkan melalui kota pelabuhan dari mana
ekspor tersebut dilaksanakan. Misalnya' Jawa Tengah mengekspor batik sejumlah nilai
tertentu yang dilaksanakan melalui pelabuhan Semarang. Maka ADO Daerah diberikan lewat
pelabuhan Semarang. ADO Daerah ini kemudian mengalami masalah karena daerah
penghasil barang/jasa ekspor jauh atau berbeda dengan pelabuhan melalui mana ekspor
tersebut dilaksanakan. Sebagai contoh, Bali mengekspor sapi dan barang lainnya ke
Singapura dan Hong Kong melalui pelabuhan Surabaya, Maluku mengekspor rempah-rempah
ke Eropa melalui pelabuhan laut Makasar. Yang memperoleh ADO Daerah dalam hal ini
adalah Surabaya (Jawa Timur) dan Makasar (Sulawesi Selatan). Bisa dibayangkan tuntutan
Bali dan Maluku dalam hal ini. Kesulitan semacam ini belum terselesaikan, sementara Sistem
ekonominya secara keseluruhan berganti karena pergantian pemerintahan.

Dari pembicaraan pada butir 1 sampai butir 4 di atas jelaslah bahwa Sistem perekonomian
yang berlaku di Indonesia pada saat itu hampir sepenuhnya sama dengan Sistem
perekonomian sosialis yang berlaku di negara-negara Eropa Timur. Pertanyaannya adalah
mengapa pada Sistem perekonomian Indonesia disebut Sosialis Ala Indonesia dan Sistem
ekonomi yang berlaku di negara-negara sosialis Eropa Barat hanya disebut sistem ekonomi
sosialis, tanpa embel-embel ala Eropa Barat. Sistem ekonomi sosialis, sebagaimana dapat
disingkap dari pembicaraan di atas, muncul karena Sistem perekonomian pasar memberikan
hasil munculnya kaum proletarr kaum marhaen, kaum miskin, dan sudah dengan sendirinya
sistem ekonomi sosialis sangat memperhatikan nasib kaum proletar, kaum marhaen tersebut.
Dengan kata lain, pada Sistem ekonomi sosialis tidak terdapat (kalau toh ada bukan dalam
proporsi yang tinggi) lagi kaum proletar, kaum miskin. Namun dalam perekonomian
Indonesia pada saat itu, Pemerintah belum sempat melaksanakan pasal 34 UUD 45 yang
mengatakan bahwa fakir miskin dan anakanak terlantar dipelihara oleh negara. Akibatnya
adalah bahwa di Indonesia saat itu masih terdapat banyak orang yang tergolong di bawah
garis kemiskinan. Iadi, barangkali, sistem perekonomian sosialis di mana masih terdapat
orang miskin dalam proporsi yang cukup besar, sehingga sistem perekonomian kita disebut
Sosialis Ala Indonesia.

Alasan lain adalah bahwa di Indonesia pendukung perekonomiannya (investor, produsen dan
konsumen) adalah rakyat Indonesia yang mempunyai falsafah hidup berketuhanan,
sedangkan hal ini tidak umum di negara Eropa Timur, Rusia ataupun RRC. Di Indonesia
setiap orang harus mempunyai atau memeluk salah satu dari agama yang diakui pemerintah,
sedangkan di negara-negara sosialis biasanya diperkenankan seseorang tidak beragama dan
bahkan anti agama pun diperkenankan asalkan tidak mengganggu keamanan publik.

Anda mungkin juga menyukai