PEREK
PEREK
Selanjutnya Boeke mengatakan bahwa adarıya sikap yang masih bersifat "pra kapitalis" di
dalam masyarakat dualistis membedakan sikap penduduk asli masyarakat tersebut dengan
masyarakat Barat terhadap rangsangan ekonomis di dalamnya.
Pada dasamya ekonomi dualisme melihat dunia terbagi ke dalam dua keiompok besar, yakni
negara-negara kaya dan miskin, dan di negara-negara berkembang terdapat segelintir
penduduk yangkaya di antara begitubanyak pendudukyang miskin. Dualisme adalah konsep
yang menunjukkan adanya jurang pemisah yang kian antara negara-negara kaya dan miskin,
serta di Antara orang-orang kaya dan miskin pada berbagai tingkatan di setiap negara. Pada
dasarnya konsep ekonomi dualisme ini terdiri dari empat elemenkunci sebagai berikut :
1. Beberapa kondisi berbeda, terdiri dari elemen “superior” dan "inferior", hadir secara
bersamaan (atau berkoeksistensi) dalam waktu dan tempat yang sama. Inilah hakikat
dari konsep dualisme. Contoh penerapan konsep dualisme ini antara lain dapat dilihat
pada pemikiran A. Lewis tentang koeksistensi metode-metode produksi modern di
kota metode tradisional di pedesaan, koeksistensi kelompok elit yang kaya raya dan
terdidik dengan banyaknya orang-orang miskin yang buta huruf, adanya koeksistensi
antara negara-negara industri yang serba makmur yang berkuasa dengan negara-
negara agraris kecil yang miskin serta lemah di dalam perekonomian internasional.
2. Koeksistensi tersebut bukanlah satu hal yang bersifat sementara atau transisional,
melainkan satu hal yang bersifa baku, permanen atau kronis. Koeksistensi ini juga
bukan merupakan fenomena sesaat yang akan mengikis seiring dengan berlalunya
waktu. Artinya, elemen yang superior memiliki kekuatan untuk mempertahankan
superioritasnya, sedangkan elemen yang inferior tidaklah mudah untuk meningkatkan
posisinya. Dalam kalimat lain, koeksistensi internasional antara kaya dan miskin
bukanlah hanya merupakan sesuatu fenomena sejarah yang akan membaik dengan
sendirinya bila saatnya sudah tiba.
3. Kadar superioritas serta inferioritas dari masing-masing elemen tersebut bukan hanya
tidak menunjukkan tanda-tanda akan berkurang, melainkan bahkan cenderung
meningkat. Sebagai contoh, kesenjangan produktivitas antara para pekerja di negara-
negara maju dengan para pekerja di negara-negara berkembang tampaknya semakin
lama semakin melebar.
4. Hubungan saling keterkaitan antara elemen-elemen yang superior dengan elemen-
elernen yang inferior tersebut terbentuk dan berlangsung sedemikian rupa sehingga
keberadaan elemen-elemen superior sangat sedikit atau sama sekali tidak membawa
manfaat untuk meningkatkan kedudukan elemen-elemen yang inferior. Dengan
demikian apa yang disebut sebagai prinsip "penetesan kemakmuran ke bawah"
(trickle down effect) itu sesungguhnya sulit diterima. Bahkan di dalam kenyataannya,
elemen-elemen superior tersebut justru tidak jarang memanfaatkan, memanipulasi,
mengeksploitasi ataupun menggencet elemen-elemen yang inferior. Jadi, yang mereka
kembangkan justru keterbelakangannya.
Unsur pemikiran pokok yang terkandung pada masyarakat dualistis telah secara implisit
terkandung dalam teori perubahan struktural dan secara eksplisit telah dinyatakan dalam teori
ekonomi pembangunan ketergantungan internasional, sehingga konsep masyarakat dualistis
telah merupakan dasar dari teori pembangunan ekonomi.
Istilah sistem ekonomi Sosialis ala Indonesia muncul ada periode akhir dari kepemimpinan
Presiden Sukarno, yakni sekitar tahun 1960. Pada periode tersebut kiblat politik Indonesia
adalah ke negara-negara sosialis Eropa Timur, Rusia dan RRC; tidak ke negara-negara
kapitalis Amerika Serikat dan Eropa Barat. Pada periode tersebut Indonesia adalah anti neo
kolonialisme dan neo liberalisme, dan malahan keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan
membentuk masyarakat baru yang disebut New Emerging Forces. Perekonomian pada
periode itu sangat mirip dengan sistem perekonomian negara sosialis, yang antara lain,
sebagai berikut:
Rangsangan ekspor tidak hanya diberikan kepada eksportir. melainkan juga kepada daerah
penghasil ekspor. Perangsang im disebut ADO Daerah. ADO daerah ini diberikan kepada
daerah penghasil barang/jasa ekspor yang diperhitungkan melalui kota pelabuhan dari mana
ekspor tersebut dilaksanakan. Misalnya' Jawa Tengah mengekspor batik sejumlah nilai
tertentu yang dilaksanakan melalui pelabuhan Semarang. Maka ADO Daerah diberikan lewat
pelabuhan Semarang. ADO Daerah ini kemudian mengalami masalah karena daerah
penghasil barang/jasa ekspor jauh atau berbeda dengan pelabuhan melalui mana ekspor
tersebut dilaksanakan. Sebagai contoh, Bali mengekspor sapi dan barang lainnya ke
Singapura dan Hong Kong melalui pelabuhan Surabaya, Maluku mengekspor rempah-rempah
ke Eropa melalui pelabuhan laut Makasar. Yang memperoleh ADO Daerah dalam hal ini
adalah Surabaya (Jawa Timur) dan Makasar (Sulawesi Selatan). Bisa dibayangkan tuntutan
Bali dan Maluku dalam hal ini. Kesulitan semacam ini belum terselesaikan, sementara Sistem
ekonominya secara keseluruhan berganti karena pergantian pemerintahan.
Dari pembicaraan pada butir 1 sampai butir 4 di atas jelaslah bahwa Sistem perekonomian
yang berlaku di Indonesia pada saat itu hampir sepenuhnya sama dengan Sistem
perekonomian sosialis yang berlaku di negara-negara Eropa Timur. Pertanyaannya adalah
mengapa pada Sistem perekonomian Indonesia disebut Sosialis Ala Indonesia dan Sistem
ekonomi yang berlaku di negara-negara sosialis Eropa Barat hanya disebut sistem ekonomi
sosialis, tanpa embel-embel ala Eropa Barat. Sistem ekonomi sosialis, sebagaimana dapat
disingkap dari pembicaraan di atas, muncul karena Sistem perekonomian pasar memberikan
hasil munculnya kaum proletarr kaum marhaen, kaum miskin, dan sudah dengan sendirinya
sistem ekonomi sosialis sangat memperhatikan nasib kaum proletar, kaum marhaen tersebut.
Dengan kata lain, pada Sistem ekonomi sosialis tidak terdapat (kalau toh ada bukan dalam
proporsi yang tinggi) lagi kaum proletar, kaum miskin. Namun dalam perekonomian
Indonesia pada saat itu, Pemerintah belum sempat melaksanakan pasal 34 UUD 45 yang
mengatakan bahwa fakir miskin dan anakanak terlantar dipelihara oleh negara. Akibatnya
adalah bahwa di Indonesia saat itu masih terdapat banyak orang yang tergolong di bawah
garis kemiskinan. Iadi, barangkali, sistem perekonomian sosialis di mana masih terdapat
orang miskin dalam proporsi yang cukup besar, sehingga sistem perekonomian kita disebut
Sosialis Ala Indonesia.
Alasan lain adalah bahwa di Indonesia pendukung perekonomiannya (investor, produsen dan
konsumen) adalah rakyat Indonesia yang mempunyai falsafah hidup berketuhanan,
sedangkan hal ini tidak umum di negara Eropa Timur, Rusia ataupun RRC. Di Indonesia
setiap orang harus mempunyai atau memeluk salah satu dari agama yang diakui pemerintah,
sedangkan di negara-negara sosialis biasanya diperkenankan seseorang tidak beragama dan
bahkan anti agama pun diperkenankan asalkan tidak mengganggu keamanan publik.