Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO B BLOK 28

Disusun Oleh: Kelompok A5

Tutor: dr. Venny Larasati, M. Biomed


Anggota:

Lathifah Nudhar 04011181520044


Linda Amelia 04011181520046
Anugerah Indah Mareta 04011181520052
Syarifah 04011181520061
Reni Wahyu Novianti 04011181520069
Aggra Wardatu 04011281520134
Reynold Siburian 04011281520142
Andriana Dwi Puspitari 04011281520155
M. Fitra Rwananda Pranagara 04011281520165
Muhammad Syahrul Ramadhan 04011281520167
Muhammad Ikbar Fauzan 04011281520173
Radyat Fachreza 04011281520174
Arisda Oktalia 04011281520175

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena
atas berkat rahmat yang diberikan-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan
Tutorial Skenario A Blok Trauma, Gawat Darurat, dan Forensik ini dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam pembuatan laporan ini, serta berbagai sumber yang telah penulis
gunakan sebagai data dan fakta pada makalah ini. Penulis juga berterima kasih
kepada, dr. Venny Larasati, M. Biomed yang telah memberikan pedoman dalam
melakukan tutorial, membuat makalah hasil tutorial dan telah memberi
bimbingannya sebagai tutor sehingga kami dapat menyelesaikan masalah skenario
yang telah diberikan.
Penulis menyadari akan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Maka
dari itu, kritik dan saran sangat diharapkan untuk memperbaiki dan
mengembangkan isi dari makalah ini.Penulis juga mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca, serta penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan penulisan
dalam makalah ini. Akhir kata, apabila ada kesalahan kata-kata, penulis meminta
maaf dan diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Palembang, September 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
Skenario....................................................................................................................2
Klarifikasi Istilah......................................................................................................3
Identifikasi Masalah.................................................................................................4
Analisis Masalah......................................................................................................5
Learning Issue........................................................................................................15
Kerangka Konsep...................................................................................................42
Sintesis...................................................................................................................43
Kesimpulan............................................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................45

3
1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Blok Trauma, Gawat Darurat, dan Forensikadalah blok ke-28 dari
Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Palembang. Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial
studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk menghadapi kasus yang
sebenarnya pada waktu yang akan datang. Kasus yang dipelajari adalah
mengenai mutiple trauma.

1.2 Maksud dan Tujuan


1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode
analisis pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.

1.3 Data Tutorial


1. Tutor : dr. Venny Larasati, M. Biomed
2. Moderator : Anugerah Indah Mareta
3. Sekretaris : 1. Aggra Wardatu
2. Reynold Siburian
4. Waktu : 1. Senin, 17 September 2018
2. Rabu, 19 September 2018
Pukul 13.00 – 15.30 WIB
Pukul 13.00 – 15.30 WIB
2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Skenario
Satu jam sebelum masuk rumah sakit, Mr. X 20 tahun, dianiaya oleh
tetanganya dengan menggunakan sepotong kayu. Mr. X pingsan kurang lebih 5
menit, kemudian sadar kembali dan melaporkan kejadian ini ke kantor polisi
terdekat. Polisi mengantar Mr. X ke RSUD untuk dibuatkan visum et repertum, di
RSUD Mr. X mengeluh luka dan memar di kepala sebelah kanan disertai nyeri
kepala hebat dan muntah.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan:
RR: 28 x/mnt, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 50 x/menit, GCS: E4 M6 V5,
pupil isokor, reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif.
Regio orbita: dextra et sinistra tampak hematom, sub-conjunctival bleeding (-)
Regio temporal dextra: tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut tumpul
dengan dasar fraktur tulang. Regio nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua
lubang hidung.
Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak
sadarkan diri. Dari hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran
didapatkan: Pasien ngorok, RR 24 x/menit, nadi 50 x/menit, tekanan darah 140/90
mmHg, pasien membuka mata dengan rangsang nyeri, melokalisir nyeri,
mengerang dalam bentuk kata-kata. Pupil anisokor dekstra, reflex cahaya pupil
kanan negatif, reflex cahaya pupil kiri reaktif/normal. Pada saat itu Anda
merupakan dokter jaga UGD di RSUD tersebut dibantu oleh 3 orang perawat.
3

2.2 Klarifikasi Istilah


Pingsan Hilangnya kesadaran sementara yang terjadi
secara tiba-tiba dan sering membuat seseorang
terjatuh. Kondisi yang memilik istilah medis
sinkop.
Visum et repertum Laporan tertulis untuk pengadilan yang dibuat
oleh dokter berdasarkan oleh sumpah atau janji
yang diucapkan pada waktu menerima jabatan
dokter, memuat berita tentang segala hal yang
dilihat dan ditemukan pada barang bukti berupa
tubuh manusia atau benda yang berasal dari tubuh
manusia.
Memar Suatu jenis cedera pada jaringan tubuh yang
menyebabkan aliran darah dari sistem
kardiovaskuler mengendap pada jaringan
disekitarnya.
Luka Cedera yang merusak kulit atau jaringan tubuh
lainnya.
Subconjungtival bleeding Perdarahan akibat rapuhnya pembuluh darah yang
terletak antara konjungtiva dan sklera.
Hematom regio orbital Kumpulan darah yang telah membuka dan
terlokalisir pada regio orbita akibat rusaknya
dinding pembuluh darah.
Pupil isokor Keadaan dimana kedua bentuk pupil sama besar
dan bentuknya bulat.
4

2.3 Identifikasi Masalah


No. Masalah Prioritas
1 Satu jam sebelum masuk rumah sakit, Mr. X 20 VVV
tahun, dianiaya oleh tetanganya dengan
menggunakan sepotong kayu. Mr. X pingsan
kurang lebih 5 menit, kemudian sadar kembali
dan melaporkan kejadian ini ke kantor polisi
terdekat. Polisi mengantar Mr. X ke RSUD untuk
dibuatkan visum et repertum, di RSUD Mr. X
mengeluh luka dan memar di kepala sebelah
kanan disertai nyeri kepala hebat dan muntah.
2 Dari hasil pemeriksaan didapatkan: VV
RR: 28 x/mnt, tekanan darah 130/90 mmHg,
nadi 50 x/menit, GCS: E4 M6 V5, pupil isokor,
reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri
reaktif.
Regio orbita: dextra et sinistra tampak hematom,
sub-conjunctival bleeding (-)
Regio temporal dextra: tampak luka ukuran 6x1
cm, tepi tidak rata, sudut tumpul dengan dasar
fraktur tulang. Regio nasal: tampak darah segar
mengalir dari kedua lubang hidung.
3 Dari hasil pemeriksaan pada saat terjadi VV
penurunan kesadaran didapatkan:
Pasien ngorok, RR 24 x/menit, nadi 50 x/menit,
tekanan darah 140/90 mmHg, pasien membuka
mata dengan rangsang nyeri, melokalisir nyeri,
mengerang dalam bentuk kata-kata. Pupil
anisokor dekstra, reflex cahaya pupil kanan
negatif, reflex cahaya pupil kiri reaktif/normal.
Pada saat itu Anda merupakan dokter jaga UGD
di RSUD tersebut dibantu oleh 3 orang perawat.
5

2.4 Analisis Masalah


1. Satu jam sebelum masuk rumah sakit, Mr. X 20 tahun, dianiaya oleh
tetanganya dengan menggunakan sepotong kayu. Mr. X pingsan kurang
lebih 5 menit, kemudian sadar kembali dan melaporkan kejadian ini ke
kantor polisi terdekat. Polisi mengantar Mr. X ke RSUD untuk dibuatkan
visum et repertum, di RSUD Mr. X mengeluh luka dan memar di kepala
sebelah kanan disertai nyeri kepala hebat dan muntah.
a. Bagaimana mekanisme pingsan pada kasus?
Pada saat terjadi pukulan, energi kinetik yang tinggi akan
dihantarkan ke kepala. Getaran hebat dan tiba-tiba akan diteruskan
ke otak, yang dapat menyebabkan gangguan impuls sensori aferen
yang menstimulasi ARAS (Ascending Reticular Activating System)
menuju korteks serebri yang dapat menyebabkan penurunan
aktivitas korteks yang menurunkan kesadaran. Penurunan
kesadaran dapat juga disebabkan karena perdarahan yang timbul
dapat mengurangi aliran darah ke otak sehingga suplai oksigen dan
glukosa menurun yang menyebabkan aktivitas otak berkurang yang
disertai penurunan kesadaran.

b. Mengapa pasien kembali sadar setelah 5 menit?


Trauma tumpul temporal  fraktur os. temporal  ruptur a.
meningea media  hematoma epidural  tekanan intrakranial
meningkat mendadak  gangguan aliran darah ke otak Mr. X
pingsan ± 5 menit/commotio cereberi terjadi mekanisme
kompensasi intrakranial dengan cara membuang CSF dan darah
vena keluar dari ruang intrakranial dengan volume yang sama 
TIK menurun ke keadaan normal Mr. X sadar kembali.

c. Bagaimana cara pembuatan visum et repertum?


6

Visum et repertum dibuat oleh dokter atau dokter gigi jika ada
permintaan tertulis dari penyidik (kepolisian yang diangkat oleh
negara untuk menjalankan undang-undang).
Susunan visum et repertum:
1. Pembukaan: ditulis ‘pro justicia’ ditulis di kiri atas.
2. Pendahuluan
a. Identitas tempat pembuatan visum mengenai jam, tanggal,
dan tempat
b. Pernyataan dokter, identitas dokter
c. Identitas peminta visum
d. Wilayah
e. Identitas korban
f. Identitas tempat perkara
3. Pemberitaan
Pemberitaan memuat hasil pemeriksaan, berupa:
- Apa yang dilihat/ditemukan sesuai pengetahuan
kedokteran
- Hasil konsultasi dengan teman sejawat lain
- Untuk ahli bedah yang mengoperasi maka dimintai
keterangan apa yang diperoleh. Jika diopname tulis
diopname, jika pulang tulis pulang
- Tidak dengan kata-kata latin
- Harus dengan huruf untuk mencegah pemalsuan.
- Hanya menulis ciri-ciri, sifat, dan keadaan luka.
4. Kesimpulan
Bagian kesimpulan memuat pendapat pribadi dokter tentang
hubungan sebab akibat antara apa yang dilihat dan ditemukan
dokter dengan penyebabnya. Misalnya jenis luka, kualifikasi
luka, atau bila korban mati maka dokter menulis sebab
kematiannya.
5. Penutup
Bagian penutup memuat sumpah atau janji, tanda tangan, dan
nama terang dokter yang membuat visum. Sumpah atau janji
dokter dibuat sesuai dengan sumpah jabatan atau pekerjaan
dokter.

d. Apa saja jenis-jenis visum et repertum?


Ditinjau dari segi barang bukti:
7

 Visum et repertum untuk benda hidup


 Visum et repertum untuk benda mati
Ditinjau dari segi visum:
 Visum et repertum sementara
 Visum et repertum lanjutan
 Visum et repertum difinitif

e. Apa penyebab luka dan memar di kepala sebelah kanan yang


disertai nyeri kepala hebat dan muntah?
Fraktur di os temporal dextra  rupture arteri meningea media 
hematomepidural  darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih
tinggi sehingga lebih cepat memancar  setelah hematom
bertambah besar  terlihat tanda pendesakan dan peningkatan TIK
 penderita akan mengalami sakit kepala, mual dan muntah dan
diikuti oleh penurunan kesadaran.

2. Dari hasil pemeriksaan didapatkan:


RR: 28 x/mnt, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 50 x/menit, GCS: E4 M6
V5, pupil isokor, reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif.
Regio orbita: dextra et sinistra tampak hematom, sub-conjunctival
bleeding (-). Regio temporal dextra: tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak
rata, sudut tumpul dengan dasar fraktur tulang. Regio nasal: tampak darah
segar mengalir dari kedua lubang hidung.
a. Bagaimana anatomi tulang tengkorak (basis cranii)?
8

b. Apa jenis fraktur yang mungkin terjadi pada trauma tumpul


kepala?
Berdasarkan lokasi anatomis:
Konveksitas (kubah tengkorak): os frontal, os parietal, os
temporal dan os occipital.
Basis cranii (dasar tengkorak): fossa cranii anterior, fossa
cranii media dan fossa cranii posterior.
Berdasarkan keadaan luka:
Luka terbuka
Luka tertutup
Berdasarkan gambaran fraktur:
Fraktur linier, fraktur diastase, fraktur comminuted, fraktur
tengkorak depresi, fraktur konveksitas dan fraktur basis cranii.
9

c. Apa tanda-tanda fraktur basis cranii pada kasus ini?


 Battle sign- memar pada daerah mastoid
 Racoon eyes – memar regio infraorbital
 Rhinorrhea CSF
 Palsi nervus kranialis
 Perdarahan dari hidung atau telinga

 Tuli, nystagmus, muntah, gangguan penglihatan.


Pasien dengan fraktur os. Temporal pars petrosa muncul dengan
gejala battle sign dan otorrhea. Sedangkan fraktur pada fosa
anterior berhubungan dengan Rinorrhea CSF dan racoon eyes.

d. Apa jenis luka regio temporal pada kasus?


Vulnus Laceratum

e. Bagaimana mekanisme autoregulasi trauma kepala pada kasus?

CPP = MAP – ICP


MAP (Mean Arterial Pressure) = 50-150 mmHg
ICP (Intra Cranial Pressure) = 10 mmHg

f. Bagaimana tatalaksana awal keadaan umum dan epsitaksis?13,5


g. Bagaimana tatalaksana awal pada frakur kepala pada kasus ini?
12,4
10

3. Dari hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran didapatkan:


Pasien ngorok, RR 24 x/menit, nadi 50 x/menit, tekanan darah 140/90
mmHg, pasien membuka mata dengan rangsang nyeri, melokalisir nyeri,
mengerang dalam bentuk kata-kata. Pupil anisokor dekstra, reflex cahaya
pupil kanan negatif, reflex cahaya pupil kiri reaktif/normal. Pada saat itu
Anda merupakan dokter jaga UGD di RSUD tersebut dibantu oleh 3 orang
perawat.
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisma abnormal?
No. Keadaan Abnormal Mekanisme Abnormal
1 Mengorok Akibat dari kesadaran yang menurun  tonus
otot lidah akan menurun  lidah terjatuh ke
belakang  saat melakukan inspirasi terjadi
turbulensi  timbulnya mengorok.
2 RR meningkat lalu Merupakan mekanisme kompensasi akibat
menurun, HR menurun, peningkatan TIK,
dan TD meningkat sesuai rumus: CPP = MAP – ICP
Sehingga bila terjadi peningkatan ICP akibat
adanya epidural hematom  kompensasi
dengan peningkatan TD melalui peningkatan
MAP dan HR mengalami penurunan karena
memiliki hubungan terbalik dengan TD,
sedangkan RR mengalami peningkatan yang
merupakan respon dari peningkatan CPP.
Peningkatan dan Penurunan RR
Awalnya: ↑TIK  perfusi otak inadekuat 
tubuh melakukan kompensasi dengan ↑RR.
Kemudian, ↑TIK yang meningkat secara
progresif  herniasi uncus  menekan pusat
napas di batang otak ↓RR
Penurunan HR
TIK↑  herniasi uncus  menekan batang
otak  merangsang pusat inhibisi jantung
bradikardi
Peningkatan TD
Trauma tumpul temporal  a. meningea
media robek  perdarahan epidural (perlu
pemeriksaan CT scan untuk memastikan) 
volume intracranial ↑  compliance pertama
oleh otak mengeluarkan CSF ke ruang spinal
perdarahan masih berlangsung 
compliance pertama tidak adekuat  volume
intracranial ↑ Tekanan intrakranial terus ↑
11

 Cerebral Perfusion Pressure ↓  CBF ↓


 kompensasi peningkatan tekanan sistemik
 peningkatan tekanan darah (140/90
mmHg)
3 Pasien membuka mata Pasien membuka mata dengan rangsang
dengan rangsang nyeri, nyeri: 2 (Eye)
melokalisir nyeri, dan Melokalisir nyeri: 5 (Motoric response)
mengerang dalam Mengerang dalam bentuk kata-kata: 3
bentuk kata-kata. (Verbal response)
GCS = E+V+M = 2+3+5 = 10.
Skor GCS 10 menandakan pasien mengalami
cedera kepala sedang.
4. Pupil anisokor dekstra
dan reflex cahaya pupil
dekstra negatif

Akibat proses herniasi unkus  menekan


saraf parasimpatis n. III  tidak terjadi
vasokonstriksi pupil tidak ada hambatan
terhadap saraf simpatismidriasis ipsilateral
(mata kanan)  pupil anisokor dextra dan
reflex cahaya pupil kanan negatif

b. Apa derajat trauma kepala pada kasus?


Berdasarkan skor GCS yaitu 10 (E2, V3, M5), maka derajat trauma
kepala Mr. X adalah trauma kepala sedang (antara 9-12).
12

c. Apa pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan terkait kasus?


Pemeriksaan Foto Polos Kepala
Indikasi pemeriksaan foto polos kepala:
1. Kehilangan kesadaran, amnesia
2. Nyeri kepala menetap
3. Gejala neurologis fokal
4. Jejas pada kulit kepala
5. Kecurigaan luka tembus
6. Keluar cairan cerebrospinal atau darah dari hidung atau telinga
7. Deformitas tulang kepala, yang terlihat atau teraba
8. Kesulitan dalam penilaian klinis: mabuk, intoksikasi obat,
epilepsi, anak
9. Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala tetapi
mempunyai resiko: benturan langsung atau jatuh pada permukaan
yang keras, pasien usia > 50 tahun.

Pemeriksaan CT Scan
Indikasi pemeriksaan CT kepala pada pasien cedera kepala:
1. GCS < 13 setelah resusitasi.
2. Deteorisasi neurologis: penurunan GCS 2 poin atau lebih,
hemiparesis, kejang.
3. Nyeri kepala, muntah yang menetap
4. Terdapat tanda fokal neurologis
5. Terdapat tanda fraktur, atau kecurigaan fraktur
6. Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus
7. Evaluasi pasca operasi
8. Pasien multitrauma (trauma signifikan lebih dari 1 organ)
9. Indikasi sosial

d. Mengapa tekanan darah terus meningkat sedangkan nadi tetap


rendah?
13

Hipertensi, kompensasi iskemik otak.


Dengan rumus: CPP = MAP - ICP
Jika tekanan intracranial meningkat maka MAP juga harus meningkat
agar perfusi otak tetap adekuat. Peningkatan MAP menyebabkan
peningkatan tekanan darah.
TIK (ICP) ↑ kompensasi untuk mempertahankan CPP 
peningkatan MAP  hipertensi
Bradikardi, akibat penekanan pada medulla oblongata yang
selanjutnya merangsang pusat inhibisi jantung.

e. Apa jenis-jenis herniasi otak dan jenis apa yang terjadi pada kasus?
Herniasi serebri diklasifikasikan menjadi dua bagian utama yaitu
herniasi supratentorial dan herniasi infratentorial. Herniasi
supratentorial adalah herniasi yang terjadi melewati struktur diatas
tentorium sedangkan herniasi infratentorial adalah herniasi yang
terjadi melewati struktur di bawah tentorium.
Herniasi supratentorial Herniasi infratentorial
 uncal/transtentor  upward/upwardcerebellarat
ial auupward transtentoria,
 sentral  tonsilar/downward
 cingulate/subfalc cerebellar
ine
 transcalvarial

Gambar: Tipe Herniasi Serebri


14

f. Apa pasien perlu dirujuk?


Ya, perlu dirujuk.

2.5 Learning Issue

2.5.1 Anatomi Kepala

Kulit kepala menutupi cranium, dan meluas dari linea nuchalis superior
pada os occipital sampai margo supra orbitalis ossis frontalis. Ke arah lateral kulit
kepala meluas lewat fascia temporalis ke arcus zygomaticus. Kulit kepala terdiri
dari lima lapis jaringan; tiga lapis pertama (kulit, jaringan ikat dan galea
aponeurotica) berhubungan erat satu dan yang lain serta bergerak sebagai satu
kesatuan, dua lapisan lainnya adalah jaringan ikat longgar dan perikranium.
15

 Kulit yang tipis, kecuali di daerah oksipital, mengandung banyak kelenjar


keringat dan palit (glandula sebaceae), serta folikel rambut; pendarahan
arterial kulit kepala amat luas dan penyaluran balik darah dan limfe terjadi
melalui banyak pembuluh darah dan limfe
 Jaringan ikat merupakan lapis subkutan, memliki banyak pembuluh darah
dan saraf
 Galea aponeurotika adalah selembar jaringan ikat yang kuat dan
merupakan lembar tendo bagi perut-perut berdaging musculus occipitalis
dan msculus frontalis
 Jaringan ikat longgar menyerupai spons karena berisi banyak ruang
potensial yang dapat mengembang karna menyerap cairan yang terbentuk
akiba cedera atau infeksi; lapis ini memungkinkan kulit kepala sebenarnya
bergerak secara bebas terhadap lapis terdalam
 Perikranium merupakan selapis jaringan ikat padat, yaitu periosteum
calvaria; perikranium melekat erat pada fossa cranii, tetapi pada orang
hidup dapat ditarik lepas dari fossa cranii dengan cukup mudah kecuali
pada sutura yang jaringan ikatnya sinambung dengan perikranium.

Meninges Craniales

Cerebrum dan medulla spinalis diliputi oleh tiga membran: duramater,


arachnoideamater, dan piamater.

1. Duramater
16

Secara konvensional duramater terdiri dari dua lapis: lapisan


endosteal dan lapisan meningeal. Kedua lapisan ini berhubungan erat,
kecuali sepanjang tempat tempat tertentu dimana mereka terpisah dan
membentuk sinus venosus.

Lapisan endosteal tidak berbeda dengan periosteum yang melapisi


permukaan dalam tulang-tulang tengkorak. Lapisan ini tidak terbentang
melewati foramen magnum untuk berlanjut ke lapisan duramater di
medulla spinalis. Di sekitar pinggir semua foramina cranii lapisan ini
berhubungan dengan periosteum pada permukaan luar tulang-tulang
tengkorak. Pada sutura, lapisan ini berhubungan dengan ligamentum
suturale. Lapisan ini melekat dengan erat pada tulang-tulang di basis cranii

Lapsisan meningeal adalah lapisan duramater yang sebenarnya.


Merupakan membrane fibrosa padat dan kuat yang membungkus otak dan
melanjutkan diri setelah melalui foramen magnum sebagai duramater
medulla spinalis. Lapisan ini juga merupakan selubung tubular bagi saraf-
saraf otak, pada saat saraf otak melalui foramina di basis cranii. Lapisan
meningeal membentuk empat septum kea rah dalam yang membagi cavitas
cranii menjadi ruang-ruang yang saling berhubungan dengan bebas dan
menampung bagian bagian otak, yaitu falx cerebri, tentorium cerebelli,
falx cerebelli dan diaphragm sellae.

Banyak arteri yang mendarahi duramater, yaitu arteri carotis


interna, arteria maxillaris, arteria pharyngea asendens, arteria occipitalis
dan arteria vertebralis. Dari sudut klinis, yang terpenting adalah arteria
meningea media.

Vena-vena meningea terletak di dalam lapisan endosteal duramater.


Vena meningea media mengikuti cabang-cabang arteria meningea media
dan bermuara ke dalam pleksus venosus pterygoideus atau sinus
sphenoparietalis. Vena-vena terletak lateral terhadap arterinya

2. Arachnoideamater
17

dalah suatu membrane lembut yang tidak permeable yang meliputi


otak dan terletak di antara piamater sebelah dalam dan duramater sebelah
luar. Membrane ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial,
disebut spatium subdurale, dan dari piamater oleh spatium
subarachnoideum, yang terisi liquor cerebrospinalis.

Arachnoideamater membentuk jembatan-jembatan di antara


sulkus-sulkus pada permukaan otak dan dalam situasi tertentu,
arachnoideamater dan piamater terpisah lebar membentuk cisternae
subarachnoidea

Pada daerah tertentu, arachnoideamater menonjol ke dalam sinus


venosus membentuk villi arachnoideales. Villi arachnoideales ini paling
banyak di sepanjang sinus sagittalis superior. Agregasi villi arachnoideales
disebut sebagai granulationes arachnoideales. Villi arachnoideales
berfungsi sebagai tempat difusi likuor cerebrospinalis ke dalam aliran
darah.

3. Piamater
Piamateradalah membrab vascular yang erat membungkus otak,
membungkus gyrus gyrus dan masuk ke dalam sulkus-sulkus yang
terdalam. Membran ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk ke dalam substansi otak juga
diliputi oleh piamater.
18

Basis Cranii

Bagian dalam basis cranii dibagi dalam tiga fossa: fossa cranii anterior,
fossa cranii media dan fossa cranii posterior. Fossa cranii anterior dipisahkan dari
fossa cranii media oleh ala minor ossis sphenoidalis, dan fossa cranii media
dipisahkan dari fossa cranii posteror oleh pars petrosa ossis temporalis.

Fossa cranii anterior menampung lobus frontalis hemispherium cerebri,


bagian lateral fossa cranii media menampung lobus temporalis hemispherium
cerebri, dan bagian paling dalam fossa cranii posterior menampung sebagian
cerebellum, pons dan medulla oblongata.

Os sphenoidale terletak di tengah basis cranii. Os sphenoidale mempunyai


corpus di bagian tengah dengan ala major dan ala minor terbentang pada setiap
sisi. Os sphenoidale menstabilkan bagian tengah tengkorak melalui perlekatan
sutura-sutura dengan os frontale, os parietale, os occipital, dan os ethmoidale.
Corpus ossis sphenoidalis berisi sinus sphenoidalis.

Di dalam fossa cranii anterior, lubang-lubang lamina cribriformis ossis


ethmoidalis dapat dilihat, lubang-lubang ini dilalui oleh nervus olfactorius. Di
19

dalam fossa cranii media, di ala minor ossis sphenoidalis terdapat canalis opticus
yang dilalui oleh nervus opticus dan arteria ophtalmica. Fissure orbitalis superior,
yang berbentuk celah di antara ala major dan ala minor ossis sphenoidalis dilalui
oleh nervus occulomotorius, nervus trochlearis, divisi ophtalmica nervus
trigeminus dan nervus abducens. Foramen rotundum terletak di ala major ossis
sphenoidalis dilalui oleh divisi maxillaris nervus trigeminus. Foramen ovale
menembus ala major ossis sphenoidalis dan dilalui oleh divisi mandibularis
nervus trigeminus. Foramen spinosum yang kecil, terdapat juga di ala major,
dilalui oleh arteri meningea media. Foramen lacerum yang lebih besar dan
irregular terletak di antara ala major ossis sphenoidalis dan pars petrosa ossis
temporalis, dilalui oleh arteria carotis interna dari canalis caroticus masuk ke
dalam cavitas cranii.

Di fossa cranii posterior, foramen magnum yang besar pada os occipital


dilalui oleh medulla oblongata. Disini, medulla oblongata berlanjut sebagai
medulla spinalis. Foramen magnum dilalui juga oleh radices spinales nervi
accessorii dan dua arteria vertebralis.

Canalis hypoglossus dilalui oleh nervus hypoglossus, dan foramen


jugulare dilalui oleh nervus glossopharyngeus, nervus vagus dan nervus
accessories. Di sini, sinus venosus sigmoideus meninggalkan tengkorak menjadi
vena jugularis interna.

Meatus acusticus internus menembus facies posterior pars petrosa ossis


temporalis dan dilalui oleh nervus vestibulocochlearis dan nervus facialis
20

Pendarahan
21

2.5.2 Fisiologi Tekanan Intrakranial

Peningkatan tekanan intrakranial (intracranial pressure, ICP) didefinisikan


sebagai peningkatan tekanan dalam rongga kranialis. Biasanya ruang intrakranial
ditempati oleh jarngan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian
menempati suatu volueme tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intrakranial
normal sebesar 50-200 mm H2O atau 4-15 mm Hg. Dalam keadaan normal, ICP
dipengaruhi aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat sementara waktu sampai
tingkat yang jauh lebih tinggi dari normal. Beberapa aktivitas tersebut adalah
pernapasan abdominal dalam, batuk, dan mengedan. Kenaikan sementara ICP
tidak menimbulkan kesukaran, tetapi kenaikan tekanan yang menetap
mengakibatkan rusaknya kehidupan jaringan otak.
Ruang intrakranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai
kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan: otak (1400 g), cairan
serobrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). peningkatan volume pada
salah satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang yang
ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intrakranial. Hipotesis
Monro-Kellie memberikan suatu contoh konsep pemahaman peningkatan iCP.
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila
salah satu dari ketiga ruangannya meluas, dua ruangan lainnya harus
mengompensasi dengan mengurangi volumenya (apabila ICP masih konstan).
Mekanisme kompensasi intrakranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural
ini dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari
meningkatnya aliran CSF ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap
peningkatan tekanan tanpa meningkatkan ICP. Mekanisme kompensasi yang
berpotensi mengakibatkan kematian adalah penuruan aliran darah ke otak dan
pergeseran otak ke arah bawah atau horisontal (herniasi) bila ICP makin
meningkat. Dua mekanisme terkahir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf.
Apabila peningkatan ICP berat dan menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif,
dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian neoronal.
22

Tumor otak, cedera otak, edema otak, dan obstruksi aliran CSF berperan
dalam peningkatan ICP. Edema otak (mungkin penyebab tersering peningkatan
ICP) disebabkan oleh banyak hal (termasuk peningkatan cairan intrasel, hipoksia,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, iskemia otak, meningitis, dan cedera.
Pada dasarnya efeknya sama tanpa melihat faktor penyebabnya.
ICP pada umumnya meingkat secara bertahap. Setelah cedera kepala, edema
terjadi dalam 36-48 jam hingga mencapai maksimum. Peningkatan ICP hingga 33
mmHg (450 mmH2O) menurunkan secara bermakna aliran darah ke otak
(cerebral blood flow, CBF). Iskemia yang terjadi merangsang pusat vasomotor,
dan tekanan darah sistemik meningkat. Rangsangan pada pusat inhibisi jantung
mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi lebih lambat. Mekanisme
kompensasi ini dikenal sebagai refleks Cushing, membantu mempertahankan
aliran darah otak. (Akan tetapi , menurunya pernapasan mengakibatkan retensi
CO2 dan mengakibatkan vasodilatasi otak yang membantu menaikkan tekanan
intrakranial). Tekanan darah sistemik akan terus meningkat sebanding dengan
peningkatan ICP, walaupun akhirnya dicapai suatu titik ketika ICP melebihi
tekanan arteria dan sirkulasi otak berhenti yang mengakibatkan kematian otak.
Pada umumnya, kejadian ini diahului oleh tekanan darah arteria yang cepat
menurun.
Trauma otak menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontusio, menyebabkan
rusaknya sawar darah otak (blood brain barrier, BBB), disertai vasodilatasi dan
eksudasi cairan sehingga timbul edema. Edema menyebabkan peningkatan
tekanan pada jaringan dan akhirnya meningkatkan ICP, yang pada gilirannya akan
meurunkan CBF, iskemia, hipoksia, asidosis (penurunan pH dan peningkatan
PaCO2), dan kerusakan BBB lebih lanjut. Sisklusi ini kaan terus berlanjut hingga
terjadi kematian sel dan bertambahnya edema secara progresif kecuali dilakukan
intervensi.
Manifestasi klinis peningkatan ICP bervariasi, banyak dan dapat tidak jelas.
Perubahan tingkat kesadaran penderita merupakan indikator yang paling sensitif
dari semua tanda peningkatan tekanan intrakranial. Trias gejala yang klasik adalah
nyeri kepala akibat peregangan dura dan pembuluh darah; papiledema akibat
23

tekanan dan pembengkakan diskus optikus; dan muntah yang seringkali proyetil.
Tekanan nadi yang lebar, dan berkurangnya frekuensi denyut nadi dan pernapasan
menandakan adanya dekompensasi otal dan ancaman kematian. Tanda lain dari
peningkatan ICP adalah hipertermia, perubahan motorik dan snesorik, perubahan
bicara dan kejang. Penurunan skor GCS meunjukkan memburuknya status
neorologik.

2.5.3 Visum et Repertum

Pengertian

 Menurut bahasa : berasal dari kata latin yaitu visum (sesuatu yang dilihat) dan
repertum (melaporkan).
 Menurut istilah : adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan
sumpah jabatannya terhadap apa yang dilihat dan diperiksa berdasarkan
keilmuannya.
 Menurut lembar negara 350 tahun 1973 : Suatu laporan medik forensik oleh
dokter atas dasar sumpah jabatan terhadap pemeriksaan barang bukti medis
(hidup/mati) atau barang bukti lain, biologis (rambut, sperma, darah), non-
biologis (peluru, selongsong) atas permintaan tertulis oleh penyidik ditujukan
untuk peradilan.
Maksud pembuatan VeR adalah sebagai salah satu barang bukti (corpus
delicti) yang sah di pengadilan karena barang buktinya sendiri telah berubah pada
saat persidangan berlangsung. Oleh karena itu, VeR merupakan barang bukti yang
sah karena termasuk surat sah sesuai dengan KUHP pasal 184.
Adapun tujuan pembuatan VeR, yaitu:

1) Memberikan kenyataan (barang bukti) pada hakim


2) Menyimpulkan berdasarkan hubungan sebab akibat
3) Memungkinkan hakim memanggil dokter ahli lainnya untuk membuat
kesimpulan VeR yang lebih baru

Jenis VeR ada tiga, yaitu:

1) VeR hidup
VeR hidup dibagi lagi menjadi 3, yaitu:

a) VeR definitif, yaitu VeR yang dibuat seketika, dimana korban tidak
memerlukan perawatan dan pemeriksaan lanjutan sehingga tidak
24

menghalangi pekerjaan korban. Kualifikasi luka yang ditulis pada bagian


kesimpulan yaitu luka derajat I atau luka golongan C.
b) VeR sementara, yaitu VeR yang dibuat untuk sementara waktu, karena
korban memerlukan perawatan dan pemeriksaan lanjutan sehingga
menghalangi pekerjaan korban. Kualifikasi luka tidak ditentukan dan tidak
ditulis pada kesimpulan.
c) VeR lanjutan, yaitu VeR yang dibuat dimana luka korban telah dinyatakan
sembuh atau pindah rumah sakit atau pindah dokter atau pulang paksa.
Bila korban meninggal, maka dokter membuat VeR jenazah. Dokter
menulis kualifikasi luka pada bagian kesimpulan VeR.
2) VeR jenazah, yaitu VeR yang dibuat terhadap korban yang meninggal. Tujuan
pembuatan VeR ini adalah untuk menentukan sebab, cara, dan mekanisme
kematian.
3) Ekspertise, yaitu VeR khusus yang melaporkan keadaan benda atau bagian
tubuh korban, misalnya darah, mani, liur, jaringan tubuh, tulang, rambut, dan
lain-lain. Ada sebagian pihak yang menyatakan bahwa ekspertise bukan
merupakan VeR.

Susunan Visum et Repertum

Ada 5 bagian visum et repertum, yaitu:

1. Pembukaan
Ditulis ‘pro justicia’ yang berarti demi keadilan dan ditulis di kiri atas sebagai
pengganti materai.

2. Pendahuluan
Bagian pendahuluan berisi:

- Identitas tempat pembuatan visum berdasarkan surat permohonan


mengenai jam, tanggal, dan tempat
- Pernyataan dokter, identitas dokter
- Identitas peminta visum
- Wilayah
- Identitas korban
- Identitas tempat perkara
3. Pemberitaan
Pemberitaan memuat hasil pemeriksaan, berupa:

- Apa yang dilihat, yang ditemukan sepanjang pengetahuan kedokteran


- Hasil konsultasi dengan teman sejawat lain
- Untuk ahli bedah yang mengoperasi  dimintai keterangan apa yang
diperoleh. Jika diopname  tulis diopname, jika pulang  tulis
pulang
- Tidak dibenarkan menulis dengan kata-kata latin
25

-Tidak dibenarkan menulis dengan angka, harus dengan huruf untuk


mencegah pemalsuan.
- Tidak dibenarkan menulis diagnosis, melainkan hanya menulis ciri-
ciri, sifat, dan keadaan luka.
4. Kesimpulan
Bagian kesimpulan memuat pendapat pribadi dokter tentang hubungan sebab
akibat antara apa yang dilihat dan ditemukan dokter dengan penyebabnya.
Misalnya jenis luka, kualifikasi luka, atau bila korban mati maka dokter
menulis sebab kematiannya.

5. Penutup
Bagian penutup memuat sumpah atau janji, tanda tangan, dan nama terang
dokter yang membuat. Sumpah atau janji dokter dibuat sesuai dengan sumpah
jabatan atau pekerjaan dokter.

Kualifikasi Luka

Ada 3 kualifikasi luka pada korban hidup, yaitu:

1) Luka ringan / luka derajat I/ luka golongan C


Luka derajat I adalah apabila luka tersebut tidak menimbulkan penyakit atau
tidak menghalangi pekerjaan korban. Hukuman bagi pelakunya menurut
KUHP pasal 352 ayat 1.

2) Luka sedang / luka derajat II / luka golongan B


Luka derajat II adalah apabila luka tersebut menyebabkan penyakit atau
menghalangi pekerjaan korban untuk sementara waktu. Hukuman bagi

3) Luka berat / luka derajat III / luka golongan A


Luka derajat III menurut KUHP pasal 90 ada 6, yaitu:

- Luka atau penyakit yang tidak dapat sembuh atau membawa bahaya
maut (semua luka tembus yang mengenai kepala, dada atau perut
dianggap membawa bahaya maut)
- Luka atau penyakit yang menghalangi pekerjaan korban selamanya
- Hilangnya salah satu panca indra korban
- Cacat besar
- Terganggunya akan selama > 4 minggu
- Gugur atau matinya janin dalam kandungan ibu
26

Pihak yang berhak meminta VeR

1) Penyidik, sesuai dengan pasal I ayat 1, yaitu pihak kepolisian yang diangkat
negara untuk menjalankan undang-undang.
2) Di wilayah sendiri, kecuali ada permintaan dari Pemda Tk II.
3) Tidak dibenarkan meminta visum pada perkara yang telah lewat.
4) Pada mayat harus diberi label, sesuai KUHP 133 ayat C.

Syarat pembuat:

- Harus seorang dokter (dokter gigi hanya terbatas pada gigi dan mulut)
- Di wilayah sendiri
- Memiliki SIP
- Kesehatan baik

Ada delapan hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter
untuk membuat VeR korban hidup, yaitu:

1) Harus tertulis, tidak boleh secara lisan.


2) Langsung menyerahkannya kepada dokter, tidak boleh dititip melalui korban
atau keluarganya. Juga tidak boleh melalui jasa pos.
3) Bukan kejadian yang sudah lewat sebab termasuk rahasia jabatan dokter.
4) Ada alasan mengapa korban dibawa kepada dokter.
5) Ada identitas korban.
6) Ada identitas pemintanya.
7) Mencantumkan tanggal permintaan.
8) Korban diantar oleh polisi atau jaksa.

Ada 8 hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter untuk
membuat VeR jenazah, yaitu:

1) Harus tertulis, tidak boleh secara lisan.


2) Harus sedini mungkin.
3) Tidak bisa permintaannya hanya untuk pemeriksaan luar.
4) Ada keterangan terjadinya kejahatan.
5) Memberikan label dan segel pada salah satu ibu jari kaki.
6) Ada identitas pemintanya.
7) Mencantumkan tanggal permintaan.
8) Korban diantar oleh polisi.

Saat menerima permintaan membuat VeR, dokter harus mencatat tanggal


dan jam, penerimaan surat permintaan, dan mencatat nama petugas yang
mengantar korban. Batas waktu bagi dokter untuk menyerahkan hasil VeR kepada
27

penyidik selama 20 hari. Bila belum selesai, batas waktunya menjadi 40 hari dan
atas persetujuan penuntut umum.

Lampiran visum

- Fotografi forensik
- Identitas, kelainan-kelainan pada gambar tersebut
- Penjelasan  istilah kedokteran
- Hasil pemeriksaan laboratorium forensik (toksikologi, patologi, sitologi,
mikrobiologi)

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DAERAH SUMATERA SELATAN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG

PRO JUSTITIA

VISUM ET REPERTUM
NO.POL. : R/ / VER/II/2018/DOKPOL

Atas permintaan tertulis dari Kepolisian melalui suratnya tanggal 16 September


2018, No. Pol :B/69/III/2018 yang ditanda tangani oleh Bla2, S.Pd Pangkat Ajun
Komisaris Polisi, NRP 70050470 dan diterima tanggal 16 September 2018 maka
dengan ini saya, dr. Kelompok Lima sebagai dokter yang bekerja pada Rumah
.
Sakit Umum Daerah Palembang menerangkan bahwa pada tanggal 16 September
2018, jam 15.30 WIB, di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah
Palembang telah memeriksa serta merawat orang yang berdasarkan surat tersebut
diatas dan telah dibenarkan oleh yang bersangkutan bernama Mr. X, umur 20
tahun, jenis kelamin laki-laki, pekerjaan swasta, alamat Jakabaring, Palembang.
Berdasarkan surat permintaan itu, orang tersebut diduga telah mengalami
peristiwa penganiayaan.
28

HASIL PEMERIKSAAN :----------------------------------------------------------------------------------

Dari pemeriksaan yang telah saya lakukan ditemukan fakta-fakta sebagai berikut :
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------

A. FAKTA DARI PEMERIKSAAN TANGGAL ENAM BELAS SEPTEMBER DUA RIBU DELAPAN
BELAS:--------------------------------------------------------------------------------

1. KEADAAN UMUM :--------------------------------------------------------------------------------------

a. Tingkat kesadaran : Sadar


penuh----------------------------------------------------------------------
b. Denyut Nadi : Lima puluh kali per menit----------------------------------------------------
c. Pernapasan : Dua puluh delapan kali per
menit---------------.-------------------------------------
d. Tekanan darah : Seratus tiga puluh per Sembilan puluh milimeter
Hg--------------------------
e. Suhu badan : Tiga puluh enam koma delapan derajat
celcius------------------------------------
2. KELAINAN KELAINAN FISIK :----------------------------------------------------------------------

a. Bagian Luar Tubuh:


-------------------------------------------------------------------------------------
- Kepala:. Pada kulit kepala sebelah kanan, terdapat sebuah luka berukuran
enam kali satu sentimeter, tepi tidak rata, dan sudut tumpul dengan dasar
tulang patah
- Mata : Terdapat lebam pada kulit di sekitar bola mata kanan dan di sekitar bola
mata kiri. Tidak ada kelainan respons pupil atau manik mata kedua bola mata
terhadap cahaya
- Hidung: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung

b. Bagian Dalam Tubuh : Tidak dilakukan pemeriksaan


dalam--------------------------------------

KESIMPULAN :----------------------------------------------------------------------------------------------

Dari fakta-fakta yang kami temukan sendiri dari pemeriksaan orang laki-laki berusia dua
puluh tahun tersebut maka kami simpulkan bahwa pada orang tersebut ditemukan
lebam pada daerah disekitar mata, luka robek pada kulit kepala sebelah kanan, dan
perdarahan yang keluar melalui hidung.-----------------------------------------------------------------
29

PENUTUP:-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Demikianlah keterangan tertulis ini saya buat dengan sesungguhnya, dengan mengingat
sumpah sewaktu menerima jabatan
-----------------------------------------------------------------------------------

Palembang, 16 September 2018

Dokter Yang Memeriksa,

dr. Kelompok Lima

NRP.

2.5.4 Herniasi Otak

Patofisiologi

a. Herniasi Uncal
30

Pada herniasi uncal terjadi pergeseran aspek median lobus temporal otak
melalui tentorium sehingga dengan demikian dapat menekan batang otak
bagian atas.Uncus juga dapat menekan saraf kranial ketiga, yang dapat
mengganggu input parasimpatis mata pada sisi dari saraf yang terkena
sehingga menyebabkan pupil mata mengalami dilatasi dan gagal untuk
konstriksi pada tes respon cahaya. Dilatasi pupilsering menunjukkan
adanya kompresi pada saraf kranial III yang disebabkan olehkarena
hilangnya persarafan untuk semua pergerakan otot mata kecuali untuk
rektus lateral (diinnervasi oleh VI saraf kranial) dan oblik superior
(diinnerv asi oleh saraf kranial IV). Kompresi pada arteri serebral posterior
ipsilateral akan mengakibatkaniskemia dari korteks 4isual primer
ipsilateral dan defisit lapangan pandang kontra lateral pada kedua mata
(kontralateral hemianopia homonymous). Temuan penting lainnya adalah
false localizing sign,yang disebut Kernohan’ s notch, yang disebabkan
karena adanya kompresi dari otak kruris kontralateral yang terdiri dari
descending corticospinal dan beberapa serat kortikobulbar. Hal ini
menyebabkan hemiparesis ipsilateral pada sisi yang sama dengan herniasi.
Karena traktus kortikospinal secara dominan menginervasi otot flexor,
ekstensi dari kaki dapat dijumpai.Dengan adanya peningkatan tekanan dan
perkembangan hernia akan menyebabkan adanya distorsi dari batang otak
yang menyebabkan perdarahan Duret,yaitu robekan pada pembuluh darah
kecil di parenkim seperti pada bagian median dan zona paramedian dari
mesencephalon dan pons. Pecahnya pembuluh darah ini menyebabkan
perdarahan berbentuk linier atau flamed shape hemorrhages.Gangguan
pada batang otak dapat menyebabkan postural dekortikasi, depresi pusat
pernapasan dan kematian. Kemungkinan lain yang dihasilkan dari distorsi
batangotak. meliputi kelesuan, denyut jantung lambat, dan pelebaran pupil.
HerniasiUncal dapat berkembang menjadi herniasi sentral.

b. Herniasi Sentral/Transtentorial
31

Pada herniasi sentral, (juga disebut “herniasi transtentorial”) diencephalon


dan bagian lobus temporal dari kedua hemisfer otak ditekan melalui celah
di cerebellitentorium. Herniasi Transtentorial dapat terjadi saat otak
bergeser baik ke atas atau bawah melewati tentorium, yang masing-masing
disebut herniasi transtentorial ascending dan descending. Herniasi
descending dapat melebarkan cabang arteri basilar (arteri pontine) yang
nantinya menyebabkan arteri tersebut robek dan berdarah. Hal tersebut
dikenal sebagai pendarahan Duret. Hal tersebut mempunyai efek yang
fatal. Secara radiografis, downward herniasi ditandai dengan tidak
terlihatnya suprasellar cistern dari herniasi lobus temporal ke hiatus
tentorial. Hal ini terkait dengan adanya kompresi pada pedenkulus otak.

c. Herniasi Cingulata (Subfalcine)

Pada herniasi cingulata atau subfalcine, bagian terdalam dari lobusfrontalis


terjepit pada bagian bawah dari falx serebri, yang merupakan duramater
pada bagian atas kepala dan berada diantara dua hemisfer otak.Herniasi
cingulate dapat disebabkan ketika salah satuhemisfer membengkak dan
mendorong girus cingulata pada falx serebri. Hal ini tidak banyak
memberi tekanan pada batang otak seperrti herniasi jenis lain, tetapi
dapatmengganggu pembuluh darah di lobus frontal yang dekat dengan
tempat cedera (arteri serebral anterior) dan hal ini dapat menuju ke arah
herniasi sentral.Keterlibatan aliran darah dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial yang nantinya dapat menyebabkan
bentuk-bentuk herniasi yang lebih berbahaya. Gejala untuk herniasi
cingulate tidak dapat dijelaskan secara jelas.Biasanya selain pada herniasi
uncal, herniasi cingulate dapat menyebabkan abnormal posturing dan
koma.

d. Herniasi Transcalvarial
32

Pada herniasi transcal4arial, otak tergeser melalui fraktur atau adanya


pembedahan di dalam tengkorak atau juga biasa disebut herniasi eksternal.
Jenis herniasi ini mungkin terjadi selama kraniotomi.

e. Upward Herniation (herniasi ke atas)

Peningkatan tekanan pada fossa posterior dapat menyebabkan otak kecil


bergerak naik melalui pembukaan tentorial atau disebut herniasi cerebellar.
Otak tengah didorong melalui celah tentorial. Hal ini juga mendorong otak
tengah kebagian bawah. Presentasi klinisnya ialah mual dan:atau muntah,
serta penurunan kesadaran yang cepat dan kematian.

f. Herniasi Tonsiler

Pada herniasi tonsillar yang juga disebut herniasi downward cerebellar


atau”coning”, cerebellar tonsil bergerak ke bawah melalui foramen
magnum yang mungkin dapat menyebabkan kompresi batang otak yang
lebih bawah dankompresi korda spinalis ser4ikal bagian atas pada saat
mereka melewati foramen magnum. peningkatan tekanan pada batang otak
bisa mengakibatkan disfungsi pada pusat di otak yang bertanggung jawab
untuk mengendalikan fungsi pernafasan dan jantung. Herniasi tonsilar dari
otak kecil juga dikenal sebagai malformasi chiari atau sebelumnya disebut
Arnold Chiari Malformation (ACM).Setidaknya ada tiga jenis malformasi
Chiari yang diakui secara luas, dan mereka mewakili proses penyakit yang
sangat berbeda dengan gejala dan prognosis yang berbeda-beda. Kondisi
ini dapat ditemukan pada pasien tanpa gejala atau malahdapat juga terjadi
pada pasien dengan gejala klinis yang begitu parah dan membahayakan
hidup. Kondisi ini sekarang lebih sering didiagnosis oleh ahliradiologi
karena semakin banyaknya pasien yang menjalani CT scan kepala maupun
MRI.Cerebellar ectopia adalah istilah yang digunakan oleh ahliradiologi
untuk menggambarkan cerebellar tonsil yang “low lying” tapi yang tidak
memenuhi kriteria radiografi untuk dianggap sebagai malformasi
chiari.Gambaran radiografi saat ini yang dianggap untuk suatu malformasi
33

chiari adalah bahwa adanya cerebellar tonsil setidaknya 5 mm di bawah


tingkat foramenmagnum.

Ada banyak hal yang diduga menyebabkan herniasi tonsillar termasuk:


penurunan dan perubahan bentuk dari fossa posterior. Perubahan tersebut
menyebabkan tidak cukupnya rongga untuk cerebellum. Pada hidrosefalus
atau volume CSF yang abnormal akan mendorong tonsil keluar.

2.5.5 Fraktur Basis Cranii

Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada


daerah-daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi
energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula, atau efek “remote”
dari benturan pada kepala (“gelombang tekanan” yang dipropagasi dari titik
benturan atau perubahan bentuk tengkorak).
Tipe dari fraktur basis cranii yang parah adalah jenis ring fracture, karena
area ini mengelilingi foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana
spinal cord lewat. Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat
cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih sering dijumpai (Hooper et al.
1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak disertai
dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.
Fraktur basis Cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk
benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban
inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban
inersia, misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak
akibat mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala
kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada area
medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia
tersebut kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi
akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior
34

diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior
kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula.
Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa fraktur
basis Cranii akibat hasil dari benturan area kubah kranial. Kasus benturan pada
area kubah non-kranial, yang terjadi dalam berbagai jenis kecelakaan kendaraan
bermotor, telah didokumentasikan. Para peneliti menemukan fraktur basis Cranii
juga bisa disebabkan oleh benturan pada area wajah saja.
Pada studi eksperimen berdasarkan pengujian mayat, Gott et al.(1983)
meneliti secara rinci tengkorak dari 146 subjek yang telah mengalami
benturan/ruda paksa pada area kepala. 45 kasus fraktur tengkorak diamati secara
rinci. Terdapat 22 BSF pada grup ini. Penyebab dari kasus tersebut disebabkan
oleh ruda paksa pada area frontal (5 kasus), daerah Temporo-parietal tengkorak (1
kasus), seluruh wajah (2 kasus) dan berbagai jenis ruda paksa kepala lainnya (14
kasus).
Saat memeriksa respon leher akibat beban daya regang aksia, Sances et al.
(1981) mengamati BSF tanpa kerusakan ligamen melalui analisa quo-statistic
didapatkan 1780N sementara dan 3780N tampak utuh pada area leher, kepala dan
tulang belakang. Beberapa peneliti mengamati complex kepala-leher terhadap
ruda paksa dari arah superior-inferior. Secara umum, menunjukkan bahwa lokasi
fraktur tengkorak hasil dari ruda paksa langsung. Ketika area kepala terlindungi,
leher menjadi wilayah yang paling rentan terhadap cedera pada tingkat kekuatan
di atas 4 kN (Alem et al 1984). Para peneliti menguji 19 cadaver dalam posisi
supine dan hanya mampu menghasilkan BSF tunggal. Fraktur basis Cranii
membutuhkan durasi yang rendah (3 ms), energi tinggi (33 J) ruda paksa dengan
kekuatan benturan dari 17 kN pada kecepatan ruda paksa 9 m /s.
Hopper et al. (1994) melakukan dua studi eksperimental pada mayat
bertujuan untuk memahami mekanisme biomekanik yang mengakibatkan fraktur
basis Cranii ketika kepala mandibula yang dikarenakan ruda paksa
Pada studi awal, cedera yang dapat ditoleransi oleh mandibula ketika
mengalami ruda paksa adalah pada area pertengahan simfisis atau area mentalis
(dagu). Enam dampak yang dinamis dengan jalur vertikal pada satu tes dilakukan
35

dengan menggunakan uji quasi-static. Suatu ruda paksa yang bervariasi diberikan
untuk menilai pengaruh yang terjadi. Ditemukan bahwa toleransi energi ruda
paksa untuk fraktur mandibula pada ke enam tes tersebut adalah 5270 + 930N.
Pada setiap tes, dijumpai fraktur mandibula secara klinis namun tidak
menghasilkan fraktur basis Cranii.
Studi kedua menilai toleransi fraktur basis Cranii ketika beban langsung
diberikan kearah Temporo-mandibula joint yang secara tidak langsung
menghasilkan pembebanan secara lokal sekitar foramen magnum. Kekuatan
puncak dan energi untuk setiap kegagalan ditentukan dalam setiap pengujian.
Beban rata rata pada setiap fraktur ditemukan dengan kekuatan energi 4300 +350
N. Peneliti dapat menghitung energi untuk fraktur pada tiga dari tes dengan rata-
rata 13,0 + 1.7 J. Cedera dihasilkan dengan cara ini konsisten dengan pengamatan
klinis fraktur basis cranii.
Peneliti menyimpulkan bahwa hasil penelitian ini mendukung hipotesis
bahwa ruda paksa pada mandibula saja biasanya hanya menyebabkan fraktur
mandibula. Selanjutnya, complete dan partial ring type BSF membutuhkan ruda
paksa temporo-mandibular yang secara tidak langsung menghasilkan pembebanan
pada daerah sekitar foramen magnum.

Jenis Fraktur Basis Cranii


36

Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis Cranii.
Terdapat 3 suptipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan
mixed. Tipe transversal dari fraktur temporal dan type longitudinal fraktur
temporal ditunjukkan di bawah ini.
(A)Transverse temporal bone fracture and (B)Longitudinal temporal bone fracture
(courtesy of Adam Flanders, MD, Thomas Jefferson University, Philadelphia,
Pennsylvania).

A B
Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan
bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus
externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian
anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthinecapsule, berakhir pada
fossa Cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur
longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur
transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea
dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki
unsur unsur dari kedua fraktur longitudinal dan transversal.
Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan.
Sistem ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous
fraktur, yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur
tersebut tidak disertai dengan deficit nervus cranialis.
Fraktur condylar occipital (Posterior), adalah hasil dari trauma tumpul
energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada
pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan
37

morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative membagi fraktur ini


menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I
fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari
kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang
dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur
tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar dan
membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi
sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur
tidak stabil.

2.5.6 Epidural Hematom

Definisi
Hematom epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak
dengan duramater ( dikenal dengan istilah hematom ekstradural ). Hematom jenis
ini biasanya berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier yang
menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri-arteri meningens ( a.
Meningea media ). Fraktur tengkorak yang menyertai dijumpai pada 8% - 95%
kasus, sedangkan sisanya (9%) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa
ada fraktur (terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya
sementara). Hematom epidural yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang
terjadi.
38

Gambar 29. CT-Scan Epidural hematom

Etiologi
1. Trauma kepala
2. Sobekan a/v. meningea mediana
3. Ruptur sinus sagitalis/sinus tranversum
4. Ruptur v. diplorica
Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya
fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri meningea
mediana.Fraktur tengkorak yang menyertainya dijumpai 85-95 % kasus, sedang
sisanya ( 9 % ) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur
terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara.
Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi,
umumnya disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur oksipital, parietal
atau tulang sfenoid.

Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi (1,3)
1. Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
2. Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam – 7 hari
3. Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7
39

Patofisiologi
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu
yang lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu
berhubungan dengan fraktur cranial linier. Pada kebanyakan pasien, perdarahan
terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau keduanya. Pembuluh darah
meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur melewati lekukan minengeal
pada squama temporal.

Gejala klinis
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari tria gejala;
a. Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan
perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral.
Lebih dari 50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan
ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera.
Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan dura dari
bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval lucid.
Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal. Interval
ini menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama
diderita karena trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena
herniasi transtentorial. Panjang dari interval lucid yang pendek
memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal dari arteri.

b. Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek
pembesaran massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai
penjendalan dapat juga menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral
peduncle pada permukaan tentorial.
c. Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan
mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif
40

akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan


bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam,
pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil
tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.

Terapi
Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin,
dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan.
Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari
terjadinya pengumpulan darah yang baru.
- Trepanasi –kraniotomi, evakuasi hematom
- Kraniotomi-evakuasi hematom

Komplikasi Dan Outcome


Hematom epidural dapat memberikan komplikasi :
1. Edema serebri, merupakan keadaan-gejala patologis, radiologis, maupun
tampilan ntra-operatif dimana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat
bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan
tekanan intrakranial
2. Kompresi batang otak – meninggal
Sedangkan outcome pada hematom epidural yaitu :
a) Mortalitas 20% -30%
b) Sembuh dengan defisit neurologik 5% - 10%
c) Sembuh tanpa defisit neurologik
d) Hidup dalam kondisi status vegetatif

Perdarahan epidural
Hematoma merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan duramater
(hematom ekstradural). Cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa
cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo-parietal yang disebabkan
oleh robeknya arteri meningea media akibat retaknya tulang tengkorak. Gumpalan
41

darah yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri, namun pada sepertiga kasus
dapat terjadi akibat perdarahan vena, karena tidak jarang perdarahan epidural
terjadi akibat robeknya sinus venosus terutama pada region parieto oksipital dan
pada fosa posterior. Walaupun secara relatif perdarahan epidural jarang terjadi
(0,5% dari seluruh penderita cedera kepala dan 9% dari penderita yang dalam
keadaan koma), namun harus dipertimbangkan karena memerlukan tindakan
diagnostik maupun operatif yang cepat. Perdarahan epidural bila ditolong segera
pada tahap dini, prognosisnya sangat baik karena kerusakan langsung akibat
penekanan gumpalan darah pada jaringan otak tidak terlalu lama. Keberhasilan
pada penderita perdarahan epidural berkaitan langsung dengan status neurologis
penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan perdarahan epidural dapat
menunjukkan interval lucid yang klasik atau keadaan dimana penderita yang
semula mampu bicara lalu tiba-tiba meninggal (talk and die). Keputusan perlunya
suatu tindakan operatif memang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari
seorang ahli bedah saraf.

2.5.7 Pemeriksaan GCS


42

2.6 Kerangka Konsep

Trauma
tumpulOs.
temporal

Fraktur fossa
cranii anterior

Darahkeluardari Lamina Ruptur A. Darahmerembeskejaringan


cribosaOs. Ethmoidale meningeal media ikat rongga periorbita

Epistaksis Berkumpuldarah di Raccoon eyes


ronggapotensial epidural

Nyeri kepala dan Peningkatantekanan Uncal Herniation


muntah intrakranial

Lucid Interval Peningkatan MAP Kompresi N. cranialis


(autoregulasiperfusiotak) III parasimpatis

Takipnea Hipertensi Menekanbatangot Dilatasi pupil


ak ipsilateral lesiotak
Bradikardi Rangsangan pada
(kompensasi) pusatinhibisijantung
43

2.7 Sintesis

Mr X 20 tahun, mengalami trauma tumpul di Os Temporal akibat pukulan


sepotong kayu oleh tetangganya yang menyebabkan fraktur nya fossa cranii
anterior. Pada daerah fossa cranii anterior terdapat pembuluh darah yaitu arteri
meningeal media yang dicurigai mengalami ruptur. Akibat ruptur nya arteri
meningeal media darah merembes menuju jaringan ikat ronga periorbita sehingga
menyebabkan mata tampak seperti mata panda atau racoon eyes. Dampak lain
dari ruptur nya arteri meningeal media yakni keluar nya darah dari lamina cribosa
os ethmoidale yang dapat menyebabkan epistaksis atau keluarnya darah dari
hidung pasien. Setelah ruptur arteri meningeal media maka darah akan berkumpul
di rongga potensial epidural yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
sehingga muncul gejala klinis berupa nyeri kepala dan muntah. Akibat lain dari
peningkatan tekanan intrakranial yang tinggi adalah berpindah nya jaringan otak
atau yang dinamakan herniasi, pada kasus karena terdapat trauma pada lobus
temporal sehingga kemungkinan terjadi uncal herniasi. Akibat dari uncal herniasi
yakni terkompresi nya nervous cranialis III parasimpatis sehingga menyebabka
dilatasi pupil ipsilateral lesi otak. Uncal herniasi juga dapat menekan batang otak
yang dapat menyebabkan rangsangan pada pusat inhibisi jantung,sehingga terjadi
bradikardi. Peningkatan tekanan intrakranial akibat epidural hematom dapat
menyebabkan lucid interval sehingga adanya fase pasien sadar diantara 2 fase
tidak sadar akibat meningkatnya volume darah. Lalu terjadi peningkatan
MAP(Mean artery pressure) sebagai akibat dari peningkatan tekanan intrakranial
yang menyebabkan gejala berupa tekanan darah yang tinggi dan nafas yang cepat.
Akibat dari tekanan darah yang tinggi terjadi lah bradikardi sebagai bentuk
kompensasi dari tubuh.
44

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik bahwa Mr. X mengalami


trauma tumpul derajat sedang karena GCS(Glasgow Coma Scale) terakhir yaitu
10 serta adanya tanda herniasi dengan gejala klinis berupa pusing dan mual serta
suspect epidural hematom dengan adanya lucid interval dan fraktur basis cranii
karena terdapat tanda beruba epistaksis dan racoon eyes. Dengan hasil tersebut
diagnosis sudah dapat ditegakkan.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Mr. X mengalami trauma kepala tumpul derajat sedang disertai tanda herniasi
suspect epidural hematom dengan lucid interval dan fraktur basis cranii.
45

DAFTAR PUSTAKA

A Pierce dkk. 2006. At a Glance Ilmu Bedah. Jakarta: Erlangga.

American Chollage of Surgeon Committe on Trauma. 2004. Advance Trauma


Life Support for Doctors.

American College of Surgeon. 2012. Advanced Trauma Life Support. Ed. 9


Chicago.

Bamberger D. Diagnosis, initial management and prevention of meningitis,


University of Missouri–Kansas City School of Medicine, Kansas City,
Missouri.
Bresler, Michael Jay, dan George L. Sternbach. 2007. Manual Kedokteran
Darurat. Jakarta: EGC.

De Jong, Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Ed.2. Jakarta: EGC.

Djoko, Widayat dan Djoko Widodo. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi IV.
Jakarta: FKUI
46

Ganz, JC. 2018. Intracranial Epidural Bleeding: History, Management, and


Pathophysiology. Elsevier. Chennai, India. hal. 186.
Guyton. 2005.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Haryono Y. Rinorea cairan serebrospinal. USU. Departemen THT-KL FK USU.
2006.
Nadeau K. Neurologic injury(chapter 29) in Jones and barlett learning.com. 2004.
Pillai P, Sharma R,MacKenzie R, Reilly EF, Beery PR, Thomas, Papadimos ,
Stawicki SPA. raumatic tension pneumocephalus: Two cases and
comprehensive review of literature. OPUS 12 Scientist 2010;4(1):6-11
Prince, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Volume 1 Edisi 6. Jakarta: EGC.
Purwadianto, Agusdan Budi Sampurna. 2010. Kedaruratan Medik. Jakarta Barat:
Binarupa Aksara
Reksoprodjo Soelarto. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Tortora, GJ dan Derrickson, B. 2009. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi
12. United States of America: John Wiley & Sons Inc.
Yandi et al. 2009. Roman’s Forensik. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat.
Banjarmasin, Indonesia. hal. 9-14.

Anda mungkin juga menyukai