FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena
atas berkat rahmat yang diberikan-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan
Tutorial Skenario A Blok Trauma, Gawat Darurat, dan Forensik ini dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam pembuatan laporan ini, serta berbagai sumber yang telah penulis
gunakan sebagai data dan fakta pada makalah ini. Penulis juga berterima kasih
kepada, dr. Venny Larasati, M. Biomed yang telah memberikan pedoman dalam
melakukan tutorial, membuat makalah hasil tutorial dan telah memberi
bimbingannya sebagai tutor sehingga kami dapat menyelesaikan masalah skenario
yang telah diberikan.
Penulis menyadari akan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Maka
dari itu, kritik dan saran sangat diharapkan untuk memperbaiki dan
mengembangkan isi dari makalah ini.Penulis juga mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca, serta penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan penulisan
dalam makalah ini. Akhir kata, apabila ada kesalahan kata-kata, penulis meminta
maaf dan diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
Skenario....................................................................................................................2
Klarifikasi Istilah......................................................................................................3
Identifikasi Masalah.................................................................................................4
Analisis Masalah......................................................................................................5
Learning Issue........................................................................................................15
Kerangka Konsep...................................................................................................42
Sintesis...................................................................................................................43
Kesimpulan............................................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................45
3
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Blok Trauma, Gawat Darurat, dan Forensikadalah blok ke-28 dari
Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Palembang. Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial
studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk menghadapi kasus yang
sebenarnya pada waktu yang akan datang. Kasus yang dipelajari adalah
mengenai mutiple trauma.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Skenario
Satu jam sebelum masuk rumah sakit, Mr. X 20 tahun, dianiaya oleh
tetanganya dengan menggunakan sepotong kayu. Mr. X pingsan kurang lebih 5
menit, kemudian sadar kembali dan melaporkan kejadian ini ke kantor polisi
terdekat. Polisi mengantar Mr. X ke RSUD untuk dibuatkan visum et repertum, di
RSUD Mr. X mengeluh luka dan memar di kepala sebelah kanan disertai nyeri
kepala hebat dan muntah.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan:
RR: 28 x/mnt, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 50 x/menit, GCS: E4 M6 V5,
pupil isokor, reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif.
Regio orbita: dextra et sinistra tampak hematom, sub-conjunctival bleeding (-)
Regio temporal dextra: tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut tumpul
dengan dasar fraktur tulang. Regio nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua
lubang hidung.
Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak
sadarkan diri. Dari hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran
didapatkan: Pasien ngorok, RR 24 x/menit, nadi 50 x/menit, tekanan darah 140/90
mmHg, pasien membuka mata dengan rangsang nyeri, melokalisir nyeri,
mengerang dalam bentuk kata-kata. Pupil anisokor dekstra, reflex cahaya pupil
kanan negatif, reflex cahaya pupil kiri reaktif/normal. Pada saat itu Anda
merupakan dokter jaga UGD di RSUD tersebut dibantu oleh 3 orang perawat.
3
Visum et repertum dibuat oleh dokter atau dokter gigi jika ada
permintaan tertulis dari penyidik (kepolisian yang diangkat oleh
negara untuk menjalankan undang-undang).
Susunan visum et repertum:
1. Pembukaan: ditulis ‘pro justicia’ ditulis di kiri atas.
2. Pendahuluan
a. Identitas tempat pembuatan visum mengenai jam, tanggal,
dan tempat
b. Pernyataan dokter, identitas dokter
c. Identitas peminta visum
d. Wilayah
e. Identitas korban
f. Identitas tempat perkara
3. Pemberitaan
Pemberitaan memuat hasil pemeriksaan, berupa:
- Apa yang dilihat/ditemukan sesuai pengetahuan
kedokteran
- Hasil konsultasi dengan teman sejawat lain
- Untuk ahli bedah yang mengoperasi maka dimintai
keterangan apa yang diperoleh. Jika diopname tulis
diopname, jika pulang tulis pulang
- Tidak dengan kata-kata latin
- Harus dengan huruf untuk mencegah pemalsuan.
- Hanya menulis ciri-ciri, sifat, dan keadaan luka.
4. Kesimpulan
Bagian kesimpulan memuat pendapat pribadi dokter tentang
hubungan sebab akibat antara apa yang dilihat dan ditemukan
dokter dengan penyebabnya. Misalnya jenis luka, kualifikasi
luka, atau bila korban mati maka dokter menulis sebab
kematiannya.
5. Penutup
Bagian penutup memuat sumpah atau janji, tanda tangan, dan
nama terang dokter yang membuat visum. Sumpah atau janji
dokter dibuat sesuai dengan sumpah jabatan atau pekerjaan
dokter.
Pemeriksaan CT Scan
Indikasi pemeriksaan CT kepala pada pasien cedera kepala:
1. GCS < 13 setelah resusitasi.
2. Deteorisasi neurologis: penurunan GCS 2 poin atau lebih,
hemiparesis, kejang.
3. Nyeri kepala, muntah yang menetap
4. Terdapat tanda fokal neurologis
5. Terdapat tanda fraktur, atau kecurigaan fraktur
6. Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus
7. Evaluasi pasca operasi
8. Pasien multitrauma (trauma signifikan lebih dari 1 organ)
9. Indikasi sosial
e. Apa jenis-jenis herniasi otak dan jenis apa yang terjadi pada kasus?
Herniasi serebri diklasifikasikan menjadi dua bagian utama yaitu
herniasi supratentorial dan herniasi infratentorial. Herniasi
supratentorial adalah herniasi yang terjadi melewati struktur diatas
tentorium sedangkan herniasi infratentorial adalah herniasi yang
terjadi melewati struktur di bawah tentorium.
Herniasi supratentorial Herniasi infratentorial
uncal/transtentor upward/upwardcerebellarat
ial auupward transtentoria,
sentral tonsilar/downward
cingulate/subfalc cerebellar
ine
transcalvarial
Kulit kepala menutupi cranium, dan meluas dari linea nuchalis superior
pada os occipital sampai margo supra orbitalis ossis frontalis. Ke arah lateral kulit
kepala meluas lewat fascia temporalis ke arcus zygomaticus. Kulit kepala terdiri
dari lima lapis jaringan; tiga lapis pertama (kulit, jaringan ikat dan galea
aponeurotica) berhubungan erat satu dan yang lain serta bergerak sebagai satu
kesatuan, dua lapisan lainnya adalah jaringan ikat longgar dan perikranium.
15
Meninges Craniales
1. Duramater
16
2. Arachnoideamater
17
3. Piamater
Piamateradalah membrab vascular yang erat membungkus otak,
membungkus gyrus gyrus dan masuk ke dalam sulkus-sulkus yang
terdalam. Membran ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk ke dalam substansi otak juga
diliputi oleh piamater.
18
Basis Cranii
Bagian dalam basis cranii dibagi dalam tiga fossa: fossa cranii anterior,
fossa cranii media dan fossa cranii posterior. Fossa cranii anterior dipisahkan dari
fossa cranii media oleh ala minor ossis sphenoidalis, dan fossa cranii media
dipisahkan dari fossa cranii posteror oleh pars petrosa ossis temporalis.
dalam fossa cranii media, di ala minor ossis sphenoidalis terdapat canalis opticus
yang dilalui oleh nervus opticus dan arteria ophtalmica. Fissure orbitalis superior,
yang berbentuk celah di antara ala major dan ala minor ossis sphenoidalis dilalui
oleh nervus occulomotorius, nervus trochlearis, divisi ophtalmica nervus
trigeminus dan nervus abducens. Foramen rotundum terletak di ala major ossis
sphenoidalis dilalui oleh divisi maxillaris nervus trigeminus. Foramen ovale
menembus ala major ossis sphenoidalis dan dilalui oleh divisi mandibularis
nervus trigeminus. Foramen spinosum yang kecil, terdapat juga di ala major,
dilalui oleh arteri meningea media. Foramen lacerum yang lebih besar dan
irregular terletak di antara ala major ossis sphenoidalis dan pars petrosa ossis
temporalis, dilalui oleh arteria carotis interna dari canalis caroticus masuk ke
dalam cavitas cranii.
Pendarahan
21
Tumor otak, cedera otak, edema otak, dan obstruksi aliran CSF berperan
dalam peningkatan ICP. Edema otak (mungkin penyebab tersering peningkatan
ICP) disebabkan oleh banyak hal (termasuk peningkatan cairan intrasel, hipoksia,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, iskemia otak, meningitis, dan cedera.
Pada dasarnya efeknya sama tanpa melihat faktor penyebabnya.
ICP pada umumnya meingkat secara bertahap. Setelah cedera kepala, edema
terjadi dalam 36-48 jam hingga mencapai maksimum. Peningkatan ICP hingga 33
mmHg (450 mmH2O) menurunkan secara bermakna aliran darah ke otak
(cerebral blood flow, CBF). Iskemia yang terjadi merangsang pusat vasomotor,
dan tekanan darah sistemik meningkat. Rangsangan pada pusat inhibisi jantung
mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi lebih lambat. Mekanisme
kompensasi ini dikenal sebagai refleks Cushing, membantu mempertahankan
aliran darah otak. (Akan tetapi , menurunya pernapasan mengakibatkan retensi
CO2 dan mengakibatkan vasodilatasi otak yang membantu menaikkan tekanan
intrakranial). Tekanan darah sistemik akan terus meningkat sebanding dengan
peningkatan ICP, walaupun akhirnya dicapai suatu titik ketika ICP melebihi
tekanan arteria dan sirkulasi otak berhenti yang mengakibatkan kematian otak.
Pada umumnya, kejadian ini diahului oleh tekanan darah arteria yang cepat
menurun.
Trauma otak menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontusio, menyebabkan
rusaknya sawar darah otak (blood brain barrier, BBB), disertai vasodilatasi dan
eksudasi cairan sehingga timbul edema. Edema menyebabkan peningkatan
tekanan pada jaringan dan akhirnya meningkatkan ICP, yang pada gilirannya akan
meurunkan CBF, iskemia, hipoksia, asidosis (penurunan pH dan peningkatan
PaCO2), dan kerusakan BBB lebih lanjut. Sisklusi ini kaan terus berlanjut hingga
terjadi kematian sel dan bertambahnya edema secara progresif kecuali dilakukan
intervensi.
Manifestasi klinis peningkatan ICP bervariasi, banyak dan dapat tidak jelas.
Perubahan tingkat kesadaran penderita merupakan indikator yang paling sensitif
dari semua tanda peningkatan tekanan intrakranial. Trias gejala yang klasik adalah
nyeri kepala akibat peregangan dura dan pembuluh darah; papiledema akibat
23
tekanan dan pembengkakan diskus optikus; dan muntah yang seringkali proyetil.
Tekanan nadi yang lebar, dan berkurangnya frekuensi denyut nadi dan pernapasan
menandakan adanya dekompensasi otal dan ancaman kematian. Tanda lain dari
peningkatan ICP adalah hipertermia, perubahan motorik dan snesorik, perubahan
bicara dan kejang. Penurunan skor GCS meunjukkan memburuknya status
neorologik.
Pengertian
Menurut bahasa : berasal dari kata latin yaitu visum (sesuatu yang dilihat) dan
repertum (melaporkan).
Menurut istilah : adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan
sumpah jabatannya terhadap apa yang dilihat dan diperiksa berdasarkan
keilmuannya.
Menurut lembar negara 350 tahun 1973 : Suatu laporan medik forensik oleh
dokter atas dasar sumpah jabatan terhadap pemeriksaan barang bukti medis
(hidup/mati) atau barang bukti lain, biologis (rambut, sperma, darah), non-
biologis (peluru, selongsong) atas permintaan tertulis oleh penyidik ditujukan
untuk peradilan.
Maksud pembuatan VeR adalah sebagai salah satu barang bukti (corpus
delicti) yang sah di pengadilan karena barang buktinya sendiri telah berubah pada
saat persidangan berlangsung. Oleh karena itu, VeR merupakan barang bukti yang
sah karena termasuk surat sah sesuai dengan KUHP pasal 184.
Adapun tujuan pembuatan VeR, yaitu:
1) VeR hidup
VeR hidup dibagi lagi menjadi 3, yaitu:
a) VeR definitif, yaitu VeR yang dibuat seketika, dimana korban tidak
memerlukan perawatan dan pemeriksaan lanjutan sehingga tidak
24
1. Pembukaan
Ditulis ‘pro justicia’ yang berarti demi keadilan dan ditulis di kiri atas sebagai
pengganti materai.
2. Pendahuluan
Bagian pendahuluan berisi:
5. Penutup
Bagian penutup memuat sumpah atau janji, tanda tangan, dan nama terang
dokter yang membuat. Sumpah atau janji dokter dibuat sesuai dengan sumpah
jabatan atau pekerjaan dokter.
Kualifikasi Luka
- Luka atau penyakit yang tidak dapat sembuh atau membawa bahaya
maut (semua luka tembus yang mengenai kepala, dada atau perut
dianggap membawa bahaya maut)
- Luka atau penyakit yang menghalangi pekerjaan korban selamanya
- Hilangnya salah satu panca indra korban
- Cacat besar
- Terganggunya akan selama > 4 minggu
- Gugur atau matinya janin dalam kandungan ibu
26
1) Penyidik, sesuai dengan pasal I ayat 1, yaitu pihak kepolisian yang diangkat
negara untuk menjalankan undang-undang.
2) Di wilayah sendiri, kecuali ada permintaan dari Pemda Tk II.
3) Tidak dibenarkan meminta visum pada perkara yang telah lewat.
4) Pada mayat harus diberi label, sesuai KUHP 133 ayat C.
Syarat pembuat:
- Harus seorang dokter (dokter gigi hanya terbatas pada gigi dan mulut)
- Di wilayah sendiri
- Memiliki SIP
- Kesehatan baik
Ada delapan hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter
untuk membuat VeR korban hidup, yaitu:
Ada 8 hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter untuk
membuat VeR jenazah, yaitu:
penyidik selama 20 hari. Bila belum selesai, batas waktunya menjadi 40 hari dan
atas persetujuan penuntut umum.
Lampiran visum
- Fotografi forensik
- Identitas, kelainan-kelainan pada gambar tersebut
- Penjelasan istilah kedokteran
- Hasil pemeriksaan laboratorium forensik (toksikologi, patologi, sitologi,
mikrobiologi)
PRO JUSTITIA
VISUM ET REPERTUM
NO.POL. : R/ / VER/II/2018/DOKPOL
Dari pemeriksaan yang telah saya lakukan ditemukan fakta-fakta sebagai berikut :
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------
A. FAKTA DARI PEMERIKSAAN TANGGAL ENAM BELAS SEPTEMBER DUA RIBU DELAPAN
BELAS:--------------------------------------------------------------------------------
KESIMPULAN :----------------------------------------------------------------------------------------------
Dari fakta-fakta yang kami temukan sendiri dari pemeriksaan orang laki-laki berusia dua
puluh tahun tersebut maka kami simpulkan bahwa pada orang tersebut ditemukan
lebam pada daerah disekitar mata, luka robek pada kulit kepala sebelah kanan, dan
perdarahan yang keluar melalui hidung.-----------------------------------------------------------------
29
PENUTUP:-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Demikianlah keterangan tertulis ini saya buat dengan sesungguhnya, dengan mengingat
sumpah sewaktu menerima jabatan
-----------------------------------------------------------------------------------
NRP.
Patofisiologi
a. Herniasi Uncal
30
Pada herniasi uncal terjadi pergeseran aspek median lobus temporal otak
melalui tentorium sehingga dengan demikian dapat menekan batang otak
bagian atas.Uncus juga dapat menekan saraf kranial ketiga, yang dapat
mengganggu input parasimpatis mata pada sisi dari saraf yang terkena
sehingga menyebabkan pupil mata mengalami dilatasi dan gagal untuk
konstriksi pada tes respon cahaya. Dilatasi pupilsering menunjukkan
adanya kompresi pada saraf kranial III yang disebabkan olehkarena
hilangnya persarafan untuk semua pergerakan otot mata kecuali untuk
rektus lateral (diinnervasi oleh VI saraf kranial) dan oblik superior
(diinnerv asi oleh saraf kranial IV). Kompresi pada arteri serebral posterior
ipsilateral akan mengakibatkaniskemia dari korteks 4isual primer
ipsilateral dan defisit lapangan pandang kontra lateral pada kedua mata
(kontralateral hemianopia homonymous). Temuan penting lainnya adalah
false localizing sign,yang disebut Kernohan’ s notch, yang disebabkan
karena adanya kompresi dari otak kruris kontralateral yang terdiri dari
descending corticospinal dan beberapa serat kortikobulbar. Hal ini
menyebabkan hemiparesis ipsilateral pada sisi yang sama dengan herniasi.
Karena traktus kortikospinal secara dominan menginervasi otot flexor,
ekstensi dari kaki dapat dijumpai.Dengan adanya peningkatan tekanan dan
perkembangan hernia akan menyebabkan adanya distorsi dari batang otak
yang menyebabkan perdarahan Duret,yaitu robekan pada pembuluh darah
kecil di parenkim seperti pada bagian median dan zona paramedian dari
mesencephalon dan pons. Pecahnya pembuluh darah ini menyebabkan
perdarahan berbentuk linier atau flamed shape hemorrhages.Gangguan
pada batang otak dapat menyebabkan postural dekortikasi, depresi pusat
pernapasan dan kematian. Kemungkinan lain yang dihasilkan dari distorsi
batangotak. meliputi kelesuan, denyut jantung lambat, dan pelebaran pupil.
HerniasiUncal dapat berkembang menjadi herniasi sentral.
b. Herniasi Sentral/Transtentorial
31
d. Herniasi Transcalvarial
32
f. Herniasi Tonsiler
diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior
kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula.
Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa fraktur
basis Cranii akibat hasil dari benturan area kubah kranial. Kasus benturan pada
area kubah non-kranial, yang terjadi dalam berbagai jenis kecelakaan kendaraan
bermotor, telah didokumentasikan. Para peneliti menemukan fraktur basis Cranii
juga bisa disebabkan oleh benturan pada area wajah saja.
Pada studi eksperimen berdasarkan pengujian mayat, Gott et al.(1983)
meneliti secara rinci tengkorak dari 146 subjek yang telah mengalami
benturan/ruda paksa pada area kepala. 45 kasus fraktur tengkorak diamati secara
rinci. Terdapat 22 BSF pada grup ini. Penyebab dari kasus tersebut disebabkan
oleh ruda paksa pada area frontal (5 kasus), daerah Temporo-parietal tengkorak (1
kasus), seluruh wajah (2 kasus) dan berbagai jenis ruda paksa kepala lainnya (14
kasus).
Saat memeriksa respon leher akibat beban daya regang aksia, Sances et al.
(1981) mengamati BSF tanpa kerusakan ligamen melalui analisa quo-statistic
didapatkan 1780N sementara dan 3780N tampak utuh pada area leher, kepala dan
tulang belakang. Beberapa peneliti mengamati complex kepala-leher terhadap
ruda paksa dari arah superior-inferior. Secara umum, menunjukkan bahwa lokasi
fraktur tengkorak hasil dari ruda paksa langsung. Ketika area kepala terlindungi,
leher menjadi wilayah yang paling rentan terhadap cedera pada tingkat kekuatan
di atas 4 kN (Alem et al 1984). Para peneliti menguji 19 cadaver dalam posisi
supine dan hanya mampu menghasilkan BSF tunggal. Fraktur basis Cranii
membutuhkan durasi yang rendah (3 ms), energi tinggi (33 J) ruda paksa dengan
kekuatan benturan dari 17 kN pada kecepatan ruda paksa 9 m /s.
Hopper et al. (1994) melakukan dua studi eksperimental pada mayat
bertujuan untuk memahami mekanisme biomekanik yang mengakibatkan fraktur
basis Cranii ketika kepala mandibula yang dikarenakan ruda paksa
Pada studi awal, cedera yang dapat ditoleransi oleh mandibula ketika
mengalami ruda paksa adalah pada area pertengahan simfisis atau area mentalis
(dagu). Enam dampak yang dinamis dengan jalur vertikal pada satu tes dilakukan
35
dengan menggunakan uji quasi-static. Suatu ruda paksa yang bervariasi diberikan
untuk menilai pengaruh yang terjadi. Ditemukan bahwa toleransi energi ruda
paksa untuk fraktur mandibula pada ke enam tes tersebut adalah 5270 + 930N.
Pada setiap tes, dijumpai fraktur mandibula secara klinis namun tidak
menghasilkan fraktur basis Cranii.
Studi kedua menilai toleransi fraktur basis Cranii ketika beban langsung
diberikan kearah Temporo-mandibula joint yang secara tidak langsung
menghasilkan pembebanan secara lokal sekitar foramen magnum. Kekuatan
puncak dan energi untuk setiap kegagalan ditentukan dalam setiap pengujian.
Beban rata rata pada setiap fraktur ditemukan dengan kekuatan energi 4300 +350
N. Peneliti dapat menghitung energi untuk fraktur pada tiga dari tes dengan rata-
rata 13,0 + 1.7 J. Cedera dihasilkan dengan cara ini konsisten dengan pengamatan
klinis fraktur basis cranii.
Peneliti menyimpulkan bahwa hasil penelitian ini mendukung hipotesis
bahwa ruda paksa pada mandibula saja biasanya hanya menyebabkan fraktur
mandibula. Selanjutnya, complete dan partial ring type BSF membutuhkan ruda
paksa temporo-mandibular yang secara tidak langsung menghasilkan pembebanan
pada daerah sekitar foramen magnum.
Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis Cranii.
Terdapat 3 suptipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan
mixed. Tipe transversal dari fraktur temporal dan type longitudinal fraktur
temporal ditunjukkan di bawah ini.
(A)Transverse temporal bone fracture and (B)Longitudinal temporal bone fracture
(courtesy of Adam Flanders, MD, Thomas Jefferson University, Philadelphia,
Pennsylvania).
A B
Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan
bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus
externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian
anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthinecapsule, berakhir pada
fossa Cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur
longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur
transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea
dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki
unsur unsur dari kedua fraktur longitudinal dan transversal.
Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan.
Sistem ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous
fraktur, yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur
tersebut tidak disertai dengan deficit nervus cranialis.
Fraktur condylar occipital (Posterior), adalah hasil dari trauma tumpul
energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada
pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan
37
Definisi
Hematom epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak
dengan duramater ( dikenal dengan istilah hematom ekstradural ). Hematom jenis
ini biasanya berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier yang
menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri-arteri meningens ( a.
Meningea media ). Fraktur tengkorak yang menyertai dijumpai pada 8% - 95%
kasus, sedangkan sisanya (9%) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa
ada fraktur (terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya
sementara). Hematom epidural yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang
terjadi.
38
Etiologi
1. Trauma kepala
2. Sobekan a/v. meningea mediana
3. Ruptur sinus sagitalis/sinus tranversum
4. Ruptur v. diplorica
Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya
fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri meningea
mediana.Fraktur tengkorak yang menyertainya dijumpai 85-95 % kasus, sedang
sisanya ( 9 % ) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur
terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara.
Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi,
umumnya disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur oksipital, parietal
atau tulang sfenoid.
Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi (1,3)
1. Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
2. Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam – 7 hari
3. Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7
39
Patofisiologi
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu
yang lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu
berhubungan dengan fraktur cranial linier. Pada kebanyakan pasien, perdarahan
terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau keduanya. Pembuluh darah
meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur melewati lekukan minengeal
pada squama temporal.
Gejala klinis
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari tria gejala;
a. Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan
perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral.
Lebih dari 50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan
ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera.
Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan dura dari
bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval lucid.
Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal. Interval
ini menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama
diderita karena trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena
herniasi transtentorial. Panjang dari interval lucid yang pendek
memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal dari arteri.
b. Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek
pembesaran massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai
penjendalan dapat juga menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral
peduncle pada permukaan tentorial.
c. Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan
mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif
40
Terapi
Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin,
dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan.
Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari
terjadinya pengumpulan darah yang baru.
- Trepanasi –kraniotomi, evakuasi hematom
- Kraniotomi-evakuasi hematom
Perdarahan epidural
Hematoma merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan duramater
(hematom ekstradural). Cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa
cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo-parietal yang disebabkan
oleh robeknya arteri meningea media akibat retaknya tulang tengkorak. Gumpalan
41
darah yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri, namun pada sepertiga kasus
dapat terjadi akibat perdarahan vena, karena tidak jarang perdarahan epidural
terjadi akibat robeknya sinus venosus terutama pada region parieto oksipital dan
pada fosa posterior. Walaupun secara relatif perdarahan epidural jarang terjadi
(0,5% dari seluruh penderita cedera kepala dan 9% dari penderita yang dalam
keadaan koma), namun harus dipertimbangkan karena memerlukan tindakan
diagnostik maupun operatif yang cepat. Perdarahan epidural bila ditolong segera
pada tahap dini, prognosisnya sangat baik karena kerusakan langsung akibat
penekanan gumpalan darah pada jaringan otak tidak terlalu lama. Keberhasilan
pada penderita perdarahan epidural berkaitan langsung dengan status neurologis
penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan perdarahan epidural dapat
menunjukkan interval lucid yang klasik atau keadaan dimana penderita yang
semula mampu bicara lalu tiba-tiba meninggal (talk and die). Keputusan perlunya
suatu tindakan operatif memang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari
seorang ahli bedah saraf.
Trauma
tumpulOs.
temporal
Fraktur fossa
cranii anterior
2.7 Sintesis
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mr. X mengalami trauma kepala tumpul derajat sedang disertai tanda herniasi
suspect epidural hematom dengan lucid interval dan fraktur basis cranii.
45
DAFTAR PUSTAKA
De Jong, Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Ed.2. Jakarta: EGC.
Djoko, Widayat dan Djoko Widodo. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi IV.
Jakarta: FKUI
46