Anda di halaman 1dari 11

Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

PROBLEMATIK SALMONELLOSIS PADA MANUSIA


TATI ARIYANTI dan SUPAR

Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114

ABSTRAK

Salmonellosis merupakan salah satu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri patogen Salmonella
spp. Rantai penularan salmonellosis berkaitan dengan sumber penularan ternak dan produknya atau food-
borne disease. Pada manusia dikenal adanya salmonellosis-tifoid (demam tifoid yang disebabkan oleh S.
typhi dan demam paratifoid yang disebabkan oleh S. paratyphi A dan B) serta salmonellosis-non tifoid
(disebabkan oleh Salmonella spp. terutama S. enteritidis dan S. typhimurium). Salmonellosis-tifoid dan
salmonellosis-non tifoid masih menjadi problem utama di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia.
Penyakit ini bersifat endemis hampir di semua kota besar di wilayah Indonesia dan terjadi terus meningkat
sepanjang tahun. Diperkirakan demam tifoid terjadi sebanyak 60.000 hingga 1.300.000 kasus dengan
sedikitnya 20.000 kematian per tahun. Strategi pencegahan penyakit yang efektif adalah deteksi kasus,
perbaikan sanitasi lingkungan, pencegahan kontaminasi dalam industri makanan, menekan angka reaktor
salmonellosis pada pengawasan ternak, pendidikan kesehatan masyarakat serta eliminasi sumber infeksi.
Vaksin oral yang dilemahkan, dikemas dalam kapsul enteric coated dan vaksin parenteral Vi polisakarida
kapsul (Typhim ViR) dapat diaplikasikan dengan efektif pada daerah endemik.
Kata kunci: Salmonellosis, zoonosis, food-borne disease, tifoid, manusia

PENDAHULUAN dan JUSUF, 1998). Secara ekonomik sangat


penting karena berkaitan dengan kasus food-
Salmonellosis merupakan penyakit yang borne disease pada ternak pangan (PORTILLO,
disebabkan oleh bakteri Salmonella spp. dan 2000). Penyakit ini bersifat endemis hampir di
dapat menyerang baik pada hewan maupun semua kota besar di wilayah Indonesia
manusia atau zoonosis (OFFICE (SOEWANDOJO et al., 1998). Diperkirakan
INTERNATIONAL DES EPIZOOTIS (OIE), 2000). demam tifoid terjadi sebanyak 60.000 hingga
Kebanyakan tipe Salmonella dapat 1.300.000 kasus dengan sedikitnya 20.000
menyebabkan penyakit pada manusia. kematian per tahun (SUWANDONO et al., 2005).
Salmonellossis pada manusia ada 2 macam Pada periode 1999-2003 salmonellosis-non
yaitu tifoid dan non tifoid. Salmonellosis-tifoid tifoid pada manusia yang terjadi di Indonesia
meliputi demam tifoid (thyphoid fever) dan diantaranya disebabkan oleh S. typhimurium, S.
demam paratifoid (parathyphoid fever) yang enteritidis, S. worthington, S. lexington, S.
disebabkan oleh masing-masing Salmonella agona, S. weltervreden, S. bovismorbificans, S.
typhi dan Salmonella paratyphi A dan B. dublin, S. newport, S11. (stellenbosch), S.
Sedang salmonellosis-non tifoid biasanya virchow, S. virginia, S. aequaticus, S. derby
disebabkan oleh serovar-serovar Salmonella dan S. javana (POERNOMO, 2004; SUDARMONO
yang tidak mempunyai hospes spesifik. et al., 2001).
Serovar ini bersifat patogen baik pada hewan Bakteri Salmonella dapat ditularkan dari
maupun manusia. Penularan penyakit ini hewan yang menderita salmonellosis atau
berasal dari hewan ke manusia melalui karier ke manusia, melalui bahan pangan telur,
makanan asal hewan yang terkontaminasi daging, susu, atau air minum dan bahan-bahan
Salmonella (food-borne disease) contohnya: S. lainnya yang tercemar oleh ekskresi hewan/
enteritidis, S. typhimurium (AGRICULTURAL penderita atau sebaliknya (animal and human
RESEARCH SERVICE (ARS), 2002; PORTILLO, carrier). Ekskresi ini terutama adalah keluaran
2000). dari saluran pencernaan berupa feses. Makanan
Demam tifoid merupakan masalah umum yang mengandung bahan dari telur tercemar
dan masalah kesehatan yang utama di negara Salmonella misalnya kue-kue, es krim,
berkembang termasuk di Indonesia (SUDJANA martabak dan lainnya, yang kurang sempurna

161
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

dimasak atau setengah matang, telur mentah washington (POPOFF dan MINOR, 1997;
yang dicampur pada hidangan penutup juga PORTILLO, 2000).
dapat sebagai sumber penularan Salmonella Pada umumnya infeksi Salmonella pada
(DARMOJONO, 2001). hospes terjadi karena pengaruh faktor
Dalam menjaga kesehatan masyarakat perlu kemampuan adaptasi serovar Salmonella pada
adanya kerjasama yang intensif antara Dinas tipe hospesnya. Berdasarkan pada faktor
Kesehatan dan kesehatan masyarakat yang tersebut terdapat 3 kelompok serovar penyebab
diawasi oleh dokter atau ahli kesehatan penyakit pada manusia dan atau hewan.
masyarakat (DARMOJONO, 2001). Pada Kelompok I merupakan serovar S. enterica
kesempatan ini disajikan rangkuman hasil yang bersifat patogen dan menyebabkan
penelitian aspek Salmonella spp. dan penyakit hanya pada manusia atau primata
salmonellosis, meliputi klasifikasi, hospes tingkat tinggi seperti S. typhi, S. paratyphi A,
spesifik dan jenis penyakit yang disebabkan B, C dan S. sendai (ARS, 2002). Kelompok ini
oleh Salmonella spp, permasalahan- merupakan agen penyebab demam tifoid dan
permasalahan yang ditimbulkan pada paratifoid. Pada umumnya demam tifoid
kesehatan manusia, kerugian materi dan menyebabkan demam tinggi dan kasus
finansial yang terjadi, cara diagnosa penyakit kematian yang tinggi. S. typhi dapat diisolasi
dan upaya pengendalian yang dapat dilakukan. dari darah, diare maupun urine. Sindrom
paratifoid kejadiannya lebih ringan
dibandingkan dengan demam tifoid (JAY,
ETIOLOGI PENYAKIT 1996). Pada daerah endemik, S. typhi dan S.
SALMONELLOSIS paratyphi A, B dapat ditularkan melalui
makanan maupun minuman (PORTILLO, 2000).
Genus Salmonella terdiri lebih dari 2600 Salmonellosis akibat serovar dalam
serovar/serotipe (PORTILLO, 2000). kelompok I dapat mengakibatkan infeksi yang
Berdasarkan rekomendasi dari WHO, genus bersifat sistemik dan dikenal dengan istilah
Salmonella dibagi menjadi 2 spesies yaitu S. salmonellosis-tifoid. Pada umumnya
enterica dan S. bongori. Spesies S.enterica mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
terdiri dari 6 subspesies yang didasarkan pada menyebabkan demam tifoid, jumlah bakteri
perbedaan karakter/reaksi biokimiawi dan atau dosis infeksi relatif rendah, masa inkubasi
sifat-sifat genomiknya (BRENNER et al., 2000). antara 10-20 hari, menimbulkan status karier
Keenam subspesies tersebut adalah I. S. dan penyakit dapat bersifat endemik. Infeksi
enterica subsp enterica, II. S. enterica subsp seringkali terjadi karena mengkonsumsi
salamae, IIIa. S. enterica subsp arizonae, IIIb. makanan atau minuman yang terkontaminasi
S. enterica subsp diarizonae, IV. S. enterica oleh manusia yang terinfeksi atau dari manusia
subsp houtenae dan VI. S. enterica subsp dengan status karier Salmonella. Penderita
indica (OIE, 2000). dengan status karier tidak menunjukkan gejala
Subspesies I adalah serovar yang dapat klinis, bakteri tetap ada dalam tubuh penderita
menyebabkan penyakit pada manusia dan selama periode yang panjang yaitu beberapa
hewan-hewan berdarah panas (contoh: serotipe bulan atau bertahun-tahun (GRAU, 1989;
enteritidis, typhimurium, typhi, paratyphi, PORTILLO, 2000).
sendai, dublin, gallinarum/ pullorum dan Kelompok II terdiri dari serovar-serovar
abortus suis). Subspesies II-VI seringkali yang mampu beradaptasi pada hewan yang
diisolasi dari vertebrata berdarah dingin atau spesifik seperti S. pullorum/ S. gallinarum pada
poikilotermal dan dari lingkungan (BRENNER ayam, S. abortus ovis pada domba, S. abortus
et al., 2000; PORTILLO, 2000). Salmonella equi pada kuda, S. dublin pada sapi dan S.
diklasifikasikan menjadi serovar berdasarkan choleraesuis pada babi. Walaupun serovar-
perbedaan susunan antigen somatik (O) atau serovar tersebut mempunyai hospes yang
lipopolisakarida dan antigen protein flagella spesifik beberapa diantaranya mampu
(H) (OIE, 2000). Beberapa nama serovar menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada
menunjukkan lokasi geografik ketika serovar hospes lain meskipun jarang terjadi, contohnya
tersebut pertama kali diisolasi, seperti S. S. dublin dapat diisolasi pada manusia, S.
amsterdam, S. congo, S. newyork, S. paratyphi B pernah diisolasi dari babi, anjing

162
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

maupun ayam (ARS, 2002; PORTILLO, 2000). seperti Indonesia dan Papua New Guinea yaitu
S. choleraesuis dilaporkan dapat menyebabkan 1:100 per tahun (PORTILLO, 2000).
gastroenteritis pada manusia. Salmonella ini Selama periode tahun 80-an, Indonesia
seringkali berada dalam sirkulasi darah dan merupakan salah satu negara dengan insiden
menyebabkan penyakit yang bersifat demam tifoid tertinggi di dunia (SUWANDONO
septikemia (ARS, 2002; GRAU, 1989; et al., 2005). Hasil dari studi epidemiologi dan
PORTILLO, 2000). survei rumah tangga memperlihatkan bahwa
Kelompok III merupakan serovar-serovar angka morbiditas untuk daerah semi pedesaan
Salmonella yang tidak mempunyai hospes adalah 358/100.000 penduduk dan angka ini
spesifik. Serovar ini bersifat patogen baik pada meningkat mencapai 810/100.000 penduduk
hewan maupun manusia dan menyebabkan untuk daerah perkotaan, disertai
salmonellosis. Penularan penyakit ini berasal kecenderungan peningkatan karena program
dari hewan ke manusia melalui makanan asal vaksinasi untuk penyakit ini telah dihentikan
hewan yang terkontaminasi Salmonella (food- sejak tahun 1980. (ARJOSO dan SIMANJUNTAK,
borne disease), contohnya: S. enteritidis, S. 1998; PUNJABI, 1998; SUDARMONO et al.,
typhimurium (ARS, 2002). Serovar-serovar 2001). Data dari Rumah Sakit yang menangani
pada kelompok ini umumnya menyebabkan penyakit infeksius di Jakarta melaporkan
gastroenteritis, infeksi terbatas pada saluran bahwa kasus demam tifoid terus meningkat,
pencernaan, biasanya tidak berada dalam dari 11,4% menjadi 18,9% selama tahun 1983-
sirkulasi darah dan menimbulkan masa 1990. Pada periode tahun 1991-1996 penyakit
inkubasi yang pendek (GRAU, 1989). Infeksi meningkat dari 22% sampai 36,5%. Insiden
Salmonella ini diketahui sebagai salmonellosis- demam tifoid yang dilaporkan oleh Pusat
nontifoid atau gastroenteritis (COOPER, 1994; Kesehatan dan Rumah Sakit di Jakarta
PORTILLO, 2000). menyebutkan bahwa penyakit terus meningkat
dari 92% menjadi 125% per 100.000 penduduk
per tahun selama tahun 1994-1996 (SUJUDI,
SALMONELLOSIS DAN MASALAHNYA 1998). Angka mortalitas penyakit menurun dari
PADA KESEHATAN MANUSIA 3,4% pada tahun 1981 menjadi 0,6% pada
tahun 1996, angka ini telah menunjukkan
Demam tifoid masih menjadi problem adanya penurunan berkaitan dengan adanya
utama di beberapa negara berkembang perbaikan fasilitas kesehatan (ARJOSO dan
termasuk Indonesia (SOEWANDOJO et al., SIMANJUNTAK, 1998; SUJUDI, 1998).
1998). Dari 16 juta kasus demam tifoid, Diperkirakan demam tifoid terjadi sebanyak
terdapat kematian sebesar 600.000 jiwa. 60.000 hingga 1.300.000 kasus dengan
Namun insiden salmonellosis-tifoid ini sedikitnya 20.000 kematian per tahun
cenderung lebih konstan, dengan kasus yang (SUWANDONO et al., 2005).
tidak sebanyak kasus salmonellosis-non tifoid. Hampir 80% kasus demam tifoid
Insiden salmonellosis-non tifoid terus ditemukan pada anak-anak/dewasa, usia antara
meningkat di seluruh dunia. Kasus tersebut 5 sampai 29 tahun (SUWANDONO et al., 2005).
tercatat mencapai 1,3 miliar dari kasus ARJOSO dan SIMANJUNTAK (1998) melaporkan
gastroenteritis akut atau diare dengan 13 juta bahwa kelompok yang mudah terpapar kasus
kematian (PORTILLO, 2000). Di USA kira-kira tersebut sebagian besar terjadi pada umur 3-19
sebanyak 5 juta kasus salmonellosis, 60-80 % tahun. Demam tifoid merupakan penyakit
diantaranya terjadi secara sporadik, tetapi yang serius di Jakarta Utara. Estimasi insiden
sebagian besar kasus terjadi berasal dari demam tifoid di Jakarta Utara sangat tinggi
makanan yang tercemar. Di Massachusetts, (200/100.000 untuk semua umur) sedang pada
50% lebih S. enteritidis dan S. typihimurium anak-anak lebih tinggi. Insiden demam tifoid
dapat diisolasi dari kasus yang terjadi terus meningkat, pada tahun 2001 sebesar 680/
(CENTERS FOR DISEASE CONTROL AND 100.000 penduduk dan pada tahun 2002
PREVENTION (CDC), 2001). Kejadian menjadi 1.426/100.000 penduduk. Insiden
salmonellosis tifoid di Amerika Selatan yaitu demam tifoid ini dianggap tinggi jika terjadi
1:650 per tahun, lebih rendah dibandingkan pada 100/100.000 penduduk atau lebih.
dengan negara-negara di benua yang berbeda (SUWANDONO et al., 2005). Sebagian besar

163
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

pasien merupakan pasien rawat jalan dan sirkulasi darah dan menyebar ke bagian tubuh
mendapat pengobatan antibiotika selama 2 lain dan dapat menyebabkan kematian jika
minggu. Pada kasus yang lebih parah tidak diobati dengan antibiotik yang tepat
membutuhkan rawat inap kira-kira 5 hari (CDC, 2001; GRAU, 1989; ABRAMOCHKIN,
sampai 2 minggu. (PUNJABI, 1998). Hampir 2004).
20% dari kasus tersebut lama perawatan di Pada hewan terutama ayam, salmonellosis
rumah sakit rata-rata 7 hari (SUWANDONO et dapat menyerang semua umur ayam namun
al., 2005). yang paling rentan adalah DOC. Anak ayam
Pada periode 1999-2003 di Balai Penelitian umur 1 hari lebih rentan terhadap infeksi
Veteriner (Balitvet) telah mengisolasi Salmonella dibandingkan dengan anak ayam
Salmonella spp. dari manusia sebanyak 59 umur 7 hari atau 4 minggu. Kadang-kadang
isolat. Isolat-isolat tersebut adalah: S. infeksi tersebut menyebabkan timbulnya
typhimurium, S. enteritidis, S. worthington, S. penyakit dan kematian yang sangat tinggi pada
lexington, S. agona, S. weltervreden, S. anak ayam umur kurang dari 1 minggu
bovismorbificans, S. dublin, S. newport, S11. (ALISANTOSA et al., 2000; DHILLON et al.,
(stellenbosch), S. virchow dan S. virginia 1999; LISTER, 1988). Hewan atau ternak yang
(POERNOMO, 2004). SUDARMONO et al., (2001) sedang bunting dan laktasi juga peka terhadap
melaporkan bahwa selama bulan April 1998 infeksi Salmonella (OIE, 2000). Pada ternak
sampai dengan bulan Maret 1999, atau ayam umur lebih dari 2 minggu yang
salmonellosis-non tifoid pada manusia yang terinfeksi Salmonella biasanya tidak
paling umum terjadi disebabkan oleh S. menimbulkan gejala klinis dan tidak
aequaticus, S. derby, S. enteritidis, S. javana, mematikan, tetapi ternak atau ayam yang
S. lexington, dan S. vircow. sembuh dari infeksi dapat menjadi karier
menahun yang sewaktu-waktu dapat
mengekskresikan bakteri Salmonella pada
Faktor kerentanan hospes terhadap infeksi fesesnya (GAST, 1997; POERNOMO et al.,
1997).
Tingkat kepekaan individu dapat menjadi Infeksi Salmonella tidak diketahui dengan
faktor predisposisi terjadinya infeksi seperti pasti, pada manusia pernah dilaporkan dosis
perubahan saluran pencernaan normal pada infeksi S. typhi adalah > 104 CFU/gr makanan
manusia akibat proses penyembuhan dari dan jumlah yang lebih besar ditemukan pada
penyakit, pengobatan dengan antibiotik atau serovar yang lain. Namun dosis infeksi yang
peningkatan pH lambung oleh antasid sehingga lebih rendah yaitu < 103 CFU/gr makanan juga
menghasilkan lingkungan yang baik untuk pernah dilaporkan menyebabkan wabah
pertumbuhan dan perkembangan bakteri salmonellosis pada manusia dengan gejala
(SERBENIUK, 2002). Tingkat keparahan enterokolitis (COOPER, 1994). Hal ini dapat
salmonellosis tergantung pada beberapa faktor. terjadi kemungkinan karena produk makanan
Selain kemampuan adaptasi serovar tersebut banyak mengandung lipid dan atau
Salmonella pada tipe hospesnya, jumlah gula yang dapat melindungi Salmonella dari
bakteri (dosis infeksi), status kekebalan pasien barrier lambung yang bersifat asam dan dapat
dan usia hospes juga sangat berperan (COOPER, membunuh Salmonella. Selanjutnya
1994). Salmonella dapat mencapai usus dan
Salmonellosis dapat menyerang semua menyebabkan gejala penyakit (VOUGHT dan
golongan umur dan seks pada manusia namun TATINI, 1998).
laki-laki lebih sering terkena infeksi daripada Sistem kekebalan humoral dan selular
perempuan (HADISAPUTRO, 1998). Namun kemungkinan tidak melindungi pada manusia
penderita usia yang lebih muda atau bayi, terhadap enterokolitis yang disebabkan oleh
orang-orang dengan usia lanjut dan orang- Salmonella, barangkali peranannya pada
orang dengan sistem imun lemah, pada kekebalan hospes hanya dimulai ketika bakteri
umumnya lebih sensitif sehingga dengan dosis tersebut berhasil mengadakan penetrasi ke
yang lebih rendah mereka dapat terinfeksi dan dalam mukosa. Beberapa serovar selain S.
penyakit tersebut dapat menjadi parah. Pada typhimurium seperti S. choleraesuis, S.
pasien ini, infeksi dapat meluas dari usus ke heidelberg dan S. enteritidis dapat menginvasi

164
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

mukosa intestinal dan seringkali menyebabkan LPS ini merupakan penyebab timbulnya gejala
keparahan penyakit dan septikemia pada demam pada penderita (SERBENIUK, 2002).
manusia. Sedangkan S. senftenberg merupakan Pada salmonellosis-tifoid biasanya sumber
salah satu serovar yang paling umum diisolasi penularan berasal dari individu dengan status
dari bahan pangan asal hewan tetapi jarang karier Salmonella dan kurang menjaga
sekali diisolasi dari manusia dan hewan kebersihan (ABRAMOCHKIN, 2004) Penularan
(COOPER, 1994). dapat meluas dari individu satu ke individu
yang lain terutama pada anak-anak prasekolah
maupun di rumah-rumah tangga (CDC, 2001).
Mekanisme infeksi Salmonella spp. pada Pada umumnya penularan tersebut terjadi di
manusia dan penularannya rumah-rumah sakit atau di pusat-pusat
kesehatan yang lain. (ARS, 2002). Lebih lanjut
Salmonella hidup dalam saluran DUGUID dan NORTH (1991) menyampaikan
pencernaan manusia maupun hewan dan bahwa infeksi tersebut menular dari pasien satu
bakteri tersebut dapat ditularkan melalui rute ke pasien yang lain atau dari perawat ke pasien
oral-fekal (CDC), 2001). Perubahan pada melalui tangan, pakaian, handuk, wastafel atau
saluran pencernaan normal pada hospes akibat tempat cuci tangan maupun debu. Sebanyak
pembedahan, terapi antibiotika atau 102 pasien dari Rumah Sakit Umum di Inggris
peningkatan pH lambung oleh antasid dapat menunjukkan gejala gastroenteritis, 150 pasien
menciptakan lingkungan yang baik untuk sebagai karier, dan 5 pasien terinfeksi S.
pertumbuhan dan perkembangan Salmonella typhimurium melalui wastafel, debu, tissue
(SERBENIUK, 2002). untuk tempat ekskretor dan sputum.
Patogenesis salmonellosis diawali oleh Sumber infeksi yang terjadi pada
ingesti bakteri Salmonella melalui makanan salmonellosis-non tifoid biasanya berhubungan
atau minuman terkontaminasi dan bakteri dengan mengkonsumsi makanan dan minuman
tersebut mengadakan penetrasi ke dalam sel yang terkontaminasi Salmonella atau kontak
epitelium intestinal sebelum menginduksi dengan feses manusia, unggas atau hewan lain
penyakit. Invasi ke dalam sel intestinal hospes yang terinfeksi (ABRAMOCHKIN, 2004).
menghasilkan perubahan morfologi pada sel Salmonella dapat berada di dalam makanan
yang berhubungan dengan eksploitasi dari akibat adanya kontaminasi silang atau melalui
sitoskeleton hospes. Setelah kontak dengan tangan yang tidak dicuci bersih setelah kontak
epithelium, Salmonella akan menginduksi dengan bakteri tersebut. Pada ayam Salmonella
degenerasi mikrovili enterosit. Struktur dapat ditularkan melalui infeksi transovarian
mikrovilar akan berkurang diikuti oleh ke dalam telur ayam sebelum telur terbentuk
mengkerutnya membran bagian dalam di dengan sempurna (SERBENIUK, 2002).
tempat kontak antara sel bakteri dan sel hospes. Beberapa makanan yang dimasak kurang
Mengkerutnya membran disertai dengan sempurna atau setengah matang juga dapat
makropinositosis profus, sebagai jalan sebagai sumber S. enteritidis. Makanan yang
masuknya bakteri ke dalam sel hospes. Ketika terkontaminasi tersebut dapat berasal dari
proses masuknya bakteri sempurna, Salmonella daging ayam mentah, daging sapi, telur dan
terletak dan bermultiplikasi di dalam endosom produk olahannya, susu yang tidak
(GOOSNEY et al., 1999). dipasteurisasi dan produk olahannya seperti
Sitoskeleton selanjutnya akan kembali pada keju. Sayuran dan buah-buahan yang
distribusi yang normal. Seluruh proses terjadi terkontaminasi juga dapat sebagai sumber
hanya dalam beberapa menit. Prostaglandin infeksi. Kontaminasi tersebut dapat
yang disekresikan pada proses inflamasi diperantarai oleh vektor mekanik atau biologik
menyebabkan dilepaskannya elektrolit dan seperti lalat, rodensia, reptil, iguana dan lizard
menarik air ke dalam lumen usus sehingga yang menderita karier Salmonella kronis atau
terjadi diare (adanya enterotoksin non pakan ternak. Salmonella juga dapat ditemukan
inflamatori dalam usus besar). Dinding sel di tanah maupun air (CDC, 2001; SERBENIUK,
bakteri akan menghasilkan endotoksin yang 2002). Makanan yang terkontaminasi biasanya
tersusun dari lipopolisakarida (LPS). Diduga tidak menunjukkan perubahan bentuk, warna
maupun bau (ABRAMOCHKIN, 2004).

165
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

Gejala klinis akibat salmonellosis KERUGIAN MATERI DAN FINANSIAL

Pada manusia dapat terjadi demam enterik Biaya pengobatan pasien rawat jalan untuk
akibat infeksi S. typhi sedangkan infeksi kasus demam tifoid ringan diperkirakan sekitar
Salmonella spp. yang lain yang adaptasi US $50-150, sedang kasus rawat inap tanpa
utamanya pada manusia menimbulkan gejala komplikasi sekitar $100-150 dan kasus
klinis yang hampir serupa. Masa inkubasi komplikasi sebesar US $250 atau lebih
berlangsung sekitar 7-28 hari atau kira-kira 14 (PUNJABI, 1998). Besarnya biaya pengobatan
hari. Penyakit diawali dengan kenaikan suhu tersebut dapat membebani ekonomi keluarga.
tubuh disertai dengan rasa kurang enak badan Diperkirakan rata-rata biaya rawat inap hampir
dan sakit kepala. Demam dapat mencapai sebesar 4 bulan pendapatan keluarga,
40oC. Pada umumnya sakit pada bagian perut, sedangkan biaya rawat jalan sebesar 50% dari
tubuh lemah, sakit dan tidak nafsu makan. pendapatan keluarga perbulan (SOEWANDONO
Diare dan konstipasi dapat terjadi. Bintik et al., 2005). Perkiraan tersebut tergantung
merah kadang-kadang muncul di permukaan pada pilihan antibiotika yang digunakan,
kulit. Pada stadium awal infeksi S. typhi tidak kemampuan pasien, pilihan rumah sakit
dapat dideteksi pada feses. Selama periode (pemerintah atau swasta), respon pasien
invasi aktif, organisme dapat diisolasi dari terhadap pengobatan, preferensi dokter untuk
darah. Setelah terinfeksi, penderita dapat memulangkan pasien (cepat atau beberapa hari
bersifat karier Salmonella dalam tubuhnya, setelah demam turun). Sebagian besar pasien
bakteri tersebut dapat diekskresikan sewaktu- demam tifoid tidak mampu melakukan
waktu dalam fesesnya selama beberapa tahun aktivitas normal selama 20-30 hari sehingga
(GRAU, 1989; PORTILLO, 2000). memerlukan bantuan dari orang lain akibatnya
Infeksi oleh S. choleraesuis sering aktivitas 1 atau 2 orang anggota keluarga
menyebabkan septikemia. Pada pasien dewasa terganggu untuk memenuhi kebutuhan pasien
yang menderita septikemia seringkali tidak tersebut. Selain itu diet khusus, transportasi
memperlihatkan gejala klinis pada bagian dan lain-lain akan menambah hilangnya
perut, namun pada pasien anak-anak dapat pendapatan keluarga. Diperkirakan sekitar US
mengalami komplikasi gastroenteritis. Gejala $60 juta pendapatan berkurang untuk biaya
lain yang tampak adalah demam, kedinginan, demam tifoid (PUNJABI, 1998).
rasa tidak enak badan, sakit pada bagian dada, Vaksin yang sederhana, efektif, murah
punggung dan perut. Infeksi dapat terjadi pada dengan efek samping yang rendah serta
jaringan intestinal dan sekitarnya (peritoneum, program pendidikan masyarakat dapat
vesika urinaria) maupun organ internal lain, menurunkan beban penyakit demam tifoid
seperti: paru-paru, jantung dan tulang (GRAU, (PUNJABI, 1998). Sementara itu NGUYEN dan
1989). LESCURE (1998) melaporkan bahwa
Gejala klinis pada kasus gastroenteritis pengobatan standar demam tifoid menelan
keracunan makanan (food poisoning) bersifat biaya sebesar Rp 5.498.776,00 untuk
khas dengan masa inkubasi antara 5-72 jam mengobati 22 pasien atau Rp 249.944,00 per
tetapi gejala umumnya terjadi dalam waktu 12- pasien. Sedang program vaksinasi
36 jam setelah menelan makanan atau membutuhkan dana sebesar Rp 2.127.740,00
minuman yang terkontaminasi. Diawali dengan untuk memberikan vaksinasi kepada 260 orang
diare, dehidrasi, sakit perut, mual-mual dan dengan risiko per tahun terkena penyakit
muntah. Umumnya gejala berlangsung selama sebesar 23%. Terdapat selisih pembiayaan
2-7 hari seringkali penderita sembuh tanpa sebesar Rp 3.371.036,00. Secara singkat
pengobatan antibiotika. Salmonella umumnya perusahaan menghemat biaya sebesar Rp
diekskresi dalam jumlah besar dalam feses 1,58,00 untuk setiap Rp 1,00 yang digunakan.
pada awal terjadinya keracunan. Selanjutnya Dengan demikian terlihat bahwa vaksin
jumlah Salmonella yang diekskresi menurun demam tifoid dapat menghemat biaya pada
dan status karier pada infeksi ini umumnya pengelolaan pasien demam tifoid pada
jarang terjadi dibandingkan dengan infeksi lingkungan pekerjaan atau lainnya.
oleh S. typhi. (CDC, 2001; GAST, 1997; GRAU,
1989).

166
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

DIAGNOSA SALMONELLOSIS lebih spesifik dibandingkan dengan metode


konvensional (FENG, 2001).
Diagnosis salmonellosis pada manusia Konfirmasi diagnosa pada demam tifoid
didasarkan pada isolasi organisme dari sampel dilakukan juga dengan pemeriksaan tes Widal
feses, muntahan, ulas rektal, darah dan cairan (DEY et al., 1998; SUDARMONO et al., 1998).
tubuh penderita atau bahan makanan yang Uji tersebut dapat dimanfaatkan untuk
dikonsumsi penderita sebelum sakit (telur, mengetahui titer antibodi terhadap S. typhi dari
daging, susu atau bahan olahannya), air minum sampel darah penderita akut dan karier
atau jaringan yang terinfeksi untuk mendeteksi (PUNJABI, 1998). Deteksi Ig M terhadap S.
kemungkinan adanya Salmonella typhi pada manusia dapat juga dilakukan
(DARMOJONO, 2001; OIE, 2000; PUNJABI, dengan metoda dipstick. Metoda ini merupakan
1998; SOEWANDOJO et al., 1998). Spesimen metoda baru yang sederhana dan praktis karena
fekal dapat dikoleksi pada saat terjadi diare. pemakaiannya tanpa membutuhkan alat dan
Spesimen darah dapat diambil pada kasus ketrampilan khusus serta dapat diterapkan pada
septikemia (SERBENIUK, 2002). Salmonella perawatan kesehatan masyarakat di tingkat
diisolasi dengan bermacam-macam metoda. pedesaan (HATTA et al., 1998).
Isolasi Salmonella secara konvensional
dilakukan melalui beberapa tahap yaitu tahap
UPAYA-UPAYA PENGENDALIAN
preenrichment dan enrichment yang
MASALAH SALMONELLOSIS
mengandung bahan media penghambat untuk
pertumbuhan bakteri selain Salmonella
Strategi pencegahan demam tifoid yang
sedangkan kultur Salmonella pada media agar
selektif digunakan untuk membedakan dari efektif adalah deteksi kasus yang meliputi
bakteri saluran pencernaan yang lain. Uji surveilan penyakit, deteksi dan pengobatan
kasus (akut dan konvalesen), deteksi dan
identifikasi dapat dilakukan dengan uji
biokemik dan uji serologi/serotiping (OIE, kontrol karier kronis. Disamping itu
2000). Isolasi dan identifikasi Salmonella pengendalian jangka panjang dengan perbaikan
dengan menggunakan metode konvensional sanitasi lingkungan (air minum yang aman,
memerlukan waktu selama 7 hari untuk hasil WC bersih, pengawasan restoran, peningkatan
positif sedangkan apabila hasil negatif kebersihan makanan, pencegahan kontaminasi
dalam industri makanan seperti es dan susu).
diperlukan waktu sekitar 3-4 hari (FENG,
2001). Bila mungkin dengan pemeriksaan dan
Konfirmasi diagnosa laboratorium secara pengawasan ternak untuk mendapatkan ternak
yang sehat dan bebas Salmonella sebelum
konvensional kurang memuaskan karena
diperlukan banyak bahan media, alat, beaya dipotong. Pendidikan kesehatan masyarakat
dan tenaga serta memerlukan waktu yang mempunyai peranan penting terutama
relatif lama untuk hasil positif (FENG, 2001; kebersihan perorangan, seperti mencuci tangan
KORBSRISATE et al., 1998). Oleh karena itu sebelum makan atau setelah menyiapkan
makanan di tempat-tempat umum atau restoran
akhir-akhir ini telah banyak dikembangkan
beberapa metode deteksi cepat terhadap dan vaksinasi individu atau populasi yang
Salmonella seperti enzyme-linked mempunyai resiko (DEY et al., 1998;
HADISAPUTRO, 1998; SOEWANDOJO et al.,
immunosorbent assay (ELISA), plasmid DNA
elektroforesis, immunodifusi, immuno- 1998). Eliminasi sumber infeksi (pasien karier)
fluorescence, immunokromatografi, metode perlu perhatian khusus karena bakteri
Salmonella sulit dibebaskan pada penderita
hibridisasi asam nukleat, polymerase chain
reaction (PCR), electroimmunoassay, karier atau lingkungan. Namun demikian
immunomagnetik presipitasi dan lysotyping karena sumber utama infeksi pada manusia,
bacteriophage (DE PAULA et al., 2002; salah satu diantaranya adalah ayam dan
SERBENIUK, 2002; YEH et al., 2002). Beberapa peternakan, maka menurunkan jumlah
keunggulan metode deteksi cepat adalah waktu Salmonella pada hewan akan berguna untuk
pemeriksaan yang lebih cepat, hasil mengurangi paparan bakteri ke manusia
pemeriksaan yang lebih tepat, lebih sensitif dan (RABSCH et al., 2001; ABRAMOCHKIN, 2004).

167
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

Vaksin anti salmonellosis yang efektif Penggunaan antibiotika untuk terapi


dengan efek samping yang rendah menjadi salmonellosis
menarik secara potensial untuk disertakan pada
program imunisasi rutin guna mengatasi Pemberian antibiotika dengan cara yang
demam tifoid di negara-negara berkembang tepat pada penderita dengan atau tanpa
(CLEMENS, 1998; PUNJABI, 1998). Vaksin sel komplikasi pada demam tifoid berperan
bakteri utuh konvensional yang diberikan penting pada kesembuhan mereka (FABRA-
secara parenteral telah lama dikenal dan CORONEL, 1998). Aplikasi antibiotika perlu
digunakan di Indonesia. Karena efek samping dipertimbangkan dalam penentuan jenis
negatif penggunaan vaksin oral pada bayi-bayi antibiotika karena Salmonella bersifat
merugikan maka sejak tahun 1980-an intraseluler, oleh karena itu sebaiknya memilih
penggunaannya dihentikan. Pada saat ini obat yang dapat mengadakan penetrasi ke
terdapat dua vaksin oral yang dilemahkan dalam sel. (DARMOJONO, 2001). Terapi
dalam formulasi kapsul enteric coated yang antibiotika dalam pengelolaan demam tifoid
memiliki efisiensi 42-53% dan vaksin untuk beberapa waktu yang lalu telah berhasil,
parenteral Vi polisakarida kapsul (Typhim namun sejak tahun 1990 semakin banyak
ViR), yang mengandung antigen Vi S. typhi ditemukan galur S. typhi yang resisten terhadap
yang dimurnikan dan memiliki efisiensi 64- kebanyakan antibiotika yang sebelumnya
80% (SIMANJUNTAK, 1998). Beberapa sifat bermanfaat (IVANOFF, 1998). Penggunaan
vaksin polisakarida Vi adalah memberikan fluorokuinolon dengan daya kerja panjang,
proteksi moderat sekurangnya 3 tahun setelah fleroksasin menunjukkan kerja yang efektif
vaksinasi, memiliki efek samping minimal, dengan dosis tunggal 400 mg fleroksasin sehari
membutuhkan dosis tunggal, vaksin tersebut selama 7 hari (NELWAN et al., 1998).
tidak memerlukan penyimpanan dengan suhu Fluorokuinolon lebih disukai karena cepatnya
rendah yang ketat, teknologi produksi Vi respon pengobatan dan tidak ada efek
tersebut secara potensial dapat ditransfer ke penekanan pada sumsum tulang (NELWAN,
beberapa negara berkembang (CLEMENS, 1998). Uji antibiogram dari isolat S. typhi dan
1998). S. paratyphi A menunjukkan sensitif terhadap
Kontrol salmonellosis-non tifoid pada antibiotika kloramfenikol, kotrimoksazol,
umumnya sama dengan demam tifoid yang amoksisilin, sefataksin, seftriakson, sefmetasol,
melibatkan perbaikan kebersihan teknik di siprofloksasin dan gentamisin (AMDANI, 1998;
tempat pemotongan, pengawasan teknik PARWATI dan SAMAUN, 1998). Pengobatan
pengolahan makanan (memasak, penyimpanan, selama 7 hari atau lebih lama dengan
menggunakan alat-alat yang steril) dan Azitromisin (AZM) dan ofloxacin (OFL)
mencuci tangan setelah kontak dengan hewan terbukti efektif untuk demam tifoid di berbagai
atau sumber infeksi yang lain (SERBENIUK, negara termasuk Vietnam. AZM mempunyai
2002). Vaksinasi pada ternak terhadap aktivitas sedang terhadap S. typhi tetapi dapat
Salmonellosis di Indonesia tidak mencapai konsentrasi intraseluler yang tinggi
direkomendasikan. (Antibodi yang terbentuk dan tidak terdapat gejala dari efek samping
karena vaksinasi dapat “mengacaukan” obat (LY et al., 1998). Mecillinam (asam 6-
pemeriksaan Pullorum test yang rutin amidinopenisilanat) dan Cefixime dapat
dilakukan akibat adanya reaksi silang antara dipergunakan sebagai alternatif yang aman dan
Salmonella spp. yang terdapat dalam Grup D). efektif untuk pengobatan penderita demam
Hal ini juga karena sistem proteksi humoral tifoid apabila terjadi kontraindikasi untuk
yang tidak bagus, karena yang bekerja Cell penggunaan obat yang lazim dipakai atau pada
Mediated Immunity (CMI) (ARIYANTI et al., kasus-kasus S. typhi yang resisten terhadap
2004). berbagai jenis obat (JUSUF dan SUDJANA, 1998;
MATSUMOTO et al., 1998).

168
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

Terapi pada demam non tifoid adalah ALISANTOSA B., H. L. SHIVAPRASAD, A. S. DHILLON,
istirahat, pemberian cairan melalui infus untuk O. SCHABERG and D. BANDLI, 2000.
menanggulangi dehidrasi, menurunkan demam Pathogenicity of Salmonella enteritidis phage
dan meredakan sakit kepala. Antibiotik yang types 4, 8 and 23 in specific pathogen free
chicks. Avian Path.. 29: 583-592.
diberikan cenderung akan merugikan pada
bayi, orang tua dan pasien dengan status AMDANI, S.K., 1998. Antibiotic resistance pattern of
kekebalan lemah. Pada orang dewasa dapat pediatric typhoid fever patients at Harapan
diberikan fluoroquinolone, antibiotika ini dapat Kita children and maternity hospital, Jakarta.
menyebabkan mual-mual, muntah dan diare 1996. Med. J. of Indonesia.70: 253-256.
pada beberapa orang tetapi tidak umum terjadi. ARIYANTI, T. SUPAR dan A. PRIADI, 2004.
Cefriaxone adalah antibiotika yang aman Salmonellosis. Disampaikan pada Pelatihan
digunakan untuk anak-anak tetapi resistensi Pengendalian, Pencegahan dan Pemberantasan
terhadap obat ini tampaknya mulai muncul. S. Penyakit Hewan Menular Bagi Dokter Hewan
typhimurium tipe DT 104 telah diketahui dan Dokter Hewan Pos Keswan Berprestasi
Tingkat Nasional di Balitvet, Bogor, pada
resisten terhadap ciprofloxacin, trimethoprin,
tanggal 6 Oktober 2004.
ampisilin, kloramfenikol, streptomisin,
sulfonamide dan tetrasiklin (SERBENIUK, ARJOSO, S. dan C.H. SIMANJUNTAK, 1998. Typhoid
2002). and Salmonellosis in Indonesia. Med. J. of
Indonesia.70: 20-23.
PENUTUP BRENNER, F.W., R.G. VILLAR, F.J. ANGULO, R.
TAUXE dan B. SWAMINATHAN, 2000.
Salmonellosis merupakan salah satu Salmonella Nomenclature. J. of Clin.
penyakit zoonosis yang penting, rantai Microbiol. 38 (7): 2465-2467.
penularan berkaitan dengan sumber penularan CENTERS FOR DISEASE CONTROL and PREVENTION,
ternak dan produknya atau food-borne disease. 2001. Salmonellosis (Non Typhoid). Guide to
Pada manusia dikenal adanya salmonellosis- Surveillance and Reporting. Massachusetts
tifoid (demam tifoid yang disebabkan oleh S. Department of Public Health, Division of
typhi dan demam paratifoid yang disebabkan Epidemiology and Immunization.http://www.
oleh S. paratyphi A, B) serta salmonellosis-non mass.gov/dph/cdc/gsrman/salmon.pdf.
tifoid (disebabkan oleh Salmonella spp. CLEMENS, J., 1998. Vi vaccine: options for assessing
terutama S. enteritidis dan S. typhimurium). effectiveness. Med. J. of Indonesia.70: 89-93.
Strategi pencegahan demam tifoid dan non COOPER, G.L., 1994. Salmonellosis-infection in man
tifoid yang efektif adalah deteksi kasus, and the chicken: pathogenesis and
perbaikan sanitasi lingkungan, pencegahan development of live vaccines-a review. Vet.
kontaminasi dalam industri makanan, menekan Bull. 64(2):124.
angka reaktor salmonellosis pada pengawasan
DE PAULA, A.M.R., D.S. GOLLI, M. LANDGRAF,
ternak, pendidikan kesehatan masyarakat serta M.T. DESTRO dan B.D.G. DE MELOFRANCO,
eliminasi sumber infeksi. Penggunaan vaksin 2002. Detection of Salmonella in foods using
oral inaktif yang efektif, dikemas dalam kapsul Tecra Salmonella VIA and Tecra Salmonella
enteric coated dan vaksin parenteral Vi UNIQUE Rapid Immunoassays and a culture
polisakarida kapsul (Typhim ViR) dapat procedure. J. of Food Protect 65 (3):552.
diaplikasikan pada daerah endemik. DEY, A.B., R. CHAUDRY, M. GOPINATH, D.S.
CHANDEL dan B.V. LAXMI, 1998. Evaluation
DAFTAR PUSTAKA of PCR detection of S. typhi DNA in the
diagnosis of clinically suspected typhoid
fever. Med. J. of Indonesia.70: 155-159.
ABRAMOCHKIN, G., 2004. Salmonella spp. In
Salmonella background information. Email: DHARMOJONO., 2001. Penyakit Tifus
georg@vbi.vt.eduorpathinfo@vbi.vt.edu. (Salmonellosis). Dalam Penyakit menular dari
binatang ke manusia. Edisi Pertama. Milenia
AGRICULTURAL RESEARCH SERVICE, 2002. A focus
Populer. Hal.111-121.
on Salmonella. http://www.nal.usda. gov/
fsirio/research/fsleets/fsheet10.htm. DHILLON, A.S., B. ALISANTOSA, H.L. SHIVAPRASAD,
O. JACK, D. SCHABERG dan D. BANDLI, 1999.
Pathogenicity of Salmonella enteritidis phage

169
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

types 4, 8 and 23 in broiler chicks. Avian Dis. flagellin for diagnosis of Salmonella
43:506-515. paratyphii A infection. Med. J. of
Indonesia.70: 273.
DUGUID, J.P. dan R.A.E. NORTH, 1991. Eggs and
Salmonella food-poisoning: an evaluation. J. LISTER, S.A., 1988. Salmonella enteritidis infection
Med. Microbiol. 34: 65-72. in broilers and broiler breeders. Vet. Rec.
123:350.
FABRA-CORONEL, R., 1998. Complications of
typhoid fever and its antibiotic regimen in a LY, N.T., N.T. CHINH, C.M. PARRY, T.S. DIEP, J.
university hospital. Med. J. of Indonesia.70: WAIN dan N.J. WHITE, 1998. Randomised trial
282. of azithromycin versus ofloxacin for the
treatment of typhoid fever in adults. Med. J. of
FENG, P., 2001. Rapid methods for detecting Indonesia.70: 202-206.
foodborne pathogens. In Bacteriological
Analytical Manual Online. FDA-CFSAN MIYAMOTO, Y., A. IKEMOTO, A. WAKABAYASHI, J.
BAM. 10th Ed. PITT, T. HIRANO, H. NISHIO dan S. TAWARA,
1998. Antibacterial activity of cefixime
GAST, R.K., 1997. Paratyphoid infections. In against Salmonella typhi and applicability of E
Disease of Poultry. Tenth Edition. (Eds: B.W. test. Med. J. of Indonesia.70: 189-193.
CALNEK, H.J. BARNES, C.W. BEARD, L.R.
MCDOUGALD, and Y.M. SAIF. Iowa State NELWAN, R.H.H., 1998. Simultaneous typhoid and
university Press, ames, Iowa, USA. pp. 97- dengue hemorrhagic fever a case report. Med.
112. J. of Indonesia.70: 287.
GOOSNEY, D.L., D.G. KNOECHEL dan B.B. FINLAY, NELWAN, R.H.H., B. SETIAWAN, J. GUNAWAN,
1999. Enteropathogenic E. coli, Salmonella, HENDARTO dan I. ZULKARNAIN, 1998. Short
and Shigella: masters of host cell cytoskeletal course treatment of typhoid fever with 400 mg
exploitation. Emerging Infect. Dis. 1999; 5(2): fleroxacin OD a preliminary report. Med. J. of
216 - 223. Indonesia.70: 286.
GRAU, F. H., 1989. Salmonella: Physiology, NGUYEN, V. dan S. LESCURE, 1998. Cost benefit
pathogenicity and control. In Foodborne study with Vi vaccine. Med. J. of
Microorganisms of Public Health Indonesia.70: 94.
Significance. Fourth Ed. (Eds: BUCKLE K. A.,
J. A. DAVEY. M. J. EYLES, A.D. HOCKING, K. OFFICE INTERNATIONAL DES EPIZOOTIS., 2000.
G. NEWTON, and E. J. STUTTARD). AIFST Salmonellosis. In Manual of standards for
(NSW Branch) Food Microbiology Group. pp diagnostic test and vaccines. World
85-96. organization for animal health, pp 691-699.

HADISAPUTRO, S., 1998. Prevention and control of PARWATI, I. dan E. SAMAUN, 1998. Multidrug
typhoid fever. Med. J. of Indonesia.70: 117- resistance Salmonella in DR. HASAN SADIKIN
123. General Hospital - Bandung. Med. J. of
Indonesia.70: 194.
HATTA, M., L. CHAIRUDIN dan L. SMITS, 1998.
Evalution of Salmonella typhi dipstick for POERNOMO, S., I. RUMAWAS, dan A. SAROSA, 1997.
detection of IgM antibodies from suspect Infeksi Salmonella enteritidis pada anak ayam
typhoid fever pasients. Med. J. of pedaging dari peternakan pembibit : Suatu
Indonesia.70: 208. laporan kasus. JITV, Vol. 2, No.3 hal 194-197.

IVANOFF, B., 1998. Typhoid fever:current and future POERNOMO., S., 2004. Variasi Tipe Antigen
contrl approaches. Med. J. of Indonesia.70: Salmonella pullorum yang ditemukan di
81-82. Indonesia dan penyebaran serotipe Salmonella
pada ternak (PO). Wartazoa Vol. 14., No. 4.,
JAY, J. M., 1996. Foodborne gastroenteritis caused Hal:143-159.
by Salmonella and Shigella. In Modern Food
Microbiology Fifth Edition. Litton Euditorial POPOFF, M.Y. dan L.L. MINOR., 1997. Antigenic
Publishing Inc. New York. pp 507-543. formulas of the Salmonella serovars. WHO
collaborating centre for reference and research
JUSUF, H. dan P. SUDJANA, 1998. Mecillinam for the on Salmonella. Institute Pasteur, 28 rue du Dr.
typhoid fever. Med. J. of Indonesia.70: 195. Roux, 75724 Paris Cedex 15, France.
KORBSRISATE, S., S. SARASOMBATH, P. EKPO, N. PORTILLO, F. G., 2000. Molecular and cellular
PRAAPORN, M. HOSSAIN dan S. MCKAY, 1998. biology of Salmonella pathogenesis in
Detection of Ig M antibody against phase 1 microbial foodborne disease: Mechanisms of

170
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis

pathogenesis and toxin synthesis First Edition. other Salmonellosis, Taipei, Taiwan. pp. 25-
(Eds: J.W. Cary, J.E. Linz, D. Bhatnagar). 30.
Technomic Publishing Company., Inc. 851
New Holland Avenue Box 3535. Lancester, SUDJANA, P. dan H. JUSUF., 1998. Papillitis in a
Pennysylvania 17604 USA, pp 3-7. typhoid fever patient with toxic
encephalopathy and septic shock: arare
PUNJABI, N.H., 1998. Cost evaluation of typhoid complication? Med. J. of Indonesia.70: 217.
fever in Indonesia. Med. J. of Indonesia.70:
90-93. SUJUDI, 1998. Pidato pada pembukaan The Third
Asia Pacific Symposium on Typhoid Fever
RABSCH, W, H. TSCHAPE, dan A.J. BAUMLER, 2001. and Other Salmonellosis and The Seventh
Non-typhoidal salmonellosis: emerging National Congress of The Indonesian Society
problems. Microbes and Infection. 3(3):237- for Microbiology. Denpasar, Indonesia, 8
47. Desember 1997. Med. J. of Indonesia.70: 2.
SERBENIUK, F., 2002. Non-typhoidal Salmonella. SUWANDONO, A.M. DESTRI dan C. SIMANJUNTAK,
http://www.wou.edu/las/natsci_math/biology/ 2005. Salmonellosis dan Surveillans demam
boomer/Bio440/emerging2002/Salmonella2 tifoid yang disebabkan Salmonella di Jakarta
Utara. Disampaikan dalam Lokakarya Jejaring
SIMANJUNTAK, C.H., 1998. The development of Intelijen Pangan – BPOM RI, Jakarta, 25
typhoid vaccine in Indonesia. Med. J. of Januari 2005.
Indonesia.70: 114-116.
VOUGHT, K.J. dan S.R. TATINI, 1998. Salmonella
SOEWANDOJO, E. SUHARTO dan U. HADI, 1998. enteritidis contamination of ice cream
Typhoid fever in Indonesia clinical picture, associated with a 1994 multistate outbreak. J.
treatment and status after therapy. Med. J. of of Food Protection. 61(1): 5-10.
Indonesia.70: 95-104.
YEH, K., C. TSAI, S. CHEN dan C. LIAO, 2002.
SUDARMONO, P., S. POERNOMO dan I. SUHADI, 2001. Comparison between VIDAS Automatic
The current management of Salmonella typhi Enzyme-linked fluorescent Immunoassay and
and Salmonella in Indonesia. In Typhoid fever culture method for Salmonella recovery from
and other Salmonellosis. First Ed. (Eds: OU pork carcass spongo samples. J. of Food
J.T., C-H. CHIU dan C. CHIU). The Fourth Protect. 65(10):1656.
International Symposium on thypoid fever and

171

Anda mungkin juga menyukai