EKSPERIMAN DASAR
(PENGARUH RUTE PEMBERIAN TERHADAP OBAT SEDATIF HIPNOTIK)
BAB I
PENDAHULUAN
1. Mengenal cara-cara pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat pada
mencit
2. Menyadari pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang timbul
3. Mengetahui respon sedasi pada mencit
4. Memahami awal mula kerja dan durasi efek sedasi
I.3 Prinsip Percobaan
DASAR TEORI
Hewan mencit atau Mus musculus adalah tikus rumah biasa termasuk kedalam ordo rodentia dan
family Muridae. Mencit dewasa biasa memilliki beratantara 25-40 gram dan mempunyai
berbagai macam warna. Mayoritas mencitlaboratorium adalah strain albino yang mempunyai
warna bulu putih dan matamerah muda.Mencit merupakan hewan yang tidakmempunyai kelenjar
keringat, jantung terdiri dari empat ruang dengan dindingatrium yang tipis dan dinding ventrikel
yang lebih tebal. Percobaan dalammenangani hewan yang akan diuji cenderung memiliki
karakteristik yang berbeda,seperti mencit lebih penakut dan fotofobik, cenderung sembunyi dan
berkumpuldengan sesama, mudah ditangani, lebih aktif pada malam hari ( nocturnal ),aktifitas
terganggu dengan adanya manusia, suhu normal 37,4°C, laju respirasi163/menit sedangkan pada
hewan tikus sangat cerdas, mudah ditangani, tidak bersifat fotofobik, lebih resisten terhadap
infeksi, kecenderungan berkumpuldengan sesama sangat kurang atau diperlakukan secara kasar
akan menjadi liardan galak, suhu normal 37,5°C, laju respirasi 210/menit pada mencit dan tikus
persamaannya gigi seri pada keduanya sering digunakan untuk mengerat /menggigit benda-benda
yang keras. Dengan mengetahui sifat-sifat karakteristikhewan yang akan diuji diharapkan lebih
menyesuaikan dan tidak diperlakukantidak wajar. Didalam suatu dosis yang dipakai untuk
penggunaan suatu obat harussesuai dengan data mengenai penggunaan dosis secara kuantitatif,
dikarenakan bila obat itu diaplikasikan kepada manusia dilakukan perbandingan luas permukaan
tubuh.
Rute pemberian obat salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik
lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh
karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah
fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah
obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari
rute pemberian obat.
Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien.
Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang
diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk
sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika
obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang
bekerja setempat misalnya salep.
Cara-cara pemberian obat untuk mendapatkan efek terapeutik yang sesuai adalah sebagai
berikut:
Intravena
Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, “onset
of action” cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang menyebabkan
iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus kontinu untuk obat
yang waktu-paruhnya (t1/2) pendek).
Intravena (i.v), yaitu disuntikkan ke dalam pembuluh darah. Larutan dalam volume
kecil (di bawah 5 ml) sebaiknya isotonis dan isohidris, sedangkan volume besar
(infuse) harus isotonis dan isohidris.
Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, onset of action
segera.
Obat bekerja paling efisien, bioavilabilitas 100%
Obat harus berada dalam larutan air, bila emulsi lemak partikel minyak tidak
boleh lebih besar dari ukuran partikel eritrosit, sediaan suspensi tidak
banyak terpengaruh
Larutan hipertonis disuntikkan secara lambat, sehingga sel-sel darah tidak
banyak berpengaruh.
Zat aktif tidak boleh merangsang pembuluh darah, sehingga menyebabkan
hemolisa seperti saponin, nitrit, dan nitrobenzol.
Sediaan yang diberikan umumnya sediaan sejati.
Adanya partikel dapat menyebabkan emboli.
Pada pemberian dengan volume 10 ml atau lebih, sekali suntik harus bebas
pirogen.
Intramuskular
Intramuskular (IM) (“Onset of action” bervariasi, berupa larutan dalam air yang
lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat
dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat
tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel,
semakin cepat proses absorpsi).
a. Intramuskular (i.m), yaitu disuntikkan ke dalam jaringan otot, umumnya di
otot pantat atau paha.
b. Sediaan dalam bentuk larutan lebih cepat diabsorpsi daripada susupensi
pembawa air untuk minyak.
c. Larutan sebaiknya isotonis.
d. Onset bervariasi tergantung besar kecilnya partikel
e. Sediaan dapat berupa larutan, emulsi, atau suspensi.
f. Zat aktif bekerja lambat (preparat depo) serta mudah terakumulasi,
sehingga dapat menimbulkan keracunan.
g. Volume sediaan umumnya 2 ml sampai 20 ml dapat disuntikkan kedalam otot
dada, sedangkan volume yang lebih kecil disuntikkan ke dalam otot-otot lain.
Subkutan
Subkutan (SC) (“Onset of action” lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan
dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan,
menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat
tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan hyaluronidase,
suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan) (Joenoes,
2002).
Subkutan atau di bawah kulit (s.c) yaitu disuntikkan kedalam tubuh melalui bagian
yang sedikit lemaknya dan masuk ke dalam jaringan di bawah kulit; volume yang
diberikan tidak lebih dari 1 ml.
a. Larutan sebaiknya isotonis dan isohidris
b. Larutan yang sangat menyimpang isotonisnya dapt menimbulkan rasa nyeri atau
nekrosis dan absorpsi zat aktif tidak optimal.
c. Onset of action obat berupa larutan dalam air lebih cepat dari pada sediaan
suspensi.
d. Determinan kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan tempat terjadinya
penyerapan.
e. Bila ada infeksi, maka bahayanya lebih besar dari pada penyuntikkan ke
dalam pembuluh darah karena pada pemberian subkutan mikroba menetap di
jaringan dan membentuk abses.
f. Zat aktif bekerja lebih lambat dari pada secara i.v
g. Pemberian s.c dalam jumlah besar dikenal dengan nama Hipodermoklise.
Intraperitonial
Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya (Anonim,
1995).Disini obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga efek yang
dihasilkan lebih cepat dibandingkan intramuscular dan subkutan karena obat di
metabolisme serempak sehingga durasinya agak cepat.
Cara pemberian obat yang paling umum dilakukan adalah pemberian obat per
oral, karena mudah, aman, dan murah . Dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah
usus halus, karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200m2. Pada
pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan didistribusikan ke
seluruh tubuh, terlebih dahulu harus mengalami absorbsi pada saluran cerna.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorbsi obat pada saluran cerna
antara lain:
1. Bentuk Sediaan
Terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorbsi obat, yang secara tidak
langsung dapat mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Dalam bentuk sediaan
yang berbeda, maka proses absorpsi obat memerlukan waktu yang berbeda-beda dan
jumlah ketersediaan hayati kemungkinan juga berlainan.
2. Sifat Kimia dan Fisika Obat
Bentuk asam, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat
mempengaruhi kekuatan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal atau
polimorfi, kelarutan dalam lemak atau air, dan derajat ionisasi juga mempengaruhi
proses absorpsi. Absorpsi lebih mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan
mudah larut dalam lemak.
3. Faktor Biologis
Antara lain adalah pH saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran
cerna, waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus, serta banyaknya
pembuluh darah pada tempat absorpsi.
4. Faktor Lain-lain
Antara lain umur, makanan, adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan
adanya penyakit tertentu.
Pemberian obat di bawah lidah hanya untuk obat yang sangat larut dalam lemak,
karena luas permukaan absorpsinya kecil, sehingga obat harus melarut dan diabsorpsi
dengan sangat cepat, misalnya nitrogliserin. Karena darah dari mulut langsung ke vena
kava superior dan tidak melalui vena porta, maka obat yang diberikan melalui sublingual
ini tidak mengalami metabolisme lintas pertama oleh hati.
Selain itu, kerugian pemberian melalui oral yang lain adalah ada obat yang dapat
mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerja sama dengan penderita, dan tidak bisa
dilakukan saat pasien koma.
BAB III
PERCOBAAN
Alat
a. Kawat kandang
b. Alat suntik & Jarum Suntik
c. Sonde
d. Timbangan hewan
e. Stopwatch
f. Spidol
g. Koran
h. Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
i. Sarung tangan & Masker
j. Beaker Glass
Bahan
a. Kapas
b. Alkohol
c. Diazepam 5 mg/ 70 kgBB manusia
d. Mencit putih,jantan (jumlah 5 ekor), bobot tubuh 20-30 g
e. Aqua Pro Injeksi
III.2 Perhitungan
36
= X 0,0026 X 5 mg
20
=0,0234 mg
0,023mg
Sediaan 5mg/1ml= X1
5 mg
= 0,00468 X 20
= 0,09 ml
Diberikan secara subkutab, Bobot mencit (2)= 39 g
39
= X 0,0026 X 5 mg
20
=0,02535 mg
0,02535mg
Sediaan 5mg/1ml= X1
5 mg
= 0,00507 X 20
= 0,01014 ml
32
= X 0,0026 X 5 mg
20
=0,0208 mg
0,0208mg
Sediaan 5mg/1ml= X1
5 mg
= 0,00416 X 20
= 0,0832 ml
36
= X 0,0026 X 5 mg
20
=0,0234 mg
0,023mg
Sediaan 5mg/1ml= X1
5 mg
= 0,00468 X 20
= 0,09 ml
44
= X 0,0026 X 5 mg
20
=0,0286 mg
0,0286 mg
Sediaan 5mg/1ml= X1
5 mg
= 0,00572 X 20
= 0,1144 ml
III.3 Prosedur Kerja
HASIL PENGAMATAN
PEMBAHASAN
Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP)
yang realtif tidak selektif, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk,
menidurkan, hingga yang berat (kecuali benzodiazepin) yaitu hilangnya kesadaran,
keadaan anestesi, koma dan mati, bergantung pada dosis. Pada dosis terapi obat sedatif
menekan aktivitas, menurunkan respons terhadap perangsangan emosi dan menenangkan.
Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur
yang menyerupai tidur fisiologis.
Obat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah obat yang mengandung zat
aktif Diazepam dengan merk dagang Valisanbe® dengan kadar 5 mg. Obat ini tidak larut
dalam air sehingga perlu dibuat suspensi terlebih dahulu. Praktikum ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi diazepam terhadap efektivitas sedatif pada
mencit putih jantan. Praktikum dilakukan dengan memberikan suspensi diazepam tiap
mencit dengan dosis (konsentrasi yang berbeda) Mencit (1) diberikan 0,09 ml , mencit (2)
diberikan 0,1014 ml, mencit (3) diberikan 0,0832 ml, mencit(4) diberikan 0,09 ml, dan
mencit(5) diberikan 0,1144 ml.
Hasil dari percobaan ini diketahui bahwa penggunaan rute secara intravena
adalah cara paling cepat bagi obat untuk dapat meberikan efek, hal ini didukung dengan
teori bahwa penggunaan obat secacra intravena dapat nghasilkan efek yang cepat karena
dengan cara ini obat dapat langsug berada pada peredaran darah tanpa perlu mengalami
proses absorbsi. Hal ini juga yang membedakan pemberian secara intravena dengan
pemberian dengan cara lain.
Penggunaan perorral dianggap paling aman, namun dengan reaksi yang paling
lambat jika dibandingkan dengan lainnya. Hal ini di sebabkan obat harus melewati
system gastroinstentinal sebelum akhirnya dapat doserap oleh pembuluh darah dan
diedarkan dalam tubuh.
Semakin besar konsentrasi diazepam yang diberikan, semakin besar pula efek
sedatif yang timbul sehingga frekuensi jatuh mencit juga semakin banyak. Berdasarkan
data di atas, frekuensi mencit jatuh bervariatif, hal ini dapat disebabkan karena :
1. Pembuatan suspensi stock obat kurang homogen, sehingga zat diazepam tidak
terdistribusi merata
2. Pengambilan suspensi obat dengan spuit, volumenya kurang tepat sehingga dosis obat
yang diambil tidak sesuai dari yang ditetapkan
3. Pada saat pemberian obat secara peroral pada mencit zat obat tidak masuk semua karena
jatum belum sampai pada saluran cerna, sehingga obat yang diberikan keluar lagi
4. Pemberian obat secara kasar dapat menyebabkan mencit stress, mencit yang stress
frekuensi jatuhnya menjadi lebih banyak
5. Konsentrasi obat yang akan mencapai suatu target obat atau reseptor dipengaruhi oleh
farmakokinetiknya yang mencakup proses absorpsi, distribusi, biotransformasi, dan
ekskresi. Kemungkinan pada mencit terdapat perbedaan pada pola-pola tersebut. Saat
proses absorpsi, kemungkinan terdapat obat yang tidak diabsorpsi secara sempurna. Hal
ini menyebabkan konsentrasi obat yang akan didistribusi menjadi lebih sedikit. Ini
ditambah pula dengan perbedaan dosis yang diberikan sehingga konsentrasi obat di
dalam setiap mencitnya berbeda.
Hasil perhitungan data menyebutkan berbeda makna. Hal ini berarti semakin
besar konsentrasi diazepam yang diberikan, menghasilkan efek sedatif yang lebih besar
pula. Hal ini dapat diterapkan dalam terapi yaitu untuk mendapatkan efek sedatif yang
maksimal dapat dilakukan dengan menambah dosis diazepam dengan tidak melampaui
dosis maksimalnya.
BAB VI
KESIMPULAN
BAB VII
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, 1995, Farmakope indonesia edisi IV, Depkes Republik
Indonesia,Jakarta.
2. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia(2007)’’Farmakologi Terapi’’edisi V, Gaya kamu:Jakarta, hal 886.
3. Anset, Howard.C.,1989.Pengantar Bentuk,Sediaan Farmasi,Universitas
Indonesia,Jakarta.
4. Ganiswara Sulistia G(Ed),2008,Farmakologi dan Terapi edisi V, Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedoktern Universitas Indonesia.
5. Kaizung, G Bearam (2007)”Farmakologi Dasar dan Klinik edisi X, Penerbit Buku
Salemba Medika,Jakarta.