Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

EKSPERIMAN DASAR
(PENGARUH RUTE PEMBERIAN TERHADAP OBAT SEDATIF HIPNOTIK)
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang kesehatan, berbagai


produk kesehatan mulai di buat sedemikian rupa sehingga dapat memaksimalkan fungsi
dan perannya dalam kesehatan. Hal ini juga berdampak pada perkembangan obat dan
cara penggunaan obat. Sebagai seorang farmasis, sudah seharusnya mengetahui hal-hal
yang berkaitan dengan obat, baik dari segi farmasetik, farmakodinamik, farmakokinetik,
dan juga dari segi farmakologi. Namun hal lain yang tidak kalah penting adalah rute
pemberian obat, hal ini dimaksudkan untuk memaksimalkan efek obat yang akan
digunakan. Selain itu dengan memahami rute pemberian obat seorang farmasis dapat
menentukan cara tebaik yang dapat di gunakan untuk pemberian obat dengan
mempertimbangkan kondisi pasien apakah menggunakan obat peroral, parenteral,
tropical, vaginal atau dengan cara lain yang dianggap dapat memberikan hasil maksimal.

I.2 Tujuan Percobaan

1. Mengenal cara-cara pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat pada
mencit
2. Menyadari pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang timbul
3. Mengetahui respon sedasi pada mencit
4. Memahami awal mula kerja dan durasi efek sedasi
I.3 Prinsip Percobaan

Pemberian obat kepada mencit percobaan melalui oral, intraperitoneal,


intra muscular, intravena, dan subkutan dengan dosis yang berbeda yang
dipengaruhi berat badan hewan percobaan. Serta mengamati pengaruh yang
dihasilkan oleh masing masing cara pemberian.
BAB II

DASAR TEORI

Hewan mencit atau Mus musculus adalah tikus rumah biasa termasuk kedalam ordo rodentia dan
family Muridae. Mencit dewasa biasa memilliki beratantara 25-40 gram dan mempunyai
berbagai macam warna. Mayoritas mencitlaboratorium adalah strain albino yang mempunyai
warna bulu putih dan matamerah muda.Mencit merupakan hewan yang tidakmempunyai kelenjar
keringat, jantung terdiri dari empat ruang dengan dindingatrium yang tipis dan dinding ventrikel
yang lebih tebal. Percobaan dalammenangani hewan yang akan diuji cenderung memiliki
karakteristik yang berbeda,seperti mencit lebih penakut dan fotofobik, cenderung sembunyi dan
berkumpuldengan sesama, mudah ditangani, lebih aktif pada malam hari ( nocturnal ),aktifitas
terganggu dengan adanya manusia, suhu normal 37,4°C, laju respirasi163/menit sedangkan pada
hewan tikus sangat cerdas, mudah ditangani, tidak bersifat fotofobik, lebih resisten terhadap
infeksi, kecenderungan berkumpuldengan sesama sangat kurang atau diperlakukan secara kasar
akan menjadi liardan galak, suhu normal 37,5°C, laju respirasi 210/menit pada mencit dan tikus
persamaannya gigi seri pada keduanya sering digunakan untuk mengerat /menggigit benda-benda
yang keras. Dengan mengetahui sifat-sifat karakteristikhewan yang akan diuji diharapkan lebih
menyesuaikan dan tidak diperlakukantidak wajar. Didalam suatu dosis yang dipakai untuk
penggunaan suatu obat harussesuai dengan data mengenai penggunaan dosis secara kuantitatif,
dikarenakan bila obat itu diaplikasikan kepada manusia dilakukan perbandingan luas permukaan
tubuh.

Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidangkedokteran/biomedis telah


berjalan puluhan tahun yang lalu. Hewan sebagaimodel atau sarana percobaan haruslah
memenuhi persyaratan-persyaratantertentu, antara lain persyaratan genetis / keturunan dan
lingkungan yangmemadai dalam pengelolaannya, disamping faktor ekonomis, mudah
tidaknyadiperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada
manusia. Cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu diketahui.
Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewanadalah berbeda-beda dan ditentukan
oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar ataukecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan
dapat menyebabkankecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan
menyulitkandalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi
orang yang memegangnya.

Rute pemberian obat salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik
lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh
karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah
fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah
obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari
rute pemberian obat.

Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien.
Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:

a. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik


b. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama
c. Stabilitas obat di dalam lambung atau usus
d. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute
e. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter
f. Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-macam rute
g. Kemampuan pasien menelan obat melalui oral.

Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang
diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk
sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika
obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang
bekerja setempat misalnya salep.

Cara-cara pemberian obat untuk mendapatkan efek terapeutik yang sesuai adalah sebagai
berikut:

Cara/bentuk sediaan parenteral

 Intravena
Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, “onset
of action” cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang menyebabkan
iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus kontinu untuk obat
yang waktu-paruhnya (t1/2) pendek).
Intravena (i.v), yaitu disuntikkan ke dalam pembuluh darah. Larutan dalam volume
kecil (di bawah 5 ml) sebaiknya isotonis dan isohidris, sedangkan volume besar
(infuse) harus isotonis dan isohidris.
 Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, onset of action
segera.
 Obat bekerja paling efisien, bioavilabilitas 100%
 Obat harus berada dalam larutan air, bila emulsi lemak partikel minyak tidak
boleh lebih besar dari ukuran partikel eritrosit, sediaan suspensi tidak
banyak terpengaruh
 Larutan hipertonis disuntikkan secara lambat, sehingga sel-sel darah tidak
banyak berpengaruh.
 Zat aktif tidak boleh merangsang pembuluh darah, sehingga menyebabkan
hemolisa seperti saponin, nitrit, dan nitrobenzol.
 Sediaan yang diberikan umumnya sediaan sejati.
 Adanya partikel dapat menyebabkan emboli.
 Pada pemberian dengan volume 10 ml atau lebih, sekali suntik harus bebas
pirogen.

Keuntungan rute ini adalah:


a. Jenis-jenis cairan yang disuntikkan lebih banyak dan bahkan bahan
tambahan banyak digunakan IV daripada melalui SC
b. Cairan volume besar dapat disuntikkan relatif lebih cepat
c. Efek sistemik dapat segera dicapai
d. Level darah dari obat yang terus-menerus disiapkan
e. Kebangkitan secara langsung untuk membuka vena untuk pemberian obat
rutin dan menggunakan dalam situasi darurat disiapkan.

Kerugiannya adalah meliputi:


1. Gangguan kardiovaskuler dan pulmonar dari peningkatan volume cairan
dalam sistem sirkulasi mengikuti pemberian cepat volume cairan dalam
jumlah besar
2. Perkembangan potensial thrombophlebitis
3. Kemungkinan infeksi lokal atau sistemik dari kontaminasi larutan atau
teknik injeksi septik, dan
4. Pembatasan cairan berair.

 Intramuskular
Intramuskular (IM) (“Onset of action” bervariasi, berupa larutan dalam air yang
lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat
dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat
tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel,
semakin cepat proses absorpsi).
a. Intramuskular (i.m), yaitu disuntikkan ke dalam jaringan otot, umumnya di
otot pantat atau paha.
b. Sediaan dalam bentuk larutan lebih cepat diabsorpsi daripada susupensi
pembawa air untuk minyak.
c. Larutan sebaiknya isotonis.
d. Onset bervariasi tergantung besar kecilnya partikel
e. Sediaan dapat berupa larutan, emulsi, atau suspensi.
f. Zat aktif bekerja lambat (preparat depo) serta mudah terakumulasi,
sehingga dapat menimbulkan keracunan.
g. Volume sediaan umumnya 2 ml sampai 20 ml dapat disuntikkan kedalam otot
dada, sedangkan volume yang lebih kecil disuntikkan ke dalam otot-otot lain.

 Subkutan
Subkutan (SC) (“Onset of action” lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan
dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan,
menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat
tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan hyaluronidase,
suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan) (Joenoes,
2002).
Subkutan atau di bawah kulit (s.c) yaitu disuntikkan kedalam tubuh melalui bagian
yang sedikit lemaknya dan masuk ke dalam jaringan di bawah kulit; volume yang
diberikan tidak lebih dari 1 ml.
a. Larutan sebaiknya isotonis dan isohidris
b. Larutan yang sangat menyimpang isotonisnya dapt menimbulkan rasa nyeri atau
nekrosis dan absorpsi zat aktif tidak optimal.
c. Onset of action obat berupa larutan dalam air lebih cepat dari pada sediaan
suspensi.
d. Determinan kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan tempat terjadinya
penyerapan.
e. Bila ada infeksi, maka bahayanya lebih besar dari pada penyuntikkan ke
dalam pembuluh darah karena pada pemberian subkutan mikroba menetap di
jaringan dan membentuk abses.
f. Zat aktif bekerja lebih lambat dari pada secara i.v
g. Pemberian s.c dalam jumlah besar dikenal dengan nama Hipodermoklise.

 Intraperitonial
Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya (Anonim,
1995).Disini obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga efek yang
dihasilkan lebih cepat dibandingkan intramuscular dan subkutan karena obat di
metabolisme serempak sehingga durasinya agak cepat.

Intinya absorpsi dari obat mempunyai sifat-sifat tersendiri. Beberapa diantaranya


dapat diabsorpsi dengan baik pada suatu cara penggunaan, sedangkan yang lainnya tidak
(Ansel, 1989).

Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam


darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna
(mulut sampai dengan rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Cara pemberian obat yang
berbeda-beda melibatkan proses absorbsi obat yang berbeda-beda pula. Kegagalan atau
kehilangan obat selama proses absorbsi akan mempengaruhi efek obat dan menyebabkan
kegagalan pengobatan.

Cara pemberian obat yang paling umum dilakukan adalah pemberian obat per
oral, karena mudah, aman, dan murah . Dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah
usus halus, karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200m2. Pada
pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan didistribusikan ke
seluruh tubuh, terlebih dahulu harus mengalami absorbsi pada saluran cerna.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses absorbsi obat pada saluran cerna
antara lain:

1. Bentuk Sediaan
Terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorbsi obat, yang secara tidak
langsung dapat mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Dalam bentuk sediaan
yang berbeda, maka proses absorpsi obat memerlukan waktu yang berbeda-beda dan
jumlah ketersediaan hayati kemungkinan juga berlainan.
2. Sifat Kimia dan Fisika Obat
Bentuk asam, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat
mempengaruhi kekuatan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk kristal atau
polimorfi, kelarutan dalam lemak atau air, dan derajat ionisasi juga mempengaruhi
proses absorpsi. Absorpsi lebih mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan
mudah larut dalam lemak.

3. Faktor Biologis
Antara lain adalah pH saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran
cerna, waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus, serta banyaknya
pembuluh darah pada tempat absorpsi.
4. Faktor Lain-lain
Antara lain umur, makanan, adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan
adanya penyakit tertentu.

Pemberian obat di bawah lidah hanya untuk obat yang sangat larut dalam lemak,
karena luas permukaan absorpsinya kecil, sehingga obat harus melarut dan diabsorpsi
dengan sangat cepat, misalnya nitrogliserin. Karena darah dari mulut langsung ke vena
kava superior dan tidak melalui vena porta, maka obat yang diberikan melalui sublingual
ini tidak mengalami metabolisme lintas pertama oleh hati.

Kerugian pemberian per oral adalah banyak faktor dapat mempengaruhi


bioavaibilitas obat. Karena ada obat-obat yang tidak semua yang diabsorpsi dari tempat
pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di
dinding usus dan atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut
(metabolisme atau eliminasi lintas pertama). Eliminasi lintas pertama obat dapat dihindari
atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral, sublingual, rektal, atau memberikannya
bersama makanan.

Selain itu, kerugian pemberian melalui oral yang lain adalah ada obat yang dapat
mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerja sama dengan penderita, dan tidak bisa
dilakukan saat pasien koma.
BAB III

PERCOBAAN

III.1 Alat & Bahan

 Alat
a. Kawat kandang
b. Alat suntik & Jarum Suntik
c. Sonde
d. Timbangan hewan
e. Stopwatch
f. Spidol
g. Koran
h. Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
i. Sarung tangan & Masker
j. Beaker Glass

 Bahan
a. Kapas
b. Alkohol
c. Diazepam 5 mg/ 70 kgBB manusia
d. Mencit putih,jantan (jumlah 5 ekor), bobot tubuh 20-30 g
e. Aqua Pro Injeksi

III.2 Perhitungan

 Diberikan secara oral, Bobot mencit (1)= 36 g

36
= X 0,0026 X 5 mg
20

=0,0234 mg

0,023mg
Sediaan 5mg/1ml= X1
5 mg

= 0,00468 X 20

= 0,09 ml
 Diberikan secara subkutab, Bobot mencit (2)= 39 g

39
= X 0,0026 X 5 mg
20

=0,02535 mg

0,02535mg
Sediaan 5mg/1ml= X1
5 mg

= 0,00507 X 20

= 0,01014 ml

 Diberikan secara intravena, Bobot mencit (3)= 32 g

32
= X 0,0026 X 5 mg
20

=0,0208 mg

0,0208mg
Sediaan 5mg/1ml= X1
5 mg

= 0,00416 X 20

= 0,0832 ml

 Diberikan secara intraperitoneal, Bobot mencit (4)= 36 g

36
= X 0,0026 X 5 mg
20

=0,0234 mg

0,023mg
Sediaan 5mg/1ml= X1
5 mg
= 0,00468 X 20

= 0,09 ml

 Diberikan secara intramuskular, Bobot mencit (5)= 44 g

44
= X 0,0026 X 5 mg
20

=0,0286 mg

0,0286 mg
Sediaan 5mg/1ml= X1
5 mg

= 0,00572 X 20

= 0,1144 ml
III.3 Prosedur Kerja

a. Pemberian secara oral


1. Ambil mencit jantan putih
2. Siapkan Sonde
3. Mencit dipegang pada tengkuknya, jarum sonde yang telah dipasang pada alat
suntik berisi Diazepam, diselipkan dekat langit – langit tikus dan diluncurkan
masuk ke esofagus. Larutan diberikan dengan menekan spuit pendorong
sambil badan spuit ditahan agar ujung jarum oral tidak melukai esofagus.
4. Amati kelakuan mencit dan catat waktunya

b. Pemberian secara intra peritoneal


1. Ambil mencit putih jantan
2. Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat
3. Mencit dipegang pada tengkuknya sedemikian sehingga posisi abdomen lebih
tinggi dari kepala, larutan oral obat disuntikkan pada bagian perut sebalah
kanan bawah tepat dibawah jantung diatas rongga hati.
4. Amati kelakuan mencit dan catat waktunya

c. Pemberian secara intramuscular


1. Ambil mencit putih jantan
2. Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat
3. Suntikkan pada bagian paha mencit
4. Amati kelakuan mencit dan catat waktunya

d. Pemberian secara subkutan


1. Ambil mencit putih jantan
2. Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat
3. Lalu suntikkan dilakukan dibawah kulit tengkuk
4. Amati kelakuan mencit dan catat waktunya

e. Pemberian secara intravena


1. Ambil mencit putih jantan
2. Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat
3. Mencit dimasukkan ke dalam alat khusus yang memungkinkan ekornya keluar
sebelum disuntikkan. Sebaiknya pembuluh balik vena pada ekor didilatasi
dengan penghangatan atau pengolesan memakai pelarut organik seperti
alkohol. Penyuntikkan dimulai dari bagian distal ekor.
4. Amati kelakuan mencit dan catat waktunya
BAB IV

HASIL PENGAMATAN

Hewan percobaan : Mencit putih jantan

Obat : Diazepam 5mg/70kgBB manusia

Hewan Cara Dosis Waktu Waktu Timbul


Pemberian Pemberian Efek

Mencit ke-1 Oral 0,09ml 09.48 10.57


Mencit ke-2 SC 0,1014ml 09.17 10.57
Mencit ke-3 IV 0,0832ml 09.32 10.57
Mencit ke-4 IP 0,09ml 09.42 10.57
Mencit ke-5 IM 0,1144ml 09.22 10.57

Pengamatan ( waktu timbul efek )


Cara Perubahan Waktu Waktu Waktu Onset Durasi
Pemberian aktivitas pemberian obat hilang kembali kerja kerja obat
(menit) Righting Righting obat (menit)
Reflex Reflex (menit)
(menit) (menit)
Pernafasan cepat 09.48 10.44 10.57 56 menit ±1jam 9
perlahan teratur, menit
Oral
hipnotik sedative
kemudian anastesi
Aktif 09.17 09.23 10.57 6 menit ±1 jam 40
membersihkan menit
area suntikan,
SC
pernafasan teratur,
hipnotik, sedative,
anastesi
Usaha untuk 09.32 09.36 10.57 4 menit ± 1 jam 25
berdiri gagal, menit
IV
hipnotik,sedative,
kemudian anstesi
Pernafasan cepat 09.42 09.57 10.57 10 menit ± 1 jam 15
perlahan mulai menit
teratur, aktifitas
IP
fisik perlahan
menurun, hipnotik,
sedative, anastesi
Laju pernafasan 09.22 09.26 10.57 4 menit ± 1 jam 35
cepat lama menit
kelamaan mulai
IM teratur,menurunya
aktivitas fisik,
hipnotik, sedative,
anastesi
BAB V

PEMBAHASAN

Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP)
yang realtif tidak selektif, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk,
menidurkan, hingga yang berat (kecuali benzodiazepin) yaitu hilangnya kesadaran,
keadaan anestesi, koma dan mati, bergantung pada dosis. Pada dosis terapi obat sedatif
menekan aktivitas, menurunkan respons terhadap perangsangan emosi dan menenangkan.
Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur
yang menyerupai tidur fisiologis.
Obat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah obat yang mengandung zat
aktif Diazepam dengan merk dagang Valisanbe® dengan kadar 5 mg. Obat ini tidak larut
dalam air sehingga perlu dibuat suspensi terlebih dahulu. Praktikum ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi diazepam terhadap efektivitas sedatif pada
mencit putih jantan. Praktikum dilakukan dengan memberikan suspensi diazepam tiap
mencit dengan dosis (konsentrasi yang berbeda) Mencit (1) diberikan 0,09 ml , mencit (2)
diberikan 0,1014 ml, mencit (3) diberikan 0,0832 ml, mencit(4) diberikan 0,09 ml, dan
mencit(5) diberikan 0,1144 ml.

Menurut literatur onset kerja yang benar yaitu intravena, intraperinoteal,


intramuscular, subkutan, dan oral. Pada percobaan ini kami menggunakan mencit dengan
berat badan yang berbeda-beda untuk mendapatkan efek obat yang berbeda pula, hasil
yang kami dapat jika diurutkan dari yang tercepat hingga terlambat terlihat adalah rute
pemberian obat dengan cara intravena, intramuscular, subkutan, intraperinoteal, dan oral.
Hal ini dikarenakan rute pemberian obat secara intavena berhubungan dengan pembuluh
darah langsung, oleh karena itu rute pemberian ini cepat memberikan efek.

Hasil dari percobaan ini diketahui bahwa penggunaan rute secara intravena
adalah cara paling cepat bagi obat untuk dapat meberikan efek, hal ini didukung dengan
teori bahwa penggunaan obat secacra intravena dapat nghasilkan efek yang cepat karena
dengan cara ini obat dapat langsug berada pada peredaran darah tanpa perlu mengalami
proses absorbsi. Hal ini juga yang membedakan pemberian secara intravena dengan
pemberian dengan cara lain.

Sedangkan pemberian secara intramuscular, intraperitonial dan subcutan masing


masing memberikan efek yang berbeda, pada pemberian secara intramuscular obat dapat
diserap dengan cepat dan berkala yang disebabkan banyaknya vaskularisasi aliran darah
disekitar tempat penyuntikan. Intra peritoneal memngkinkan obat masuk kedalam
sirkulasi sistemik secara cepat, hal ini di karenakan rongga peritoneum memiliki
permukaan absorbs yang luas. Sedangkan pada subkutan obat yang digunakan hanya
berkisar 1-2 ml dan hanya ditujuan untuk obat yang tidak mengiritasi jaringan.

Penggunaan perorral dianggap paling aman, namun dengan reaksi yang paling
lambat jika dibandingkan dengan lainnya. Hal ini di sebabkan obat harus melewati
system gastroinstentinal sebelum akhirnya dapat doserap oleh pembuluh darah dan
diedarkan dalam tubuh.

Semakin besar konsentrasi diazepam yang diberikan, semakin besar pula efek
sedatif yang timbul sehingga frekuensi jatuh mencit juga semakin banyak. Berdasarkan
data di atas, frekuensi mencit jatuh bervariatif, hal ini dapat disebabkan karena :

1. Pembuatan suspensi stock obat kurang homogen, sehingga zat diazepam tidak
terdistribusi merata
2. Pengambilan suspensi obat dengan spuit, volumenya kurang tepat sehingga dosis obat
yang diambil tidak sesuai dari yang ditetapkan
3. Pada saat pemberian obat secara peroral pada mencit zat obat tidak masuk semua karena
jatum belum sampai pada saluran cerna, sehingga obat yang diberikan keluar lagi
4. Pemberian obat secara kasar dapat menyebabkan mencit stress, mencit yang stress
frekuensi jatuhnya menjadi lebih banyak
5. Konsentrasi obat yang akan mencapai suatu target obat atau reseptor dipengaruhi oleh
farmakokinetiknya yang mencakup proses absorpsi, distribusi, biotransformasi, dan
ekskresi. Kemungkinan pada mencit terdapat perbedaan pada pola-pola tersebut. Saat
proses absorpsi, kemungkinan terdapat obat yang tidak diabsorpsi secara sempurna. Hal
ini menyebabkan konsentrasi obat yang akan didistribusi menjadi lebih sedikit. Ini
ditambah pula dengan perbedaan dosis yang diberikan sehingga konsentrasi obat di
dalam setiap mencitnya berbeda.

Hasil perhitungan data menyebutkan berbeda makna. Hal ini berarti semakin
besar konsentrasi diazepam yang diberikan, menghasilkan efek sedatif yang lebih besar
pula. Hal ini dapat diterapkan dalam terapi yaitu untuk mendapatkan efek sedatif yang
maksimal dapat dilakukan dengan menambah dosis diazepam dengan tidak melampaui
dosis maksimalnya.
BAB VI

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat kami peroleh dari percobaan ini adalah


1. Rute pemberian obat dapat melalui oral, intravena, intramuscular,
intraperitonial, dan subkutan.
2. Pada percobaan ini dihasilkan urutan efektifitas obat dari yang tercepat hingga
yang terlama yaitu intravena (IV), intramuscular (IM), subkutan (SC)
intraperitonial (IP), dan oral
3. Pada percobaan ini diketahui bahwa pemberian melalui intravena
menghasilkan efek tercepat dibandingkan rute lainnya, hal ini disebabkan obat
tidak perlu mengalami proses absorbs dan dapat masuk langsung melalui
aliran darah yang kemudian berefek pada individu.
4. Sedangkan pemberian oral menghasilkan efek yang lebih lambat, hal ini
disebabkan obat harus mengalami proses penceraan di gastroinstetina sehingga
memperlambat obat memberikan efek.
5. Masing masing pemberian obat memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri
seperti penggunaan oral memiliki absorbs yang lambat namun dapat
digunakan oleh siapa saja tanpa menggunakan tenaga ahli, sedangkan
intravena dan intramuscular memberikan efek yang cepat namun perlu
bantuan tenaga ahli untuk menggunakannya selain itu resiko infeksi juga dapat
meningkat. Sedangkan intraperitonial dan subcutan meski memiliki efek yang
sama seperti intravena dan intramuscular namun memiliki harga yang cukup
tinggi.

BAB VII
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, 1995, Farmakope indonesia edisi IV, Depkes Republik
Indonesia,Jakarta.
2. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia(2007)’’Farmakologi Terapi’’edisi V, Gaya kamu:Jakarta, hal 886.
3. Anset, Howard.C.,1989.Pengantar Bentuk,Sediaan Farmasi,Universitas
Indonesia,Jakarta.
4. Ganiswara Sulistia G(Ed),2008,Farmakologi dan Terapi edisi V, Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedoktern Universitas Indonesia.
5. Kaizung, G Bearam (2007)”Farmakologi Dasar dan Klinik edisi X, Penerbit Buku
Salemba Medika,Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai