BAB III
DASAR TEORI
3.1 Pemboran
Dalam suatu operasi peledakan batuan, kegiatan pemboran merupakan
pekerjaan yang pertama kali dilakukan untuk membuat sejumlah lubang
ledak dengan geometri dan pola yang sudah tertentu. Lubang tersebut
selanjutnya diisi bahan peledak untuk kemudian diledakkan.
Gambar 3.1 Sketsa Pola Pengeboran Pada Tambang Terbuka ( Samhudi, 2001 )
20
d. Pola Pemboran
Pola pengeboran adalah bentuk tatanan letak lubang bor dalam
ukuran jarak tertentu, pada permukaan front kerja yang akan diledakkan,
bentuk pola pengeboran dipengaruhi oleh struktur lapisan batuan, dan tinggi
jenjang yang direncanakan. Ada empat pola pemboran yang dibuat secara
teratur, yaitu :
1. Pola pemboran bujur sangkar (square drill pattern), yaitu jarak
burden dan spasi sama.
2. Pola pemboran persegi panjang (rectangular drill pattern), yaitu
jarak spasi dalam satu baris lebih besar dibanding burden.
3. Pola pemboran zigzag (staggered squere drill pattern), yaitu antara
lubang bor dibuat zigzag yang berasal dari pola bujur sangkar.
21
3m 3m
3m 2,5 m
3m 3m
3m 2,5 m
Keuntungan Kerugian
Sumber : Diktat Teknik Peledakan Jurusan Teknik Pertambangan UPN “ Veteran “ Yogyakarta
22
Keuntungan Kerugian
Sumber : Diktat Teknik Peledakan Jurusan Teknik Pertambangan UPN “ Veteran “ Yogyakarta
atau tahan terhadap tekanan dari pada tarikan, hal ini dicirikan oleh kuat
tekan batuan lebih besar dibandingkan dengan kuat tariknya.
- Geometri Peledakan
- Pola Peledakan
- Waktu Tunda
3.2.3 PeralatanPeledakan
Peralatan peledakan yang digunakan terdiri dari :
- Shoot gun, yang digunakan untuk meledakkan lead in line Detonator.
- Cangkul, yang digunakan untuk menempatkan drill cutting ke lubang
tembak.
- MMU (Mobil Manufacturing Unit), digunakan untuk mengangkut
produk curah sebelum dilakukan loading ke lubang tembak.
- Patok, barikade, papan peringatan dan pita (bendera), untuk membuat
barikade bahwa lokasi tersebut akan dilakukan peledakan.
- Mobil box, yang digunakan untuk membawa aksesoris bahan peledak
dari gudang bahan peledak ke lokasi peledakan.
akibatnya akan timbul tegangan tarik yang besar didalam massa batuan.
Tegangan tarik inilah yang melengkapi proses pemecahan batuan yang
telah pada tahap kedua.
a. Gelombang Longitudinal
Gelombang longitudinal adalah gelombang yang getarannya
mempunyai arah yang sama dengan arah perambatannya. Pada gelombang ini
33
1 gelombang
Arah getar arah rambat
b. Gelombang Transversal
Gelombang transversal adalah gelombang yang mempunyai arah getaran
yang tegak lurus terhadap arah perambatannya. Contoh gelombang transversal
dapat ditemui pada gelombang tali dan gelombang air. Karena arah
rambatannya tegak lurus arah getaran, bentuk gelombang ini adalah seperti
gunung dan lembah yang berurutan. Berikut ini ilustrasi pada gelombang
transversal :
34
1 gelombang
Bukit gelombang
Arah rambat
Dasar
gelombang
T ( Periode
)
Gambar 3. 12 Gelombang Transversal ( Jaeger & Cook, 1979 )
Getaran tanah yang dihasilkan akibat kegiatan peledakan terdiri dari tiga
arah yaitu transversal, vertical, dan longitudinal (Gambar 3.13).
Vertikal
Shot
Longitudinal
Transversal
a. Transversal
Gerakan getaran tanah secara horisontal, tegak lurus arah rambatannya.
b. Vertical
Gerakan getaran tanah atau pergerakan vertikal ke atas dan ke bawah.
35
c. Longitudinal
Gerakan horisontal searah perjalanan gelombang disepanjang antara
lubang ledak dengan alat perekam.
ledakan suatu muatan bahan peledak, yaitu faktor yang dapat dikontrol dan
yang tidak dapat dikontrol. Yang dimaksud faktor yang tidak dapat dikontrol
adalah faktor geologi dan geomekanika batuan. Dan faktor yang dapat
dikontrol pengaruhnya terhadap getaran tanah adalah :
1. Jumlah Muatan Bahan Peledak Per Waktu Tunda ( Charge Weigh )
Besarnya getaran yang dihasilkan peledakan dipengaruhi oleh jumlah
muatan total bahan peledak per waktu tunda. Besar kecilnya Intensitas
getaran tanah akan tergantung kepada jumlah berat bahan peledak
maksimum yang meledak bersamaan pada interval waktu. ( lamanya
interval waktu adalah 8 millisecond). Jadi lubang– lubang tembak yang
mempunyai selisih waktu meledak kurang dari sama dengan 8 ms, dianggap
meledak bersamaan. Jumlah muatan total handak yang dianggap meledak
bersamaan ini merupakan muatan bahan peledak per waktu tunda. Semakin
besar muatan bahan peledak per waktu tunda, besaran getaran yang
dihasilkan akan semakin meningkat tetapi hubungan ini bukan merupakan
hubungan yang sederhana, misalnya muatan dua kali lipat jumlahnya tidak
menghasilkan getaran yang dua kali lipat.
2. Jarak dari lokasi peledakan ( Distance )
Jarak dari titik atau lokasi peledakan, juga memberikan pengaruh yang
besar terhadap besaran vibrasi yang dihasilkan, seperti juga muatan
maksimal bahan peledak per waktu tunda. Semakin dekat suatu titik
pengukuran getaran ke titik atau lokasi peledakan, maka getaran yang
terukur akan semakin besar. ( Koesnaryo., dkk., 1994 ).
3. Waktu Tunda ( Delay Period )
Interval waktu tunda antar lubang ledak sangat mempengaruhi tingkat
getaran yang dihasilkan. Jika interval waktu tunda tersebut makin besar,
maka kemungkinan jumlah bahan peledak yang dianggap meledak
bersamaan (selisih waktu meledak kurang dari sama dengan 8 ms) akan
makin kecil, sehingga tingkat getaran yang dihasilkan akan makin kecil.
Tetapi perlu diperhatikan pula bahwa agar tingkat getaran yang dihasilkan
kecil, maka jumlah lubang ledak yang memiliki interval delay kurang dari
37
Tingkat getaran dari hasil peledakan dipengaruhi oleh dua faktor utama
yaitu jumlah bahan peledak/ waktu tunda (charge weight per delay) dan jarak
38
delay pertama telah merambat pada jarak tertentu sebelum delay selanjutnya
meledak. Kecepatan perambatan tergantung pada jenis batuannya.
PPV = K (d/w½)-m
Keterangan:
PPV = Peak particle velocity (mm/s),
d = Jarak dari recorder ke lokasi peledakan,
W = Total berat bahan peledak perminimum 8ms/ delay
K,m = Konstanta/ site factor
(d/w½)-m = scale distance
PPV = K . SD𝑚
42
dimana :
PPV = Prediksi Peak Particle Velocity (mm/s)
D = Jarak dari peledakan ke lokasi pengukuran (m)
W = Berat isian bahan peledak per delay (kg)
SD = Scaled distance
K, m = konstanta/ site factor
Nilai K dan m ditetapkan dari kondisi di lapangan, tipe batuan, geologi
lokal dan kedalaman overburden. Pada umumnya nilai dari m = -1,6. (Calvin J.
Konya, 1995).
Tabel 3.3 Acuan Standar ground vibration berdasarkan SNI 7571 : 2010
PVS PPV
Kelas Jenis Bangunan Frekuensi
mm/s mm/s
0-5 2
Bangunan kuno yang di lindungi
1 2 5-20 3
undang-undang benda cagar budaya
20-100 5
0-5 5
Bangunan dengan pondasi, pasangan
3 bata dan adukan semen diikat dengan 5 5-20 7
slope beton
20-100 12
0-5 12
Bangunan dengan pondasi, pasangan
5 bata dan adukan semen, slope beton, 12-40 5-20 24
kolom dan diikat dengan rangka baja
20-100 40