Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hipotiroid kongenital merupakan salah satu kelainan endokrin yang menjadi
penyebab tersering disabilitas intelektual yang dapat dicegah. Kecepatan
mendiagnosis dan terapi sejak awal sangat mempengaruhi prognosis penderita
penyakit ini. Umumnya kerusakan otak yang ireversibel dapat dicegah dengan
terapi sulih hormon yang dimulai sebelum umur 3 minggu1.
Secara global, hipotiroid kongenital terjadi pada 1 dari 3000-4000 kelahiran,
namun insidensi juga bervariasi sesuai daerah dan etnis. Di Indonesia, data dari
International Atomic Energy Agency (IAEA) berdasarkan skrining neonatus yang
dilakukan pada tahun 2002-2003 didapatkan prevalensi sebesar 1:34692.
Skrining neonatus untuk hipotiroid kongenital pertama kali diperkenalkan di
Kanada pada tahun 1974, dan di Inggris pada tahun 1982. Sampai saat ini, hampir
semua negara maju dan sebagian negara berkembang di Eropa Timur, Amerika
Selatan, Asia, dan Afrika telah menerapkan program skrining ini. Meskipun
demikian, diperkirakan 71% neonatus di seluruh dunia lahir di daerah yang belum
memiliki program skrining.3 Masalah utama anak dengan hipotiroid kongenital
yang terlambat didiagnosis adalah disabilitas intelektual. Beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa anak dengan hipotiroid kongenital yang terdiagnosis melalui
skrining neonatus dapat memiliki tingkat IQ yang sama dengan anak lainnya,
sebaliknya semakin terlambat diagnosis ditegakkan dan terapi dimulai, semakin
rendah luaran tingkat intelektualnya.4,5,6
Pada kasus panjang ini dipilih kasus seorang anak laki-laki berumur 5 tahun
11 bulan dengan hipotiroid kongenital yang didiagnosis pada umur 3 bulan.
Sebagai pembanding adalah kakak kandung pasien, yaitu seorang anak perempuan
berumur 10 tahun yang sama-sama menderita hipotiroid kongenital namun lebih
telat terdiagnosis, yaitu pada umur 1 tahun 10 bulan. Perbedaan waktu diagnosis
ini tentu saja memberikan luaran klinis yang berbeda, baik dari segi kemampuan
intelektual, pertumbuhan dan perkembangan, pendidikan, psikologis, serta

Diajukan pada laporan akhir kasus Longitudinal MS-PPDS I IKA FK-UGM Yogyakarta 1
perhatian dan pengertian kedua orangtua. Fokus utama pemantauan kasus panjang
ini adalah pada sang adik yang diharapkan memiliki luaran klinis dan prognosis
yang lebih baik.

B. Deskripsi Kasus Singkat


Nama : An. TA No. RM : 01-33-65-xx
Umur : 5 tahun 10 bulan Nama ayah : Tn. S
Tanggal lahir : 23 Oktober 2007 Umur : 38 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki Pendidikan : SD
Alamat : Babakan Poncosari Pekerjaan : Buruh tani
Srandakan Bantul DIY Nama ibu : Ny. W
Anak ke- : 2 (dari 2 Umur : 36 tahun
bersaudara) Pendidikan : SMA
Tanggal periksa awal : 5 Februari Pekerjaan : Ibu rumah tangga
2008

C. Laporan Kasus Singkat


Pasien adalah seorang anak laki-laki, umur 5 tahun 10 bulan, yang
mendatangi poli Anak RSUP dr. Sardjito pada tanggal 30 Agustus 2013 untuk
kontrol rutin. Anak didiagnosis hipotiroid kongenital sejak umur 3 bulan, dan
sejak saat itu kontrol rutin setiap bulan dengan pemeriksaan kadar TSH dan fT4
setiap 3 bulan. Saat ini anak duduk di kelas TK, sudah bisa berjalan, berlari-lari,
melompat, berbicara lancar, berhitung (penjumlahan dan pengurangan sederhana),
dan menulis abjad. Aktivitas anak normal, buang air besar lancar setiap hari,
makan dan minum baik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital,
pemeriksaan dada, perut, dan ekstremitas dalam batas normal. Ukuran
antropometri: berat badan 18 kg, tinggi badan 107 cm, indeks massa tubuh (body
mass index/BMI) 15,72 kg/m2, lingkar kepala 53 cm, lingkar dada 53,5 cm,
lingkar perut 50 cm, dan lingkar lengan atas 17 cm. Anak memiliki status gizi
baik (BMI/U: 1<z<2 SD), normal height (TB/U: -2<z<-1 SD), dan normosefal

Diajukan pada laporan akhir kasus Longitudinal MS-PPDS I IKA FK-UGM Yogyakarta 2
(LK/U: 0<z<2 SD). Anak kemudian diberikan terapi L-tiroksin (Thyrax®) dengan
dosis 5 μg/kg/hari (1x90 μg).
Pada riwayat penyakit dahulu, anak datang berobat ke poli Anak RSUP dr.
Sardjito pertama kali pada tanggal 5 Februari 2008 (pada saat itu anak berumur 3
bulan), dengan keluhan utama tampak lemas. Anak tidak demam, tidak muntah,
tidak diare, buang air besar setiap hari, namun gerak kurang aktif dan belum bisa
miring. Dengan pengalaman anak pertama mengalami hipotiroid kongenital, ibu
khawatir dan memeriksakan anak keduanya ini. Riwayat anak lahir di RS, SC atas
indikasi induksi gagal, cukup bulan, berat lahir 4000 gram, dan tidak ada riwayat
asfiksia. Silsilah keluarga anak dapat dilihat pada Gambar 1. Riwayat imunisasi
anak lengkap sesuai dengan PPI. Pada pemeriksaan fisik didapatkan berat badan
5,2 kg, tanda vital dalam batas normal, pada jantung didapatkan bising sistolik
grade 3/6 di sela iga kedua linea parasternalis kiri, tidak didapatkan tanda gagal
jantung. Pada abdomen terdapat hernia umbilikalis, pada kepala terdapat
makroglosi, dan pemeriksaan neurologis menunjukkan hipotonus pada keempat
ekstremitas. Hasil echocardiografi pada tanggal 27 Maret 2008 menunjukkan
ASD sekundum kecil.
Hasil pemeriksaan laboratorium awal menunjukkan anemia normositik-
normokromik (Hb 8,2 gr/dl, MCV 91,2 fl, MCH 30,1 pg, MCHC 33,1 g/dl), kadar
TSH tinggi 16,957 (0,47-5,01 uIU/ml), dan kadar free T4 normal 8,7 (7,1-18,5
pq/ml). Anak diberikan terapi L-tiroksin (Thyrax®) dengan dosis awal 3
μg/kg/hari (1x15 μg/hari) dan suplementasi besi. Evaluasi ulang tanggal 22 Mei
2008 didapatkan kadar TSH yang masih tinggi 6,9 uIU/ml dan fT4 32,953 pq/ml.
Evaluasi tanggal 26 Juni 2008 didapatkan kadar TSH >40 uIU/ml dan fT4 yang
rendah 4,7 pq/ml. Dosis L-tiroksin kemudian dinaikkan menjadi 8 g/kg/hari (1x60
μg/hari). Hasil evaluasi terakhir tanggal 16 April 2013 menunjukkan kadar TSH
5,94 (0,4-4,0 uIU/ml) dan fT4 1,77 (0,89-1,76 ng/dl) dengan dosis L-tiroksin
terakhir adalah 5 μg/kg/hari (1x90 μg/hari). Hasil pemeriksaan thyroid scanning
pada tanggal 11 Oktober 2010 menunjukkan tidak tampak adanya radioaktivitas di
daerah kelenjar tiroid. Hasil evaluasi echocardiogram terakhir pada tanggal 3
Desember 2010 menunjukkan ASD sudah menutup dan intrakardiak normal.

Diajukan pada laporan akhir kasus Longitudinal MS-PPDS I IKA FK-UGM Yogyakarta 3
Gambar 1. Skema silsilah keluarga pasien
Sebagai pembanding, adalah seorang anak perempuan berumur 10 tahun 2
bulan (lahir tanggal 27 Juni 2003), merupakan kakak kandung dari pasien, yang
datang ke poli Anak RSUP dr. Sardjito pada tanggal 30 Agustus 2013 untuk
kontrol rutin. Anak telah didiagnosis hipotiroid kongenital sejak tahun 2005 dan
kontrol rutin setiap bulan dengan pemeriksaan kadar TSH dan fT4 setiap 3 bulan.
Anak saat ini duduk di kelas 3 SLB, sudah bisa berjalan, berlari namun tidak bisa
secepat anak seusianya, memahami pembicaraan, berbicara namun pelafalan tidak
jelas, minum obat teratur setiap hari, buang air besar lancar setiap hari, makan dan
minum baik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital, pemeriksaan dada,
perut, dan ekstremitas dalam batas normal. Ukuran antropometri: berat badan 23
kg, tinggi badan 115 cm, indeks massa tubuh (body mass index/BMI) 17,39
kg/m2, lingkar kepala 51 cm, lingkar dada 51 cm, lingkar perut 55 cm, dan lingkar
lengan atas 17 cm. Anak memiliki gizi baik (BMI/U: 0<z<1 SD), severely stunted
(TB/U: z<–3 SD), dan normosefal (LK/U: -2<z<0 SD). Anak diberikan terapi L-
tiroksin (Thyrax®) dengan dosis 3-5 μg/kg/hari (1x75 μg).
Pada riwayat penyakit dahulu, anak pertama kali berobat ke poli Anak
RSUP dr. Sardjito pada tanggal 11 Mei 2005, pada saat itu anak berumur 1 tahun
10 bulan, dengan keluhan utama belum dapat merangkak. Anak dirujuk dari

Diajukan pada laporan akhir kasus Longitudinal MS-PPDS I IKA FK-UGM Yogyakarta 4
puskesmas setempat dengan diagnosis gangguan tumbuh kembang. Keluhan
sudah dirasakan oleh orangtua sejak anak berumur sekitar 10 bulan, di mana anak
tampak lemas, hanya bisa tengkurap namun belum dapat duduk, kulit tampak
layu, dan sering batuk disertai sesak nafas. Anak sebelumnya pernah diperiksakan
ke RSUD setempat dan didiagnosis sebagai TB paru dan mendapat terapi obat
antituberkulosis (OAT) selama 6 bulan. Riwayat anak lahir di puskesmas,
spontan, cukup bulan, dengan berat lahir 3500 gram, dan tidak ada riwayat
asfiksia. Anak pada saat itu merupakan anak tunggal dari bapak berusia 31 tahun
dan ibu 28 tahun, dengan tidak ada riwayat penyakit serupa pada keluarga.
Silsilah keluarga dapat dilihat pada Gambar 1. Anak tinggal di daerah dekat pantai
dan tidak ada penduduk sekitar yang mengalami pembesaran kelenjar gondok.
Riwayat imunisasi anak lengkap sesuai dengan Program Pengembangan Imunisasi
(PPI). Pada pemeriksaan fisik anak tampak pendek, perut membuncit, dengan
kulit pada ekstremitas tampak pecah-pecah (seperti marmer). Pada pemeriksaan
jantung didapatkan bising sistolik grade 2-3/6 di sela iga kedua linea parasternalis
kiri, tidak didapatkan tanda gagal jantung. Pada pemeriksaan neurologis
didapatkan hipotonus pada keempat ekstremitas dengan penurunan refleks
fisiologis. Didapatkan juga makroglosi dan hernia umbilikalis. Dengan ukuran
antropometri berat badan 6,9 kg, panjang badan 61 cm, dan lingkar kepala 43,5
cm, anak memiliki status gizi baik, severely stunted, dan mikrosefali.
Hasil pemeriksaan tes Denver II awal disimpulkan terdapat keterlambatan
pada semua sektor kemampuan, hampir sama dengan anak usia 2-4 bulan.
Evaluasi tes Denver II saat anak berumur 5 tahun (tanggal 6 November 2008),
masih didapatkan keterlambatan pada semua sektor kemampuan. Tes IQ skala
Binet pada umur 5 tahun didapatkan nilai IQ = 32 dengan kesimpulan disabilitas
intelektual sedang, mampu latih.
Hasil pemeriksaan awal hormon tiroid didapatkan hasil T3 0,0 (0,51 – 1,60)
ng/ml, T4 12,8 (45 – 120) ng/ml, hTSH >100 (0,47 – 5,01) uIU/ml. Pemeriksaan
skintigrafi tiroid pada tanggal 17 Mei 2005 didapatkan hasil tidak tampak
peningkatan radioaktivitas di daerah thyroid kedua lobus. Pemeriksaan bone age
pada hari yang sama menyimpulkan terjadi retardasi pada pertumbuhan dan

Diajukan pada laporan akhir kasus Longitudinal MS-PPDS I IKA FK-UGM Yogyakarta 5
maturasi pada sistem tulang yang tervisualisasi. Anak kemudian diberikan obat L-
tiroksin (Thyrax®) dengan dosis awal 5 μg/kg/hari (1x35 μg/hari). Evaluasi kadar
TSH dan fT4 dilakukan tiap bulan selama 3 bulan pertama, dengan hasil TSH
yang masih cenderung tinggi sehingga dosis L-tiroksin dinaikkan menjadi 6
μg/kg/hari. Evaluasi kemudian dilakukan tiap 2 bulan, dan saat ini setiap 3 bulan
dengan dosis terakhir 3 μg/kg/hari. Hasil pemeriksaan tanggal 19 Juli 2013
didapatkan TSH 0,023 (0,4 – 4,0) uIU/ml, fT4 1,75 (0,89 – 1,76) ng/dl.
Pemeriksaan echocardiografi pertama dilakukan pada tanggal 17 Mei 2005
dengan hasil atrial septal defect (ASD) sekundum kecil dengan efusi pericard dan
hipertrofi ventrikel kiri. Diberikan terapi captopril 0,3 mg/kg/12 jam peroral.
Echocardiografi ulang pada tanggal 28 Oktober 2008 didapatkan ASD sudah
menutup dan intracardiac normal, sehingga terapi dihentikan.
Tes tuberkulin dilakukan pada tanggal 23 Mei 2005 dengan hasil indurasi 15
mm (positif) dan terdapat riwayat kontak TB (tetangga), berat badan sulit naik,
dan hasil rontgen Thoraks menunjukkan infiltrat di perihiler bilateral dengan
limfadenopati hiler dextra. Anak didiagnosis tuberkulosis dan diberikan OAT lini
pertama 2HRZ-4HR. Setelah 6 bulan terapi, anak secara klinis membaik dan
terapi OAT dihentikan.

D. Tujuan
Pasien dengan hipotiroid kongenital memerlukan terapi jangka panjang dan
pemantauan kadar TSH dan fT4 secara berkala, sehingga memerlukan
pemantauan kepatuhan minum obat setiap hari dan pemantauan kemungkinan efek
samping pengobatan seperti berdebar-debar, gemetaran, diare, atau keringat
berlebih. Selain itu, sangat penting pula dilakukan pemantauan terhadap
pertumbuhan, status gizi, serta perkembangan pasien terutama kemampuan
kognitif, fungsi pendengaran, kematangan seksual, pemeriksaan gangguan
perilaku, penilaian kualitas hidup, dan pendampingan psikologis. Peran aktif
kedua orangtua sangat penting dalam mendukung pelaksanaan program
pemantauan, memastikan anak meminum obat setiap hari, adanya kemungkinan
efek samping yang timbul, serta zat atau makanan apa saja yang perlu dihindari

Diajukan pada laporan akhir kasus Longitudinal MS-PPDS I IKA FK-UGM Yogyakarta 6
karena dapat menghambat absorpsi obat, serta perhatian akan masalah higiene dan
sanitasi lingkungan yang turut mendukung kesehatan anak. Oleh karena itu,
orangtua sangat penting untuk diberikan edukasi mengenai pemahaman tentang
penyakit anak yang bersifat kronis, membutuhkan pemantauan dan pengobatan
seumur hidup, serta upaya apa saja yang perlu dilakukan untuk mencegah dan
meminimalkan komplikasi, pentingnya peran kedua orangtua dalam memberikan
pola asah, asih, dan asuh yang tepat demi tumbuh kembang dan kualitas hidup
anak yang optimal. Selain itu, perlu dipikirkan pula konseling dan pendampingan
psikologis bagi kedua orangtua agar tetap semangat, percaya diri, dan tidak mudah
putus asa dalam mengasuh dan merawat kedua anaknya.

E. Manfaat
1. Pasien
Pemantauan menyeluruh dan berkesinambungan bertujuan mengoptimalkan
tumbuh kembang anak, meningkatkan kepatuhan minum obat, dan tercapai
kualitas hidup pasien yang lebih baik.
2. Keluarga dan lingkungan sekitar
Keluarga dan lingkungan sekitar memahami mengenai penyakit yang diderita
pasien sehingga dapat berperan aktif dalam penanganan jangka panjang.
Memahami mengenai pentingnya terapi dalam jangka panjang, risiko apabila
penyakit berulang, pentingnya pemeliharaan lingkungan yang bersih dan
perlunya dukungan psikologis.
3. PPDS I
Pembelajaran bagaimana pentingnya pengenalan dini hipotiroid kongenital dan
keterlambatan diagnosis serta terapi akan memberikan luaran klinis yang
berbeda. Penatalaksanaan dua pasien dengan diagnosis yang sama namun
dengan outcome klinis yang berbeda tentunya juga menjadi tantangan
bagaimana mengoptimalkan tumbuh kembang dan meningkatkan kualitas
hidup anak sesuai dengan potensi dan keterbatasan yang dimiliki.

Diajukan pada laporan akhir kasus Longitudinal MS-PPDS I IKA FK-UGM Yogyakarta 7
4. Rumah Sakit
Penatalaksanaan hipotiroid kongenital yang menyeluruh dan
berkesinambungan serta melibatkan beberapa bagian terkait akan
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan rumah sakit.

F. Informed Consent
Sebelum pemantauan jangka panjang dilakukan terhadap pasien, peneliti
memberikan penjelasan dan meminta persetujuan tertulis dari orang tua pasien
pada bulan Agustus 2013 (Lampiran 1).

Diajukan pada laporan akhir kasus Longitudinal MS-PPDS I IKA FK-UGM Yogyakarta 8

Anda mungkin juga menyukai