Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Isi Perjanjian Inalum dan
Freeport dari Nilai Saham Hingga Pertukaran Informasi
Perusahaan, http://www.tribunnews.com/bisnis/2018/07/13/isi-perjanjian-inalum
-dan-freeport-dari-nilai-saham-hingga-pertukaran-informasi-perusahaan.
Penulis: Apfia Tioconny Billy
Editor: Fajar Anjungroso
https://ekonomi.kompas.com/read/2018/07/17/135759826/memahami-head-of-agreement-dalam-p
roses-divestasi-saham-freeport
BACA JUGA
11 Bank Siap Modali Inalum Caplok Saham Freeport
Inalum Kucurkan USD 3,85 Miliar untuk Akuisisi 51 Persen Saham Freeport
"Setelah 2021 kita tidak akan mendapatkan Grasberg secara gratis," ujar dia.
https://www.liputan6.com/bisnis/read/3590526/ini-sebab-inalum-tak-tu
nggu-kontrak-habis-buat-kuasai-freeport
Total nilai dari kesepakatan ini adalah US$3,85 miliar atau Rp 53 triliun.
Pada dasarnya Inalum akan ambil alih partisipasi interest dari Rio Tinto dan
Indocopper sehingga kepemilikan PT Inalum ditambah dengan kepemilikan
negara sebelumnya menjadi 51,38%.
Tawaran untuk pendanaannya pun berasal dari 11 bank dari luar maupun
dalam negeri yang disebut-sebut akan memberikan pinjaman kepada
Inalum dengan besaran mencapai US$5,2 miliar atau setara dengan Rp 74
triliun. Jumlah ini lebih banyak dari yang dibutuhkan Inalum untuk akuisisi
Freeport, yakni US$ 3,85 miliar.
Dirut Inalum Budi Gunadi Sadikin mengatakan pinjaman itu hanya dipakai
sebesar dengan jumlah yang dibutuhkan, tidak kurang dan tidak lebih.
"Masih kami diskusikan dengan banknya, tetapi Inalum sendiri kan punya
posisi cashmendekati US$1,5 miliar," ujar mantan Dirut Bank Mandiri ini.
"Satu catatan penting, harus ada rekomendasi tertulis dari Menteri LHK
untuk persyaratan perpanjangan 2 x 10 tahun, karena syarat di Undang
Undang Minerba dapat rekomendasi dari [kementerian] lingkungan hidup,"
kata Jonan usai menyaksikan penandatanganan Head of Agreement (HoA)
antara Inalum dan Freeport McMoran di Kementerian Keuangan, Kamis
(12/7/2018).
PILIHAN REDAKSI
Freeport Dapat
Perpanjangan Operasi
Sampai 2041
Jonan menambahkan setelah tahap akuisisi
51% selesai, Kementerian ESDM akan
memfinalisasi perubahan rezim PT Freeport
Indonesia dari Kontrak Karya (KK) menjadi
Sampai 2041, RI Bakal
Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi
Dapat Rp 840 T dari
(IUPK-OP), sesuai dengan ketentuan
Freeport peraturan.
Akhir Agustus Semuanya Kelar
"Saya dorongnya akhir Juli, tapi tadi memang Pak Budi (Dirut Inalum)
bilang 'Bu, kalau bisa akhir Agustus'," kata Menteri Rini usai
penandatanganan.
https://www.cnbcindonesia.com/news/20180713081129-4-23336/perja
njian-awal-akuisisi-freeport-akhirnya-diteken-juga
Kesepakatan Freeport,
Patut Disyukuri atau
Disesali?
Perjanjian awal soal Freeport ditandatangani
pekan lalu. Kontroversi merebak. Transaksi ini
merugikan atau menguntungkan negara?
Metta Dharmasaputra
19 Juli 2018
ILUSTRATOR: BETARIA SARULINAMenteri ESDM Ignasius Jonan (kiri),
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kiri), Menteri BUMN Rini Soemarno (kedua
kanan) dan Menteri LHK Siti Nurbaya (kanan) menyaksikan penandatanganan
Head of Agreement divestasi PT Freeport Indonesia oleh Direktur Utama PT
Inalum Budi Gunadi (ketiga kanan) dan Presiden Direktur Freeport McMoran,
Richard Adkerson (ketiga kiri) di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Kamis (12/7).
News Alert
Dapatkan informasi terkini seputar ekonomi dan bisnis langsung lewat email
Anda
Kenapa sekarang?
Jika ditilik secara teliti isi kontrak karya Freeport yang dibuat
pada 1991, ternyata tak ada jaminan divestasi 51 persen
saham itu akan dilakukan. Benar bahwa kontrak akan berakhir
pada 2021. Namun, ada kesempatan bagi pihak Freeport
untuk mengajukan perpanjangan masa kontrak dua kali 10
tahun.
Padahal, tak lama lagi, pada 2030 negeri ini akan segera
menghadapi puncak bonus demografi, yang ditandai dengan
ledakan penduduk usia produktif. Kue pembangunan yang bisa
dibagi harus kian besar. Jika tidak, pengangguran merajalela.
Ramai dibidik?
Perlu diingat pula, kalau pun hak partisipasi ini tidak dibeli oleh
pemerintah, bisa saja Rio Tinto kemudian menjualnya ke pihak
lain. Desas-desus yang beredar, sejumlah pihak memang sudah
siap “memangsa” bola muntah ini.
Terkait soal ini, lagi-lagi ada pengalaman pahit yang patut jadi
pelajaran. Pada 2001, pemerintah kehilangan kesempatan
menguasai Kaltim Prima Coal (KPC), salah satu tambang
batu-bara terbesar di dunia yang berlokasi di Kalimantan
Timur.
https://katadata.co.id/opini/2018/07/19/kesepakatan-freeport-patut-disy
ukuri-atau-disesali
Untuk menjawab pertanyaan yang telah Saudara ajukan, maka kami akan
membagi masing-masing pembahasan dimaksud, yaitu sebagai berikut:
A. Nota Kesepahaman
MoU merupakan suatu perbuatan hukum dari salah satu pihak (subjek
hukum) untuk menyatakan maksudnya kepada pihak lainnya akan sesuatu
yang ditawarkannya ataupun yang dimilikinya. Dengan kata lain, MoU pada
dasarnya merupakan perjanjian pendahuluan, yangmengatur dan
memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengadakan studi
kelayakan terlebih dahulu sebelum membuat perjanjian yang lebih
terperinci dan mengikat para pihak pada nantinya.
B. Perjanjian
a) Perbuatan
Frasa “Perbuatan” tentang Perjanjian ini lebih kepada “perbuatan
hukum” atau “tindakan hukum”.Hal tersebut dikarenakan perbuatan
sebagaimana dilakukan oleh para pihak berdasarkan perjanjian akan
membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan
tersebut.
b) Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih
Perjanjian hakikatnya dilakukan paling sedikit oleh 2 (dua) pihak yang
saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan satu
sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum (subjek
hukum).
c) Mengikatkan diri
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak
yang satu kepada pihak yang lain. Artinya, terdapat akibat hukum
yang muncul karena kehendaknya sendiri.
Adapun suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak maka
perjanjian dimaksud haruslah memenuhi syarat-syarat sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPer, yang menyatakan:
1) Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai
hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan
mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat
terutama mengingat dirinya orang tersebut;.
Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap
sebagaimana tersebut di atas, maka Perjanjian tersebut batal demi
hukum (Pasal 1446 KUHPer).
Kekuatan mengikat dan memaksa MoU pada dasarnya sama halnya dengan
perjanjian itu sendiri. Walaupun secara khusus tidak ada pengaturan tentang
MoU dan materi muatan MoU itu diserahkan kepada para pihak yang
membuatnya.
Terkadang, ada perjanjian yang diberi nama MoU. Artinya, penamaan dari
dokumen tersebut tidak sesuai dengan isi dari dokumen tersebut. Sehingga
MoU tersebut memiliki kekuatan hukum mengikat sebagaimana perjanjian.
Dalam hal suatu MoU telah dibuat secara sah, memenuhi syarat-syarat
sahnya perjanjian sebagaimana disebut dalam Pasal 1320 KUHPer, maka
kedudukan dan/atau keberlakuan MoU bagi para pihak dapat disamakan
dengan sebuah undang-undang yang mempunyai kekuatan mengikat dan
memaksa. Tentu saja pengikat itu hanya menyangkut dan sebatas pada
hal-hal pokok yang termuat dalam MoU.
Dasar hukum:
Meskipun di awal semester dua ini, ilmu hukum yang saya dapatkan masih
yang bersifat non-konsentrasi seperti Hukum Lingkungan dan Mediasi namun
saya mulai untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan konsentrasi yang
saya inginkan yaitu Hukum Bisnis.
Salah satu hal yang ingin saya share berdasarkan hasil diskusi dan studi
literatur kepada pembaca sekalian adalah tentang Memorandum of
Understanding (MOU). Bila ditinjau dari definisinya, Munir Fuadi
mengartikan bahwa MOU adalah suatu perjanjian pendahuluan, dalam arti
nantinya akan diikuti oleh dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang
mengaturnya secara lebih detil. Karena itu, dalam MOU hanya berisikan
hal-hal yang pokok saja [1].
Apakah dengan begitu MOU tidak boleh? tentu saja boleh. Landasan
yuridis yang dapat digunakan adalah Pasal 1338 KUH Perdata yang menganut
asas kebebasan berkontrak dimana intinya adalah apapun yang dibuat sesuai
kesepakatan kedua belah pihak, merupakan hukum yang berlaku baginya
sehingga mengikat kedua belah pihak kecuali jika kontrak tersebut
bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Istilah – Istilah
Adapun istilah agreement seperti HOA itu sendiri juga sering digunakan para
lawyer karena keraguan atas kekuatan hukum apabila digunakan istilah MOU.
Meskipun MOU bersifat tidak mengikat dan tidak dikenal dalam sistem
hukum konvensional Indonesia namun pasal-pasal didalamnya tetap
berkekuatan hukum karena KUH Perdata sebagai dasar hukum dari setiap
perjanjian tidak pernah mengecualikan berlakunya hukum perjanjian
terhadap suatu MOU.
Rujukan:
[1] Fuady, Munir. Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku Keempat.
Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2002
Iklan
https://andihendra.com/2013/10/12/apa-itu-mou/
MoU
KEDUDUKAN HUKUM DARI M.O.U DITINJAU DARI HUKUM
KONTRAK A. Pengertian Memorandum of Understanding (M.O.U)
Istilah lain yang sering juga dipakai untuk M.O.U ini, terutama oleh
negara-negara Eropa adalah apa yang disebut dengan Head
Agreement, Cooperation Agreement, dan Gentlement
Agreement yang sebenarnya mempunyai arti yang sama saja
dengan arti yang dikandung oleh istilah M.O.U. 31
Kedudukan M.O.U
Asas pacta sun servada (janji itu mengikat) ini mengajarkan bahwa
suatu kontrak yang dibuat secara sah mempunyai ikatan hukum
yang penuh. KUH Perdata kita juga menganut prinsip dengan
melukiskan bahwa suatu kontrak berlaku seperti undang-undang
bagi para pihak.
Akan tetapi lain halnya jika dalam materi M.O.U tersebut hanya
mengatur mengenai ulasan-ulasan pokok saja dimana dalam pasal
M.O.U disebutkan bahwa kerjasama mengenai kegiatan-kegiatan
yang dilakukan antar pihak akan ditentukan dalam perjanjian
pelaksanaan yang akan ditentukan oleh masing-masing pihak. Dan
jika ditentukan pula dalam salah satu pasal lain bahwa untuk
pembiayaan akan diatur pula dalam perjanjian lain yang lebih detil.
Apabila substansi dalam M.O.U mengatur hal-hal yang demikian,
maka berdasarkan asas hukum kontrak bahwa dapat disebut
kontrak apabila suatu perjanjian itu bersifat final, maka M.O.U
semacam ini berdasarkan asas obligator tidak bisa dikatakan suatu
kontrak, karena belum final dalam pembuatannya.37
Untuk menentukan suatu M.O.U itu suatu kontrak atau bukan maka
harus dilihat apakah M.O.U tersebut telah memuat sanksi atau tidak.
Kalau dalam M.O.U tidak memuat suatu sanksi yang tegas maka
M.O.U tersebut tidak dapat dikatakan suatu kontrak. Dan kalau
hanya memuat sanksi moral maka M.O.U tidak bisa dikatakan suatu
kontrak berdasarkan Teori Holmes yang menyatakan bahwa tidak
ada sanksi moral dalam suatu kontrak.38
1. Gentlemen Agreement
2. Agreement is Agreement
Suatu perjanjian jika yang diatur hanya hal-hal pokok saja, maka
mengikatnya hanya pun hanya terhadap hal-hal pokok tersebut.
Sama halnya jika suatu perjanjian hanya berlaku untuk suatu jangka
waktu tertentu, maka mengikatnya pun hanya untuk jangka waktu
tertentu tersebut. Sungguh pun para pihak tidak dapat dipaksakan
untuk membuat perjanjian yang lebih rinci sebagai tindak lanjut dari
M.O.U, paling tidak, selama jangka waktu perjanjian itu masih
berlangsung, para pihak tidak boleh membuat perjanjian yang sama
dengan pihak lain. Ini tentu jika dengan tegas disebutkan untuk itu
dalam M.O.U tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
untuk mengetahui kedudukan dari M.O.U diperlukan suatu
pengamatan yang jeli terhadap substansi yang terdapat dalam
M.O.U tersebut, apakah materinya mengandung unsur kerugian non
moral atau kerugian secara finansial apabila tidak dilakukannya
pemenuhan prestasi dan apakah dalam M.O.U mengandung sanksi
atau tidak. Apabila menimbulkan suatu kerugian non moral yaitu
material dan mengandung suatu sanksi yang jelas bagi para pihak
yang mengingkarinya, maka M.O.U tersebut sudah berkedudukan
sebagai kontrak dan dianggap sudah setingkat dengan perjanjian
berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata mengenai kebebasan
berkontrak. Walaupun M.O.U tidak pernah disebutkan dengan tegas
bahwa itu merupakan suatu kontrak, akan tetapi kenyataannya
kesepakatan semacam M.O.U ini memang ada seperti yang
ditegaskan dalam teori kontrak de facto (implied in-fact), yakni
sudah disebut sebagai kontrak, walaupun tidak pernah disebutkan
dengan tegas tetapi ada kenyataan, pada prinsipnya dapat diterima
sebagai kontrak yang sempurna.42M.O.U dalam hal ini apabila
dikaitkan dengan teori ini maka dapat disebut sebagai suatu kontrak
dengan segala macam konsekuensinya.
repository.usu.ac.id
http://www.spocjournal.com/hukum/402-kedudukan-mem
orandum-of-understanding-m-o-u-ditinjau-dari-segi-
hukum.html
https://josuavssitorus.wordpress.com/2014/06/12/mou/
[1] Henry Campbell, “Black’s Law Dictionary”, (USA: West Publishing Company, 1990).
[2] Munir Fuady, “Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik”, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), hlm. 90.
[3] Salim HS, “Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding /MoU”. (Jakarta:
Sinar Grafika, 2007), hlm. 46.
[4] Munir Fuady, “Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik”, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), hlm. 91.
[5] Erman Rajagukguk, “Kontrak Dagang Internasional dalam Praktik di
Indonesia”, (Jakarta: Universitas Inonesia, 1994), hlm 4.
[6] Ibid., hlm. 47.
[7] Salim HS, “Hukum Kontrak. Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak”, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), hlm. 124.
[8] Dwika Sudrajat, “MoU dan
Kontrak”, http://dwikasudrajat.blogspot.com/2012/03/mou-memorandum-of-understanding.html,
diakses pada tanggal 20 Maret 2013.
[9] Munir Fuady, “Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik”, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), hlm. 92.
[10] Salim HS, “Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding /MoU”. (Jakarta:
Sinar Grafika, 2007), hlm. 48.
[11] Munir Fuady, “Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik”, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), hlm. 91-92.
[12] I. G. Ray Wijaya, “Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) Teori dan Praktik”,
(Jakarta: Kasaint Blanc, 2003), hlm. 102.
[13] Rahmat S. Sokonagoro, “Menggali makna peristilahan hukum dalam bahasa hukum
Indonesia”, http://www.sokonagoro.com/7-menggali-makna-peristilahan-hukum-dalam-bahasa-hukum
-indonesia.html, diakses pada tanggal 20 Maret 2013.
[14] Lawrence M. Friedman, “Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial”, (Bandung: Nusa Media,
2011), hlm. 12-19. Lihat juga dalam, Lawrence M. Friedman, “Hukum Amerika Sebuah Pengantar”,
(Jakarta: Tata Nusa, 2001), hlm. 8-10.
[15] Lawrence M. Friedman, “Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial”, (Bandung: Nusa Media,
2011), hlm. 20.
[16] Tabel ini disadur dari: Linda, “Perbedaan sistem hukum Eropa Kontinental dan Anglo
Saxon”,http: // chancut- unyuw. blogspot. com/ 2012 /02 /perbedaan –sistem –hukum
-kontinental-dan_23.html, diakses pada tanggal 20 Maret 2013.
http://cakraarbas.blogspot.com/2013/08/mou-helsinki-dan-sistem-hukum.
html
Untuk mengetahui apakah suatu M.O.U bisa dikatakan kontrak atau bukan
ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu antara lain mengenai:
1.
2.
Mengetahui materi atau substansi apa saja yang diatur dalam pasal-
pasal M.O.U sangat penting, karena apakah dalam materi yang
termaktub dalam M.O.U tersebut terdapat unsur-unsur yang akan
membuat salah satu pihak dirugikan apabila ada salah satu materi
dalam M.O.U tersebut yang diingkari. Misalkan dalam M.O.U disebutkan
mengenai kerjasama untuk membangun suatu proyek, dimana kedua
belah pihak menyetujui untuk saling
bekerja sama dalam pembangunan proyek tersebut. Tet
api di tengah perjalanan salah satu pihak ingin membatalkan
kerja sama tersebut dengan dalil proyek tersebut tidak berprospek
bagus. Dengan adanya pembatalan sepihak tersebut jelas merugikan
pihak lain yang bersangkutan, karena salah satu pihak tersebut merasa
telah menyiapkan segalanya termasuk anggaran- anggaran yang
dibutuhkan. Maka dalam hal ini berdasarkan teori mengenai
wanprestasi yaitu tentang hilangnya keuntungan yang diharapkan,
dimana salah satu pihak merasa rugi dan merasa kehilangan suatu
keuntungan yang besar dari pembatalan M.O.U tersebut, maka M.O.U
yang telah dibuat tersebut dapat dikategorikan suatu kontrak atau
setingkat dengan perjanjian berdasarkan pasal 1338 KUHPerdata.
Dalam Teori kepercayaan merugi (Injurious Reliance Theori) juga telah
dinyatakan dengan jelas bahwa kontrak sudah dianggap ada jika
dengan kontrak yang bersangkutan sudah menimbulkan kepercayaan
bagi pihak terhadap siapa janji itu diberikan sehingga pihak yang
menerima janji tersebut karena kepercayaannya itu akan
menimbulkan kerugian jika janji itu tidak terlaksana. Ibid., hal. 92Akan
tetapi lain halnya jika dalam materi M.O.U tersebut hanya mengatur
mengenai ulasan-ulasan pokok saja dimana dalam pasal M.O.U
disebutkan bahwa kerjasama mengenai kegiatan-kegiatan yang
dilakukan antar pihak akan ditentukan dalam perjanjian pelaksanaan
yang akan ditentukan oleh masing-masing pihak. Dan jika ditentukan
pula dalam salah satu pasal lain bahwa untuk pembiayaan akan diatur
pula dalam perjanjian lain yang lebih detil. Apabila substansi dalam
M.O.U mengatur hal-hal yang demikian, maka berdasarkan asas hukum
kontrak bahwa dapat disebut kontrak apabila suatu perjanjian itu
bersifat final, maka M.O.U semacam ini berdasarkan asas obligator
tidak bisa dikatakan suatu kontrak, karena belum final dalam
pembuatannya. Ibid., hal. 32
3.
4.
5.
Untuk menentukan suatu M.O.U itu suatu kontrak atau bukan maka
harus dilihat apakah M.O.U tersebut telah memuat sanksi atau tidak.
Kalau dalam M.O.U tidak memuat suatu sanksi yang tegas maka M.O.U
tersebut tidak dapat dikatakan suatu kontrak. Dan kalau hanya
memuat sanksi moral maka M.O.U tidak bisa dikatakan suatu kontrak
berdasarkan Teori Holmes yang menyatakan bahwa tidak ada sanksi
moral dalam suatu kontrak. Ibid., hal. 11
6.
1. Gentlemen Agreement
2. Agreement is Agreement
Ada juga pihak yang berpendapat bahwa sekali suatu perjanjian dibuat,
apapun bentuknya. Lisan atau tertulis, pendek atau panjang, lengkap/ detil
ataupun hanya diatur pokok-pokoknya saja, tetap saja merupakan suatu
perjanjian, dan karenanya mempunyai kekuatan hukum mengikat layaknya
suatu perjanjian, sehingga seluruh ketentuan pasal-pasal tentang hukum
perjanjian telah bisa diterapkan kepadanya. Dan menurut pendapat ini untuk
mencari alas yuridis yang tepat bagi penggunaan M.O.U adalah terdapat
dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang artinya apapun yang dibuat
sesuai kesepakatan kedua belah pihak, merupakan hukum yang berlaku
baginya sehingga mengikat kedua belah pihak tersebut. Selain itu menurut asas
kebebasan berkontrak dan asas konsensual maka hal apa saja asalkan halal
menurut hukum dan telah secara bebas disepakati maka berlaku suatu
perjanjian atau jika diterapkan secara tertulis maka hal tersebut bisa
dikatakan sebagai kontrak.
Pijakan lain dari pendapat diatas adalah dengan menggunakan suatu teori
yang disebut teori promissory estopel. Teori promissory estoppel atau disebut
juga dengan detrimental reliance mangajarkan bahwa dianggap ada
kesesuaian kehendak di antara para pihak jika pihak lawan telah melakukan
sesuatu sebagai akibat dari tindakan-tindakan pihak lainnya yang
dianggap merupakan tawaran untuk ikatan suatu kontrak. Munir Fuady
I,Op.Cit., hal. 8.
Doktrin lainnya adalah Teori kontrak quasi (quasi contract atau implied in
law). Teori ini mengajarkan bahwa dalam hal-hal tertentu, apabila dipenuhi
syarat-syarat tertentu, maka hukum dapat menganggap adanya kontrak di
antara para pihak dengan berbagai konsekuensinya, sungguhpun dalam
kenyataannya kontrak tersebut tidak pernah ada. Ibid
Tetapi apabila dalam M.O.U tersebut hanya mengenai suatu hal belum final
dan masih membutuhkan perjanjian lain sebagai
pendukungnya dan dalam M.O.U tersebut tidak terdapat sanksi yang jelas
terhadap pihak yang mengingkarinya, maka M.O.U tersebut hanya
berkedudukan hanya sebagai “say hello” dalam hal kesepakatan mengenai
suatu proyek-proyek besar. Dan hal ini tentunya tidak mempunyai efek
apapun terhadap kekuatan hukum suatu M.O.U. Munir Fuady III.,Op.Cit., hal.
90.
http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-mou-memorandum-of
.html
Salah satu syarat sahnya perjanjian itu adalah adanya konsensus para pihak,
di samping itu yang dapat di jadikan dasar hukum pembuatan MoU adalah
Pasal 1338 KUHPerdata. Pasal 1338 KUHPerdata berbunyi:
"Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang–undangbagi mereka yang membuatnya".
Asas kebebasan berkontrak, adalah suatu asas yang
memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk:
a. membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
dan
d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Asas ini merupakan asas yang sangat penting dalam pembuatan MoU, karena
asas ini memperkenankan para pihak, apakah itu, antara badan hukum
ataupun individu dengan badan hukum atau individu dengan individu untuk
melakukan atau membuat MoU yang sesuai dengan kebutuhan maupun
keinginan para pihak dalam MoUasalkan isinya tidak melanggar
peraturanperundang-undang yang berlaku.
penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan
barulah mulai diwajibkan, apabila siberutang, setelah dinyatakan lalai
memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang
harus diberikan atau dibuat tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
Wanprestasi seseorang debitur dapat berupa empat macam :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak
sebagaimana mestinya.
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
4. Melakukan apa yang menurut yang dijanjikan tidak boleh
dilakukannya. [10]
Wanprestasi yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakannya
prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh
kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam
kontrak yang bersangkutan.Tindakan wanprestasi membawa
konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk
menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk melakukan
pemenuhan prestasi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada
satu pun pihak yang dirugikan karena prestasi tersebut.[11]
Hukuman bagi yang melakukan Wanprestasi adalah sebagai
berikut : melakukan pemenuhan perikatan, dapat ditintut pembatalan
perikatan dan dituntut ganti rugi dan pemenuhan perikatan dengan ganti
rugi.
Pengingkaran yang terjadi dalam substansi dari M.O.U dapat
dikategorikan menjadi dua bagian yaitu :
a. Pengingkaran terhadap substansi M.O.U yang tidak berkedudukan
sebagai kontrak.
b. Pengingkaran substansi M.O.U yang berkedudukan sebagai
kontrak (wanprestasi).
Untuk M.O.U yang tidak mempunyai suatu kekuatan hukum yang
memaksa (sanksi), maka M.O. tersebut sebaiknya diratifikasi menjadi
sebuah kontrak baru dengan substansi lebih tegas menyangkut hak
dan kewajiban masing-masing pihak disertai dengan sanksi yang tegas
pula jika terdapat uatu pelanggaran. Sedangkan untuk M.O.U yang
sifatnya sudah merupakan suatu kontrak maka apabila terjadi suatu
wanprestasi terhadap substansi dalam M.O.U ini maka pihak tersebut
harus memenuhi prestasi yang telah dilanggarnya atau ia akan dikenai
sanksi dari perundang-undangan yang berlaku.
Apabila dalam suatu kontrak ada provisi atau ketetapan pasal
yang menentukan jumlah ganti rugi yang harus dibayar oleh pihak
debitur jika debitur tersebut wanprestasi, maka pembayaran ganti rugi
tersebut hanya sejumlah yang ditetapkan dalam kontrak tersebut, Tidak
boleh dilebihi atau dikurangi (pasal 1249 KUH Perdata). Akan tetapi jika
jumlah kerugian yang disebut dalam kontrak terlalu besar, sangat
memberatkan bahkan tidak masuk akal, tentu tidak masuk akal pula jika
jumlah yang sangat besar tersebut harus dibayar oleh pihak debitur
sebagai suatu pemenuhan prestasi sungguhpun dia sudah terbukti
melakukan wanprestasi.[12]
Ketentuan sebagaimana diatur oleh pasal 1249 tersebut harus
dibaca bahwa dalam undang-undang mengisyaratkan bahwa
penentuan jumlah ganti rugi dalam kontrak oleh para pihak dalam
kontrak tersebut memang dimungkinkan. Hal ini sesuai dengan prinsip
kebebasan berkontrak.
Akan tetapi, penentuan jumlah ganti rugi dalam suatu M.O.U
sebagai kontrak dapat mengundang banyak persoalan yuridis. Misalnya
ganti rugi dalam bentuk apa yang diperbolehkan, apa ada
batas-batasnya, dan bagaimana pula jika ganti rugi tersebut terlalu
memberatkan sehingga sebenarnya sudah merupakan suatu hukuman
(penalty), sehingga tidak sesuai lagi dengan teori sama nilai (Equivalent
Theori) dimana teori ini mengajarkan bahwa suatu kontrak harus
memberikan prestasinya yang seimbang atau sama nilai (equivalent).
Jelasnya adalah bahwa antara ganti rugi dan penalty tujuannya
masing-masing berbeda. Tujuan ganti rugi dalam kontrak adalah untuk
menetapkan secara pasti suatu jumlah ganti kerugian yang harus
dibayar jika terjadi wanprestasi, sedangkan tujuan dari penaltyadalah
menghukum seseorang dengan sesuatu yang tidak seimbang dengan
wanprestasi yang telah dilakukannya.
Untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban dari
kedua belah pihak dalam kontrak yang bersangkutan mengenai
pemberian ganti rugi, maka dalam hukum kontrak didapatkan
petunjuk-petunjuk sebagai berikut :
1. Merupakan suatu estimasi yang masuk akal atas suatu kompensasi
yang adil.
2. Jumlah ganti rugi tersebut harus masuk akal baik ditinjau pada saat
dibuatnya suatu kontrak ataupun pada saat terjadinya wanprestasi.
3. Merupakan ganti rugi jika penentuan jumlah dalam kontrak
tersebut merupakan usaha dengan itikad baik untuk melaksanakan
estimasi yang benar. Jika tidak , itu namanya penalty.
4. Jumlah ganti rugi harus layak dimana jumlah ganti rugi yang
disebutkan dalam kontrak tersebut harus masuk akal dan tidak
boleh berlebihan. Kapankah diukur layak atau tidaknya jumlah
suatu ganti rugi.
F. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kekuatan suatu perjanjian dalam memorandum of understanding (
M.O.U) menurut KUH Perdata adalah merupakan suatu
perjanjian/pernyataan yang dibuat baik lisan atau tertulis yang
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat kedua pihak dan mempunyai
sanksi yang umumnya disebut sebagai Kontrak (Agreement is
Agreement) (Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata).
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Amirizal, Hukum Bisnis, Risalah Teori dan Praktik, Djambatan, Jakarta, 1999.
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cetakan ke 25, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta, 2003.
Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Kedua, PT. Citra
Ditya Bakti Bandung, 1999.
__________, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Keempat, PT.
Citra Aditya Bakti Bandung 2002.
Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Azaz-Azaz Hukum Perdata,Alumni,
Bandung, 1999.
Y. Sogar Simamora, Prinsip Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang dan
Jasa oleh Pemerintah.. Yuridika. Volume17, No. 1, Maret 2003.
Y. Sogar Simamora. Harmonisasi Prinsip-prinsip Hukum Kontrak Indonesia
Terhadap Sistem Perdagangan Global, Yuridika. Volume18, No. 2,
Maret 2003
http://semestahukum.blogspot.com/2016/07/kekuatan-hukum-suatu-mem
orandum-of.html