Anda di halaman 1dari 59

TRIBUNNEWS.

COM, JAKARTA -- Inalum selaku bakal pemilik mayoritas saham


Freeport Indonesia baru saja melakukan penandatangan pokok perjanjian atau head of
agreement (HoA) dengan Freeport.
Salah satu perjanjianya adalah Inalum akan membeli saham Freeport senilai 3,85
miliar dolar AS.
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN,
Fajar Harry Sampurno menjabarkan sebenarnya ada tiga kesepakatan.
Pertama adalah perjanjian pengikatan jual beli atau sales and purchase agreement
(SPA), selanjutnya adalah shareholders agreement atau seperti perjanjian kesepakatan
antara pemegang saham dengan pemegang saham baru.
Lalu yang ketiga adalah exchange agreement atau pertukaran informasi antara
pemegang sahan baru dan pemegang saham lama.
Baca: TGB Terkesan dengan Gaya Kepemimpinan Jokowi
"Di dalam HOA diatur tiga kesepakatan seperti sales and purchase agreement,
ecxhange agreement, shareholders agreement," ungkap Fajar di Kementerian ESDM,
Jakarta Pusat, Jumat (13/7/2018).
Fajar menyebutkan ketiga perjanjian tersebut akan dikebut realisasinya karena
terdapat aturan-aturan yang menyangkut tenggang waktu pembelian saham.
Namun dipastikan untuk nilai saham yang akan dibeli sudah tetap atau tidak akan ada
perubahan lagi.
"Tiga ini akan diselesaikan. karena ada pokok-pokok kesepakatan di dalamnya seperti
berapa lama inalum akan bayar dan lainnya. Yang pasti, harga pembelian saham
sudah di lock," tutur Fajar.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Isi Perjanjian Inalum dan
Freeport dari Nilai Saham Hingga Pertukaran Informasi
Perusahaan, http://www.tribunnews.com/bisnis/2018/07/13/isi-perjanjian-inalum
-dan-freeport-dari-nilai-saham-hingga-pertukaran-informasi-perusahaan.
Penulis: Apfia Tioconny Billy
Editor: Fajar Anjungroso
https://ekonomi.kompas.com/read/2018/07/17/135759826/memahami-head-of-agreement-dalam-p
roses-divestasi-saham-freeport

AKARTA, KOMPAS.com - Status perjanjian bertajuk Head of Agreement


antara PT Indonesia Asahan Alumunium atau Inalum (Persero) dengan PT
Freeport Indonesia (PTFI) pada Kamis (12/7/2018) lalu belakangan
dipertanyakan. Sejumlah kalangan menilai, perjanjian tersebut belum
mengikat sehingga tugas Inalum untuk divestasi saham Freeport 51 persen
masih tidak pasti. Mengutip Investopedia, Head of Agreement merupakan
perjanjian dasar terkait kerja sama maupun transaksi. Head of Agreement
dikenal pula dengan istilah heads of terms atau letter of intent. Head of
agreement merupakan langkah pertama dari langkah-langkah perjanjian
selanjutnya yang akan mengikat secara legal kepada pihak-pihak terkait. Bila
dilihat dari riwayatnya, Head of Agreement atau kesepakatan pokok ini
memang mengacu dari perjanjian antara induk usaha PTFI, Freeport
McMoran Incorporated (FCX) dengan pemerintah pada Agustus 2017 silam.
Perjanjian yang dimaksud adalah mengenai hak-hak operasi jangka panjang
PTFI, yang diuraikan ke dalam empat poin. Mengutip dari laman resmi PTFI,
ptfi.co.id, disebutkan poin yang pertama adalah izin PTFI yang akan diubah
dari Kontrak Karya (KK) jadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan
sekaligus memberikan hak operasi hingga 2041. Kedua, pemerintah menjamin
kepastian fiskal dan hukum selama jangka waktu IUPK berlaku. Ketiga, PTFI
berkomitmen membangun smelter baru di Indonesia dalam jangka waktu lima
tahun. Keempat dan yang terakhir, FCX setuju divestasi kepemilikannya di
PTFI berdasarkan harga pasar yang wajar sehingga kepemilikan Indonesia atas
PTFI jadi 51 persen. Berangkat dari perjanjian tersebut, langkah selanjutnya
diwujudkan dalam kesepakatan pokok Head of Agreement yang diadakan di
gedung Kementerian Keuangan, Kamis lalu. Kesepakatan pokok ini menjadi
penegasan bahwa pemerintah dipastikan memiliki 51 persen saham PTFI
melalui Inalum sebagai pelaksananya. Dalam Head of Agreement, dijelaskan
secara detil tahapan yang ditempuh agar Indonesia bisa memiliki saham
mayoritas PTFI 51 persen. Salah satu tahapannya adalah pembayaran 3,85
miliar dollar AS oleh Inalum sebagai proses mencaplok saham 51 persen. Uang
3,85 miliar dollar AS itu akan dipakai untuk membeli hak partisipasi atau
Participating Interest Rio Tinto dan 100 persen saham FCX di PT Indocopper
Investama. Participating Interest Rio Tinto di PTFI sebesar 40 persen,
sedangkan saham Indocopper sebesar 9,36 persen. Dari 40 persen
Participating Interest Rio Tinto, akan dikonversi menjadi saham yang
kemudian ditambah dengan bagian saham Indocopper supaya Inalum bisa
mendapatkan 51 persen. Proses pembayaran ditargetkan Menteri BUMN Rini
Soemarno bisa selesai akhir Juli 2018. Rini memastikan, mengenai struktur
transaksi dan harga divestasi saham sudah dikunci sehingga tidak akan ada
perubahan lagi. Adapun tahapan berikutnya adalah perjanjian joint venture
untuk menegaskan bagian di PTFI, yaitu 51 persen Indonesia dan 49 persen
Freeport. "Setelah joint venture agreement final, kami langsung tanda tangan
dan bayar. Setelah tanda tangan dan bayar, Pak Menteri ESDM dan Ibu
Menkeu akan mengeluarkan IUPK dan lain-lain, stabilisasi investasi yang jadi
bagian dari IUPK," tutur Rini pada Kamis lalu. Presiden Joko Widodo pada
Senin (16/7/2018) turut menegaskan bahwa Head of Agreement dengan
PTFI sebagai sebuah capaian penting namun bukan sebagai proses akhir.
Presiden juga minta supaya semua pihak mensyukuri capaian itu dengan tidak
berburuk sangka bahkan berbicara yang tidak-tidak mengenai perjanjian
tersebut. "Ini proses panjang hampir 3,5 tahun, hampir 4 tahun kita lakukan
dan ini alot sekali. Kalau sudah bisa masuk ke Head of Agreement itu sudah
sebuah kemajuan yang amat sangat. Kalau ada kemajuan seperti itu
Alhamdulillah patut kita syukuri. Jangan malah sudah ada kemajuan seperti
itu masih ada yang ngomong miring-miring," tutur Jokowi.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Memahami "Head of


Agreement" dalam Proses Divestasi Saham
Freeport", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/07/17/135759826/m
emahami-head-of-agreement-dalam-proses-divestasi-saham-freeport.
Penulis : Andri Donnal Putera
Editor : Bambang Priyo Jatmiko

iputan6.com, Jakarta - Freeport McMoran, Rio Tinto dan PT Indonesia


Asahan Alumunium (Inalum) telah menandatangani Head of Agreement (HoA)
pada Kamis pekan lalu. Langkah tersebut merupakan langkah awal untuk
menguasai Freeport Indonesia.

Namun hal tersebut disayangkan beberapa pihak, karena terkesan


terburu-buru tidak menunggu hingga habis kontrak pada 2021.

Terlebih holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pertambangan tersebut


harus berutang agar dapat menggenapi saham menjadi 51 persen.

Head of Corporate Communication and Goverment Relation PT Inalum, Rendy


Witoelar menjelaskan, Indonesia tidak bisa memiliki tambang Grasberg Papua,
yang saat ini dikelola Freeport Indonesia secara gratis meski kontraknya sudah
habis pada 2021.

BACA JUGA
 11 Bank Siap Modali Inalum Caplok Saham Freeport

 Inalum Kucurkan USD 3,85 Miliar untuk Akuisisi 51 Persen Saham Freeport

 RI Kuasai 51 Persen Saham Freeport, Rakyat Papua Lebih Makmur

Sebab berdasarkan Kontrak Karya Pasal 22 ayat 1 menyebutkan, sesudah


pengakhiran persetujuan berdasarkan pasal 22 ini atau pengakhiran
persetujuan ini karena alasan berakhirnya jangka waktu persetujuan ini,
semua kekayaan kontrak karya milik perusahaan yang bergerak atau tidak
bergerak, yang terdapat di wilayah-wilayah proyek dan pertambangan harus
ditawarkan untuk dijual kepada pemerintah dengan harga atau nilai pasar,
yang mana yang lebih rendah, tetapi tidak lebih rendah dari nilai buku.

Dengan begitu, pemerintah harus membeli seluruh kekayaan Freeport


Indonesia yang bergerak maupun dengan nilai tidak lebih rendah dari book
value atau disebut nilai buku. Nilai buku PTFI berdasarkan laporan keuangan
yang diaudit ada di sekitar USD 6 miliar.

"Pemerintah pun wajib membeli pembangkit listrik yang di area tersebut


senilai lebih dari Rp 2 triliun," kata Rendy, saat berbincang
dengan Liputan6.com,dikutip di Jakarta, Senin (16/7/2018).
Rendy melanjutkan, dalam Kontrak Karya perusahaan asal Amerika Serikat
tersebut menafsirkan, berhak mengajukan perpanjangan masa operasi 2 kali
10 tahun setelah kontrak habis pada 2021.

Pemerintah pun tidak akan menahan pengajuan tersebut atau menunda


persetujuan secara tidak wajar. Hal ini tercantum dalam Pasal 31 ayat 2
Kontrak karya.

Rendy menuturkan, jika pemerintah memutuskan mengambil alih Freeport


Indonesia setelah masa kontrak habis pada 2021, dengan tidak
memperpanjang kontrak maka berpotensi penyelesaian di arbitrase.

"Setelah 2021 kita tidak akan mendapatkan Grasberg secara gratis," ujar dia.

Rendy melanjutkan, Indonesia berisiko tidak menangkan arbitrase. "Ini karena


dalam Pasal Kontrak Karya tersebut tercantum kalimat "Pemerintah pun
tidak akan menahan pengajuan tersebut atau menunda persetujuan secara
tidak wajar," ujar dia.

https://www.liputan6.com/bisnis/read/3590526/ini-sebab-inalum-tak-tu
nggu-kontrak-habis-buat-kuasai-freeport

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah RI akhirnya meneken


kesepakatan awal dengan Freeport McMoran untuk mengambil alih 51%
saham di PT Freeport Indonesia.

Penandatanganan perjanjian awal berupa Head of Agreement (HoA) ini


dihadiri oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, Menteri Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) Rini Soemarno, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti
Nurbaya, Direktur PT Inalum (Persero) Budi Gunadi Sadikin, dan Chief
Executive Officer (CEO) Freeport McMoran Richard Adkerson.

Acara tersebut digelar di Gedung Kementerian Keuangan, Kamis


(12/7/2018). HoA ini dibuat untuk menindaklanjuti kesepakatan 27 Agustus
2017 antara pemerintah RI dan Freeport McMoran saat itu.
Berikut adalah isi dari HoA tersebut.

1. Landasan hukum PT Freeport Indonesia (PTFI) akan berupa Izin Usaha


Pertambangan Khusus dan bukan Kontrak Karya (KK)
2. Pengalihan saham 51% saham PTFI untuk kepemilikan nasional
indonesia
3. Freeport membangun smelter di dalam negeri
4. Penerimaan negara secara agregat akan lebih besar dibanding
penerimaan dengan skema Kontrak Karya selama ini
5. Perpanjangan operasi 2x10 tahun diberikan ke PTFI jika memenuhi
kewajiban IUPK. PTFI mendapat perpanjangan operasi sampai 2041

Adkerson mengatakan dalam perjanjian ini, para pihak menyepakati


perpanjangan operasi tambang PT Freeport Indonesia sampai 2041.

PT Freeport Indonesia, kata dia, meyakini perpanjangan operasi akan


memberikan jaminan masuknya investasi miliaran dolar dan memberi
kepastian bagi seluruh pemegang saham.

"Dengan kepastian investasi sampai 2041, kami memperkirakan manfaat


langsung kepada pemerintah pusat dan daerah, serta dividen kepada
Inalum dapat melebihi US$60 miliar," kata Adkerson, Kamis (12/7/2018).
Nilai US$60 miliar setara dengan Rp 840 triliun (dengan kurs Rp 14.000).

Dari mana uangnya?

Total nilai dari kesepakatan ini adalah US$3,85 miliar atau Rp 53 triliun.
Pada dasarnya Inalum akan ambil alih partisipasi interest dari Rio Tinto dan
Indocopper sehingga kepemilikan PT Inalum ditambah dengan kepemilikan
negara sebelumnya menjadi 51,38%.

"Angka sudah kami lock," tutur Menteri BUMN Rini M Soemarno.

Tawaran untuk pendanaannya pun berasal dari 11 bank dari luar maupun
dalam negeri yang disebut-sebut akan memberikan pinjaman kepada
Inalum dengan besaran mencapai US$5,2 miliar atau setara dengan Rp 74
triliun. Jumlah ini lebih banyak dari yang dibutuhkan Inalum untuk akuisisi
Freeport, yakni US$ 3,85 miliar.

Adapun beberapa bank yang diketahui sudah mengajukan tawaran adalah


Standard Chartered, HSBC, CIMB Niaga, BNI, BRI, dan MUFG.
Baca:
RI Akuisisi Freeport, Himbara Siap Utangi Inalum Rp 21,5 T

Dirut Inalum Budi Gunadi Sadikin mengatakan pinjaman itu hanya dipakai
sebesar dengan jumlah yang dibutuhkan, tidak kurang dan tidak lebih.

Adapun, pihaknya masih mendiskusikan berapa besaran porsi pinjaman


yang akan diberikan oleh 11 bank tersebut.

"Masih kami diskusikan dengan banknya, tetapi Inalum sendiri kan punya
posisi cashmendekati US$1,5 miliar," ujar mantan Dirut Bank Mandiri ini.

Rekomendasi KLH untuk ubah status

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan


mengingatkan PT Freeport Indonesia bahwa perpanjangan operasi 20
tahun hingga 2041 baru akan diberikan jika perusahaan tambang itu telah
mendapat rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

"Satu catatan penting, harus ada rekomendasi tertulis dari Menteri LHK
untuk persyaratan perpanjangan 2 x 10 tahun, karena syarat di Undang
Undang Minerba dapat rekomendasi dari [kementerian] lingkungan hidup,"
kata Jonan usai menyaksikan penandatanganan Head of Agreement (HoA)
antara Inalum dan Freeport McMoran di Kementerian Keuangan, Kamis
(12/7/2018).

PILIHAN REDAKSI

Ini Tiga Langkah RI untuk


Akuisisi 51% Saham Freeport


Freeport Dapat
Perpanjangan Operasi
Sampai 2041
 Jonan menambahkan setelah tahap akuisisi
 51% selesai, Kementerian ESDM akan
memfinalisasi perubahan rezim PT Freeport
Indonesia dari Kontrak Karya (KK) menjadi
Sampai 2041, RI Bakal
Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi
Dapat Rp 840 T dari
(IUPK-OP), sesuai dengan ketentuan
Freeport peraturan.

 Untuk masalah lain seperti


 pembangunan smelter atau pabrik
pemurnian, menurut Jonan tidak ada
Akuisisi Freeport dan Potensi masalah dan sudah disepakati sejak tahun
Untung Ratusan Triliun lalu.


Akhir Agustus Semuanya Kelar

Lalu, kapan pemerintah bisa bernapas lega yang ditandai dengan


selesainya proses divestasi? Kementerian BUMN memberi target kepada
Inalum untuk menyelesaikan proses divestasi PT Freeport Indonesia
secepat mungkin, bila memungkinkan sampai akhir Juli.

"Saya dorongnya akhir Juli, tapi tadi memang Pak Budi (Dirut Inalum)
bilang 'Bu, kalau bisa akhir Agustus'," kata Menteri Rini usai
penandatanganan.

Mendengar hal itu, Rini hanya berpesan kepada Inalum agar


menyelesaikan secepat mungkin. Sebab, bila memang proses dapat
rampung sebelum bulan berganti, tidak diperlukan perpanjangan IUPK
Sementara (IUPK-S) untuk Freeport. (prm)

https://www.cnbcindonesia.com/news/20180713081129-4-23336/perja
njian-awal-akuisisi-freeport-akhirnya-diteken-juga
Kesepakatan Freeport,
Patut Disyukuri atau
Disesali?
Perjanjian awal soal Freeport ditandatangani
pekan lalu. Kontroversi merebak. Transaksi ini
merugikan atau menguntungkan negara?

Metta Dharmasaputra

19 Juli 2018


ILUSTRATOR: BETARIA SARULINAMenteri ESDM Ignasius Jonan (kiri),
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kiri), Menteri BUMN Rini Soemarno (kedua
kanan) dan Menteri LHK Siti Nurbaya (kanan) menyaksikan penandatanganan
Head of Agreement divestasi PT Freeport Indonesia oleh Direktur Utama PT
Inalum Budi Gunadi (ketiga kanan) dan Presiden Direktur Freeport McMoran,
Richard Adkerson (ketiga kiri) di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Kamis (12/7).

DI TENGAH suhu politik yang mulai memanas, kabar


divestasi Freeport seperti memantik api. Reaksi pro-kontra
langsung meletup, menanggapi kesepakatan awal antara PT
Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Freeport McMoRan Inc.
(FCX) dan Rio Tinto.

Perjanjian pendahuluan berbentuk Head of Agreement (HoA)


itu ditandatangi pada Kamis (12/7) lalu. Sesuai kesepakatan,
total kepemilikan Inalum di PT Freeport Indonesia (PTFI)
nantinya mencapai 51 persen. Dengan begitu, kepemilikan
nasional di perusahaan tambang emas ini meningkat 5,5 kali
lipat dari saat ini yang hanya 9,36 persen.

News Alert

Dapatkan informasi terkini seputar ekonomi dan bisnis langsung lewat email
Anda

Tambahan kepemilikan itu tentu tak gratis. Inalum harus


mengeluarkan dana US$ 3,85 miliar atau sekitar Rp 54 triliun.
Sebesar US$ 3,5 miliar untuk membeli hak partisipasi
(participating interest) Rio Tinto di PTFI. Sisanya US$ 350 juta
untuk membeli seluruh saham FCX di PT Indocopper Investama,
pemilik 9,36 persen saham PTFI.

Perjanjian jual-beli diharapkan rampung seluruhnya sebelum


akhir tahun ini. Namun, perdebatan telanjur merebak.
Sejumlah isu dipersoalkan. Waktu pembelian, keuntungan yang
didapat, harga yang harus dibayarkan, dan mengapa harus via
Rio Tinto. Mari kita bahas satu per satu.

Kenapa sekarang?

Banyak pertanyaan mengapa harus dibeli sekarang? Kenapa


tidak menunggu masa kontrak karya Freeport berakhir pada
2021, sehingga bisa diperoleh dengan gratis?

Jika ditilik secara teliti isi kontrak karya Freeport yang dibuat
pada 1991, ternyata tak ada jaminan divestasi 51 persen
saham itu akan dilakukan. Benar bahwa kontrak akan berakhir
pada 2021. Namun, ada kesempatan bagi pihak Freeport
untuk mengajukan perpanjangan masa kontrak dua kali 10
tahun.

Dalam pasal 31 ayat 2 kontrak tersebut juga disebutkan


bahwa pemerintah tidak akan menahan atau menunda
persetujuan secara tidak wajar. Atas dasar inilah, Freeport
selalu beranggapan, tak ada alasan untuk tidak
memperpanjang kontrak mereka.

Hal lain yang memberatkan, di kontrak tersebut ada juga


klausul yang menyebutkan bahwa jika ada ketentuan
pengalihan saham yang lebih ringan, maka aturan baru itulah
yang akan berlaku.

Dalam perjalanannya kemudian, itu yang memang terjadi.


Tiga tahun setelah kontrak diteken, keluar Peraturan
Pemerintah (PP No. 20/1994) di era Presiden Soeharto. Isinya
keringanan kewajiban divestasi saham bagi perusahaan
Penanaman Modal Asing (PMA).

Beleid ini dipertegas oleh surat Badan Koordinasi Penanaman


Modal (BKPM) pada 20 Maret 1997. Disebutkan bahwa FCX
dapat menggunakan PP itu untuk meringankan kewajiban
divestasinya.

Tarik-ulur pun terus terjadi. Berdasarkan PP 77/2014,


kewajiban divestasi itu sempat menurun menjadi 30 persen.
Namun, ketentuan itu direvisi melalui PP 1/2017 yang
kembali mengharuskan divestasi hingga 51 persen ke pihak
nasional.

Perubahan-perubahan ini tentu saja membuat pihak Freeport


tak happy, dan bukan tanpa risiko bagi pemerintah. Salah
melangkah, bisa-bisa berujung sengketa di peradilan arbitrase
internasional. Indonesia dianggap mencederai prinsip sakralitas
kontrak (the sanctity of contract).

Ancaman ini tak bisa dipandang sebelah mata. Kita pernah


merasakan betul pahitnya harus membayar denda US$ 261
juta, ketika PT Pertamina (Persero) kalah dalam kasus
sengketa proyek PLTP Karaha Bodas Company yang dimulai
pada 1994. Keputusan arbitrase itu pun dikuatkan oleh
Pengadilan Amerika Serikat.
Risiko ini yang juga dijelaskan oleh Prof. Mahfud MD ketika
berdebat dengan Fadli Zon, politisi Partai Gerindra, dalam
acara talkshow di TVOne. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
ini menjelaskan adanya celah di Kontrak Karya itu, yang
diperolehnya dari mantan Menteri ESDM Sudirman Said.

Itu sebabnya, negosiasi merupakan jalan terbaik. Saran senada


disampaikan oleh Prof. Joseph E. Stiglitz ketika datang ke
Jakarta pada 2007 silam. Yang perlu dilakukan, kata peraih
peraih Nobel ekonomi ini, adalah renegosiasi untuk
mendapatkan bagi hasil yang lebih adil. Bukan nasionalisasi.
Freeport (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Untung atau buntung?

Hal lain yang perlu dijadikan bahan pertimbangan,


pengoperasian tambang terbuka (open pit) di Grasberg yang
selama ini dijalankan Freeport sudah akan berakhir tahun
depan. Penambangan akan berpindah ke tambang bawah
tanah (underground mining).

Untuk mendukung masa transisi ini hingga 2022, dana


investasi yang dibutuhkan tak kecil. Sekitar US$ 5 miliar.
Persoalannya, jika tak kunjung ada kepastian perpanjangan
kontrak, apalagi jika berujung sengketa di arbitrase, maka
investasi ini tersendat.

Dampaknya proyek terancam mangkrak. Area tambang bawah


tanah ini pun terancam longsor. Dan jika ini terjadi, biayanya
akan sangat mahal. Dengan kata lain, ada faktor keterdesakan
waktu.

Perlu juga dicatat, metode penambangan tertutup


dengan block caving di Grasberg ini merupakan yang terumit
dan tersulit di dunia. Itu sebabnya, meski nantinya Indonesia
menguasai 51 persen saham PTFI, pengoperasian tambang
akan tetap di tangan FCX.

Bagi kepentingan nasional, keberlanjutan tambang Freeport


memang terbilang penting. Kontribusinya cukup signifikan
secara ekonomi.

Studi LPEM-UI pada 2015 menyebutkan, sekitar 94 persen


produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Mimika
dan 34 persen PDRB Provinsi Papua bersumber dari Freeport.
Selain itu, menciptakan 230 ribu lapangan kerja.
Sumbangannya bagi perekonomian nasional pun tak kecil.
Dalam kurun 1992-2015 tercatat penerimaan negara melalui
setoran pajak, royalti dan dividen dari Freeport mencapai
US$ 16,1 miliar (60 persen). Sedangkan sisanya dinikmati FCX
senilai US$ 10,8 miliar (40 persen).

Dengan dioperasikannya tambang bawah tanah, diperkirakan


potensi penerimaan negara akan kian besar. Nilainya ditaksir
mencapai US$ 42 miliar atau sekitar Rp 588 triliun selama
kurun 2022-2041.

Sebaliknya, jika operasi tambang ini terhenti, setidaknya


potensi pajak, royalti dan dividen yang hilang, diperkirakan
lebih dari US$ 700 juta atau hampir Rp 10 triliun per tahun.
Ini yang disebut dengan opportunity loss.

Padahal, tak lama lagi, pada 2030 negeri ini akan segera
menghadapi puncak bonus demografi, yang ditandai dengan
ledakan penduduk usia produktif. Kue pembangunan yang bisa
dibagi harus kian besar. Jika tidak, pengangguran merajalela.

Kenapa via Rio Tinto?

Banyak juga kebingungan, kenapa pembelian saham Freeport


ini harus dilakukan melalui transaksi dengan Rio Tinto?

Selama ini publik memang tidak pernah tahu bahwa meskipun


FCX dan Indonesia menguasai 100 persen saham (equity
interest) PTFI, hanya 60 persen keuntungan ekonomi
(economic interest) yang bisa dinikmati.

Ini dikarenakan 40 persen sisanya dinikmati oleh Rio Tinto


sebagai pemilik hak partisipasi (participating interest). Bahkan
perusahaan tambang asal Inggris ini menikmati pembagian
pendapatan lebih dulu ketimbang pemegang saham.

Hal ini bermula dari dikeluarkannya surat Menteri ESDM pada


29 April 1996 yang menyetujui skema “ijon” konsesi Grasberg.
Usulan ini datang dari FCX untuk diberikan kepada Rio Tinto
Zinc, anak perusahaan PT Rio Tinto Indonesia. Skema inilah
yang disebut dengan hak partisipasi.

Belakangan, tepatnya sejak awal tahun lalu, tersiar kabar


bahwa Rio Tinto ingin melepas haknya. Selain dipicu oleh
kekhawatiran isu lingkungan yang menekannya, juga faktor
ketidakpastian hukum di Indonesia. Termasuk atas nasib
Freeport.

Peluang inilah yang tampaknya ditangkap pemerintah


Indonesia. Apalagi tawaran harga yang diajukan oleh Rio Tinto
jauh lebih murah ketimbang yang disodorkan FCX. Sebagai
perbandingan, FCX pernah menawarkan penjualan 10,64
persen saham seharga US$ 1,7 miliar. Tapi, pemerintah
menolak. Harga yang dipatoknya hanya sekitar US$ 670 juta.

Kini Rio Tinto datang dengan tawaran lebih murah.


Pemerintah via Inalum bisa membeli 40 persen hak partisipasi
Rio Tinto seharga US$ 3,5 miliar. Ini berarti hanya sekitar
separuh dari harga penawaran FCX.

Harga ini pun tak jauh dengan kalkulasi Deutsche Bank,


Morgan Stanley, UBS, RBC dan HSBC. Taksiran harga dari
lima lembaga keuangan dunia itu untuk pembelian hak
partisipasi Rio Tinto berkisar US$ 3,3-4 miliar. Atas dasar ini,
harga pembelian oleh Inalum dapat dipertanggungjawabkan.

Jika dibandingkan dengan tawaran awal pemerintah,


harganya memang masih lebih tinggi. Tapi, ada keuntungan
lain yang didapat Inalum dengan membeli hak partisipasi Rio
Tinto ini. Melalui skema itu, pihak Indonesia akan sepenuhnya
menikmati keuntungan ekonomi sesuai jumlah kepemilikan
saham di PTFI sebesar 51 persen.

Sementara, jika membeli langsung saham milik FCX, selain


lebih mahal, manfaat ekonomi yang bisa dinikmati lebih kecil.
Hanya 31 persen, kendati sudah mengantongi saham 51
persen. Ini dikarenakan masih ada yang dinikmati Rio Tinto
sebesar 40 persen sebagai pemegang hak partisipasi.
(ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Ramai dibidik?

Perlu diingat pula, kalau pun hak partisipasi ini tidak dibeli oleh
pemerintah, bisa saja Rio Tinto kemudian menjualnya ke pihak
lain. Desas-desus yang beredar, sejumlah pihak memang sudah
siap “memangsa” bola muntah ini.

Terkait soal ini, lagi-lagi ada pengalaman pahit yang patut jadi
pelajaran. Pada 2001, pemerintah kehilangan kesempatan
menguasai Kaltim Prima Coal (KPC), salah satu tambang
batu-bara terbesar di dunia yang berlokasi di Kalimantan
Timur.

Saat itu, pemerintah kalah gesit oleh Grup Bakrie yang


membeli KPC melalui anak usahanya, PT Bumi Resources Tbk.
Bakrie berhasil “menyalip di tikungan” ketika kesabaran Rio
Tinto Ltd. dan BP International Ltd. habis, lantaran tak
kunjung mencapai kata sepakat jual-beli dengan pemerintah.

Kedua raksasa tambang dunia ini lantas memilih menjual dua


induk perusahaan KPC (Sangatta Holdings Ltd. dan
Kalimantan Coal Ltd.) kepada Bumi. Padahal, nilai jualnya
amat rendah, cuma US$ 500 juta. Jauh di bawah tawaran
harga pemerintah US$ 822 juta.

Tak lama kemudian, Bakrie menikmati “gurihnya” batu-bara,


ketika harganya melonjak drastis di pasar dunia. Tak hanya
lepas dari keterpurukan krisis 1998, lewat transaksi ini Grup
Bakrie kembali berjaya di blantika bisnis nasional. Sementara,
pemerintah gigit jari.

Dari berbagai faktor itu, selayaknya kesepakatan awal dari


jalan panjang negosiasi Freeport ini patut disyukuri. Meski, tak
perlu juga disambut dengan gegap-gempita berlebihan, karena
proses transaksi belum final.

Yang lebih penting, bagaimana mengawal agar proses


megatransaksi ini bersih dari segala praktik korupsi. Juga
menjaga agar kepemilikan mayoritas di Freeport ini nantinya
bisa memberikan manfaat lebih besar bagi Indonesia. Termasuk
porsi 10 persen saham yang sudah dijanjikan bagi rakyat
Papua.

https://katadata.co.id/opini/2018/07/19/kesepakatan-freeport-patut-disy
ukuri-atau-disesali
Untuk menjawab pertanyaan yang telah Saudara ajukan, maka kami akan
membagi masing-masing pembahasan dimaksud, yaitu sebagai berikut:

A. Nota Kesepahaman

Nota Kesepahaman atau juga biasa disebut dengan Memorandum of


Understanding ("MoU")atau pra-kontrak, pada dasarnya tidak dikenal
dalam hukum konvensional di Indonesia. Akan tetapi dalam praktiknya,
khususnya bidang komersial, MoU sering digunakan oleh pihak yang
berkaitan.

MoU merupakan suatu perbuatan hukum dari salah satu pihak (subjek
hukum) untuk menyatakan maksudnya kepada pihak lainnya akan sesuatu
yang ditawarkannya ataupun yang dimilikinya. Dengan kata lain, MoU pada
dasarnya merupakan perjanjian pendahuluan, yangmengatur dan
memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengadakan studi
kelayakan terlebih dahulu sebelum membuat perjanjian yang lebih
terperinci dan mengikat para pihak pada nantinya.

Mengutip dari Jawaban Biro Riset Legislative (Legislative Research


Bureau's) bahwa MoUdidefinisikan dalam Black’s Law Dictionary sebagai
bentuk Letter of Intent. Adapun Letter of Intent didefinisikan:

“A written statement detailing the preliminary understanding


of parties who plan to enter into a contract or some other
agreement; a noncommittal writing preliminary to acontract. A
letter of intent is not meant to be binding and does not hinder
the parties from bargaining with a third party. Business people
typically mean not to be bound by a letter of intent, and courts
ordinarily do not enforce one, but courts occasionally find that a
commitment has been made...”

Dengan terjemahan bebasnya:

“Suatu pernyataan tertulis yang menjabarkan pemahaman


awal pihak yang berencana untuk masuk ke dalam kontrak atau
perjanjian lainnya, suatu tulisan tanpa komitmen/tidak
menjanjikan suatu apapun sebagai awal untuk kesepakatan.
Suatu Letter of Intent tidak dimaksudkan untuk mengikat dan
tidak menghalangi pihak dari tawar-menawar dengan pihak
ketiga. Pebisnis biasanya berarti tidak terikat dengan Letter of
Intent, dan pengadilan biasanya tidak menerapkan salah satu,
tapi pengadilan kadang-kadang menemukan bahwa komitmen
telah dibuat/disepakati...”

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa MoU melingkupi


hal-hal sebagai berikut:

1) MoU merupakan pendahuluan perikatan (landasan kepastian);

2) Content/isi materi dari MoU hanya memuat hal-hal yang


pokok-pokok saja;

3) Dalam MoU memilki tenggang waktu, dengan kata lain bersifat


sementara;

4) MoU pada kebiasaannya tidak dibuat secara formal serta tidak


ada kewajiban yang memaksa untuk dibuatnya kontrak atau
perjanjian terperinci; dan

5) Karena masih terdapatnya keraguan dari salah


satu pihak kepada pihak lainnya, MoU dibuat
untuk menghindari kesulitan dalam pembatalan.

B. Perjanjian

Perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana salah satu pihak (subjek


hukum) berjanji kepadapihak lainnya atau yang mana kedua belah
dimaksud saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, sebagaimana
diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata(“KUHPer”).

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa suatu


perjanjian mengandung unsur sebagai berikut:

a) Perbuatan
Frasa “Perbuatan” tentang Perjanjian ini lebih kepada “perbuatan
hukum” atau “tindakan hukum”.Hal tersebut dikarenakan perbuatan
sebagaimana dilakukan oleh para pihak berdasarkan perjanjian akan
membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan
tersebut.

b) Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih
Perjanjian hakikatnya dilakukan paling sedikit oleh 2 (dua) pihak yang
saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan satu
sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum (subjek
hukum).

c) Mengikatkan diri
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak
yang satu kepada pihak yang lain. Artinya, terdapat akibat hukum
yang muncul karena kehendaknya sendiri.

Adapun suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak maka
perjanjian dimaksud haruslah memenuhi syarat-syarat sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPer, yang menyatakan:
1) Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai
hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan
mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat
terutama mengingat dirinya orang tersebut;.

2) Cakap untuk membuat perikatan.


Para pihak mampu membuat suatu perjanjian, dalam hal ini tidak
tekualifikasi sebagai pihak yang tidak cakap hukum untuk membuat
suatu perikatan sebagaimana diatur dalamPasal 1330 KUHPer.

Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap
sebagaimana tersebut di atas, maka Perjanjian tersebut batal demi
hukum (Pasal 1446 KUHPer).

3) Suatu hal tertentu.


Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Dalam
hal suatu perjanjian tidak menentukan jenis objek dimaksud maka
perjanjian tersebut batal demi hukum. Sebagaimana Pasal 1332
KUHPer menentukan bahwa hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian. Selain itu,
berdasarkan Pasal 1334 KUHPer barang-barang yang baru akan ada
di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang
oleh undang-undang secara tegas.

4) Suatu sebab atau causa yang halal.


Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian
dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum,
kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Sebagaimana Pasal 1335
KUHPer menyatakan suatu perjanjian yang tidak memakai suatu
sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau
terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.

C. Kekuatan Hukum antara MoU dan Perjanjian

Sejatinya, MoU belumlah melahirkan suatu Hubungan Hukum karena


MoU baru merupakan persetujuan prinsip yang dituangkan secara tertulis.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan, MoUyang dituangkan secara tertulis
baru menciptakan suatu awal yang menjadi landasan penyusunan dalam
melakukan hubungan hukum/perjanjian.

Kekuatan mengikat dan memaksa MoU pada dasarnya sama halnya dengan
perjanjian itu sendiri. Walaupun secara khusus tidak ada pengaturan tentang
MoU dan materi muatan MoU itu diserahkan kepada para pihak yang
membuatnya.

Di samping itu, walaupun MoU merupakan perjanjian pendahuluan, bukan


berarti MoU tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa
bagi para pihak untuk mentaatinya dan/atau melaksanakannya.

Perhatikan Isinya bukan Namanya

Terkadang, ada perjanjian yang diberi nama MoU. Artinya, penamaan dari
dokumen tersebut tidak sesuai dengan isi dari dokumen tersebut. Sehingga
MoU tersebut memiliki kekuatan hukum mengikat sebagaimana perjanjian.

Dalam hal suatu MoU telah dibuat secara sah, memenuhi syarat-syarat
sahnya perjanjian sebagaimana disebut dalam Pasal 1320 KUHPer, maka
kedudukan dan/atau keberlakuan MoU bagi para pihak dapat disamakan
dengan sebuah undang-undang yang mempunyai kekuatan mengikat dan
memaksa. Tentu saja pengikat itu hanya menyangkut dan sebatas pada
hal-hal pokok yang termuat dalam MoU.

Maka berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa


mengenai kekuatan hukum dari MoU dapat mengikat para pihak,
apabila content/isi dari MoU tersebut telah memenuhi unsur perjanjian
sebagaimana telah diuraikan di atas, dan bukan sebagai pendahuluan
sebelum membuat perjanjian, sebagaimana maksud pembuatan MoU
sebenarnya.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat dan dapat menjawab pertanyaan


yang Saudara ajukan. Terima kasih.

Dasar hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Andi Hendra Paluseri


Mahasiswa Magister Ilmu Hukum
Universitas Jayabaya

Meskipun di awal semester dua ini, ilmu hukum yang saya dapatkan masih
yang bersifat non-konsentrasi seperti Hukum Lingkungan dan Mediasi namun
saya mulai untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan konsentrasi yang
saya inginkan yaitu Hukum Bisnis.

Salah satu hal yang ingin saya share berdasarkan hasil diskusi dan studi
literatur kepada pembaca sekalian adalah tentang Memorandum of
Understanding (MOU). Bila ditinjau dari definisinya, Munir Fuadi
mengartikan bahwa MOU adalah suatu perjanjian pendahuluan, dalam arti
nantinya akan diikuti oleh dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang
mengaturnya secara lebih detil. Karena itu, dalam MOU hanya berisikan
hal-hal yang pokok saja [1].

Sebenarnya, MOU sendiri tidak dikenal dalam hukum konventional di


Indonesia namun saat ini sangat sering dipraktekan karena meniru apa yang
sudah sering dipraktekan secara international.

Apakah dengan begitu MOU tidak boleh? tentu saja boleh. Landasan
yuridis yang dapat digunakan adalah Pasal 1338 KUH Perdata yang menganut
asas kebebasan berkontrak dimana intinya adalah apapun yang dibuat sesuai
kesepakatan kedua belah pihak, merupakan hukum yang berlaku baginya
sehingga mengikat kedua belah pihak kecuali jika kontrak tersebut
bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Istilah – Istilah

Selain MOU terdapat beberapa istilah-istilah lain yang digunakan untuk


menggambarkan bentuk perjanjian pendahuluan seperti Head of
Agreement (HOA), Cooperation Agreement, Nota Kesepahaman dan
istilah-istilah lainnya.

Istilah Head of Agreement (HOA) adalah istilah yang banyak digunakan di


negara-negara Eropa. Jadi, pada dasarnya MOU dan HOA itu adalah
sama yaitu merupakan bentuk Perjanjian Pendahuluan.

Adapun istilah agreement seperti HOA itu sendiri juga sering digunakan para
lawyer karena keraguan atas kekuatan hukum apabila digunakan istilah MOU.

Tujuan Dibuatnya MOU


[1] Karena prospek bisnis belum jelas mutlak, maka belum bisa dipastikan
apakah kerja sama tersebut akan ditindaklanjuti. Untuk menghindar kesulitan
dalam hal pembatalan agreement, maka dibuatlah MOU yang memang mudah
untuk dibatalkan.
[2] Karena penandatanganan kontrak masih lama dan negosiasi cenderung
agak alot sehingga daripada tidak ada ikatan apa-apa maka dibuatlah MOU
yang akan berlaku untuk sementara waktu.
[3] Karena masing-masing pihak dalam perjanjian masih ragu-ragu dan masih
perlu waktu untuk mengkaji dalam hal menandatangani suatu kontrak yang
mengikat, sehingga untuk sementara dibuatlah MOU.

Meskipun MOU bersifat tidak mengikat dan tidak dikenal dalam sistem
hukum konvensional Indonesia namun pasal-pasal didalamnya tetap
berkekuatan hukum karena KUH Perdata sebagai dasar hukum dari setiap
perjanjian tidak pernah mengecualikan berlakunya hukum perjanjian
terhadap suatu MOU.

Rujukan:
[1] Fuady, Munir. Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku Keempat.
Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2002

Iklan

https://andihendra.com/2013/10/12/apa-itu-mou/

MoU
KEDUDUKAN HUKUM DARI M.O.U DITINJAU DARI HUKUM
KONTRAK A. Pengertian Memorandum of Understanding (M.O.U)

Memorandum adalah suatu peringatan, lembar peringatan, atau


juga suatu lembar catatan.29Memorandum juga merupakan suatu
nota/ surat peringatan tak resmi yang merupakan suatu bentuk
komunikasi yang berisi antara lain mengenai saran, arahan dan
penerangan.30Terhadap suatu M.O.U, selain istilah M.O.U yang
sering dipakai sebagai singkatan dari Memorandum of
Understanding, juga banyak dipakai istilah-istilah lain misalnya nota
kesepahaman atau terkadang disebut sebagai nota kesepakatan.
Tetapi, walaupun begitu istilah M.O.U tetap merupakan istilah yang
paling populer dan lebih bersifat internasional dibandingkan dengan
istilah-istilah lainnya.

Istilah lain yang sering juga dipakai untuk M.O.U ini, terutama oleh
negara-negara Eropa adalah apa yang disebut dengan Head
Agreement, Cooperation Agreement, dan Gentlement
Agreement yang sebenarnya mempunyai arti yang sama saja
dengan arti yang dikandung oleh istilah M.O.U. 31

Dalam perbendaharaan kata-kata Indonesia, istilah M.O.U


diterjemahkan ke dalam berbagai istilah yang bervariasi, yang
tampak belum begitu baku. Sebut saja misalnya istilah seperti “Nota
Kesepakatan atau Nota Kesepahaman”.

Sebenarnya M.O.U itu sama saja dengan kesepahaman-kesepahaman


lainnya. Bidangnya juga bermacam-macam, bisa mengenai
perdagangan, jual-beli, perjanjian antar negara, penanaman modal,
ataupun bidang-bidang lainnya. Bahkan paling tidak secara teoritis,
M.O.U dapat dibuat dalam bidang apapun.32
Ada beberapa alasan mengapa dibuat M.O.U terhadap suatu
transaksi bisnis, yaitu :33

a. Karena prospek bisnisnya belum jelas benar, sehingga belum bisa


dipastikan apakah deal kerja sama tersebut akan ditindaklanjuti
atau tidak.

b. Karena dianggap penandatanganan kontrak masih lama dengan


negosiasi yang alot. Karena itu, daripada tidak ada ikatan apa-apa
sebelum ditandatanganinya kontrak tersebut, dibuatlah M.O.U yang
akan berlaku untuk sementara waktu.

c. Karena masing-masing pihak dalam perjanjian masih ragu-ragu


dan masih perlu waktu untuk pikir-pikir dalam hal menandatangani
suatu kontrak, sehingga untuk pedoman awal dibuatlah M.O.U.

d. M.O.U dibuat dan ditandatangani oleh pihak eksekutif (direktur)


dari suatu perusahaan tanpa memperhatikan hal detail terlebih
dahulu dan tidak dirancang dan dinegoisasi khusus oleh staf-stafnya
yang lebih rendah tetapi lebih menguasai teknis.

Kedudukan M.O.U

Sebelum membahas lebih detail mengenai kedudukan M.O.U. dapat


dikatakan sebagai kontrak atau bukan, maka disini akan
dikemukakan terlebih dahulu mengenai asas-asas yang berlaku
dalam hukum kontrak. Asas-asas tersebut antara lain :35

(1) Hukum kontrak bersifat mengatur


Sebagaimana diketahui bahwa hukum dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu : a. Hukum memaksa (dwingend recht, mandatory law)
b. Hukum mengatur (aanvullen recht, optional law) Hukum tentang
kontrak pada prinsipnya tergolong kepada hukum yang mengatur.
Artinya bahwa hukum tersebut baru berlaku sepanjang para pihak
tidak mengaturnya lain. Jika para pihak dalam kontrak
mengaturnya secara lain dari yang diatur dalam hukum kontrak,
maka yang berlaku adalah apa yang diatur sendiri oleh para pihak
tersebut kecuali undang-undang menentukan lain.

(2) Asas kebebasan berkontrak

Salah satu asas dalam hukum kontrak adalah asas kebebasan


berkontrak (freedom of contract). Artinya adalah bahwa para pihak
bebas membuat kontrak dan mengaturnya sendiri isi kontrak
tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut :

(a) Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak

(b) Tidak dilarang oleh undang-undang

(c) Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku

(d) Adanya suatu itikad baik

Asas kebebasan berkontrak ini merupakan refleksi dari sistem


terbuka (open system) dari hukum kontrak tersebut.

(3) Asas pacta sun servanda

Asas pacta sun servada (janji itu mengikat) ini mengajarkan bahwa
suatu kontrak yang dibuat secara sah mempunyai ikatan hukum
yang penuh. KUH Perdata kita juga menganut prinsip dengan
melukiskan bahwa suatu kontrak berlaku seperti undang-undang
bagi para pihak.

(4) Asas konsensual dari suatu kontrak

Hukum kita juga menganut asas konsensual. Maksudnya asas


konsensual ini adalah bahwa suatu kontrak sudah sah dan mengikat
ketika tercapai kesepakatan, tentunya selama syarat sahnya kontrak
lainnya sudah terpenuhi. Jadi, dengan adanya kata sepakat, kontrak
tersebut pada prinsipnya sudah mengikat dan sudah punya akibat
hukum, sehingga mulai saat itu juga sudah timbul hak dan kewajiban
di antara para pihak.

(5) Asas obligator dari suatu kontrak

Menurut hukum kontrak, suatu kontrak bersifat obligator.


Maksudnya adalah setelah sahnya suatu kontrak, maka kontrak
tersebut sudah mengikat, tetapi baru sebatas menimbulkan hak dan
kewajiban di antara para pihak. Tetapi pada taraf tersebut hak milik
belum berpindah ke pihak lain. Untuk dapat memindahkan hak milik,
dipergunakan kontrak lain yang disebut dengan kontrak kebendaan.
Perjanjian kebendaan inilah yang sering disebut dengan
“penyerahan” (levering).

Mengenai sifat kontrak yang berkaitan dengan saat mengikatnya


suatu kontrak dan saat peralihan hak milik ini, berbeda-beda dari
masing-masing sistem hukum yang ada, yang terpadu ke dalam 2
(dua) teori sebagai berikut :

(a) Kontrak bersifat riil

Teori yang mengatakan bahwa suatu kontrak bersifat mengajarkan


dimana suatu kontrak baru dianggap sah jika telah dilakukan secara
riil. Artinya, kontrak tersebut mengikat jika telah dilakukan
kesepakatan kehendak dan telah dilakukan levering sekaligus. Kata
sepakat saja belum punya arti apa-apa menurut teori ini. Prinsip
transaksi yang bersifat “terang” dan “tunai” dalam hukum adat
Indonesia merupakan perwujudan dari prinsip kontrak riil ini.

(b) Kontrak bersifat final

Teori yang menganggap suatu kontrak bersifat final ini mengajarkan


bahwa jika suatu kata sepakat telah terbentuk, maka kontrak telah
mengikat dan milik sudah berpindah tanpa perlu kontrak khusus.

Untuk mengetahui apakah suatu M.O.U bisa dikatakan kontrak atau


bukan ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu antara lain
mengenai :

(1) Materi/ substansi dalam M.O.U

Mengetahui materi atau substansi apa saja yang diatur dalam


pasal-pasal M.O.U sangat penting, karena apakah dalam materi
yang termaktub dalam M.O.U tersebut terdapat unsur-unsur yang
akan membuat salah satu pihak dirugikan apabila ada salah satu
materi dalam M.O.U tersebut yang diingkari. Misalkan dalam M.O.U
disebutkan mengenai kerjasama untuk membangun suatu proyek,
dimana kedua belah pihak menyetujui untuk saling bekerja sama
dalam pembangunan proyek tersebut. Tetapi di tengah perjalanan
salah satu pihak ingin membatalkan kerja sama tersebut dengan
dalil proyek tersebut tidak berprospek bagus. Dengan adanya
pembatalan sepihak tersebut jelas merugikan pihak lain yang
bersangkutan, karena salah satu pihak tersebut merasa telah
menyiapkan segalanya termasuk anggaran-anggaran yang
dibutuhkan. Maka dalam hal ini berdasarkan teori
mengenai wanprestasi yaitu tentang hilangnya keuntungan yang
diharapkan, dimana salah satu pihak merasa rugi dan merasa
kehilangan suatu keuntungan yang besar dari pembatalan M.O.U
tersebut, maka M.O.U yang telah dibuat tersebut dapat
dikategorikan suatu kontrak atau setingkat dengan perjanjian
berdasarkan pasal 1338 KUHPerdata. Dalam Teori kepercayaan
merugi (Injurious Reliance Theori) juga telah dinyatakan dengan jelas
bahwa kontrak sudah dianggap ada jika dengan kontrak yang
bersangkutan sudah menimbulkan kepercayaan bagi pihak terhadap
siapa janji itu diberikan sehingga pihak yang menerima janji tersebut
karena kepercayaannya itu akan menimbulkan kerugian jika janji itu
tidak terlaksana.36

Akan tetapi lain halnya jika dalam materi M.O.U tersebut hanya
mengatur mengenai ulasan-ulasan pokok saja dimana dalam pasal
M.O.U disebutkan bahwa kerjasama mengenai kegiatan-kegiatan
yang dilakukan antar pihak akan ditentukan dalam perjanjian
pelaksanaan yang akan ditentukan oleh masing-masing pihak. Dan
jika ditentukan pula dalam salah satu pasal lain bahwa untuk
pembiayaan akan diatur pula dalam perjanjian lain yang lebih detil.
Apabila substansi dalam M.O.U mengatur hal-hal yang demikian,
maka berdasarkan asas hukum kontrak bahwa dapat disebut
kontrak apabila suatu perjanjian itu bersifat final, maka M.O.U
semacam ini berdasarkan asas obligator tidak bisa dikatakan suatu
kontrak, karena belum final dalam pembuatannya.37

(2) Ada tidaknya sanksi

Untuk menentukan suatu M.O.U itu suatu kontrak atau bukan maka
harus dilihat apakah M.O.U tersebut telah memuat sanksi atau tidak.
Kalau dalam M.O.U tidak memuat suatu sanksi yang tegas maka
M.O.U tersebut tidak dapat dikatakan suatu kontrak. Dan kalau
hanya memuat sanksi moral maka M.O.U tidak bisa dikatakan suatu
kontrak berdasarkan Teori Holmes yang menyatakan bahwa tidak
ada sanksi moral dalam suatu kontrak.38

Karena adanya bermacam-macam pendapat mengenai kedudukan


dari M.O.U, maka dikenal dua macam pendapat sebagai berikut:

1. Gentlemen Agreement

Pendapat ini mengajarkan bahwa M.O.U hanyalah merupakan


suatu gentlement agreement saja. Maksudnya kekuatan
mengikatnya suatu M.O.U tidak sama dengan perjanjian biasa,
sungguh pun M.O.U dibuat dalam bentuk yang paling kuat seperti
dengan akta notaris sekalipun (tetapi dalam praktek jarang M.O.U
dibuat secara notarial). Bahkan menurut pendapat golongan ini
menyatakan bahwa M.O.U mengikat sebatas pada pengakuan moral
belaka, dalam arti tidak punya daya ikat secara hukum.

2. Agreement is Agreement

Ada juga pihak yang berpendapat bahwa sekali suatu perjanjian


dibuat, apapun bentuknya. Lisan atau tertulis, pendek atau panjang,
lengkap/ detil ataupun hanya diatur pokok-pokoknya saja, tetap
saja merupakan suatu perjanjian, dan karenanya mempunyai
kekuatan hukum mengikat layaknya suatu perjanjian, sehingga
seluruh ketentuan pasal-pasal tentang hukum perjanjian telah bisa
diterapkan kepadanya. Dan menurut pendapat ini untuk mencari
alas yuridis yang tepat bagi penggunaan M.O.U adalah terdapat
dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang artinya apapun yang
dibuat sesuai kesepakatan kedua belah pihak, merupakan hukum
yang berlaku baginya sehingga mengikat kedua belah pihak tersebut.
Selain itu menurut asas kebebasan berkontrak dan asas konsensual
maka hal apa saja asalkan halal menurut hukum dan telah secara
bebas disepakati maka berlaku suatu perjanjian atau jika diterapkan
secara tertulis maka hal tersebut bisa dikatakan sebagai kontrak.

Pijakan lain dari pendapat diatas adalah dengan menggunakan


suatu teori yang disebut teori promissory estopel. Teori promissory
estoppel atau disebut juga dengan detrimental
reliance mangajarkan bahwa dianggap ada kesesuaian kehendak di
antara para pihak jika pihak lawan telah melakukan sesuatu sebagai
akibat dari tindakan-tindakan pihak lainnya yang dianggap
merupakan tawaran untuk ikatan suatu kontrak.40

Doktrin lainnya adalah Teori kontrak quasi (quasi


contract atau implied in law). Teori ini mengajarkan bahwa dalam
hal-hal tertentu, apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu, maka
hukum dapat menganggap adanya kontrak di antara para pihak
dengan berbagai konsekuensinya, sungguhpun dalam kenyataannya
kontrak tersebut tidak pernah ada.41

Suatu perjanjian jika yang diatur hanya hal-hal pokok saja, maka
mengikatnya hanya pun hanya terhadap hal-hal pokok tersebut.
Sama halnya jika suatu perjanjian hanya berlaku untuk suatu jangka
waktu tertentu, maka mengikatnya pun hanya untuk jangka waktu
tertentu tersebut. Sungguh pun para pihak tidak dapat dipaksakan
untuk membuat perjanjian yang lebih rinci sebagai tindak lanjut dari
M.O.U, paling tidak, selama jangka waktu perjanjian itu masih
berlangsung, para pihak tidak boleh membuat perjanjian yang sama
dengan pihak lain. Ini tentu jika dengan tegas disebutkan untuk itu
dalam M.O.U tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
untuk mengetahui kedudukan dari M.O.U diperlukan suatu
pengamatan yang jeli terhadap substansi yang terdapat dalam
M.O.U tersebut, apakah materinya mengandung unsur kerugian non
moral atau kerugian secara finansial apabila tidak dilakukannya
pemenuhan prestasi dan apakah dalam M.O.U mengandung sanksi
atau tidak. Apabila menimbulkan suatu kerugian non moral yaitu
material dan mengandung suatu sanksi yang jelas bagi para pihak
yang mengingkarinya, maka M.O.U tersebut sudah berkedudukan
sebagai kontrak dan dianggap sudah setingkat dengan perjanjian
berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata mengenai kebebasan
berkontrak. Walaupun M.O.U tidak pernah disebutkan dengan tegas
bahwa itu merupakan suatu kontrak, akan tetapi kenyataannya
kesepakatan semacam M.O.U ini memang ada seperti yang
ditegaskan dalam teori kontrak de facto (implied in-fact), yakni
sudah disebut sebagai kontrak, walaupun tidak pernah disebutkan
dengan tegas tetapi ada kenyataan, pada prinsipnya dapat diterima
sebagai kontrak yang sempurna.42M.O.U dalam hal ini apabila
dikaitkan dengan teori ini maka dapat disebut sebagai suatu kontrak
dengan segala macam konsekuensinya.

Tetapi apabila dalam M.O.U tersebut hanya mengenai suatu hal


belum final dan masih membutuhkan perjanjian lain sebagai
pendukungnya dan dalam M.O.U tersebut tidak terdapat sanksi yang
jelas terhadap pihak yang mengingkarinya, maka M.O.U tersebut
hanya berkedudukan hanya sebagai “say hello” dalam hal
kesepakatan mengenai suatu proyek-proyek besar. Dan hal ini
tentunya tidak mempunyai efek apapun terhadap kekuatan hukum
suatu M.O.U.
REFERENSI

repository.usu.ac.id

http://www.spocjournal.com/hukum/402-kedudukan-mem
orandum-of-understanding-m-o-u-ditinjau-dari-segi-
hukum.html

https://josuavssitorus.wordpress.com/2014/06/12/mou/

MoU (Memorandum of Understanding)


Istilah Memorandum of Understanding berasal dari dua kata,
yaitumemorandum dan understanding. Dalam Black’s Law
Dictionary[1] diartikanmemorandum adalah “dasar untuk memulai penyusunan
kontrak secara formal pada masa datang” (is to serve as the basis of future formal
contract). Sedangkanunderstanding diartikan sebagai “pernyataan persetujuan
secara tidak langsung terhadap hubungannya dengan persetujuan lain, baik secara
lisan maupun secara tertulis” (an implied agreement resulting from the express
term of another agreement, whether written or oral).
Istilah lain yang sering juga dipakai untuk M.O.U ini, terutama oleh
negara-negara Eropa adalah apa yang disebut dengan Head
Agreement, Cooperation Agreement, dan Gentlement Agreement yang sebenarnya
mempunyai arti yang sama saja dengan arti yang dikandung oleh istilah MoU[2].
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dirumuskan pengertian MoU adalah dasar
penyusunan kontrak pada masa datang yang didasarkan pada hasil permufakatan
para pihak, baik secara tertulis maupun lisan. Secara gramatikal MoU biasa
diartikan sebagai nota kesepahaman[3].
Suatu nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) adalah suatu
persetujuan (agreement) antara dua atau lebih pihak, bilateral atau multilateral,
dalam bentuk suatu dokumen hukum. MoU tidak sepenuhnya mengikat secara
hukum dalam cara sebagaimana suatu kontrak mengikat secara hukum para pihak
terlibat didalamnya, tetapi MoU lebih kuat dan lebih resmi dari pada suatu
persetujuan jantan (gentlemen's agreement) atau persetujuan lisan tradisional.
Bahkan suatu MoU digunakan sebagai suatu sinonim umum untuk suatu surat
minat (letter of intent/LoI), terutama dalam hukum swasta di Amerika Serikat.
Suatu LoI mengungkapkan suatu kepentingan dalam melaksanakan suatu layanan
atau mengambil bagian dalam suatu kegiatan, tapi secara hukum tak mewajibkan
pihak manapun.
Beberapa pendapat memberi arti yang berbeda pula tentang MoU, misalnya
Munir Fuady[4] mengartikan MoU adalah “perjanjian pendahuluan, dalam arti
nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya
secara detail, karena itu MoU berisikan hal-hal yang pokok saja. Adapun mengenai
lain-lain aspek dari MoU relatif sama dengan perjanjian-perjanjian lain”.
Disisi lain, Erman Rajagukguk[5] mengartikan MoU sebagai “dokumen yang
memuat saling pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi dari
MoU harus dimasukkan ke dalam kontrak, sehingga ia mempunyai kekuatan
mengikat”. Sehingga dari keseluruhan pengertian tersebut dapat disimpulkan
unsur-unsur MoU, yaitu[6]:
1. Bersifat sebagai perjanjian pendahuluan.
2. Dibuat oleh para pihak yang merupakan subjek hukum.
3. Wilayah keberlakuan yang bisa meliputi regional, nasional, maupun
internasional.
4. Substansi MoU adalah kerjasama dalam berbagai aspek.
5. Jangka waktunya tertentu.

MoU sebenarnya tidak dikenal dalam hukum Indonesia, tetapi sering


dipergunakan dalam praktik. MoU dianggap sebagai kontrak yang simpel dan tidak
disusun secara formal, serta dianggap sebagai pembuka suatu
kesepakatan[7]. MoU memiliki banyak keuntungan praktis bila dibandingkan
dengan perjanjian (treaty). Ketika berhadapan dengan isu-isu sensitif atau pribadi,
suatu MoU dapat dibuat secara rahasia, sementara suatu perjanjian tidak. Suatu
MoU juga dapat diberlakukan dalam suatu cara lebih tepat-waktu dari pada suatu
perjanjian, karena MoU tidak memerlukan ratifikasi atau pengesahan atas
keabsahannya secara hukum. Selain itu, suatu MoU dapat diubah atau dimodifikasi
tanpa negosiasi berkepanjangan. Ini khususnya sangat berguna, kecuali dalam
situasi multilateral. Dalam hal fakta yang terjadi, kebanyakan persetujuan
internasional dan persetujuan penerbangan transnasional adalah menggunakan
suatu jenis MoU[8].
Adapun yang merupakan ciri-ciri dari suatu MoU adalah sebagai berikut[9]:
1. Isinya ringkas, bahkan sering satu halaman saja
2. Berisikan hal yang pokok saja
3. Hanya berisikan pendahuluan saja, yang akan diikuti oleh perjanjian lain
yang lebih rinci.
4. Mempunyai jangka waktu berlakunya, misalnya 1 bulan, 6 bulan atau
setahun. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ditindaklanjuti dengan
penandatanganan suatu perjanjian yang lebih rinci, maka M.O.U tersebut
akan batal, kecuali diperpanjang dengan para pihak.
5. Biasanya dibuat dalam bentuk di bawah tangan saja tanpa adanya materai.
6. Biasanya tidak ada kewajiban yang bersifat memaksa kepada para pihak
untuk.

Suatu MoU adalah dokumen yang memberikan persetujuan bilateral atau


multilateral antara para pihak. MoU mengungkapkan suatu konvergensi keinginan
atau kemauan antara para pihak, yang menunjukkan suatu garis umum dimaksud
dari tindakan. MoU sering digunakan dalam kasus-kasus dimana para pihak tak
menginkan suatu komitmen hukum atau dalam situasi-situasi dimana para pihak
tak dapat menciptakan suatu persetujuan bisa-ditegakkan secara hukum. MoU
adalah suatu alternatif lebih resmi daripada suatu persetujuan jantan (gentlemen's
agreement) atau persetujuan lisan tradisional. MoU mengandung pengungkapan
kesepakatan antara dua pihak atau lebih, dan untuk keberlakuannya harus
ditandatangani oleh semua pihak yang terlibat.
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan tidak ditemukan ketentuan
yang khusus mengatur tentang MoU, namun bila diperhatikan substansi dari MoU
sebagai perjanjian pendahuluan, maka dapat disimpulkan bahwa MoU tunduk pada
ketentuan perikatan pada umumnya dalam Buku III KUH Perdata. Misalnya
ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, karena
bagaimanapun ada unsur kesepakatan dalam pembuatan MoU. Selain itu dapat
pula dilihat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yaitu “bahwa semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”[10].
MoU dibuat dengan memiliki tujuan-tujuan tertentu antara lain, yaitu sebagai
berikut[11]:
1. Untuk menghindari kesulitan pembatalan suatu agreement nantinya,
dalam hal prospek bisnisnya belum jelas benar, dan apakah kerjasama
selanjutnya akan ditindaklanjuti, sehingga dibuatlah MoU yang mudah
dibatalkan.
2. Penandatanganan kontrak masih lama karena masih dilakukan negosiasi
yang alot. Karena itu, daripada tidak ada ikatan apa-apa sebelum
ditandatanganinya kontrak tersebut, maka dibuatlah MoU yang akan
berlaku sementara waktu.
3. Adanya keraguan para pihak dan masih perlu waktu untuk pikir-pikir
dalam hal penandatanganan suatu kontrak, sehingga untuk sementara
dibuatlah MoU.
4. MoU dibuat dan ditandatangani oleh pihak eksekutif teras dari suatu
perusahaan, sehingga untuk suatu perjanjian yang lebih rinci harus
dirancang dan dinegosiasi khusus oleh staf yang lebih rendah namun lebih
menguasai secara teknis.

Mengingat substansi MoU di mana adanya kesepakatan kehendak untuk


membuatnya, maka dikatakan MoU mempunyai kekuatan mengikat untuk
dilaksanakan layaknya sebuah perjanjian pada umumnya. Akan tetapi bila salah
satu pihak tidak memenuhi isi memorandum, pihak lain tidak mempersoalkan hal
tersebut. Sehingga para ahli pun belum memiliki jawaban yang pasti tentang
kekuatan mengikat MoU.
Ray Wijaya[12] mengemukakan pendapatnya tentang kekuatan mengikat
MoU tersebut yaitu bahwa pertama, MoU hanya merupakan suatu gentlement
agreement yang tidak mempunyai akibat hukum, dan kedua, MoU merupakan
suatu bukti awal telah terjadi atau tercapai saling pengertian mengenai
masalah-masalah pokok.
Penggunaan MoU dalam praktik hukum di masyarakat sebagaimana
disinggung di atas seringkali tidak tepat, paling tidak penggunaannya oleh
masyarakat awam. Masyarakat kebanyakan masih menyamakan MoU dengan
perjanjian, sehingga dalam hal pihak lain tidak melaksanakan apa yang termuat
dalam MoU maka padanya seakan-akan dapat menggugat pihak lain tersebut.
Kalau ditinjau secara isi materi muatan yang ada di MoU seringkali secara
substansial sudah merupakan perjanjian, namun dalam kenyataannya yang dipakai
adalah istilah MoU. Adanya berpotensi menimbulkan dampak yuridis yang
berkepanjangan, sehingga bisa menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat.
Adapu fakta yang menarik dari penggunaan MoU di Indonesia, diantaranya
MoU Helsinki (nota kesepahaman antara pemerintah RI dengan GAM), yang
tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Berawal dari sini,
penataan Aceh kedepan dilanjutkan. Walaupun MoU tidak termasuk kedalam
hierarki perundang-undangan Republik Indonesia, MoU merupakan pondasi
pembangunan Aceh yang damai dan berkelanjutan. MoU mengamantkan
terbentuknya Undang-undang yang mengatur tentang Aceh. Undang-undang baru
tentang Penyelenggaraan Pemerintah di Aceh akan diundangkan dan akan mulai
berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006 (point
1.1.1 MoU Helsinki).
Sebagai konsekwensi dari lahirnya MoU Helsinki, Pemerintah Indonesia
melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melahirkan sebuah Undang-undang
yang mengatur tentang Aceh (Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh), yang prinsipnya telah diatur dalam point berikutnya dalam
MoU Helsinki (Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik,
yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan,
kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional,
hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama,
dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia
sesuai dengan Konstitusi, sebagaimana yang ditegaskan pada point 1.1.2 MoU
Helsinki).
Untuk selanjutnya, hal ini menjadi menarik karena dalam perkembangan
politik hukum di Aceh, juga tentunya perkembangan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Aceh, MoU Helsinki telah menjadi cita
hukum (Rechtsidee) bagi seluruh stakeholder yang berkepentingan di Aceh.
menurut penulis, hal ini perlu untuk ditindaklanjuti dikarenakan Aceh masih
berada dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (juga hal tersebut
diamanatkan oleh MoU Helsinki). Oleh karenanya, penulis berkepentingan untuk
menggaris bawahi bahwa ketika Aceh masih berada dalam naungan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, maka harus tunduk pula oleh Konstitusi Indonesia.
Khusus mengenai cita hukum (Rechtsidee), bahwa cita hukum Indonesia
tetap bersumber dari Pancasila. Dengan demikian, semestinya Aceh dalam
perkembangan politik hukum, maupun peraturan perundang-undangan, juga harus
menerapkan Pancasila sebagai cita hukum (Rechtsidee) yang
bersifat fundament (mendasar), sehingga nantinya seluruh keputusan dan kebijakan
yang diterapkan di Aceh tidak bertentangan dengan falsafah bangsa Indonesia,
yakni Pancasila. Oleh karenanya penulis berpendapat bahwa, walaupun MoU tidak
dikenal dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun di
Aceh MoU Helsinki dapat menjadi cita hukum (Rechtsidee), karena MoU Helsinki
sendiri telah menjadi lokomotif bagi perkembangan perdamaian dan peradaban di
Aceh, dengan catatan tidak bertentangan dengan Pancasila.

B. Perbandingan Sistem Hukum antara Civil Law dan Common Law


MoU sebagaimana tersebut di atas merupakan hasil dari produk hukum yang
berasal dari tradisi Anglo Saxon. Di tinjau secara keilmuan hukum, MoU
merupakan janji untuk mengadakan perjanjian, dengan demikian pada dasarnya
belum mempunyai kekuatan mengikat layaknya perjanjian itu sendiri. Penggunaan
istilah MoU dalam tradisi Eropa Kontinental dengan mengkaitkan dengan teori
kebenaran lebih tepat, serta masuk ke dalam teori kebenaran pragmatis karena
didasarkan pada manfaat secara praktis dan kehadirannya dirasakan mendatangkan
manfaat[13].
Sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law) berkembang di negara-negara
Eropa. Sistem hukum ini bersumber dari kodifikasi hukum yang berlaku di
kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus abad 5 (527 –
565). Prinsip utama atau prinsip dasar sistem hukum Eropa Kontinental ialah
bahwa hukum itu memperoleh kekuasaan mengikat karena berupa peraturan yang
berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi,
kepastian hukumlah yang menjadi tujuan hukum. Kepastian hukum dapat terwujud
apabila segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup diatur dengan
peraturan tertulis, misalnya Undang-undang.
Dalam sistem hukum ini, terkenal suatu adagium yang berbunyi “tidak ada
hukum selain undang-undang”. Dengan kata lain, hukum selalu diidentifikasikan
dengan undang-undang (hukum adalah undang-undang).
Sistem hukum Anglo Saxon (Common Law) mula – mula berkembang di
negara Inggris, dan dikenal dgn istilah Common Law atau Unwriten Law (hukum
tidak tertulis). Sistem hukum ini dianut di negara-negara anggota persemakmuran
Inggris, Amerika Utara,Kanada, Amerika Serikat.
Menalaah keberadaan MoU dalam sistem hukum Indonesia, Walaupun MoU
tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia, namun demikian penulis melihat
bahwa adanya kebijakan dari pemerintah untuk mengadopsi MoU yang notabene
merupakan produk hukum dari sistem hukum Anglo saxon (Common Law) untuk
diterapkan kedalam sistem hukum nasional saat ini, tentunya dengan pertimbangan
yangdidasarkan pada manfaat secara praktis dan kehadirannya dirasakan
mendatangkan manfaat.
MoU merupakan bentuk dari sistem hukum Common Law, oleh karenanya
tidak dapat dipisahkan dari teori sistem yang dikemukakan oleh Lawrence M.
Friedman[14], yaitu:
1. Struktur Hukum (Legal Structure)
2. Substansi Hukum (Legal Substance)
3. Budaya Hukum (Legal Culture)

Lawrence M. Friedman[15] juga menerangkan bahwa, sistem hukum


mempunyai fungsi pokok, yaitu sebagai “kontrol sosial” yang pada dasarnya
berupa pemberlakuan peraturan mengenai perilaku yang benar. Fungsi lain dari
hukum adalah menciptakan norma-norma itu sendiri, bahan-bahan mentah bagi
kontrol sosial, kekuatan-kekuatan sosial melontarkan tekanan-tekanan, tekanan
tersebut akan “membentuk” hukum, namun institusi-institusi yang ada pada sistem
hukum mengambil tekanan/tuntutan dan mengubahnya menjadi peraturan, prinsip,
dan instruksi-instruksi bagi penduduk pada umumnya.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa MoU sejatinya adalah keinginan dari
para pihak untuk saling menyepakati hal-hal yang dianggap perlu dan dapat
mengatur, yang selanjutnya akan diterapkan didalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
Berikut ini, melalui tabel akan digambarkan perbedaan antara Civil
Law danCommon Law, yaitu[16]:

Pembeda Civil Law Common Law


Sumber 1. Undang – undang dibentuk1. Putusan hakim / putusan
Hukum oleh legslatif (statutes) pengadilan / yurisprudensi
2. Peraturan – peraturan (judicial decisions)
hukum 2. Peraturan hukum tertulis
3. Kebiasaan (custom) yang (undang – undang),
hidup dan diterima sebagai peraturan administrasi dan
hukum oleh masyarakat kebiasaan
Bentuk 1. mengenal sistem peradilan1. hanya mengenal satu
administras peradilan untuk semua jenis
2. menjadi modern karena perkara
pengkajian yang dilakukan2. dikembangkan melalui
oleh perguruan tinggi praktek prosedur hukum
3. tidak dibutuhkan lembaga3. dibutuhkan suatu lembaga
untuk mengoreksi kaidah untuk mengoreksi, yaitu
lembaga equaty. Lembaga
ibi memberi kemungkinan
untuk melakukan elaborasi
terhadap kaidah-kaidah yang
ada guna mengurangi
ketegaran.
Kodifikasi Dikenal dengan adanya Tidak ada kodifikasi
hukum kodifikasi hukum
Keputusan tidak dianggap sebagai keputusan hakim terdahulu
hakim kaidah atau sumber hukum terhadap jenis perkara yang
sama mutlak harus diikuti.
Pandangan lebih tidak tekhnis, tidak pandangan hakim lebih
hakim terisolasi dengan kasus teknis dan tertuju pada kasus
tertentu tertentu.
Kategoris bangunan hukum, sistem kategorisasi fundamental
hukum, dan kategorisasi tidak dikenal.Pada sistem
hukum didasarkan pada hukum eropa kontinental
hukum tentang kewajiban strukturnya terbuka untuk
perubahan sedang pada
sistem hukum anglo saxon
berlandaskan pada kaidah
yang sangat kongrit.
Dasar hukum Kodifikasi hukum Yurisprudensi / keputusan
hakim
Peran hakim Tidak bebas menciptakan Bertugas menafsirakan dan
hukum baru karena hakim menetapkan peraturan,
hanya berperan menciptakan kaidah hukum
menetapkan dan baru yang mengatur tata
menafsirkan peraturan kehidupan masyarakat,
yang ada berdasarkan menciptakan prinsip hukum
wewenang yang ada baru yang berguna sebagai
padanya pegangan bagi hakim dalam
memutuskan perkara

[1] Henry Campbell, “Black’s Law Dictionary”, (USA: West Publishing Company, 1990).
[2] Munir Fuady, “Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik”, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), hlm. 90.
[3] Salim HS, “Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding /MoU”. (Jakarta:
Sinar Grafika, 2007), hlm. 46.
[4] Munir Fuady, “Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik”, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), hlm. 91.
[5] Erman Rajagukguk, “Kontrak Dagang Internasional dalam Praktik di
Indonesia”, (Jakarta: Universitas Inonesia, 1994), hlm 4.
[6] Ibid., hlm. 47.
[7] Salim HS, “Hukum Kontrak. Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak”, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), hlm. 124.
[8] Dwika Sudrajat, “MoU dan
Kontrak”, http://dwikasudrajat.blogspot.com/2012/03/mou-memorandum-of-understanding.html,
diakses pada tanggal 20 Maret 2013.
[9] Munir Fuady, “Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik”, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), hlm. 92.

[10] Salim HS, “Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding /MoU”. (Jakarta:
Sinar Grafika, 2007), hlm. 48.
[11] Munir Fuady, “Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik”, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), hlm. 91-92.
[12] I. G. Ray Wijaya, “Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) Teori dan Praktik”,
(Jakarta: Kasaint Blanc, 2003), hlm. 102.
[13] Rahmat S. Sokonagoro, “Menggali makna peristilahan hukum dalam bahasa hukum
Indonesia”, http://www.sokonagoro.com/7-menggali-makna-peristilahan-hukum-dalam-bahasa-hukum
-indonesia.html, diakses pada tanggal 20 Maret 2013.
[14] Lawrence M. Friedman, “Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial”, (Bandung: Nusa Media,
2011), hlm. 12-19. Lihat juga dalam, Lawrence M. Friedman, “Hukum Amerika Sebuah Pengantar”,
(Jakarta: Tata Nusa, 2001), hlm. 8-10.
[15] Lawrence M. Friedman, “Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial”, (Bandung: Nusa Media,
2011), hlm. 20.
[16] Tabel ini disadur dari: Linda, “Perbedaan sistem hukum Eropa Kontinental dan Anglo
Saxon”,http: // chancut- unyuw. blogspot. com/ 2012 /02 /perbedaan –sistem –hukum
-kontinental-dan_23.html, diakses pada tanggal 20 Maret 2013.

Diposting oleh cakra arbas di 10.51

http://cakraarbas.blogspot.com/2013/08/mou-helsinki-dan-sistem-hukum.
html

Untuk mengetahui apakah suatu M.O.U bisa dikatakan kontrak atau bukan
ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu antara lain mengenai:

1.

Materi/ substansi dalam M.O.U

2.

Mengetahui materi atau substansi apa saja yang diatur dalam pasal-
pasal M.O.U sangat penting, karena apakah dalam materi yang
termaktub dalam M.O.U tersebut terdapat unsur-unsur yang akan
membuat salah satu pihak dirugikan apabila ada salah satu materi
dalam M.O.U tersebut yang diingkari. Misalkan dalam M.O.U disebutkan
mengenai kerjasama untuk membangun suatu proyek, dimana kedua
belah pihak menyetujui untuk saling
bekerja sama dalam pembangunan proyek tersebut. Tet
api di tengah perjalanan salah satu pihak ingin membatalkan
kerja sama tersebut dengan dalil proyek tersebut tidak berprospek
bagus. Dengan adanya pembatalan sepihak tersebut jelas merugikan
pihak lain yang bersangkutan, karena salah satu pihak tersebut merasa
telah menyiapkan segalanya termasuk anggaran- anggaran yang
dibutuhkan. Maka dalam hal ini berdasarkan teori mengenai
wanprestasi yaitu tentang hilangnya keuntungan yang diharapkan,
dimana salah satu pihak merasa rugi dan merasa kehilangan suatu
keuntungan yang besar dari pembatalan M.O.U tersebut, maka M.O.U
yang telah dibuat tersebut dapat dikategorikan suatu kontrak atau
setingkat dengan perjanjian berdasarkan pasal 1338 KUHPerdata.
Dalam Teori kepercayaan merugi (Injurious Reliance Theori) juga telah
dinyatakan dengan jelas bahwa kontrak sudah dianggap ada jika
dengan kontrak yang bersangkutan sudah menimbulkan kepercayaan
bagi pihak terhadap siapa janji itu diberikan sehingga pihak yang
menerima janji tersebut karena kepercayaannya itu akan
menimbulkan kerugian jika janji itu tidak terlaksana. Ibid., hal. 92Akan
tetapi lain halnya jika dalam materi M.O.U tersebut hanya mengatur
mengenai ulasan-ulasan pokok saja dimana dalam pasal M.O.U
disebutkan bahwa kerjasama mengenai kegiatan-kegiatan yang
dilakukan antar pihak akan ditentukan dalam perjanjian pelaksanaan
yang akan ditentukan oleh masing-masing pihak. Dan jika ditentukan
pula dalam salah satu pasal lain bahwa untuk pembiayaan akan diatur
pula dalam perjanjian lain yang lebih detil. Apabila substansi dalam
M.O.U mengatur hal-hal yang demikian, maka berdasarkan asas hukum
kontrak bahwa dapat disebut kontrak apabila suatu perjanjian itu
bersifat final, maka M.O.U semacam ini berdasarkan asas obligator
tidak bisa dikatakan suatu kontrak, karena belum final dalam
pembuatannya. Ibid., hal. 32

3.
4.

Ada tidaknya sanksi

5.

Untuk menentukan suatu M.O.U itu suatu kontrak atau bukan maka
harus dilihat apakah M.O.U tersebut telah memuat sanksi atau tidak.
Kalau dalam M.O.U tidak memuat suatu sanksi yang tegas maka M.O.U
tersebut tidak dapat dikatakan suatu kontrak. Dan kalau hanya
memuat sanksi moral maka M.O.U tidak bisa dikatakan suatu kontrak
berdasarkan Teori Holmes yang menyatakan bahwa tidak ada sanksi
moral dalam suatu kontrak. Ibid., hal. 11
6.

Karena adanya bermacam-macam pendapat mengenai kedudukan dari M.O.U,


maka dikenal dua macam pendapat sebagai berikut : Munir Fuady III,
Op.Cit., hal. 92-94.

1. Gentlemen Agreement

Pendapat ini mengajarkan bahwa M.O.U hanyalah merupakan suatu


gentlement agreement saja. Maksudnya kekuatan mengikatnya suatu M.O.U
tidak sama dengan perjanjian biasa, sungguh pun M.O.U dibuat dalam bentuk
yang paling kuat seperti dengan akta notaris sekalipun (tetapi dalam
praktek jarang M.O.U dibuat secara notarial). Bahkan menurut pendapat
golongan ini menyatakan bahwa M.O.U mengikat sebatas pada pengakuan
moral belaka, dalam arti tidak punya daya ikat secara hukum.

2. Agreement is Agreement

Ada juga pihak yang berpendapat bahwa sekali suatu perjanjian dibuat,
apapun bentuknya. Lisan atau tertulis, pendek atau panjang, lengkap/ detil
ataupun hanya diatur pokok-pokoknya saja, tetap saja merupakan suatu
perjanjian, dan karenanya mempunyai kekuatan hukum mengikat layaknya
suatu perjanjian, sehingga seluruh ketentuan pasal-pasal tentang hukum
perjanjian telah bisa diterapkan kepadanya. Dan menurut pendapat ini untuk
mencari alas yuridis yang tepat bagi penggunaan M.O.U adalah terdapat
dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang artinya apapun yang dibuat
sesuai kesepakatan kedua belah pihak, merupakan hukum yang berlaku
baginya sehingga mengikat kedua belah pihak tersebut. Selain itu menurut asas
kebebasan berkontrak dan asas konsensual maka hal apa saja asalkan halal
menurut hukum dan telah secara bebas disepakati maka berlaku suatu
perjanjian atau jika diterapkan secara tertulis maka hal tersebut bisa
dikatakan sebagai kontrak.
Pijakan lain dari pendapat diatas adalah dengan menggunakan suatu teori
yang disebut teori promissory estopel. Teori promissory estoppel atau disebut
juga dengan detrimental reliance mangajarkan bahwa dianggap ada
kesesuaian kehendak di antara para pihak jika pihak lawan telah melakukan
sesuatu sebagai akibat dari tindakan-tindakan pihak lainnya yang
dianggap merupakan tawaran untuk ikatan suatu kontrak. Munir Fuady
I,Op.Cit., hal. 8.

Doktrin lainnya adalah Teori kontrak quasi (quasi contract atau implied in
law). Teori ini mengajarkan bahwa dalam hal-hal tertentu, apabila dipenuhi
syarat-syarat tertentu, maka hukum dapat menganggap adanya kontrak di
antara para pihak dengan berbagai konsekuensinya, sungguhpun dalam
kenyataannya kontrak tersebut tidak pernah ada. Ibid

Suatu perjanjian jika yang diatur hanya hal-hal pokok sa


ja, maka mengikatnya hanya pun hanya terhadap hal-hal pokok tersebut.
Sama halnya jika suatu perjanjian hanya berlaku untuk suatu jangka waktu
tertentu, maka mengikatnya pun hanya untuk jangka waktu tertentu tersebut.
Sungguh pun para pihak tidak dapat dipaksakan untuk membuat perjanjian
yang lebih rinci sebagai tindak lanjut dari M.O.U, paling tidak, selama jangka
waktu perjanjian itu masih berlangsung, para pihak tidak boleh membuat
perjanjian yang sama dengan pihak lain. Ini tentu jika dengan tegas
disebutkan untuk itu dalam M.O.U tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa untuk


mengetahui kedudukan dari M.O.U diperlukan suatu pengamatan yang jeli
terhadap substansi yang terdapat dalam M.O.U tersebut, apakah materinya
mengandung unsur kerugian non moral atau kerugian secara finansial apabila
tidak dilakukannya pemenuhan prestasi dan apakah dalam M.O.U
mengandung sanksi atau tidak. Apabila menimbulkan suatu kerugian non
moral yaitu material dan mengandung suatu sanksi yang jelas bagi para pihak
yang mengingkarinya, maka M.O.U tersebut sudah berkedudukan sebagai
kontrak dan dianggap sudah setingkat dengan perjanjian berdasarkan pasal
1338 KUH Perdata mengenai kebebasan berkontrak. Walaupun M.O.U tidak
pernah disebutkan dengan tegas bahwa itu merupakan suatu kontrak, akan
tetapi kenyataannya kesepakatan semacam M.O.U ini memang ada seperti
yang ditegaskan dalam teori kontrak de
facto (implied in-fact), yakni sudah disebut sebagai
kontrak, walaupun tidak pernah disebutkan dengan tegas tetapi ada
kenyataan, pada prinsipnya dapat diterima sebagai kontrak yang
sempurna.Ibid M.O.U dalam hal ini apabila dikaitkan dengan teori ini maka
dapat disebut sebagai suatu kontrak dengan segala macam konsekuensinya.

Tetapi apabila dalam M.O.U tersebut hanya mengenai suatu hal belum final
dan masih membutuhkan perjanjian lain sebagai
pendukungnya dan dalam M.O.U tersebut tidak terdapat sanksi yang jelas
terhadap pihak yang mengingkarinya, maka M.O.U tersebut hanya
berkedudukan hanya sebagai “say hello” dalam hal kesepakatan mengenai
suatu proyek-proyek besar. Dan hal ini tentunya tidak mempunyai efek
apapun terhadap kekuatan hukum suatu M.O.U. Munir Fuady III.,Op.Cit., hal.
90.

http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-mou-memorandum-of
.html

SUDUT HUKUM | Ketentuan khusus mengenaiMoU tidak ditemukan dalam


berbagai ketentuan perundang – undangan, namun apabila kita
memperhatikan substansi MoU, maka jelaslah bahwa di dalamnya berisi
kesepakatan para pihak tentang hal–hal yang bersifat umum. Ketentuan yang
mengatur tentang kesepakatan telah dituangkan dalam Pasal 1320
KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata ini isinya adalah tentang aturan yang
mengatur mengenai syarat–syaratsahnya suatu perjanjian.

Salah satu syarat sahnya perjanjian itu adalah adanya konsensus para pihak,
di samping itu yang dapat di jadikan dasar hukum pembuatan MoU adalah
Pasal 1338 KUHPerdata. Pasal 1338 KUHPerdata berbunyi:
"Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang–undangbagi mereka yang membuatnya".
Asas kebebasan berkontrak, adalah suatu asas yang
memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk:
a. membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
dan
d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Asas ini merupakan asas yang sangat penting dalam pembuatan MoU, karena
asas ini memperkenankan para pihak, apakah itu, antara badan hukum
ataupun individu dengan badan hukum atau individu dengan individu untuk
melakukan atau membuat MoU yang sesuai dengan kebutuhan maupun
keinginan para pihak dalam MoUasalkan isinya tidak melanggar
peraturanperundang-undang yang berlaku.

Kekuatan suatu Perjanjian/Memorandum Of Understanding (M.O.U) Menu


rutKUH Perdata

Istilah M.O.U yang sering dipakai sebagai singkatan


dari Memorandum of Understanding atau nota kesepahaman atau
terkadang disebut sebagai nota kesepakatan dan merupakan istilah yang
paling populer dan lebih bersifat internasional dibandingkan dengan
istilah-istilah lainnya.[6]
Dalam perbendaharaan kata Indonesia, istilah M.O.U
diterjemahkansebagai “Nota Kesepakatan atau Nota
Kesepahaman”. M.O.U secara umum merupakan suatu nota
kesepakatan dimana masing-masing pihak melakukan penandatanganan
sebagai suatu pedoman awal tanda adanya suatu kesepahaman diantara
mereka, sengaja dibuat tidak formal karena biasanya hanya dilakukan di
bawah tangan saja, dibuat ringkas karena pihak yang
menandatanganinya merupakan pihak-pihak masih dalam negosiasi
awal.
M.O.U sebenarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional kita,
sehingga banyak yang mempertanyakan bagaimana sesungguhnya
kedudukan dari M.O.U itu sendiri. Untuk mengetahui apakah suatu M.O.U
bisa dikatakan kontrak atau bukan ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, yaitu antara lain mengenai :

1. Materi/ substansi dalam M.O.U


Mengetahui materi atau substansi apa saja yang diatur dalam
M.O.U sangat penting, karena apakah dalam materi yang termaktub
dalam M.O.U tersebut terdapat unsur-unsur yang akan membuat hak
dan kewajiban para pihak yang membuatnya sebagaimana yang
dimaksud dalam ketentuanpasal 1338 KUHPerdata.
Dalam materi M.O.U tersebut hanya mengatur mengenai
ulasan-ulasan pokok saja, dimana dalam pasal M.O.U disebutkan
bahwa kerjasama mengenai kegiatan-kegiatan yang dilakukan antar
pihak akan ditentukan dalam perjanjian pelaksanaan yang akan
ditentukan oleh masing-masing pihak. Berdasarkan asas hukum
kontrak bahwa dapat disebut kontrak apabila suatu perjanjian itu
bersifat final, maka dengan demikian M.O.U semacam ini belum
bisa dikatakan sebagai suatu kontrak, karena belum final dalam
pembuatannya.

2. Ada tidaknya sanksi


Untuk menentukan suatu M.O.U itu suatu kontrak atau bukan
maka harus dilihat apakah M.O.U tersebut telah memuat sanksi atau
tidak. Kalau dalam M.O.U tidak memuat suatu sanksi yang tegas
maka M.O.U tersebut tidak dapat dikatakan suatu kontrak. Dan kalau
hanya memuat sanksi moral maka M.O.U tidak bisa dikatakan suatu
kontrak berdasarkan Teori Holmes yang menyatakan bahwa tidak ada
sanksi moral dalam suatu kontrak.[7]
Suatu perjanjian dibuat, apapun bentuknya lisan atau tertulis,
pendek atau panjang, lengkap/detil ataupun hanya diatur
pokok-pokoknya saja, tetap saja merupakan suatu perjanjian, dan
karenanya mempunyai kekuatan hukum mengikat layaknya suatu
perjanjian.
Dan menurut pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang artinya
apapun yang dibuat sesuai kesepakatan kedua belah pihak,
merupakan hukum yang berlaku baginya sehingga
mengikat bagi kedua belah pihak tersebut. Selain itu menurut asas
kebebasan berkontrak dan asas konsensual maka hal apa saja
asalkan halal menurut hukum dan telah secara bebas disepakati maka
berlaku suatu perjanjian atau jika diterapkan secara tertulis maka hal
tersebut bisa dikatakan sebagai kontrak.[8]
Suatu perjanjian jika yang diatur hanya hal-hal pokok saja, maka
mengikatnya hanya terhadap hal-hal pokok tersebut. Sama halnya jika
suatu perjanjian hanya berlaku untuk suatu jangka waktu tertentu,
maka mengikatnya pun hanya untuk jangka waktu tertentu tersebut.
Sungguh pun para pihak tidak dapat dipaksakan untuk membuat
perjanjian yang lebih rinci sebagai tindak lanjut dari M.O.U, paling
tidak, selama jangka waktu perjanjian itu masih berlangsung, para
pihak tidak boleh membuat perjanjian yang sama dengan pihak lain.
Ini tentu jika dengan tegas disebutkan untuk itu dalam M.O.U tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa untuk mengetahui kedudukan dari M.O.U diperlukan suatu
pengamatan yang jeli, apakah materinya mengandung unsur
kerugian non moral atau kerugian secara finansial apabila tidak
dilakukannya pemenuhan prestasi dan apakah dalam M.O.U
mengandung sanksi atau tidak. Apabila menimbulkan suatu kerugian
non moral yaitu material dan mengandung suatu sanksi yang jelas
bagi para pihak yang mengingkarinya, maka M.O.U tersebut sudah
berkedudukan sebagai kontrak dan dianggap sudah setingkat dengan
perjanjian berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata mengenai
kebebasan berkontrak. Walaupun M.O.U tidak pernah disebutkan
dengan tegas bahwa itu merupakan suatu kontrak, akan tetapi
kenyataannya kesepakatan semacam M.O.U ini memang ada seperti
yang ditegaskan dalam teori kontrak de facto (implied in-fact), yakni
sudah disebut sebagai kontrak, walaupun tidak pernah disebutkan
dengan tegas tetapi ada kenyataan, pada prinsipnya dapat diterima
sebagai kontrak yang sempurna. M.O.U dalam hal ini apabila dikaitkan
dengan teori ini maka dapat disebut sebagai suatu kontrak dengan
segala macam konsekuensinya.
Tetapi apabila dalam M.O.U tersebut hanya mengenai suatu hal
belum final dan masih membutuhkan perjanjian lain sebagai
pendukungnya dan dalam M.O.U tersebut tidak terdapat sanksi yang
jelas terhadap pihak yang mengingkarinya, dan tidak mempunyai
efek terhadap kekuatan hukum darisuatu M.O.U.

A. Akibat hukum jika ada salah satu pihak melakukan pengingkaran


terhadap klausul-klausul dalam M.O.U
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda wanprestatie artinya tidak
memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik yang
timbulperjanjian maupun perikatan yang timbul karena
undang-undang. Suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya
kesepakatan atau persetujuan kedua belah pihak mengenai apa yang
menjadi obyek perjanjian.[9]
Apabila pihak yang berkewajiban tidak melakukan apa yang
dijanjikannya, maka pihak yang melakukan wanprestasi atau ingkar
janji tersebut berkewajiban melakukan

penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan
barulah mulai diwajibkan, apabila siberutang, setelah dinyatakan lalai
memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang
harus diberikan atau dibuat tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
Wanprestasi seseorang debitur dapat berupa empat macam :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak
sebagaimana mestinya.
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
4. Melakukan apa yang menurut yang dijanjikan tidak boleh
dilakukannya. [10]
Wanprestasi yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakannya
prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh
kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam
kontrak yang bersangkutan.Tindakan wanprestasi membawa
konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk
menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk melakukan
pemenuhan prestasi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada
satu pun pihak yang dirugikan karena prestasi tersebut.[11]
Hukuman bagi yang melakukan Wanprestasi adalah sebagai
berikut : melakukan pemenuhan perikatan, dapat ditintut pembatalan
perikatan dan dituntut ganti rugi dan pemenuhan perikatan dengan ganti
rugi.
Pengingkaran yang terjadi dalam substansi dari M.O.U dapat
dikategorikan menjadi dua bagian yaitu :
a. Pengingkaran terhadap substansi M.O.U yang tidak berkedudukan
sebagai kontrak.
b. Pengingkaran substansi M.O.U yang berkedudukan sebagai
kontrak (wanprestasi).
Untuk M.O.U yang tidak mempunyai suatu kekuatan hukum yang
memaksa (sanksi), maka M.O. tersebut sebaiknya diratifikasi menjadi
sebuah kontrak baru dengan substansi lebih tegas menyangkut hak
dan kewajiban masing-masing pihak disertai dengan sanksi yang tegas
pula jika terdapat uatu pelanggaran. Sedangkan untuk M.O.U yang
sifatnya sudah merupakan suatu kontrak maka apabila terjadi suatu
wanprestasi terhadap substansi dalam M.O.U ini maka pihak tersebut
harus memenuhi prestasi yang telah dilanggarnya atau ia akan dikenai
sanksi dari perundang-undangan yang berlaku.
Apabila dalam suatu kontrak ada provisi atau ketetapan pasal
yang menentukan jumlah ganti rugi yang harus dibayar oleh pihak
debitur jika debitur tersebut wanprestasi, maka pembayaran ganti rugi
tersebut hanya sejumlah yang ditetapkan dalam kontrak tersebut, Tidak
boleh dilebihi atau dikurangi (pasal 1249 KUH Perdata). Akan tetapi jika
jumlah kerugian yang disebut dalam kontrak terlalu besar, sangat
memberatkan bahkan tidak masuk akal, tentu tidak masuk akal pula jika
jumlah yang sangat besar tersebut harus dibayar oleh pihak debitur
sebagai suatu pemenuhan prestasi sungguhpun dia sudah terbukti
melakukan wanprestasi.[12]
Ketentuan sebagaimana diatur oleh pasal 1249 tersebut harus
dibaca bahwa dalam undang-undang mengisyaratkan bahwa
penentuan jumlah ganti rugi dalam kontrak oleh para pihak dalam
kontrak tersebut memang dimungkinkan. Hal ini sesuai dengan prinsip
kebebasan berkontrak.
Akan tetapi, penentuan jumlah ganti rugi dalam suatu M.O.U
sebagai kontrak dapat mengundang banyak persoalan yuridis. Misalnya
ganti rugi dalam bentuk apa yang diperbolehkan, apa ada
batas-batasnya, dan bagaimana pula jika ganti rugi tersebut terlalu
memberatkan sehingga sebenarnya sudah merupakan suatu hukuman
(penalty), sehingga tidak sesuai lagi dengan teori sama nilai (Equivalent
Theori) dimana teori ini mengajarkan bahwa suatu kontrak harus
memberikan prestasinya yang seimbang atau sama nilai (equivalent).
Jelasnya adalah bahwa antara ganti rugi dan penalty tujuannya
masing-masing berbeda. Tujuan ganti rugi dalam kontrak adalah untuk
menetapkan secara pasti suatu jumlah ganti kerugian yang harus
dibayar jika terjadi wanprestasi, sedangkan tujuan dari penaltyadalah
menghukum seseorang dengan sesuatu yang tidak seimbang dengan
wanprestasi yang telah dilakukannya.
Untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban dari
kedua belah pihak dalam kontrak yang bersangkutan mengenai
pemberian ganti rugi, maka dalam hukum kontrak didapatkan
petunjuk-petunjuk sebagai berikut :
1. Merupakan suatu estimasi yang masuk akal atas suatu kompensasi
yang adil.
2. Jumlah ganti rugi tersebut harus masuk akal baik ditinjau pada saat
dibuatnya suatu kontrak ataupun pada saat terjadinya wanprestasi.
3. Merupakan ganti rugi jika penentuan jumlah dalam kontrak
tersebut merupakan usaha dengan itikad baik untuk melaksanakan
estimasi yang benar. Jika tidak , itu namanya penalty.
4. Jumlah ganti rugi harus layak dimana jumlah ganti rugi yang
disebutkan dalam kontrak tersebut harus masuk akal dan tidak
boleh berlebihan. Kapankah diukur layak atau tidaknya jumlah
suatu ganti rugi.

Untuk itu ada dua teori, yaitu sebagai berikut :


1) Teori Konvensional
Teori konvensional mengajarkan bahwa ukuran layak atau tidaknya
suatu penetapan jumlah ganti rugi dalam suatu kontrak haruslah dilihat
layak pada saat kontrak dibuat (ditandatangani). Teori yang
konvensional ini menimbulkan dua konsekuensi sebagai berikut :
a. Klausula ganti rugi dalam kontrak tersebut tetap dapat
diberlakukan, sungguhpun dalam kenyataannya kerugian yang
diderita jauh lebih rendah dari yang disebutkan dalam kontrak.
Asalkan ketika dibuat kontrak, jumlah tersebut dalam kontrak
merupakan suatu antisipasi yang rasional pada saat itu.
b. Jika ketika dibuat kontrak, jumlah ganti rugi dalam kontrak tersebut
dianggap terlalu berlebihan, klausula tersebut tidak dapat
diterapkan, meskipun kemudian ternyata memang terjadi kerugian
yang sangat besar di luar yang diantisipasi
2) Teori Modern
Teori modern lebih fleksibel mengajarkan bahwa besarnya jumlah ganti
rugi yang disebut dalam suatu kontrak dianggap layak jika dilihat baik
pada waktu dibuatnya (ditandatangani) suatu kontrak, ataupun jika
dilihat pada saat terjadinya kerugian. Teori ini membawa dua
konsekuensi hukum yaitu sebagai berikut :
a) Jika kerugian ternyata lebih kecil ketimbang yang diperkirakan,
sedangkan jumlah ganti rugi dalam kontrak telah diantisipasi secara
layak dan jumlahnya lebih besar, maka klausula dalam kontrak
tersebut dapat dilaksanakan (sungguhpun jumlahnya lebih besar).
Jadi dalam hal ini yang dilihat adalah jumlah pada saat kontrak
dibuat.
b) Jika klausula dalam kontrak menyebutkan jumlah yang terlalu tinggi
dari yang dapat diantisipasi secara layak, ketentuan kontrak tersebut
masih bisa dilaksanakan jika ternyata pada
waktu wanprestasi terjadi, ternyata memang di luar dugaan bahwa
kerugiannya terlalu besar. [13]

Terlepas dari semua hal tersebut, debitur dapat tidak memenuhi


prestasi dalam sebuah kontrak yang dilakukannya jika ada suatu peristiwa
yang tidak terduga pada saat pembuatan kontrak (force majeure),
keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam beritikad buruk.
Hal tersebut sesuai dengan pasal 1245 KUH Perdata yang berbunyi :
“ Tidaklah biaya ganti rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran
keadaan memaksa atau apabila lantaran suatu kejadian tak disengaja si
berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan,
atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang
terlarang”.
Secara umum force majeure, maka force majeure sering
dibeda menjadi dua yaitu :
1. Force majeure yang obyektif
Force majeure yang bersifat obyektif ini terjadi atas benda yang
merupakan obyek kontrak tersebut. Artinya keadaan benda tersebut
sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi dipenuhi prestasi sesuai
kontrak, tanpa adanya unsur kesalahan dari pihak debitur. Misalnya
benda tersebut terbakar. Karena itu, pemenuhan prestasi sama sekali
tidak mungkin dilakukan karena yang terkena adalah benda yang
merupakan obyek dari kontrak, maka force majeure seperti ini disebut
juga dengan physical impossibility.
2. Force majeure yang subyektif
Sebaliknya, force majeure yang bersifat subyektif terjadi bukan
dalam hubungannya dengan obyek dari kontrak yang bersangkutan,
tetapi dalam hubungannya dengan perbuatan atau kemampuan debitur
itu sendiri. Misalnya jika debitur tersebut sakit berat sehingga tidak
mungkin untukberprestasai lagi.

F. PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kekuatan suatu perjanjian dalam memorandum of understanding (
M.O.U) menurut KUH Perdata adalah merupakan suatu
perjanjian/pernyataan yang dibuat baik lisan atau tertulis yang
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat kedua pihak dan mempunyai
sanksi yang umumnya disebut sebagai Kontrak (Agreement is
Agreement) (Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata).

2. Akibat hukum jika ada salah satu pihak


melakukan pengingkaran terhadap klausul-klausul dalam
M.O.U, yaitu maka pihak tersebut harus memenuhi prestasi yang telah
dilanggarnya atau ia akan dikenai sanksi dari perundang-undangan yang
berlaku. Bila terjadi ingkar dalam klausul MOU atau kontrak
disebut wanprestasi berdasarkan pasal 1249 KUH Perdata hal yang
dapat dituntut adalah sebagai berikut a. Pemenuhan
prestasi, b. Ganti kerugian,c. Pemenuhan prestasi disertai dengan
ganti rugi dan d. Pembatalan perjanjian.

B. Saran

1. Agar terjadi kejelasan dalam hukum


mengenai kesepakatan/perjanjian yang hendaknya dibuat dihadapan
notaris atau pihak yang berwenang untuk dapat memberikan legalitas
yang jelas.

2. Apabila terjadi pengingkaran atau wanprestasi terhadap substansiya


dari kesepakatan/perjanjian dari M.O.U maka harus
disebutkan terhadap sanksi karena untuk dapat memberikan kepastian
hukum dalam penggantian kerugian.

DAFTAR PUSTAKA

Amirizal, Hukum Bisnis, Risalah Teori dan Praktik, Djambatan, Jakarta, 1999.
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cetakan ke 25, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta, 2003.
Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Kedua, PT. Citra
Ditya Bakti Bandung, 1999.
__________, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Keempat, PT.
Citra Aditya Bakti Bandung 2002.
Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Azaz-Azaz Hukum Perdata,Alumni,
Bandung, 1999.
Y. Sogar Simamora, Prinsip Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang dan
Jasa oleh Pemerintah.. Yuridika. Volume17, No. 1, Maret 2003.
Y. Sogar Simamora. Harmonisasi Prinsip-prinsip Hukum Kontrak Indonesia
Terhadap Sistem Perdagangan Global, Yuridika. Volume18, No. 2,
Maret 2003

http://semestahukum.blogspot.com/2016/07/kekuatan-hukum-suatu-mem
orandum-of.html

Anda mungkin juga menyukai