Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pajak merupakan kewajiban warga negara yang menunjukan peran serta
dari seluruh masyarakat dalam pembiayaan pemerintah untuk menjalankan
pemerintahan dan pembangunan. Pajak telah terbukti menjadi sumber utama
dalam APBN Indonesia yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Pembiayaan pengeluaran negara yang bersumber
dari pajak menunjukan adanya kemandirian bangsa untuk mencapai cita-cita
luhur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Pajak pada dasarnya merupakan peralihan sebagian kekayaan dari


masyarakat kepada negara yang dimungkinkan oleh Undang-Undang Pajak.
Peralihan kekayaan tersebut membuat pajak dipandang dari dua sisi yang
berbeda. Bagi masyarakat seringkali pajak dinggap sebagai beban. Di sisi
lain bagi pemerintah dan fiskus pajak harus dipungut karena terbukti pajak
memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan pajak, baik
dengan usaha intensifikasi maupun ekstensifikasi pajak.
Jenis pajak yang seringkali kita temui dikehidupan sehari-hari
adalah PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPnBM (Pajak Penjualan atas
Barang Mewah). Kedua jenis pajak ini sangat memberikan kontribusi yang
sangat berarti bagi pembangunan negara ini, karena pajak tersebut yang
sering atau acapkali kita bayarkan baik secara langsung maupun tidak
langsung dikehidupan sehari-hari.
Sebagai warga negara kita tidak hanya sekadar mengetahui secara
sepintas tentang PPN dan PPnBm, tetapi juga harus mendalami bagaimana
sebenarnya kedua jenis pajak ini serta seluk beluk yang menyangkut hal
tersebut. Dengan kata lain agar tidak naïf dalam hal-hal yang menyangkut
kewajiban kita sebagai warga negara.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar
pemungutan PPN dalam objek, tarif dan perhitungannya?
2. Apa fungsi dan persayaratan mengenai faktur pajak?
3. Bagaimana cara perhitungan PPN, saat terhutang dan tentang
pembayaran PPN?
4. Bagaimana dasar pengenaan PPnBM?
5. Bagaimana penerapan tarif dan pelaporan pada PPnBM?

C. Tujuan
1. Sebagai tugas kelompok dari Dosen Perpajakan.
2. Penulis dapat lebih mengerti pembahasan PPN & PPnBM.
3. Dapat menambah wawasan bagi penulis dan pembaca makalah ini.
4. Dapat menyajikan materi secara ringkas agar mudah dimengerti
pembaca/pendengar.

D. Manfaat
1. Mengetahui konsep dasar pemungutan PPN dalam objek, tarif dan
perhitungannya.
2. Memahami tentang Faktur pajak baik itu tentang persyaratan maupun
fungsinya.
3. Mengerti cara perhitungan PPN, saat terhutang dan tentang pembayaran
PPN.
4. Menjelaskan secara jelas dasar pengenaan PPnBM.
5. Memahami penerapan tarif dan pelaporan pada PPnBM.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PPN (Pajak Pertambahan Nilai)


1. Pengertian dan Dasar PPN
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai diperkenalkan di Indonesia sejak 1 april
1985 untuk menggantikan Pajak Penjualan (PPn). Hal ini dituangkan dalam UU No 8
tahun 1983. PPN diatur dalam UU No 8 tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM,
selanjutnya diubah dengan UU No.11 tahun 1994, lalu diubah dengan UU No. 18
tahun 2000, terakhir diubah lagi dengan UU No.42 tahun 2009.
PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah pajak atas konsumsi barang dan
jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur
produksi dan distribusi (Siti Resmi, 2012:1). Dalam Dirjen Pajak, Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan atas
setiap pembelian Barang Kena Pajak dan pemanfaatan Jasa Kena Pajak baik
di dalam wilayah Indonesia maupun dari luar daerah Pabean.
Pada dasarnya semua barang merupakan Barang Kena Pajak, sehingga
dikenakan PPN, kecuali jenis barang yang diatur dalam Undang Undang PPN.
Misalnya barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil
langsung dari sumbernya, barang-barang kebutuhan pokok yang sangat
dibutuhkan oleh rakyat banyak, makanan dan minuman yang disajikan di hotel,
restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya dan uang, emas batangan,
dan surat-surat berharga. Ada juga barang yang merupakan Barang Kena Pajak
tetapi PPNnya dibebaskan, misalnya buku pelajaran umum dan buku pelajaran
agama dan barang-barang tertentunya.

2. Objek PPN
a. Penyerahan /impor/pemanfaatan/ekspor terhadap BKP /JKP/BKP
tidak berwujud.
1) Penyerahan BKP didalam daerah pabean yang dilakukan oleh
pengusaha kena pajak maupun pengusaha yang seharusnya
dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak tetapi belum
dikukuhkan.
2) Impor BKP. Pemungutan pajak saat impor BKP dilakukan melalui
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
3) Penyerahan JKP didalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha
4) Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daearah pabean
didalam daerah pabean.
5) Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean (jasa konsultan asing yang
memberikan jasa manajemen, jasa teknik dan jasa lain) didalam daerah
pabean.
6) Ekspor BKP berwujud oleh PKP, ekspor BKP dikenakan PPN, hanya jika
yang melakukan adalah pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP.
7) Ekspor BKP tidak berwujud oleh PKP, pengusaha yang melakukan
ekspor BKP tidak berwujud adalah hanya pengusaha yang telah
dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak.
8) Ekspor JKP oleh PKP.
b. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya diigunakan sendiri atau
digunakan pihak lain.
c. Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut
tidak untuk diperjual belikan sepanjang pajak masukan yang dibayar pada saat
perolehan menurut ketentuan dapat dikreditkan.

3. Bukan Objek PPN


a. Jenis Barang yang Tidak Dikenai PPN:
1) Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil
langsung dari sumbernya.
2) Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat
banyak.
3) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah
makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman
baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan
dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering.
4) Uang, emas batangan, dan surat berharga.
b. Jenis Jasa yang Tidak Dikenai PPN: Jasa pelayanan kesehatan medis,
jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa
keuangan, jasa asuransi, jasa keagamaan, jasa pendidikan, jasa
kesenian dan hiburan, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan,
jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara
dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa
angkutan udara luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa perhotelan,
jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum, jasa penyediaan tempat parker, jasa
telepon umum dengan menggunakan uang logam, jasa pengiriman uang
dengan wesel pos dan jasa boga atau katering.

4. Subjek Pajak
Pengusaha Kena Pajak, yaitu pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang PPN, yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar
Daerah Pabean.

5. Bukan Subjek Pajak


Pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak. (Pasal 1 angka 15 UU PPN).
6. Tarif PPN
a. Tarif PPN adalah 10%.
Dikenakan atas setiap penyerahan BKP di dalam daerah
pabean/impor BKP/penyerahan JKP di dalam daerah pabean/pemanfaatan
BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam pabean/pemanfaatan
JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut dapat
diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% yang perubahan
tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini dapat disebabkan
berbagai faktor, misalnya pertimbangan perkembangan perekonomian
Indonesia, sehingga tarif PPN bisa diturunkan. Sebaliknya, misalnya
jika Pemerintah membutuhkan penerimaan pajak yang besar, sehingga
tarif PPN bisa dinaikkan.
b. Tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas Ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud, Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan Ekspor Jasa
Kena Pajak.

7. Dasar Pengenaan PPN


a. Harga Jual
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang
Kena Pajak, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang
ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

b. Penggantian
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa
Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-
Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau
nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima
Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
c. Nilai Impor
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar
penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan
cukai untuk impor Barang Kena Pajak.
Nilai Impor adalah CIF (Cost, Insurance, and Freight) + Bea
Masuk.
d. Nilai Ekspor
Nilai Ekspor adalah adalah nilai berupa uang, termasuk semua
biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
e. Nilai Lain
Nilai Lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak
yang terutang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
No.75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain Sebagai DPP dan Peraturan
Menteri Keuangan No.102/PMK.11/2011 tentang nilai lain sebagai DPP
atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah
pabean, di dalam daerah pabean berupa film cerita impor dan
penyerahan film cerita impor.

B. Faktur Pajak
1. Pengertian
Menurut Siti Resmi (2012:52), faktur pajak adalah bukti pungutan
pajak yang dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan barang kena pajak
atau penyerahan jasa kena pajak.
Faktur pajak merupakan bukti pemungutan pajak dan dapat digunakan
sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Oleh karena itu, faktur
pajak harus benar, baik secara formal maupun secara materiil.
Faktur pajak wajib dibuat oleh pengusaha kena pajak untuk setiap :
a. Saat penyerahan barang kena pajak.
b. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi
sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan atau sebelum penyerahan Jasa
Kena Pajak.
c. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian
tahap pekerjaan.
d. Saat pengusaha kena pajak rekana menyampaikan tagihan kepada
Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut PPN.

2. Persyaratan Faktur Pajak


a. Nama, alamat, nomor pokok WP yang menyerahkan BKP atau JKP
b. Nama, alamat, nomor pokok WP pembeli BKP atau penerima JKP
c. Jenis barang atau jasa, jumlah HJ atau penggantian dan potongan harga
d. PPN yang dipungut
e. PPnBM yang dipungut
f. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan faktur pajak
g. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani faktur pajak.

3. Fungsi Faktur Pajak


Adapun fungsi faktur pajak adalah :
a. Sebagai bukti pungut PPN yang dibuat oleh PKP atau Direktorat Jendral
Bea dan Cukai, baik karena penyerahan BKP atau JKP maupun Impor BKP.
b. Sebagai bukti pembayaran PPN yang telah dilakukan oleh pembeli BKP
atau penerima JKP kepada PKP atau Direktorat Bea dan Cukai.
c. Sebagai sarana pengawasan administrasi terhadap kewajiban
perpajakan.

C. Perhitungan PPN
PPN dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan
pajak.

Mekanisme Perhitungan PPN dapat diuraikan sebagai berikut :


a. PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 UU PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak.
b. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak
Keluaran untuk Masa Pajak yang sama.
c. Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak
Masukan tetap dapat dikreditkan.
d. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada
Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang
harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak.
e. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan
kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasikan
ke Masa Pajak berikutnya.
f. Apabila dalam suatu Masa Pajak, PKP selain melakukan penyerahan yang
terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak,
sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui
dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan
yang terutang pajak.
g. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan
penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak
terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang
terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak
dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
h. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha yang
dikenakan Pajak Penghasilan dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, dapat dihitung
dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
i. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan
Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa
Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa
Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan
belum dilakukan pemeriksaan.
Contoh :
 PKP “A” menjual tunai Barang Kena Pajak (BKP) dengan Harga Jual
Rp 25.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
= 10% x Rp25.000.000,00
= Rp2.500.000,00
PPN sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang didapat
oleh Pengusaha Kena Pajak “A”.
 PKP “B” melakukan penyerahan Jasa Kena (JKP) Pajak dengan
memperoleh penggantian sebesar Rp20.000.000,00
PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP “B”
= 10% x Rp20.000.000,00
= Rp 2.000.000,00
PPN sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang didapat
oleh Pengusaha Kena Pajak “B”.
 Bapak andre saputra simanjuntak mempunyai perusahaan yang
memproduksi bahan alkohol, dia melakukan penjualan sebesar Rp.
120.000.000,- dengan PPN sebesar 15%
Perhitungan :
= Rp. 120.000.000,- x 15%
= Rp. 18.000.000,-
Jadi pajak PPN yang dipungut oleh perusahaan bapak andre adalah Rp.
18.000.000,-

D. PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah)


PPnBM adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi BKP yang tergolong
mewah didalam daerah pabean.

1. Dasar Pengenaan PPnBM


a. Perlu adanya keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang
berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi.
b. Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong
mewah.
c. Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau
tradisional.
d. Perlu untuk mengamankan penerimaan negara.
PPnBM dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada
waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
BKP yang tergolong mewah adalah :
a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok;
b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat
berpenghasilan tinggi atau apabila dikonsumsi dapat merusak
kesehatan dan moral serta mengganggu ketertiban masyarakat.

2. Objek PPnBM
a. Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan
oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah
Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
b. Impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah

3. Penetapan Tarif
a. Tarif PPnBM dibedakan menjadi beberapa kelompok tarif yaitu tarif
terendah sebesar 10% dan tarif tertinggi sebesar 200%. Perbedaan
tersebut didasarkan pada pengelompokkan BKP yang tergolong mewah
yang atas penyerahannya dikenakan juga PPnBM.
b. Tarif PPnBM ditetapkan sebesar 0% atas ekspor BKP yang tergolong
mewah, karena diekspor atau dikonsumsi di luar daerah Pabean.

E. Pelaporan PPN dan PPnBM


1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam
SPT Masa dan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat paling
lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang telah
dilunasi segera dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.
3. PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan:
a. Bendahara Pemerintah harus dilaporkan paling lama akhir bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan
paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Untuk penyerahan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan PPnBM
dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan
kepada KPP setempat paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.

F. Saat Pembayaran/Penyetoran PPN/PPnBM


1. PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetor paling
lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
2. PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus
dibayar/disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT,
dan STP tersebut.
3. PPN/PPnBM atas Impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/
dibebaskan, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Impor.
4. PPN/PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh:
a. Bendahara Pemerintah, harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN / PPnBM atas
Impor, harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah
dilakukan pemungutan PPN pajak.
PPN dari penyerahan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik (BULOG),
harus dilunasi sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang
(D.O) ditebus.

G. Sarana Pembayaran PPN dan PPnBM


1. Untuk membayar/menyetor PPN dan PPnBM digunakan formulir Surat
Setoran Pajak (SSP) yang tersedia di Kantor-kantor Pelayanan Pajak
dan Kantor-kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan
(KP2KP) di seluruh Indonesia.
2. Surat Setoran Pajak (SSP) menjadi lengkap dan sah bila jumlah PPN/
PPn BM yang disetorkan telah sesuai dengan yang tercantum di dalam
Daftar Nominatif Wajib Pajak (DNWP) yang dibuat oleh: Bank penerima
pembayaran, Kantor Pos dan Giro, atau Kantor Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai penerima setoran.
Contoh Soal:
Pengusaha Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong
Mewah dengan Nilai Impor sebesar Rp. 50.000.000,00 Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah tersebut selain dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM
misalnya dengan tarif 20%.
Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah tersebut adalah:
a. Dasar Pengenaan Pajak Rp. 50.000.000,00
b. PPN = 10% xRp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00
c. PPn BM = 20% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 10.000.000,00
Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian
dari suatu BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan
tarif misalnya 35%. Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang
diimpor tersebut tidak dapat dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp.
10.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam harga BKP yang dihasilkan oleh
PKP “D” atau dibebankan sebagai biaya.
Misalnya PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya kepada PKP “X” dengan
harga jual Rp. 150.000.000,00 maka penghitungan PPN dan PPn BM yang
terutang adalah :
a. Dasar Pengenaan Pajak Rp. 150.000.000,00
b. PPN = 10% x Rp. 150.000.000,00 = Rp. 15.000.000,00
c. PPn BM = 35% x Rp. 150.000.000,00 = Rp. 52.500.000,00
PPN sebesar Rp. 5.000.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak
masukan bagi PKP “D” dan PPN sebesar Rp. 15.000.000,00 merupakan pajak
keluaran bagi PKP “D”. Sedangkan PPnBM sebesar Rp. 10.000.000,00 tidak
dapat dikreditkan. Begitu pun dengan PPnBM sebesar Rp. 52.500.000,00
tidak dapat dikreditkan oleh PKP “X”.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM) lebih menunjukan sebagai identitas dari suatu sistem pemungutan
pajak atas konsumsi daripada nama suatu jenis pajak, mengenakan pajak
atas nilai tambah yang timbul pada barang atau jasa tertentu yang
dikonsumsi. Namun sebelum barang atau jasa tersebut sampai pada
tingkat konsumen, PPN telah dikenakan pada setiap mata rantai jalur
produksi maupun jalur distribusi. Meskipun demikian, pemungutan pajak
secara bertingkat ini tidak menimbulkan efek ganda karena adanya metode
perolehan kembali pajak yang telah dibayar (kredit bayar) oleh Pengusaha
Kena Pajak sehingga persentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen
tetap sama dengan tarif pajak yang berlaku. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa panjang pendek jalur produksi atau distribusi tidak
mempengaruhi persentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen.

B. Saran
Berdasarkan uraian makalah perpajakan tentang Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) ini diharapkan dapat
mengaplikasikan teori yang didapatkan dari materi ini.
http://riaviinola.blogspot.com/2015/12/makalah-ppn-ppnbm.html
Karakteristik dan Mekanisme Pengenaan PPN dan PPnBM

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap
pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke
konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods
and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya
pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak
atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan
langsung pajak yang ia tanggung.

Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak


pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang
disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah
pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut
ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang
dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.

Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10


persen. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia
adalah Undang-Undang No. 8/1983 berikut revisinya, yaitu Undang-Undang No.
11/1994 dan Undang-Undang No. 18/2000. Barang tidak kena PPN. Barang hasil
pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya.

Mekanisme PPnBM diatur dalam pasal 5, Pasal 8 dan Pasal 10 UU PPN,


yang sama secara garis besar adalah sebagai berikut:

a. Atas impor dan Penyerahan BKP yang tergolong Mewah oleh PKP yang
menghasilkan BKP yang tergolong Mewah tersebut disamping dikenakan
PPN juga dikenakan PPnBM.
b. PPnBM hanya dipungut satu kali, yaitu pada waktu Impor atau pada
waktu menyerahkan BKP yang tergolong Mewah tersebut oleh pabrikan.
c. PPnBM tidak dapat dikreditkan baik terhadap PPN maupun terhadap
PPnBM;
d. Tarif PPnBM yang berdasarkan UU No. 8 Tahun 1983 berkisar antara 10%
sampai dengan 35% dengan UU No. 11 Tahun 1994 diubah menjadi
setinggi-tingginya 50% dan dengan UIJ No. 18 Tahun 2000 diubah lagi
menjadi setinggi-tingginya 75%.
e. Atas ekspor BKP yang tergolong mewah dapat meminta kembali PPnBM
yangtelah dibayar pada waktu perolehan BKP yang tergolong mewah yang
diekspor tersebut.
Karakteristik PPnBM sebagai berikut:
1. PPnBM merupakan pungutan tambahan BKP Mewah selain PPN
2. PPnBM hanya dikenakan sekali yaitu pada saat impor atau pada saat
penyerahan BKP Mewah oleh PKP Pabrikan.
3. PPnBM tidak dapat dikreditkan sehingga diperlakukan sebagai biaya
4. Dalam hal BKP Mewah diekspor, maka PPnBM yang dibayar pada saat
perolehannya dapat diminta kembali (restitusi).

B. Objek Pajak dan Yang Dikecualikan

Objek PPN

1. Setiap pembayaran yang dilakukan oleh Pemungut PPN, kecuali :

a. Pembayaran yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 500.000 termasuk


PPN/PPnBM dan tidak merupakan jumlah yang terpecah-pecah

b. Pembayaran untuk pembebasan tanah

c. Pembayaran atas penyerahan BKP yang PPNnya ditanggung oleh


Pemerintah

d. Pembayaran BBM dan Non BBM yang penyerahannya dilakukan oleh


Pertamina

e. Pembayaran atas jasa telekomunikasi yang diserahkan oleh PT Telkom

f. Pembayaran atas Jasa Angkutan Udara Dalam Negeri

g. Pembayaran kepada perseorangan yang mnyewakan ruangan atau


rumah tinggal yang nilai sewa seluruhnya tidak melebihi Rp 30.000.000
setahun
h. Pembayaran untuk penyerahan bukan BKP dan bukan JKP

i. Pembayaran untuk penyerahan JKP yang dilakukan oleh Instansi


Pemerintah yang menjalankan fungsi Pemerintah

j. Pembayaran atas penyerahan JKP yang dilakukan oleh Instansi


Pemerintah kepada Instansi Pemerintah lainnya sepanjang dananya
berasal dari APBN/D dan Instansi Pemerintah yang menerima
pembayaran memasukkannya kedalam Mata Anggaran penerimaan
instansi tersebut

k. Pembayaran kepada Rekanan non PKP atau non NPWP yang tidak
didasarkan atas kontrak.

2. Pembayaran kepada Rekanan non PKP atau non NPWP yang menyerahkan BKP
atau JKP berdasarkan kontrak /purchase order.

Objek PPnBM

1. Semua jenis kendaraan bermotor untuk kendaraan dinas TNI/POLRI dan


untuk tujuan Protokoler Kenegaraan, sepanjang dananya berasal dan
APBN/APBN.
2. Semua jenis kendaraan bermotor untuk kendaraan bermotor untuk
kendaraan ambulan, tahanan, pemadam kebakaran, dan mobil jenazah
3. Kendaraan Angkutan umum sebagai berikut;
• Kendaraan bermotor yang digunakan untuk pengangkutan orang
danbarang
• Yang disediakan untuk umum dengan dipungut bayaran
• Selain dengan cara persewaan (charter)
• Baik dengan trayek maupun tidak
• Sepanjang menggunakan plat dasar nomor Polisi warna kuning
4. Kendaraan pengangkutan barang yaitu,
• Kendaraan bermotor dalam bentuk kendaraan baik terbuka atau
kendadaraan baik tertutup
• Dengan jumlah penumpang tidak lebih dan tiga orang termasuk
pengemudi
• Yang digunakan untuk kegiatan pengangkutan barang baik yang
disedialuntuk umum maupun pribadi.

C. Pengusaha Kena Pajak

Tercantum dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000


bahwa Pengusaha (Perusahaan) yang tidak termasuk Pengusaha Kecil yang
menyerahkan Barang Kena Pajak /Jasa Kena Pajak. Pengusaha yang memenuhi
syarat ini, wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebelum melakukan
penyerahan BKP dan/atau JKP. Pengusaha kecil yang menyerahkan BKP/JKP, dan
memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak.

1. Termasuk PKP (Peraturan Pemerintah Nomor 143 TAHUN 2000)

a. Pengusaha yang baru berniat akan melakukan penyerahan Barang


Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (dalam tahap pra operasi/belum
berproduksi komersial), artinya perusahaan tersebut belum memulai
usahanya tetapi dari kegiatan persiapan yang dilakukan seperti
pembelian barang modal atau bahan baku dapat diketahui bahwa
Pengusaha ini berniat akan melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak/Jasa Kena Pajak.

b. Bentuk kerja sama operasi (Joint Operation/Joint Venture) yang


melakukan penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak. Apabila
Joint Operationt tersebut hanya merupakan alat koordinasi, sedangkan
transaksi penyerahan BKP/JKP tetap dilakukan sendiri-sendiri oleh
peserta JO, maka JO tersebut tidak perlu dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak.

2. Pengusaha Kecil (552/KMK.04/2000 Jo 571/KMK.03/2003, SE - 33/PJ.51/2003)

a. Sejak 1 Januari 2003 Batasan Pengusaha kecil adalah Rp 600.000.000


(enam ratus juta rupiah) untuk pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak.

b. Sebelum 1 Januari 2003 Batasan Pengusaha Kecil adalah :

1. Rp 360 Juta peredaran bruto setahun untuk :


 Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau JKP

 Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan JKP, tetapi


penyerahan BKP lebih dari 50% dari total peredaran bruto dan
penerimaan bruto

2. Rp 180 Juta peredaran bruto setahun untuk :

 Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau JKP

 Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan JKP, tetapi


penyerahan JKP lebih dari 50% dari total peredaran bruto dan
penerimaan bruto.

c. Beberapa hal seputar pengukuhan PKP :

1. Pengusaha kecil yang omsetnya telah melampaui batasan omset Rp


600 juta, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak paling lambat akhir bulan setelah bulan
terlampauinya batasan tersebut. Apabila batas waktu pelaporan
tersebut terlampaui, maka saat pengukuhan sebagai PKP adalah
awal bulan berikutnya.

2. Dalam hal pengukuhan dilakukan secara jabatan, maka saat


pengukuhan adalah awal bulan kedua setelah bulan terlampauinya
batasan pengusaha kecil.

D. Penyerahan dan Bukan Penyerahan

Penyerahan yang dikenakan PPN meliputi:

1. penyerahan hak karena suatu perjanjian;

2. pengalihan barang karena suatu perjanjian sewa-beli dan perjanjian leasing;

3. penyerahan kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;

4. pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;


5. penyerahan likuidasi atas aktiva yang tujuan semula tidak untuk diperjuabelikan,
yang masih tersisa pada saat pembubaran, sepanjang PPN sewaktu memperoleh
aktiva dapat dikreditkan menurut perundang-undangan perpajakan yang
bersangkutan;

6. penyerahan dari cabang ke cabang lainnya, atau dari pusat ke cabang atau
sebaliknya;

7. penyerahan secara konsinyasi.

E. Barang dan Jasa Kena Pajak

Jasa kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu
perikatan atauperbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas
atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan
untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan
atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang
PPN 1984. Dan dasar hukum Jasa Kena Pajak tercantum pada Pasal 1 angka 6
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.

Sedangkan Jasa adalah ( Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 18 Tahun


2000 ) setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan
hukum yang menyebabkan suatu barang/ fasilitas/ kemudahan/ hak tersedia
untuk dipakai termasuk menghasilkan barang berdasarkan pesanan dengan
bahan dan petunjuk pemesan. Contoh, jasa konsultan, jasa sewa, jasa konstruksi
dan jasa lainnya.

Pada prinsipnya, semua jasa merupakan Jasa Kena Pajak (JKP) kecuali
yang dinyatakan lain oleh undang-undang PPN itu sendiri. Dengan demikian, yang
diatur secara rinci dalam undang-undang PPN adalah jasa-jasa yang bukan
merupakan jasa kena pajak, yaitu di pasal 4A UU No.18 Tahun 2000 dan secara
otomatis jasa-jasa lainnya merupakan Jasa Kena Pajak.

Pengecualian JKP
Jenis-Jenis Jasa Tidak Kena Pajak menurut Pasal 4A Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 144 TAHUN 2000 adalah
sebagai berikut:

1. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medis, misalnya jasa dokter umum,


dokter spesialis, dokter hewan, jasa rumah sakit, dan lain-lain.

2. Jasa di bidang pelayanan sosial, misalnya jasa pelayanan panti asuhan, jasa
pemberian pertolongan pada kecelakaan, jasa di bidang olahraga kecuali
yang bersifat komersial, dan sebagainya.

3. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko.

4. Jasa di bidang perbankan, jasa asuransi, dan jasa sewa guna usaha dengan
hak opsi (capital lease).

Jasa Perbankan yang tidak dikenakan PPN ( SE - 15/PJ.5/1990 )

- Jasa penghimpunan dana (giro, deposito, tabungan dan lain-lain);

- Jasa penyaluran dana (perkreditan) ; dan

- Jasa di bidang lalu lintas keuangan giral dan kartal.

Jasa-jasa di atas merupakan kegiatan jasa yang merupakan usaha pokok


bank, dan sesuai dengan UU Tentang Perbankan tidak diperbolehkan
dilakukan oleh lembaga usaha non bank. Jasa-Jasa Yang Dilakukan Oleh
Bank Tetapi Merupakan Jasa Kena Pajak (Peraturan Pemerintah Nomor
144 TAHUN 2000 ) adalah sebagai berikut:

- Jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga


(penyewaan safe deposit box).

- Jasa penitipan (safe Custody) yaitu ; jasa penyimpanan, penjagaan, dan


pemeliharaan surat-surat berharga. (SE - 25/PJ.53/1995 )

- Jasa anjak piutang ( 292/KMK.04/1996 )

- Jasa wali amanat ( SE - 03/PJ.32/1996 )

5. Jasa di bidang keagamaan, yaitu jasa pelayanan rumah ibadah, jasa


pelayanan khotbah dan dakwah dan jasa lain di bidang keagamaan.

6. Jasa di bidang pendidikan, yaitu jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah


dan jasa penyelenggaraan luar sekolah (kursus-kursus).

7. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan Pajak Tontonan
(Pajak Daerah), seperti pementasan kesenian tradisional yang
diselenggarakan secara cuma-cuma.

8. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan, seperti penyiaran radio
dan televisi yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang
bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan
komersial.

9. Jasa angkutan umum di darat dan di air, yaitu jasa angkutan yang
dilakukan pemerintah atau swasta.

10. Jasa di bidang tenaga kerja, misalnya jasa penyelenggaraan latihan bagi
tenaga kerja.

11. Jasa di bidang perhotelan (telah dikenakan Pajak Daaerah).

12. Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam menjalankan pemerintahan


secara umum, seperti Pemberian Izin Mendirikan Bangunan, Pemberian
Izin Usaha Perdagangan, Pemberian NPWP, pembuatan KTP.

Penyerahan Jasa Kena Pajak ( Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 18


Tahun 2000 ) :

Dalam pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000,


Penyerahan Jasa Kena Pajak yaitu setiap kegiatan pemberian JKP, termasuk
pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma atas Jasa Kena Pajak. Sama halnya
dengan pemakaian sendiri atau pemberian cuma-cuma atas BKP, pemakaian
sendiri atau pemberian cuma-cuma atas JKP juga harus dikenakan PPN. Sebagai
contoh, Perusahaan jasa konstruksi (kontraktor) membangun bangunan untuk
dipakai sendiri. Dalam hal ini, perusahaan tersebut harus mengenakan PPN
kepada dirinya sendiri sebesar 10% dari harga pokok (biaya bangunan tersebut).
F. Tarif dan Pengenaan Pajak

Atas penyerahan BKP yang tergolong mewah dan impor barang yang
tergolong mewah serendah rendahnya adalah 10 % ( sepuluh persen ) dan setinggi
tingginya 75 %

1. selain kendaraan bermotor terdiri dari enam lapis yaitu : 10 %,20 %,


30 %,40 %,50 % dan 75 %

2. kendaraan bermotor terdiri dari tujuh lapis, yaitu : 10 s/d 60 % dan 75 %

3. Atas export BKP yang tergolong mewah adalah 0 %

Dasar pengenaan pajaknya adalah harga jual untuk BKP yang tergolong
mewah dan nilai impor untuk impor barang mewah yang didalamnya sudah
termasuk PPn dan PPnBM

PPn = ( 10 / 110 +t ) x harga jual BKP

PPnBM = ( t / 110 +t ) x harga jual BKP

PPN yang terutang = tarif x DPP

PPN yang terutang merupakan Pajak Keluaran (PK) yang dipungut oleh
PKP penjual dan merupakan Pajak Masukan bagi PKP pembeli.

G. Cara Menghitung PPN dan PPnBM

Untuk menghitung PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan


Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah, perlu diperhatikan tiga faktor
sesuai karakteristiknya, yaitu:

a. PPnBm hanya dipungut satu kali

b. PPnBm tidak dapat dikreditkan sehingga dapat dibebankan sebagai biaya

c. PPN tidak menghendaki terjadi pungutan pajak berganda.

Mendasarkan pada faktor-faktor tersebut, maka

PPN = Tarif PPN x (Harga Barang - PPnBM).


Contoh:

PT NASIONAL selaku importir memasukkan 1000 unit AC/ dengan


Harga
Impor (CIF) USD 500,000.00. Atas kegiatan impor ini terutang Bea Ma
suk 50%, PPN 10% dan PPnBM 20%. Diketahui Nilai Kurs USD 1 = Rp2.000.
PPN dan PPnBM yang terutang dihitung sebagai berikut:

Dasar Pengenaan Pajak imtuk menghitung PPN dan PPnBM atas Impo
r adalah:

Nilai Impor = Harga Impor (CIF) + Bea Masuk

Harga Impor (CIF) = 500.000 x Rp2.000,00 = Rp l.000.000.000,00

Bea Masuk 50% Rp 500.000.000,00

Nilai Impor Rp l.500.000.000,00

PPN =10% x Rp l.500.000.000,00 = Rp 150.000.000,00

PPnBM = 20% x Rp l.500.000.000,00 = Rp 300.000.000,00

Jumlah yang dibayar oleh Importir Rp l.950.000.000,00

Sedangkan harga perolehan atas Impor 1000 unit AC adalah sama de


ngan Nilai lmpor sebesar Rp l.500.000.000,00 Apabila kemudian Importir
menyerahkan AC tersebut kepada distributor dengan harga per-unit AC adalah
Rp 2.800.000.00, maka Distributor akan
membayar atas penyerahan AC per-unit termasuk PPN dengan
perhitungan sebagai berikut:

Harga per unit AC Rp 2.800.000,00

Dikurangi unsur PPnBM yang terkandung didalamnya = 1/1000 x Rp 300.000.000


= Rp 300.000,00

Dasar Pengenaan PPN = Rp 2.500.000

PPN yang terutang = 10% x Rp 2.500.000,- = Rp 250.000/00


Untuk penyerahan per unit AC yang diterima oleh Distributor, ia haru
s membayar:

Harga per unit AC = Rp 2.800.000,00

PPN = Rp 250.000,00

Jumlah Rp 3.050.000,00 ,

Disamping pola penghitungan tersebut, kiranya perlu dikemukakan ada


pola penghitungan lain tentang hal ini, yaitu yang ditegaskan Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE -43/PJ.5/1989 tanggal 7 Agustus 1989 (Seri
PPN-155) sehingga apabila diterapkan terhadap contoh kasus tersebut, maka
akan diperoleh hasil sebagai berikut:

Penyerahan oleh PT NASIONAL selaku importir kepada Distributor:

Harga perolehan per-unit = Nilai impor per – unit = Rp 1.500.000

Nilai Tambah per-unit = Harga penyerahan- PPnBM - Nilai Impor =

Rp 2.800.000,00 – Rp 300.000,00 – Rp l.500.000,00 = Rp


1.000.000

Harga Jual per unit = Rp 2.500.000 X 10% = Rp 250.000

PPnBM telah dibayar ke Bank Devisa per–unit = Rp 300.000

Jumlah yang dibayar oleh Distributor Rp 3.050.000

Dari dua pola penghitungan ini diperoleh hasil yang sama. Yang
perlu
diingat adalah bahwa PPN tidak membentuk harga barang, sedangkan
sebaliknya PPnBM membentuk harga barang. Hal ini disebabkan oleh
karakter dari PPN yang dapat dikreditkan sedangkan PPnBM tidak dapat di
kreditkan sehingga akan dibebankan sebagai biaya.

H. Saat dan tempat pajak terutang:


1. Saat yang menentukan PPN terutang adalah saat dimulainya secara fisik
kegiatan membangun sendiri (menggali fondasi, memasang tiang pancang dan
lain-lain).

2. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap


merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara
tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.

3. Tempat pajak terutang atas kegiatan pajak membangun sendiri adalah di temapt
bangunan tersebut didirikan.

I. Faktur Pajak

Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha
kena pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak atau penyerahan jasa
kena pajak atau bukti pungutan pajak karena impor barang kena pajak yang
digunakan oleh Direktorat jenderal Pajak. Bagi pengusaha kena pajak (PKP)
faktur pajak ini merupakan bukti dari pemenuhan kewajiban perpajakannya. Bagi
pembeli atau penerima jasa faktur pajak ini digunakan sebagai sarana
pengkreditan pajak masukan.

Faktur pajak dapat digunakan sebagai sarana pengkreditan jika faktur


pajak tersebut tidak cacat. Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui
bilamana faktur pajak itu dinyatakan sebagai faktur pajak yang cacat. Berikut ini
adalah cirri-ciri faktur pajak standar:

1. Diisi dengan data yang tidak benar

Pengisian data yang tidak benar bias berupa NPWP salah, nomor seri faktur pajak
yang tidak benar. Data yang tidak benar juga bias karena kesalahan penulisan
nama pembeli atau nama perusahaan yang tercantum dalam faktur pajak.

2. Diisi tidak lengkap

Pengisian faktur pajak standar tidak lengkap karena ada kolom atau barus yang
ternyata tidak diisi kecuali kolom “PPnBM” yang disediakan untuk diisi oleh
pabrikan atau importir Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah.
Pengisian tidak lengkap dapat berupa:

 Baris “NPWP” pembeli BKP atau penerima JKP tidak diisi

 “jabatan” penandatangan faktur pajak tidak diisi

 Pada baris “jumlah harga jual/penggantian/uang muka/termijn” tidak


dicoret pada bagian kalimat yang tidak perlu sebagaimana diminta
dalam catatan bagian bawah sebelah kiri.

 Tanda tangan menggunakan cap tanda tangan

 Dalam lampiran II butir 13 Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor


KEP-549/PJ./2000 digariskan bahwa cap tanda tangan tidak
diperkenankan dibubuhkan pada faktur pajak.

3. Pengisian atau pembetulan dilakukan dengan cara yang tidak benar

4. Faktur pajak dibuat melampaui batas waktu yang telah ditentukan

5. Faktur pajak dibuat oleh pengusaha yang belum atau tidak dikukuhkan sebagai
pengusaha kena pajak (PKP)

Berdasarkan pasal 14 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN


1984) orang atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai PKP dilarang untuk
membuat faktur pajak. Faktur pajak yang dibuat oleh pengusaha non PKP secara
yuridis tidak sah. Oleh karena itu pajak masukan yang tercantum di dalamnya
tidak dapat dikreditkan leh PKP pembeli atau penerima JKP. Bahkan bagi
pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai PKP namun menerbitkan faktur pajak
maka menurut Ketentuan Umum Perpajakan akan dikenai sanksi pidana
sebagaimana diatur dalam pasal 39A sebagai berikut yang intinya adalah bahwa
Setiap orang yang dengan sengaja menerbitkan faktur pajak tetapi belum
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara
paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling
sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak,
bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam)
kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan
pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

J. Dasar Pengenaan Pajak

Secara umum Dasar Pengenaan Pajak adalah Nilai berupa uang yang
dijadikan Dasar untuk menghitung Pajak yang terutang adalah :
1. DPP Umum

Dasar Pengenaan Pajak yang umum digunakan adalah:

- Harga Jual

adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak,
tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut
Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak

- Penggantian

adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena
Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang ini
dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

- Nilai Ekspor

adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.

- Nilai Impor

adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor
Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut menurut Undang-undang ini.
2. DPP Nilai Lain

Nilai Lain adalah suatu Nilai yang Ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan
Pajak untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang.

DPP untuk :

- Pemakaian sendiri adalah harga jual atau penggantian setelah


dikurangi laba kotor;

- Pemberian cuma-cuma adalah harga jual atau penggantian setelah


dikurangi laba kotor;

- Penyerahan rekaman suara/gambar adalah perkiraan harga jual


rata-rata;

- Persediaan BKP yang masih tersisa saat pembubaran perusahaan


sepanjang PPN atas perolehan atas aktiva tersebut menurut ketentuan
dapat dikreditkan adalah harga pasar wajar;

- Aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang


masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar
wajar;

- Kendaraan bermotor bekas adalah 10% dari harga jual;

- Penyerahan jasa biro perjalanan/wisata adalah 10% dari jumlah


tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih;

- Penyerahan jasa anjak piutang adalah 5% dari jumlah seluruh imbalan


yang diterima berupa service charge, provisi, dan diskonl.

Pajak masukan yang dibayar oleh PKP yang menggunakan DPP Nilai Lain
untuk menghasilkan penyerahan:

- Kendaraan bermotor bekas

- Jasa biro perjalanan/pariwisata

- Jasa anjak piutang

tidak dapat dikreditkan karena dalam PPN yang dibayar telah


diperhitungkan dengan Pajak Masukan atas perolehan BKP/JKP tersebut.

Dasar Pertimbangan Pengenaan PPnBM

1. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan


rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi;

2. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak Yang
Tergolong Mewah;

3. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional;

4. perlu untuk mengamankan penerimaan negara;

K. Hubungan Istimewa dan Kaitannya dengan DPP

Dalam hal harga jual atas Barang Kena Pajak atau penggantian atas Jasa
Kena Pajak dipengaruhi adanya hubungan istimewa, maka harga jual atau
penggantian tersebut dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat
penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak tersebut.

Hubungan Istimewa terjadi dalam hal :

- Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar


25% atau lebih pada Pengusaha lain, atau hubungan antara Pengusaha
dengan penyertaan sebesar 25% atau lebih pada dua Pengusaha atau lebih.
Demikian pula hubungan antara dua Pengusaha atau lebih yang disebutkan
terakhir.

- Pengusaha menguasai Pengusaha lainnya atau dua Pengusaha atau lebih


berada dibawah penguasaan Pengusaha yang sama, yaitu penguasaan
melalui manajemen atau penggunaan teknologi.

- Hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan


lurus satu derajat dan/atau kesamping satu derajat :

- Sedarah lurus satu derajat, yaitu: ayah/ibu dengan anak

- Sedarah kesamping satu derajat, yaitu: kakak dengan adik


- Semenda lurus satu derajat, yaitu: mertua dengan menantu atau
ayah/ibu dengan anak tiri

- Semenda kesamping satu derajat, yaitu: hubungan saudara ipar

- Jika antara suami istri ada perjanjian pemisahan harta dan penghasilan,
maka hubungan keduanya merupakan hubungan istimewa.

L. Penyetoran dan Pelaporan

1. PPN yang terutang sebesar 10% x 40% dari seluruh biaya yang dikeluarkan dan
atau dibayarkan, harus disetorkan seluruhnya dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak (SSP) atas nama orang pribadi atau badan yang melaksanakan
kegiatan membangun sendiri ke Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lambat
tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan terjadinya pengeluaran biaya tersebut.
Dalam hal kegiatan membangun sendiri dilakukan oleh PKP, PPN yang tercantum
dalam SSP tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, karena
pembayaran PPN tersebut merupakan pembayaran PPN untuk kegiatan tidak
dalam kegiatan usaha atau pekerjaan PKP yang bersangkutan.

2. Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib
melaporkan pada KPP di tempat bangunan tersebut berada dengan
mempergunakan SSP lembar ke tiga bukti setoran PPN paling lambat tanggal 20
pada bulan dilakukannya penyetoran.

M. Kredit Pajak Masukan

Yang melatarbelakangi sistem kredit pajak adalah upaya untuk


menghindari pengenaan pajak berganda, sebagaimana yang telah ditetapkan
dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai bahwa sasaran pengenaannya
adalah pertambahan nilai. Sedangkan untuk menghitung besarnya pertambahan
nilai untuk setiap unit produksi adalah sulit sekali. Oleh karena itu, untuk
memudahkan (menyederhanakan) cara perhitungan pajaknya maka ditetapkan
harga jual sebagai dasar pengenaan, dengan ketentuan bahwa PPN yang terutang
dan telah dibayar sewaktu membeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
dikreditkan dari PPN yang akan dibayar sewaktu melakukan penjualan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.

Meskipun demikian, agar tercegah adanya pengkreditan pajak yang tidak


semestinya, maka tidak setiap pajak masukan dapat dikreditkan, melainkan
terbatas yang telah memenuhi persyaratan. Melalui sistem pengkreditan pajak
masukan tersebut, akan menghasilkan 3 (tiga) alternatif:

1. masih harus membayar PPN, dalam hal pajak Keluaran lebih besar daripada
Pajak Masukan;

2. terjadi kelebihan pembayaran pajak, dalam hal Pajak Keluaran lebih kecil
daripada Pajak Masukan;

3. tidak kurang bayar dan tidak terjadi kelebihan pembayaran PPN, dalam Pajak
Keluaran sama dengan Pajak Masukan.

4. Latar Belakang Diberlakukannya Pajak Penjualan atas Barang Mewah

5. Setiap pemungutan pajak termasuk pemungutan Pajak Pertambahan Nilai


diharapkan mencerminkan keadilan baik secara horizontal maupun vertikal.
Untuk mencapai sasaran agar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
mencerminkan keadilan tersebut maka diberlakukan pemungutan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), di samping diberlakukan tarif
proporsional dan progresif.

Contoh Kasus:

1. Pengusaha sepatu pada bulan januari 2011 menjual tunai kepada pengusaha
sepatu A sebanyak 100 pasang sepatu @ Rp 100.000 = Rp 10.000.00

Hitung PPN dan jumlah yang harus dibayar oleh pengusaha sepatu b kepada
pengusaha sepatu B

Jawab:

1. PPN terutang yang dipungut oleh pengusaha A

10 % X Rp 10.000.000 = Rp 1.000.000
2. Jumlah yang harus dibayar pengusaha B adalah = Rp 11.000.000.

2. Pengusaha kena pajak D yaitu pengusaha pabrikan yang menghasilkan mesin


cuci pakaian, mesin cuci pakaian sendiri dikategorikan sebagai BKP yang
tergolong mewah dan dikenakan PPn BM dengan tariff sebesar 20 %. Dalam
bulab januari 2011 pabrikan berhasil menjual 10 buah mesin cuci kepada
pengusaha kena pajak E seharga Rp 30.000.000

Hitung PPn dan PPn BM yang terutang ?

Jawab :

• PPn yang terutang

10 % x Rp 30.000.000 = Rp 3.000.000

• PPn BM yang terutang

20 % x Rp 30.000.000 = Rp 6.000.000

“Sehingga PPn dan PPnBM yang terutang pengusaha kena pajak D adalah Rp
9.000.000”

3. PKP "A" bulan Januari 1996 menjual tunai kepada PKP "B" 100 pasang sepatu
@ Rp.100.000,00 = Rp.10.000.000,00

PPN terutang yang dipungut oleh PKP"A"

10% x Rp.10.000.000,00 = Rp. 1.000.000,00

Jumlah yang harus dibayar PKP "B" = Rp.11.000.000,00

4. PKP "B" dalam bulan Januari 1996 :

• Menjual 80 pasang sepatu @ Rp.120.000,00 = Rp. 9.600.000,00

• Memakai sendiri 5 pasang sepatu untuk pemakaian sendiri, DPP adalah harga jual
tanpa menghitung laba kotor, yaitu Rp 100.000,- per pasang = Rp 500.000,00

PPN yang terutang :

• Atas penjualan 80 pasang sepatu

10% x Rp.9.600.000,00 = Rp 960.000,00


• Atas pemakai sendiri

10% x Rp.500.000,00 = Rp 50.000,00

Jumlah PPN terutang = Rp 1.010.000,00

5. PKP Pedagang Eceran (PE) "C" menjual

• BKP seharga = Rp.10.000.000,00

• Bukan BKP = Rp. 5.000.000,00

Rp.15.000.000,00

PPN yang terutang

10% x Rp.10.000.000,00 = Rp. 1.000.000,00

PPN yang harus disetor

10% x 20% x Rp.15.000.000,00 = Rp. 300.000,00

6. PKP "D" pabrikan yang menghasilkan mesin cuci pakaian. Mesin cuci pakaian
dikategorikan sebagai BKP yang tergolong mewah dan dikenakan PPn BM
dengan tarif sebesar 20%. Dalam bulan Januari 1996 PKP "D" menjual 10 buah
mesin cuci kepada PKP "E" seharga Rp.30.000.000,00.

• PPN yang terutang

10% x Rp.30.000.000,00 = Rp 3.000.000,00

• PPn BM yang terutang

20% x Rp. 30.000.000,000 = Rp 6.000.000,00

PPN dan PPn BM yang terutang PKP "D" = Rp. 9.000.000,00

http://sophiaririnkali.blogspot.com/2013/04/konsep-dasar-ppn-dan-ppnbm.html

Anda mungkin juga menyukai