Anda di halaman 1dari 7

Nurmasari Bahar

A31116326

A. Prinsip Operasional Gadai Syariah


Mekanisme operasional gadai syariah sangat penting untuk diperhatikan, karena jangan
sampai operasional gadai syariah tidak efektif dan efisien. Mekanisme operasional gadai
syariah haruslah tidak menyulitkan calon rahin yang akan meminjam uang atau akan
melakukan akad utang piutang. Akad yang dijalankan termasuk jasa dan produk yang dijual
juga harus selalu berlandaskan syariah (Al-Qur’an), Al-Hadis, dan Ijma’ Ulama dengan tidak
melakukan kegiatan usaha yang mangndung unsur riba, maysir dan gharar.
Mekanisme operasional pegadaian syariah merupakan implementasi dari
konsep rahn yang ditetapkan oleh para ulama fiqh.
Oleh karena itu, pengawasannya harus melekat, baik internal terutama keberadaan Dewan
Pengawas Syariah (DPS) sebagai penanggung jawab yang berhubungan dengan aturan
syariahnya dan eksternal Pegadaian Syariah, yaitu masyarakat muslim utamanyya, serta yang
tidak kalah penting adanya perasaan selalu mendapatkan pengawasan dari yang membuat
aturan syariah itu sendiri, yaitu Allah SWT.
1. Kategori Marhun
Pada dasarnya semua marhun, baik bergerak maupun tak bergerak, dapat digadaikan
sebagai jaminan dalam gadai syariah. namun, menurut Basyir yang memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. Merupakan benda bernilai menurut hukum syara’
b. Sudah ada wujudnya ketika perjanajian terjadi
c. Mungkin diserahkan seketika kepada murtahin
Adapun menurut Syafi’iyah bahwa barang yang dapat digadaikan itu berupa semua barang
yang boleh dijual. Menurut pendapat ulama yang rajih (unggul) bahwa barang-barang
tersebut harus memiliki 3 syarat:
1) Berupa barang yang berwujud nyata di depan mata, karena barang nyata itu dapat
diserahterimakan secara langsung.
2) Barang tersebut menjadi milik rahin, karena sebelum tetap barang tersebut tidak dapat
digadaikan.
3) Barang yang digadaikan harus berstatus sebagai piutang bagi pemberi pinjaman.
Berdasarakan pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa kategori marhun dalam sudut
hukum Islam tidak hanya berlaku bagi barang bergerak saja, namun juga meliputi barang
yang tidak bergerak dengan catatan barang tersebut dapat dijual.
Teknis pelaksanannya adalah sebagai berikut :
a. Jenis barang yang digadaikan
1) Perhiasan seperti emas, perak, intan, mutiara dan sejenisnya.
2) Alat – alat rumah tangga, perlengkapan dapur, perlengkapan makan/minum,
perlengkapan bertaman/berkebun dan sebagainya.
3) Kendaraan seperti sepeda ontel, sepeda motor, mobil, dan sebagainya.
b. Biaya – biaya
1) Biaya administrasi pinjaman meliputi:
- Biaya real yang dikeluarkan, seperti ATK, perlengkapan dan biaya tenaga kerja
- Besarnya ditetapkan berdasarkan surat edaran tersendiri
- Dipungut dimuka pada saat pinjaman di cairkan
2) Jasa simpanan:
Besarnya tarif ditentukan oleh:
- Nilai taksiran barang yang digadaikan
- Jangka waktu gadai ditetapkan 90 hari
- Tarif jasa simpanan dihitung per 5 hari tergantung barang yang di gadai:
 Untuk perhiasan biayanya Rp 90,00 per sepuluh hari. Total biaya dilakukan
pembulatan Rp 100,00 terdekat (0-50 dianggap 0); >51-100 dibulatkan Rp
100.00.
 Barang elektronik, alat rumah tangga, dikenakan biaya simpanan sebesar Rp
95,00 per sepuluh hari.
 Kendaraan bermotor, dikenakan jasa simpanan sebesar Rp 100,00 per sepuluh
hari
2. Pemeliharaan marhun
Pada dasarnya biaya pemeliharaan marhun adalah hak bagi rahin dalam kedudukannya
sebagai pemiliki yang sah. Namun apabila marhun menjadi kekuasaan murtahin dan
murtahin diizinkan untuk memelihara marhun, maka yang menanggung biaya
pemeliharaan marhun adalah murtahin. Sedangkan untuk mengganti biaya pemeliharaan
tersebut, apabila diizinkan rahin, maka murtahin dapat memungut hasil marhun sesuai
dengan biaya pemeliharaan yang telah dikeluarkannya. Namun apabila rahin tidak
mengizinkannya, maka biaya pemeliharaan yang telah dikeluarkan murtahin menjadi
utang rahin kepada murtahin.
3. Risiko atas kerusakan marhun
Risiko atas hilang atau rusaknya marhun, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat
bahwa murtahin tidak menanggung risiko apapun apabila kerusakan atau hilangnya
marhun tersebut tanpa disengaja. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
murtahin menanggung risiko sebesar harga marhun minimum, dihitung mulai waktu
diserahkannya marhun ke murtahin sampai hari rusak atau hilangnya. Sedangkan menurut
Basyir, apabila marhun rusak atau hilang disebabkan kelengahan murtahin, maka dalam
hal ini tidak ada perbedaan pendapat, bahwa murtahin harus menanggung risiko,
memperbaiki kerusakan atau mengganti yang hilang.
4. Pemanfaatan marhun
Pada dasarnya menurut Khalil Umam, marhun tidak boleh diambil manfaatnya, baik
oleh rahin maupun murtahin. Hal ini disebabkan status marhun tersebut hanya sebagai
jaminan hutang dan sebagai amanah bagi murtahin. Namun apabila mendapatkan izin dari
kedua pihak yang bersangkutan, yaitu rahin dan murtahin, maka marhun itu boleh
dimanfaatkan. Namun harus diusahakan agar dalam akad gadai itu tercantum ketentuan
bahwa apabila rahin atau murtahin meminta izin untuk memanfaatkan marhun, maka
hasilnya menjadi milik bersama. Ketentuan itu dimaksudkan untuk menghindari harta
benda tidak berfungsi atau mubadzir.
5. Pelunasan marhun bih
Apabila sampai pada waktu yang telah ditentukan, rahin belum membayar kembali
hutangnya. Selanjutnya apabila setelah diperintahkan murtahin, rahin tidak mau membayar
marhun bih dan tidak pula mau menjual marhunnya, maka murtahin dapat memutuskan
untuk menjual marhunnya guna melunasi hutang-hutangnya. Kemudian hasilnya
digunakan untuk melunasi marhun bih.
6. Prosedur pelelangan marhun
Apabila terdapat persyaratan menjual marhun pada saat jatuh tempo, ini dibolehkan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Murtahin harus terlebih dahulu mencari tahu keadaan rahin (penyebab belum melunasi
hutangnya).
b. Dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran.
c. Apabila murtahin benar-benar membutuhkan uang dan rahin belum melunasi marhun
bihnya, maka murtahin boleh memindahkan barang gadai kepada murtahin lain dengan
seizin rahin.
d. Apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi, maka murtahin boleh menjual marhun dan
kelebihan uangnya dikembalikan kepada rahin.
e. Apabila hasil penjualan marhun lebih kecil dari jumlah marhun bihnya, maka rahin
harus menambah kekurangannya tersebut.

B. Prinsip Operasional Pasar Modal Syari’ah


1. Pengertian dan Konsep Pasar Modal Syari’ah
Pasar modal syari’ah ( Capital Market ) merupakan pasar untuk berbagai instrument
keuanan jangka panjang yang bisa diperjual-belikan, baik dalam bentuk utang (obligasi)
maupun modal sendiri (saham). Kegiatan pasar modal di Indonesia di atur dalm UU No.8
tahun 1995 (Undang-Undang Pasar Modal / UUPM).
UUPM tidak membedakan apakah kegiatan pasar modal tersebut dilakukan dngan
prinsip-prinsip syari’ah atau tidak. Dengan demikian, berdasarkan UUPM kegiatan pasar
modal Indonesia dapat dilakukan dengan prinsip-prinsip syari’ah dan dapat pula dilakukan
tidak sesuai dengan prinsip syari’ah (konvnsional).
Prinsip pasar modal syariah tentunya berbeda dengan pasar modal konvensional.
Sejumlah instrument syari’ah di pasar modal sudah dikenalkan kepada masyarakat,
misalkan saham yang tergabung dalam Jakarta Islamic Index (JII), obligasi syari’ah dan
reksa dana syari’ah. Pasar modal syari’ah pun sudah diluncurkan pada tanggal 14 Maret
2003.
Pasar Modal Syari’ah dapat diartikan sebagai pasar modal yang menerapkan prinsip-
prinsip syariah dalam kegiatan transaksi ekonomi dan terlepas dari hal-hal yang dilarang
seperti: riba, perjudian, spekulasi dan lain-lain. Pasar modal syariah secara resmi
diluncurkan pada tanggal 14 Maret 2003 bersamaan dengan penandatanganan MOU antara
BAPEPAM-LK dengan Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN –
MUI).
Walaupun secara resmi diluncurkan pada tahun 2003, namun instrumen pasar modal
syariah telah hadir di Indonesia pada tahun 1997. Hal ini ditandai dengan peluncuran
Danareksa Syariah pada 3 Juli 1997 oleh PT. Danareksa Investment Management.
Selanjutnya, Bursa Efek Indonesia berkerjasama dengan PT. Danareksa Investment
Management meluncurkan Jakarta Islamic Index pada tanggal 3 Juli 2000 yang bertujuan
untuk memandu investor yang ingin menanamkan dananya secara syariah. Dengan
hadirnya indeks tersebut, maka para pemodal telah disediakan saham-saham yang dapat
dijadikan sarana berivestasi dengan penerapan prinsip syariah.
Ada beberapa prinsip dasar untuk membangun sistem pasar modal yang sesuai dengan
ajaran Islam. Sedangkan untuk implementasinya, memang dibutuhkan proses diskursus
yang panjang.Prinsip tersebut antara lain :
a. Tidak diperkenankannya penjualan dan pembelian secara langsung.
b. Perubahan harga hanya ditentukan oleh kekuatan pasar, dimana tidak ada perubahan
yang berarti dari nilai intrinsik saham.
c. Saham-saham tersebut dijual ataupun dibeli jika memang tersedia.
d. Penelitian account books secara cermat.
e. Praktek standar manajemen bisnis dan akunting harus diterapkan pada semua
perusahaan yang telah memiliki kuota saham tertentu.
f. Perlu ada proses audit dan investigasi secara mendadak untuk meneliti kebenaran dari
balance sheet suatu perusahaan.
g. Melarang perusahaan untuk menjual saham mereka sendiri.

2. Operasional Pasar Modal Syariah


Dalam melihat kinerja pasar modal syari’ah maka indicator yang dapat digunakan
antara lain dengan melihat perkembangan instrument-instrumen (produk-produk) yang ada
pada pasar modal syari’ah. Adapun gambaran produk-produk tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Obligasi syari’ah atau sukuk
Pada prinsip atau obligasi syari’ah adalah surat berharga sebagai instrument
investasi yang diterbitkan berdasarkan suatu transaksi atau akad syari’ah yang
melandasinya (underlying transaction), yang dapat berupa ijarah (sewa), mudharabah
(bagi-hasil), musyarakah atau yang lain. Sukuk yang sekarang sudah banyak diterbitkan
adalah berdasarkan akad sewa (sukuk al-ijarah), dimana hasil investasi berasal dan
dikaitkan dengan arus pembayaran sewa aset tersebut.
Sukuk bukan instrument utang piutang dengan bunga (riba), seperti obligasi yang
kita kenal dalam keuangan konvensional, tetapi sebagai instrument investasi. Sukuk
diterbitkan dengan suatu underlying asset dengan prinsip syari’ah yang jelas.
Pada bulan maret 2004 Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN
MUI) mengeluarkan fatwa baru tentang obligasi syari’ah. Lembaga tersebut
membolehkan pemerintah RI maupun perusahaan-perusahaan bila ingin menerbitkan
obligasi syari’ah dengan skim ijarah.Untuk menerbitkan Obligasi Syariah, beberapa
persyaratan berikut harus dipenuhi :
Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan dengan substansi
Fatwa No: 20/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa tsb menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha
yg bertentangan dengan syariah Islam diantaranya :
Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.
perbankan dan asuransi konvensional.usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi),
termasuk usaha yg memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan
minuman haram, usaha yg memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang
ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.
Di Indonesia terdapat dua skema obligasi syariah yaitu obligasi syariah Mudharabah
dan obligasi syariah Ijarah. Obligasi Syariah Mudharabah merupakan obligasi syariah
yang menggunakan akad bagi hasil sedemikian sehingga pendapatan yang diperoleh
investor atas obligasi tersebut diperoleh setelah mengetahui pendapatan emiten.
Obligasi Syariah Ijarah merupakan obligasi syariah yang menggunakan akad sewa
sedemikian sehingga kupon (fee ijarah) bersifat tetap, dan bisa
diketahui/diperhitungkan sejak awal obligasi diterbitkan.
b. Saham Syari’ah
Produk syariah lain di BEJ, yng juga muncul sebelum hadirnya pasar modal syari’ah
adalah Jakarta Islamic Index (JII). JII merupakan pengelompokan saham-saham 30
emiten yang dipandang paling mendekati criteria syari’ah. Mulai diluncurkan pada
tahun 2000, seleksi yang dilakukan terhadap saham-saham yang dimasukkan dalam
kelompok JII meliputi seleksi yang bersifat normative dan financial.
Management meluncurkan Jakarta Islamic Index pada tanggal 3 Juli 2000 yang
bertujuan untuk memandu investor yang ingin menanamkan dananya secara syariah.
Dengan hadirnya indeks tersebut, maka para pemodal telah disediakan saham-saham
yang dapat dijadikan sarana berivestasi dengan penerapan prinsip syariah. Jakarta
Islamic Index dimaksudkan untuk digunakan sebagai tolok ukur (benchmark) untuk
mengukur kinerja suatu investasi pada saham dengan basis syariah. Melalui index ini
diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan investor untuk mengembangkan investasi
dalam ekuiti secara syariah. Saham-saham yang masuk dalam Indeks Syariah adalah
emiten yang kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan syariah seperti :

1) Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.
2) Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi) termasuk perbankan dan asuransi
konvensional.
3) Usaha yang memproduksi, mendistribusi serta memperdagangkan makanan dan
minuman yang tergolong haram.
4) Usaha yang memproduksi,mendistribusi dan/atau menyediakan barang-barang
ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.

Anda mungkin juga menyukai