Disusun Oleh :
Kelompok VI
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT,karena rahmat, taufik dan
hidayahnyalah sehingga makalah yang berjudul syarat-syarat seorang perawi dan proses
tranmisinyadapat kami selesaikan tepat pada waktunya.
Sholawat dan salam senantiasa tercurah pada junjungan nabi besar kita Muhammad
SAW, yang telah membawa kita kejalan yang terang benderang seperti yang kita rasakan
pada sekarang ini. Selanjutnya penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan disebabkan pengetahuan penulis sangat terbatas. Oleh karena itu, saran dan
kritik yang sifatnya membangun sangat kami harapkan dari pembaca.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan dapat membuka cakrawala
berfikir mahasiswa amin.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mayoritas ulama hadis dan fiqih, sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang
menyampaikan sebuah hadis harus mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (Dhabit) serta
memiliki integritas keagamaan yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas sifat adil.
Dalam hubungannya dengan periwayatan hadis maka yang dimaksud adalah, suatu karakter
yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya untuk melakukan hal-hal yang
positif atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi
terhadap agamanya.
Wacana yang paling fundamental dalam kajian hadis adalah persoalan outentik dan
reliabilitas otentifikasi metodologi hadis. Keraguan sebagian sarjana Muslim atas peran hadis
sebagai sumber otoritas kedua setelah al-Qur’an, tidak sepenuhnya berkaitan dengan
resistansi mereka atas otoritas sunnah, tetapi lebih pada keraguan mereka atas keakuratan
metodologi yang digunakan dalam menentukan originalitas hadis. Apabila metodologi
otentifikasi yang digunakan bermasalah, maka semua hasil yang dicapai dari metode tersebut
tidak steril dari kemungkinan verifikasi ulang, kritik sejarah bahkan hasil tersebut bisa
menjadi collapse.
Hadis yang dianggap sebagai verbalisasi sunnah oleh umat Islam terlalu penting untuk
diabaikan dalam kehidupan beragama, sosial dan politik. Hadis bukan hanya sebagai sumber
hukum Islam yang berdiri sendiri, tapi juga sebagai sumber informasi yang sangat berharga
untuk memahami wahyu Allah. Ia juga sebagai sumber sejarah masa awal Islam.. Dalam
anatomi hukum Islam, hadis merupakan salah satu sumber yang penting untuk
dikonsultasikan.
Sebelum menjabarkan mengenai hadis lebih jauh, ada beberapa hal yang sangat penting
dan mesti kita ketahui dalam masalah hadis yaitu :
1. Pada awalnya Rasulullah SAW melarang para sahabat menuliskan hadis, karena
dikhawatirkan akan bercampur-baur penulisannya dengan al-Qur’an.
2. Perintah untuk menuliskan hadis yang pertama kali adalah oleh khalifah Umar bin
Abdul Aziz. Beliau menulis surat kepada gubernurnya di Madinah yaitu Abu
bakar bin Muhammad bin Amr Hazm Al-Alshari untuk membukukan hadis.
3. Ulama yang pertama kali mengumpulkan hadis adalah Ar-Rabi Bin Shabi dan
Said bin Abi Arabah, akan tetapi pengumpulan hadis tersebut masih acak
(tercampur antara yang shahih dengan dha’if dan perkataan para sahabat)
4. Pada kurun abad ke-2 imam Malik menulis kitab Al-Muwatha di Madinah, di
Makkah. Hadis dikumpulkan oleh Abu Muhammad Abdul Malik Bin Ibnu Juraiz,
di Syam oleh imam Al-Auzai, di Kuffah oleh Sufyan At-Tsauri, di Bashrah oleh
Hammad Bin Salamah.
5. Pada pertengahan abad ke-3 hijriah mulai dikarang kitab shahih Bukhari dan
Muslim.
Maka dari itu, di dalam makalah ini kami akan mencoba untuk membahas mengenai
syarat seorang perawi dan cara mereka menerima dan menyampaikan riwayat
(transmisi hadis).
B. Rumusan Masalah
1. Syarat-syarat yang harus dimiliki seorang perawi hadis
2. Proses transmisi (cara menerima dan menyampaikan riwayat) hadis
C. Tujuan
Untuk mengetahui syarat-syarat seorang perawi hadis dan bagaimana proses
menerima dan menyampaikan (transmisi) hadis sebagai sumber ajaran Islam yang
kedua. Dan merupakan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Ulumul Hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perawi Hadis
a. Definisi
Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadis.1
Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan
Karena hadis Nabi SAW sampai kepada kita melalui jalur para perawi, maka mereka
menjadi fokus utama untuk mengetahui ke-shahih-an atau tidaknya suatu hadis. Karena
itu pula, para ulama hadis amat memperhatikan para perawi. Mereka telah membuat
berbagai persyaratan yang rinci dan pasti untuk menerima riwayat para perawi. Ini
menunjukkan jauhnya pandangan para ulama hadis, lurusnya pemikiran mereka, dan
Berbagai persyaratan yang ditentukan terhadap para perawi dan syarat-syarat lain bagi
diterimanya suatu hadis atau berita, tidak pernah ada dan tidak pernah dijumpai pada
akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadis atau khabar yang berkaitan dengan hukum-
hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam. Jadi dia mengemban tanggung jawab untuk
urusan memberi pemahaman tentang semuanya kepada manusia. Namun syarat Islam
sendiri hanya berlaku ketika seseorang menyampaikan hadis, bukan ketika membawa
1
Sahrani, Sohari, Ulumul Hadits. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hal 120.
atau menanggungnya. Ada sahabat yang mendengar hadis ketika mereka masih belum
memeluk Islam. Ketika mereka sudah masuk Islam, mereka meriwayatkan hadis yang
diterima atau didengarnya ketika masih belum Islam. Contohnya sebagaimana yang telah
berlaku kepada Jubair bin Matam. Beliau telah meriwayatkan hadis yang didengarnya
ketika masih belum memeluk Islam. Hadisnya ialah berkenaan perbuatan Nabi SAW
2. Berakal
Menurut para ahli hadis, berakal berarti identik dengan kemampuan seseorang untuk
membedakan. Jadi untuk mampu menanggung dan menyampaikan suatu hadis, seseorang
harus telah memasuki usia akil baligh. Sahabat yang paling banyak menerima riwayat,
yang mereka dengar pada masa kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan
Abu Sa’id al-Khudri. Mahmud bin rabi’ masih ingat Rasulullah menghukumnya pada
waktu ia membuat kesalahan dan beliau wafat ketika Mahmud berusia 5 tahun.3
3. Al-dhabtu (dhabit).
Dimaksudkan di sini adalah teliti dan cermat, baik ketika menerima pelajaran hadis
maupun menyampaikannya. Sudah barang tentu, orang seperti ini mempunyai hafalan
yang kuat, pintar, dan tidak pelupa. Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadis yang dia
riwayatkan ternyata cocok dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal cermat,
telilti dan terpercaya. tetapi itu tidak harus mengenai keseluruhan. Perbedaan yang tidak
sedikit tentang hadis yang mereka riwayatkan masih dapat didamaikan. Tapi jika
perbedaan terlampau jauh dan tidak sesuai dengan hadis mereka riwayatkan, maka
kecermatanya masih diragukan.4
2
Asmawi Ehsan, Ilmu Hadith, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka), hlm.84-85
3
Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-kifayah., hlm. 54
4
Salah Muhammad Muhammad Uwayd., Taqrib Al-tadrib . (Beirut : Dar al-Kutub al-Imliyyah, 1989) hal 110
Allah akan menghargai orang yang bersikap cermat dalam periwayatan hadis,
merekalah orang yang pandai dan bijaksana, mereka hanya mau mengutip hadis shahih
saja. Hadis shahih diketahui bukan hanya dari riwayatnya saja tapi juga melalui
4. Adil
Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi pada urusan
agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang merusak kepribadian, Al-
khatib al-Baghdadi memberikan definisi adil sebagai berikut: ”yang tahu melaksanakan
kewajibannya dan segala yang diperintahkan kepadanya- dapat menjaga diri dari
dalam segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa merugikan
agama dan merusak kepribadian. Barang siapa dapat menjaga dan mempertahankan
sifat-sifat tersebut maka ia dapat disebut bersikap adil bagi agamanya dan hadisnya
diakui kejujurannya”.6
Para ulama membedakan adilnya seorang rawi dan bersihnya seorang saksi. Jika
masalah kebersihan, baru dapat diterima dengan penyaksian dua saksi. Saksi ini baik laki
laki maupun saksi perempuan, orang merdeka atau berstatus budak, dengan persyaratan
5
Al Hakim al Naisaburi, Ma’rifah Ulum al-Hadist. (Bandung: Nuansa Cendekia, 2006), hal 59
6
Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-kifayah .hal 80
B. Proses Transmisi Hadis
a. Definisi.
Metode transmisi hadis atau dikenal dengan istilah “Jalan Menerima Hadis (thuruq
dari Syaikh/Guru. Kata transmisi berarti penyampaian atau peralihan atau penyebaran.
Jadi transmisi hadis bisa diartikan dengan proses peralihan atau perpindahan suatu hadis
1. Rasulullah menyampaikan hadis pada dasarnya dengan cara natural saja. Ketika ada
2. Dengan lisan dan perbuatan, dihadapan orang banyak, di mesjid, pada waktu malam
dan subuh.
3. Dalam bentuk tulisan. Banyak riwayat menyatakan bahwa Rasulullah telah berkirim
Berbagai hadis Nabi yang temaktub di kitab-kitab hadis sekarang ini, asal mulanya
adalah hasil kesaksian sahabat nabi terhadap sabda, perbuatan, taqrir, dan atau hal-ihwal
Nabi. Cara periwayat memperoleh dan menyampaikan hadis pada zaman nabi tidaklah
sama dengan pada zaman sahabat nabi. Demikian juga dengan pada zaman sahabat nabi
c. Proses transmisi hadis pada masa Nabi sampai pada zaman sesudah generasi
sahabat.
Hadis yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat. Karena, para
sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadis nabi kemudian
Proses transmisi hadis pada masa Nabi bisa dibilang lancar. Kelancaran ini terjadi
dalam periwayatan hadis. Beliau sangat berhati-hati dengan periwayatan hadis. Ini
didasarkan pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek.
Beliau tidak melihat petunjuk al-Qur`an dan praktek nabi yang memberikan harta warisan
kepada nenek. Lalu ia bertanya kepada sahabat-sahabat yang lain. Al-Mughirah bin
Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa nabi memberikan bagian waris kepada
nenek sebesar seperenam bagian. Namun Abu Bakar tidak langsung percaya terhadap
perkataan sahabat tersebut. Dia meminta sahabat tersebut untuk mendatangkan saksi. Lalu
Karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis, maka dapat dimaklumi
bila jumlah hadis yang diriwayatkannya relative tidak banyak. Data sejarah tentang
kegiatan periwayatan hadis di kalangan umat Islam pada masa khalifah Abu Bakar sangat
terbatas. Hal ini karena pada saat pemerintahan Abu Bakar tersebut, umat Islam
dihadapkan pada ancaman dan kekacauan yang membahayakan pemerintahan dan
Negara.
b. Pada Zaman Umar bin Khattab
Pada masa Umar penyebaran hadis kurang berjalan. Karena pada masa Umar lebih
memfokuskan pada membaca dan mendalami al-Qur`an. Akan tetapi lebih banyak dari
masa Abu Bakar. Namun pada masa Umar para perawi terkekang karena Umar sangat
tegas. Beliau sangat berhati-hati. Karena Umar ingin ummat lebih konsentrasi dengan al-
sebelumnya. Namun langkah yang dijalani Utsman tidaklah setangkas Umar bin Khattab.
Utsman meminta kepada para sahabat agar tidak meriwayatkan hadis yang tak pernah
didengar pada masa Abu Bakar dan Umar. Penyebaran hadis pada masa Utsman lebih
banyak dibanding dengan khalifah Umar bin Khattab. Karena wilayah Islam pada saat itu
Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh berbeda sikapnya dengan para
pendahulunya dalam periwayatan hadis. Secara umum Ali bersedia menerima riwayat
hadis Nabi setelah periwayat hadis mengucapkan sumpah, bahwa hadis itu benar-benar
berasal dari Nabi. Hanya dengan periwayat yang benar-benar dipercayainya, Ali tidak
Transmisi hadis pada masa Ali juga sangat hati-hati seperti para pendahulunya. Akan
tetapi pada masa Ali, kondisi politik sudah makin menajam. Hal ini menjadi dampak
negatif dalam penyebaran hadis. Kepentingan politik telah mendorong pihak- pihak
tertentu melakukan pemalsuan hadis.7 Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadis
Pada zaman sesudah generasi sahabat Nabi, khususnya pada saat hadis Nabi
dihimpunkan dalam kitab-kitab hadis, telah dibakukan tata cara penyampaian dan
penerimaan riwayat hadis Nabi. Pembakuan periwayatan ini sangat erat kaitannya
Pada masa ini konsentrasi kepada hadis sangat meningkat. Yang mereka kaji bukan
hanya matan saja, namun juga sanad-nya. Periwayatan hadis Nabi pada zaman ini tidak
memperoleh hadis secara langsung dari Nabi, karena mereka memang tidak se zaman
dengan Nabi.
Periwayatan hadis pada zaman sesudah sahabat Nabi telah makin meluas, rangkaian
periwayat hadis yang beredar di masyarakat menjadi lebih panjang dibandingkan pada
hadis)8
1. Kelayakan Tahammul
Para ulama cenderung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak
kecil, yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak
7
Pemalsuan terjadi karena kepentingan politik antara Ali dan Muawwiyah.
8
M. Syuhudi Ismail, Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1991), hal. 17
memperbolehkannya. Sahabat, tabi’in dan ahli ilmu setelah mereka menerima riwayat
sahabat yang masih berusia anak-anak, seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn az-
Zubair, Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas, Abu Sa’id al-Khudriy, Mahmud ibn
ar-Rabi’ dan lain-lain tanpa memilah-milah antara riwayat yang mereka terima
sebelum dan sesudah baligh. Dalam perbedaan pendapat para ulama tersebut, dapat di
simpulkan bahwa pokok kecakapan dan keahlian menerima hadis menurut jumhur
adalah tamyiz yaitu suatu kemampuan yang menjadikan seseorang dapat memahami
anak kecil, berbeda pendapat tentang batas usianya. Karena hal itu tergantung pada
masalah tamyiz dari anak kecil itu. Tamyiz ini jelas berbeda-beda antar masing-
dengan pendapat mereka. Banyak di antara mereka yang telah berusaha keras untuk
menjelaskannya. Dan kita bisa meringkas penjelasan itu ke dalam tiga pendapat:
Pertama, bahwa umur minimalnya adalah lima tahun. Hujjah yang digunakan oleh
pendapat ini adalah riwayat Imam Bukhari dalam Shahihnya dari hadis Muhammad
ibn ar-Rabi’ ra, katanya : “Aku masih ingat siraman Nabi SAW dari timba ke mukaku,
Kedua, pendapat al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan
mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu
membedakan antara sapi dengan keledai. Saya merasa yakin bahwa yang beliau
di sekitar.
Ketiga, keabsahan kegiatan anak kecil dalam mendengar hadis didasarkan pada
adanya tamyiz. Bila anak telah memahami pembicaraan dan mampu memberikan
jawaban, maka ia sudah mumayyiz dan absah pendengarannya, meski usianya di
bawah lima tahun. Namun bila ia tidak memahami pembicaraan dan tidak bisa
memberikan jawaban, maka kegiatannya mendengar hadis tidak absah, meski usianya
2. Kelayakan Ada’
a. Islam,
b. Baligh
c. Sifat Adil
d. Dhabit
e. Metode Penerimaan Hadis
Seiring meluasnya dunia Muslim waktu itu, maka dalam pnyebaran hadis yang
lebih intensif dan bisa dipertanggungjawabkan menuntut metode baru dalam belajar
mengajar hadis. Dalam konteks ini, pada umumnya, ulama membagi metode
periwayatan hadis kepada delapan macam:9 yaitu :
1. As As-sama’
Yaitu mendengar langsung dari sang guru. Sima’ mencakup imlak (pendiktean), dan
tahdits (narasi atau memberi informasi).. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada
membolehkannya dengan berdasarkan para sahabat yang juga pernah melakukan hal
2. Al-Qira’ah
Yaitu periwayat/murid menghadapkan riwayat hadis kepada guru hadis dengan cara
periwayatan itu sendiri membacanya atau orang lain yang membacakannya dan dia
mendengarkan.10 Riwayat hadis yang dibacakan itu bisa saja berasal dari catatannya atau
bisa juga dari hafalannya. Sedangkan guru (syaikh) hadis yang disodori bacaan tadi aktif
menyimak melalui hafalannya sendiri atau melalui catatan yang ada padanya. Cara ini
Mengenai kedudukan penerimaan hadis dengan cara al-qira’ah ini, ulama berbeda
dengan cara as-sama’. As-Suyuty, Ahmad bin Hambal dan Ibn as-Salah menilai
kedudukan as-sama’ lebih tinggi daripada al-qira’ah. Sedang Abu Hanifah menilai al-
Apabila dilihat dari proses pemeriksaan terhadap riwayat hadis, maka cara al-qira’ah
lebih berpeluang dapat terhindar dari kesalahan atau lebih korektif dibandingkan dengan
cara as-sama’. Karena dalam cara al-qira’ah, pemeriksaan riwayat hadis dilakukan oleh
guru hadis selaku penyampai riwayat dan murid selaku penerima riwayat. Guru hadis
menyimak hadis yang dibacakan muridnya. Jadi dalam hal ini guru berfungsi sebagai
penguat dan pemeriksa terakhir terhadap hadis yang telah diperiksa oleh murid.
10
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu
Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 61
Kata-kata atau istilah yang dipakai untuk periwayatan cara al-qira’ah ada yang
a. (قرأت على فالنaku telah membaca kepada fulan ) kata-kata ini dipakai bila
b. (قرأت على فالن وأنا اسمع فأقربهaku mendengar orang membaca dan ia
melainkan dia mendengarkan bacaan orang lain, sedang guru hadis menyimaknya.11
Adapun kata-kata yang tidak disepakati pemakaiannya oleh ulama antara lain adalah
3. Al-Ijazah
Yaitu guru hadis memberikan ijin kepada seseorang baik secara lisan maupun tulisan
1. Seorang guru hadis yang menyodorkan kepada murid hadis yang ada padanya lalu
guru tadi berkata, “Anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadis yang saya
peroleh ini.”
selanjutnya ia mengatakan: “Hadis ini saya terima dari guru saya dan anda saya
11
Ibn Abdurrahman Asy-Syahrazuwariy Ibn As-Shalah, ‘Ulum al-Hadis, (Madinah: Maktabah al-Ilmiyyah, 1996),
hal. 123
Orang tertentu untuk hadis tertentu, misalnya untuk hadis yang termuat dalam kitab
Shahih- al-Bukhariy.
1. Orang tertentu untuk semua hadis yang telah didengarnya (diriwayatkannya), atau
2. Orang yang tidak tertentu, misalnya umat Islam, untuk hadis tertentu atau hadis tidak
tertentu.
Ijazah murni yang disebutkan pertama oleh mayoritas ulama hadis dan fiqih disepakati
Adapun kata-akata yang biasa dipakai oleh mayoritas ulama diantaranya ialah
haddatsana ijazatan, haddatsana idznan, ajaza lii, anba’ani ijazatan, dan lain-lain.12
4. Al-Munaawalah (menyerahkan)
riwayatkanlah).
Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk
disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih
b. Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan
12
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologi, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), hal. 107
س َما ِعي أَ ْو ِم ْن ِر َوا َيتِي
َ ( َهذَاInilah hasil pendengaranku atau berasal dari periwayatanku)
Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.
5.Al-Mukatabah
Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis
riwayatnya kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Al-
kepadamu apa yang aku tulis untukmu", atau yang semisal dengannya. Dan riwayat
dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah
b. Al-Mukatabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian
hadis untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan
Misalnya Kataba ilayya fulan, Akhbarani bihi Mukatabatan, dan Akhbarani bihi
Kitaban.
6. Al-I'lam (memberitahu)
Yakni pemberitahuan seorang guru kepada muridnya, bahwa kitab atau hadis yang
diriwayatkannya diterima dari seorang guru, dengan tanpa memberikan izin kepada
muridnya untuk meriwayatkannya.Hadis dengan cara ini tidak sah, karena adanya
kemungkinan bahwa sang guru mengetahui bahwa dalam hadis tersebut ada
cacatnya.13
Kata yang dipakai ialah:( اَعْل َمنِي فُالن قال حدثناseseorang telah memberitahukan
7. Al-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan disaat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan,
sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat yang seorang terima
dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya
fulaanun bi kitaabin (si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau
haddatsanii fulaanun washiyyatan (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah
wasiat).
8. Al-Wijaadah (mendapat)
Yaitu: Seorang perawi mendapat hadis atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia
mengenal syaikh itu, sedang hadis- hadisnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis
oleh si perawi. Wijadah ini termasuk hadis munqathi', karena si perawi tidak
Dalam menyampaikan hadis atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si
perawi berkata,"Wajadtu bi kaththi fulaanin" (aku mendapat buku ini dengan tulisan
si fulan), atau "qara'tu bi khththi fulaanin" (aku telah membaca buku ini dengan
13
Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005), hal. 187.
As-Syafi'e memperbolehkan beramal dengan hadis yang periwayatannya melalui cara
b) ٍ ََط ف
الن ِ ( َو َجدْتُ بخdan….saya mendapat buku ini dengan tulisan si fulan).
14
H. Mudasir, Ilmu Hadis (untuk IAIN, STAIN, dan PTAIS), (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hal. 188
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dan dari jabaran di atas dapatlah kami simpulkan bahwasanya Proses Transmisi
Hadis dari masa Rasulullah hidup dan setelah wafat tidaklah sama. Semakin lama
jarak antara masa hidupnya akan semakin sulit mengontrol menyebaran dan
kebenaran hadis tersebut. Sehingga memerlukan kehati-hatian yang tinggi dalam
penyebaran hadis tersebut sehingga terhindar dari munculnya hadis palsu.
2. Dalam menerima hadis tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Namun
ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat
seorang muslim yang baligh dari hadis yang diterimanya sebelum masuk Islam atau
sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang
bathil) sebelum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima
tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika
ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang
benar, itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka hadisnya ditolak.
B. Saran
Dikarenakan Hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an, maka
posisi Hadis berada pada tempat yang penting untuk memahami Islam. Dan sebagai seorang
Muslim, penting bagi kita mengetahui perkembangannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ismail,M Syuhudi, Kaedah kesahihan sanad hadits. Jakarta. Pt Bulan Bintang. 1995
Mudasir, H, Ilmu Hadis (untuk IAIN, STAIN, dan PTAIS), Bandung: CV Pustaka Setia,
1999
Azami, M.M. Memahami Ilmu Hadist, Terj. Meth Kieraha, Jakarta: Lentera, 1993
LAMPIRAN