Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

Syarat-Syarat Seorang Perawi dan


Proses Transmisi

Dosen Pembimbing : Sayyid Habiburrahman M.Pd

Disusun Oleh :

Kelompok VI

1. Siti Rahmah (1532100264)

2. Syahid alviansyah (1532100273)

3.Roydi hafist (1532100252)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN FATAH
PALEMBANG
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT,karena rahmat, taufik dan
hidayahnyalah sehingga makalah yang berjudul syarat-syarat seorang perawi dan proses
tranmisinyadapat kami selesaikan tepat pada waktunya.

Sholawat dan salam senantiasa tercurah pada junjungan nabi besar kita Muhammad
SAW, yang telah membawa kita kejalan yang terang benderang seperti yang kita rasakan
pada sekarang ini. Selanjutnya penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan disebabkan pengetahuan penulis sangat terbatas. Oleh karena itu, saran dan
kritik yang sifatnya membangun sangat kami harapkan dari pembaca.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan dapat membuka cakrawala
berfikir mahasiswa amin.

Palembang, 21 Maret 2016

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mayoritas ulama hadis dan fiqih, sepakat menyatakan bahwa seorang guru yang
menyampaikan sebuah hadis harus mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat (Dhabit) serta
memiliki integritas keagamaan yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas sifat adil.
Dalam hubungannya dengan periwayatan hadis maka yang dimaksud adalah, suatu karakter
yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya untuk melakukan hal-hal yang
positif atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi
terhadap agamanya.
Wacana yang paling fundamental dalam kajian hadis adalah persoalan outentik dan
reliabilitas otentifikasi metodologi hadis. Keraguan sebagian sarjana Muslim atas peran hadis
sebagai sumber otoritas kedua setelah al-Qur’an, tidak sepenuhnya berkaitan dengan
resistansi mereka atas otoritas sunnah, tetapi lebih pada keraguan mereka atas keakuratan
metodologi yang digunakan dalam menentukan originalitas hadis. Apabila metodologi
otentifikasi yang digunakan bermasalah, maka semua hasil yang dicapai dari metode tersebut
tidak steril dari kemungkinan verifikasi ulang, kritik sejarah bahkan hasil tersebut bisa
menjadi collapse.
Hadis yang dianggap sebagai verbalisasi sunnah oleh umat Islam terlalu penting untuk
diabaikan dalam kehidupan beragama, sosial dan politik. Hadis bukan hanya sebagai sumber
hukum Islam yang berdiri sendiri, tapi juga sebagai sumber informasi yang sangat berharga
untuk memahami wahyu Allah. Ia juga sebagai sumber sejarah masa awal Islam.. Dalam
anatomi hukum Islam, hadis merupakan salah satu sumber yang penting untuk
dikonsultasikan.
Sebelum menjabarkan mengenai hadis lebih jauh, ada beberapa hal yang sangat penting
dan mesti kita ketahui dalam masalah hadis yaitu :
1. Pada awalnya Rasulullah SAW melarang para sahabat menuliskan hadis, karena
dikhawatirkan akan bercampur-baur penulisannya dengan al-Qur’an.
2. Perintah untuk menuliskan hadis yang pertama kali adalah oleh khalifah Umar bin
Abdul Aziz. Beliau menulis surat kepada gubernurnya di Madinah yaitu Abu
bakar bin Muhammad bin Amr Hazm Al-Alshari untuk membukukan hadis.
3. Ulama yang pertama kali mengumpulkan hadis adalah Ar-Rabi Bin Shabi dan
Said bin Abi Arabah, akan tetapi pengumpulan hadis tersebut masih acak
(tercampur antara yang shahih dengan dha’if dan perkataan para sahabat)
4. Pada kurun abad ke-2 imam Malik menulis kitab Al-Muwatha di Madinah, di
Makkah. Hadis dikumpulkan oleh Abu Muhammad Abdul Malik Bin Ibnu Juraiz,
di Syam oleh imam Al-Auzai, di Kuffah oleh Sufyan At-Tsauri, di Bashrah oleh
Hammad Bin Salamah.
5. Pada pertengahan abad ke-3 hijriah mulai dikarang kitab shahih Bukhari dan
Muslim.
Maka dari itu, di dalam makalah ini kami akan mencoba untuk membahas mengenai
syarat seorang perawi dan cara mereka menerima dan menyampaikan riwayat
(transmisi hadis).

B. Rumusan Masalah
1. Syarat-syarat yang harus dimiliki seorang perawi hadis
2. Proses transmisi (cara menerima dan menyampaikan riwayat) hadis

C. Tujuan
Untuk mengetahui syarat-syarat seorang perawi hadis dan bagaimana proses
menerima dan menyampaikan (transmisi) hadis sebagai sumber ajaran Islam yang
kedua. Dan merupakan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Ulumul Hadis.
BAB II

PEMBAHASAN

PERAWI & PROSES TRANSMISI HADIS

A. Perawi Hadis

a. Definisi

Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadis.1

Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan

hadis dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan.

Karena hadis Nabi SAW sampai kepada kita melalui jalur para perawi, maka mereka

menjadi fokus utama untuk mengetahui ke-shahih-an atau tidaknya suatu hadis. Karena

itu pula, para ulama hadis amat memperhatikan para perawi. Mereka telah membuat

berbagai persyaratan yang rinci dan pasti untuk menerima riwayat para perawi. Ini

menunjukkan jauhnya pandangan para ulama hadis, lurusnya pemikiran mereka, dan

kualitas metode yang mereka miliki.

Berbagai persyaratan yang ditentukan terhadap para perawi dan syarat-syarat lain bagi

diterimanya suatu hadis atau berita, tidak pernah ada dan tidak pernah dijumpai pada

agama apapun, bahkan hingga masa kini.

b. Syarat-syarat yang harus dimiliki seorang perawi hadis, diantaranya yaitu:


1. Muslim.
Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah jelas. Seorang rawi harus meyakini dan mengerti

akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadis atau khabar yang berkaitan dengan hukum-

hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam. Jadi dia mengemban tanggung jawab untuk

urusan memberi pemahaman tentang semuanya kepada manusia. Namun syarat Islam

sendiri hanya berlaku ketika seseorang menyampaikan hadis, bukan ketika membawa

1
Sahrani, Sohari, Ulumul Hadits. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hal 120.
atau menanggungnya. Ada sahabat yang mendengar hadis ketika mereka masih belum

memeluk Islam. Ketika mereka sudah masuk Islam, mereka meriwayatkan hadis yang

diterima atau didengarnya ketika masih belum Islam. Contohnya sebagaimana yang telah

berlaku kepada Jubair bin Matam. Beliau telah meriwayatkan hadis yang didengarnya

ketika masih belum memeluk Islam. Hadisnya ialah berkenaan perbuatan Nabi SAW

yang membaca surah al-Thur ketika sholat maghrib.2

2. Berakal

Menurut para ahli hadis, berakal berarti identik dengan kemampuan seseorang untuk

membedakan. Jadi untuk mampu menanggung dan menyampaikan suatu hadis, seseorang

harus telah memasuki usia akil baligh. Sahabat yang paling banyak menerima riwayat,

yang mereka dengar pada masa kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan

Abu Sa’id al-Khudri. Mahmud bin rabi’ masih ingat Rasulullah menghukumnya pada

waktu ia membuat kesalahan dan beliau wafat ketika Mahmud berusia 5 tahun.3

3. Al-dhabtu (dhabit).

Dimaksudkan di sini adalah teliti dan cermat, baik ketika menerima pelajaran hadis
maupun menyampaikannya. Sudah barang tentu, orang seperti ini mempunyai hafalan
yang kuat, pintar, dan tidak pelupa. Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadis yang dia
riwayatkan ternyata cocok dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal cermat,
telilti dan terpercaya. tetapi itu tidak harus mengenai keseluruhan. Perbedaan yang tidak
sedikit tentang hadis yang mereka riwayatkan masih dapat didamaikan. Tapi jika
perbedaan terlampau jauh dan tidak sesuai dengan hadis mereka riwayatkan, maka
kecermatanya masih diragukan.4

2
Asmawi Ehsan, Ilmu Hadith, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka), hlm.84-85
3
Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-kifayah., hlm. 54

4
Salah Muhammad Muhammad Uwayd., Taqrib Al-tadrib . (Beirut : Dar al-Kutub al-Imliyyah, 1989) hal 110
Allah akan menghargai orang yang bersikap cermat dalam periwayatan hadis,

merekalah orang yang pandai dan bijaksana, mereka hanya mau mengutip hadis shahih

saja. Hadis shahih diketahui bukan hanya dari riwayatnya saja tapi juga melalui

pemahaman dan penghafal dan banyak mendengar.5

4. Adil

Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi pada urusan

agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang merusak kepribadian, Al-

khatib al-Baghdadi memberikan definisi adil sebagai berikut: ”yang tahu melaksanakan

kewajibannya dan segala yang diperintahkan kepadanya- dapat menjaga diri dari

larangan-larangan, menjauhi dari kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban

dalam segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa merugikan

agama dan merusak kepribadian. Barang siapa dapat menjaga dan mempertahankan

sifat-sifat tersebut maka ia dapat disebut bersikap adil bagi agamanya dan hadisnya

diakui kejujurannya”.6

Para ulama membedakan adilnya seorang rawi dan bersihnya seorang saksi. Jika

masalah kebersihan, baru dapat diterima dengan penyaksian dua saksi. Saksi ini baik laki

laki maupun saksi perempuan, orang merdeka atau berstatus budak, dengan persyaratan

dapat adil terhadap dirinya sendiri.

5
Al Hakim al Naisaburi, Ma’rifah Ulum al-Hadist. (Bandung: Nuansa Cendekia, 2006), hal 59
6
Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-kifayah .hal 80
B. Proses Transmisi Hadis

a. Definisi.

Metode transmisi hadis atau dikenal dengan istilah “Jalan Menerima Hadis (thuruq

at-tahammul) dan Penyampaiannya” yaitu: cara-cara menerima hadis mengambilnya

dari Syaikh/Guru. Kata transmisi berarti penyampaian atau peralihan atau penyebaran.

Jadi transmisi hadis bisa diartikan dengan proses peralihan atau perpindahan suatu hadis

dari sanad ke sanad sampai ke perawi.

b. Cara-cara Rasulullah ketika menyampaikan hadisnya:

1. Rasulullah menyampaikan hadis pada dasarnya dengan cara natural saja. Ketika ada

masalah, lalu beliau memberikan penyelesaian.

2. Dengan lisan dan perbuatan, dihadapan orang banyak, di mesjid, pada waktu malam

dan subuh.

3. Dalam bentuk tulisan. Banyak riwayat menyatakan bahwa Rasulullah telah berkirim

surat kepada kepala Negara dan pembesar daerah yang non-Islam.

Berbagai hadis Nabi yang temaktub di kitab-kitab hadis sekarang ini, asal mulanya

adalah hasil kesaksian sahabat nabi terhadap sabda, perbuatan, taqrir, dan atau hal-ihwal

Nabi. Cara periwayat memperoleh dan menyampaikan hadis pada zaman nabi tidaklah

sama dengan pada zaman sahabat nabi. Demikian juga dengan pada zaman sahabat nabi

tidaklah sama dengan zaman sesudahnya.

c. Proses transmisi hadis pada masa Nabi sampai pada zaman sesudah generasi

sahabat.

1. Periwayatan hadis pada zaman Nabi

Hadis yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat. Karena, para

sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadis nabi kemudian

menyampaikannya kepada orang lain. Mereka (sahabat) secara bergantian menemui


nabi. Seandainya Umar tidak datang maka berita dari nabi akan disampaikan oleh

sahabat lainnya kepadanya.

Proses transmisi hadis pada masa Nabi bisa dibilang lancar. Kelancaran ini terjadi

karena 2 hal yaitu:

a) Cara penyampaian hadis oleh Rasulullah secara langsung.

b) Minat yang besar dari para sahabat.

2. Periwayatan Hadis Pada Zaman Sahabat Nabi

a. Pada Zaman Abu Bakar al-Shiddiq

Abu bakar merupakan sahabat nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya

dalam periwayatan hadis. Beliau sangat berhati-hati dengan periwayatan hadis. Ini

didasarkan pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek.

Beliau tidak melihat petunjuk al-Qur`an dan praktek nabi yang memberikan harta warisan

kepada nenek. Lalu ia bertanya kepada sahabat-sahabat yang lain. Al-Mughirah bin

Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa nabi memberikan bagian waris kepada

nenek sebesar seperenam bagian. Namun Abu Bakar tidak langsung percaya terhadap

perkataan sahabat tersebut. Dia meminta sahabat tersebut untuk mendatangkan saksi. Lalu

Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian. Akhirnya Abu Bakar menetapkan

kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian.

Karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis, maka dapat dimaklumi
bila jumlah hadis yang diriwayatkannya relative tidak banyak. Data sejarah tentang
kegiatan periwayatan hadis di kalangan umat Islam pada masa khalifah Abu Bakar sangat
terbatas. Hal ini karena pada saat pemerintahan Abu Bakar tersebut, umat Islam
dihadapkan pada ancaman dan kekacauan yang membahayakan pemerintahan dan
Negara.
b. Pada Zaman Umar bin Khattab

Pada masa Umar penyebaran hadis kurang berjalan. Karena pada masa Umar lebih

memfokuskan pada membaca dan mendalami al-Qur`an. Akan tetapi lebih banyak dari

masa Abu Bakar. Namun pada masa Umar para perawi terkekang karena Umar sangat

tegas. Beliau sangat berhati-hati. Karena Umar ingin ummat lebih konsentrasi dengan al-

Qur`an dan lebih berhati-hati dalam periwayatan hadis.

c. Pada Masa Utsman bin Affan

Secara umum, kebijakan Utsman tentang periwayatan sama seperti khalifah

sebelumnya. Namun langkah yang dijalani Utsman tidaklah setangkas Umar bin Khattab.

Utsman meminta kepada para sahabat agar tidak meriwayatkan hadis yang tak pernah

didengar pada masa Abu Bakar dan Umar. Penyebaran hadis pada masa Utsman lebih

banyak dibanding dengan khalifah Umar bin Khattab. Karena wilayah Islam pada saat itu

mulai meluas dan perawipun jumlahnya bertambah dan meluas.

d. Pada Masa Ali bin Abi Thalib

Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh berbeda sikapnya dengan para

pendahulunya dalam periwayatan hadis. Secara umum Ali bersedia menerima riwayat

hadis Nabi setelah periwayat hadis mengucapkan sumpah, bahwa hadis itu benar-benar

berasal dari Nabi. Hanya dengan periwayat yang benar-benar dipercayainya, Ali tidak

meminta untuk bersumpah.

Transmisi hadis pada masa Ali juga sangat hati-hati seperti para pendahulunya. Akan

tetapi pada masa Ali, kondisi politik sudah makin menajam. Hal ini menjadi dampak

negatif dalam penyebaran hadis. Kepentingan politik telah mendorong pihak- pihak
tertentu melakukan pemalsuan hadis.7 Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadis

dapat dipercaya riwayatnya.

3. Periwayatan Hadits Pada Zaman Sesudah Generasi Sahabat

Pada zaman sesudah generasi sahabat Nabi, khususnya pada saat hadis Nabi

dihimpunkan dalam kitab-kitab hadis, telah dibakukan tata cara penyampaian dan

penerimaan riwayat hadis Nabi. Pembakuan periwayatan ini sangat erat kaitannya

dengan upaya ulama dari hadis-hadis palsu.

Pada masa ini konsentrasi kepada hadis sangat meningkat. Yang mereka kaji bukan

hanya matan saja, namun juga sanad-nya. Periwayatan hadis Nabi pada zaman ini tidak

memperoleh hadis secara langsung dari Nabi, karena mereka memang tidak se zaman

dengan Nabi.

Periwayatan hadis pada zaman sesudah sahabat Nabi telah makin meluas, rangkaian

periwayat hadis yang beredar di masyarakat menjadi lebih panjang dibandingkan pada

zaman sahabat Nabi.

d. 3 (tiga) Unsur yang harus dipenuhi di dalam periwayatan hadis, yaitu:

a. At-tahammul (Kegiatan menerima hadis dari periwayat hadis)

b. al-ada’ (Kegiatan menyampaikan hadis kepada orang lain)

c. Al-isnad (Penyebutan susunan rangkaian periwayatannya ketika menyampaikan

hadis)8

1. Kelayakan Tahammul

Para ulama cenderung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak

kecil, yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak

7
Pemalsuan terjadi karena kepentingan politik antara Ali dan Muawwiyah.
8
M. Syuhudi Ismail, Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1991), hal. 17
memperbolehkannya. Sahabat, tabi’in dan ahli ilmu setelah mereka menerima riwayat

sahabat yang masih berusia anak-anak, seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn az-

Zubair, Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas, Abu Sa’id al-Khudriy, Mahmud ibn

ar-Rabi’ dan lain-lain tanpa memilah-milah antara riwayat yang mereka terima

sebelum dan sesudah baligh. Dalam perbedaan pendapat para ulama tersebut, dapat di

simpulkan bahwa pokok kecakapan dan keahlian menerima hadis menurut jumhur

adalah tamyiz yaitu suatu kemampuan yang menjadikan seseorang dapat memahami

dan hafal terhadap apa yang didengarnya.

Mereka yang memperbolehkan kegiatan mendengar hadis yang dilakukan oleh

anak kecil, berbeda pendapat tentang batas usianya. Karena hal itu tergantung pada

masalah tamyiz dari anak kecil itu. Tamyiz ini jelas berbeda-beda antar masing-

masing anak kecil. Namun demikian mereka memberikan keterangan bersamaan

dengan pendapat mereka. Banyak di antara mereka yang telah berusaha keras untuk

menjelaskannya. Dan kita bisa meringkas penjelasan itu ke dalam tiga pendapat:

 Pertama, bahwa umur minimalnya adalah lima tahun. Hujjah yang digunakan oleh

pendapat ini adalah riwayat Imam Bukhari dalam Shahihnya dari hadis Muhammad

ibn ar-Rabi’ ra, katanya : “Aku masih ingat siraman Nabi SAW dari timba ke mukaku,

dan aku (ketika itu) berusia lima tahun.”

 Kedua, pendapat al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan

mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu

membedakan antara sapi dengan keledai. Saya merasa yakin bahwa yang beliau

maksudkan adalah tamyiz. Beliau menjelaskan pengertian tamyiz dengan kehidupan

di sekitar.

 Ketiga, keabsahan kegiatan anak kecil dalam mendengar hadis didasarkan pada

adanya tamyiz. Bila anak telah memahami pembicaraan dan mampu memberikan
jawaban, maka ia sudah mumayyiz dan absah pendengarannya, meski usianya di

bawah lima tahun. Namun bila ia tidak memahami pembicaraan dan tidak bisa

memberikan jawaban, maka kegiatannya mendengar hadis tidak absah, meski usianya

di atas lima tahun.

2. Kelayakan Ada’

a. Islam,
b. Baligh
c. Sifat Adil
d. Dhabit
e. Metode Penerimaan Hadis

Seiring meluasnya dunia Muslim waktu itu, maka dalam pnyebaran hadis yang
lebih intensif dan bisa dipertanggungjawabkan menuntut metode baru dalam belajar
mengajar hadis. Dalam konteks ini, pada umumnya, ulama membagi metode
periwayatan hadis kepada delapan macam:9 yaitu :

1. As As-sama’

Yaitu mendengar langsung dari sang guru. Sima’ mencakup imlak (pendiktean), dan

tahdits (narasi atau memberi informasi).. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada

pada peringkat tertinggi.

Di dalam meriwayatkannya menggunakan kata-kata :

 ‫( َحدَّثَنَا‬seorang telah menceritakan kepada kami)


 ‫(أ َ ْخبَ َرنَا‬seorang telah mengabarkan kepada kami)
 ‫(أ َ ْنبَأَنَا‬seorang telah memberitakan kepada kami)
   ‫س ِم ْعتُ فُالَنًا‬
َ (saya telah mendengan seseorang)
   ‫(قَا َل لَنَا فُالَن‬seseorang telah berkata kepada kami)
   ‫(ذَ َك َر لَنَا فُالَن‬seseorang telah menuturkan kepada kami).
9
Sahrani, Sohari, Ulumul Hadis, (Bogor : Ghalia Indonesia, .2010) hal. 177
Termasuk dalam kategori as-sama’ juga seseorang yang mendengarkan hadis dari

Syeikh dari balik sattar (semacam kain pembatas/penghalang). Jumhur ulama

membolehkannya dengan berdasarkan para sahabat yang juga pernah melakukan hal

demikian ketika meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah melalui ummahat al-mu’minin

(para istri Nabi).

2. Al-Qira’ah

Yaitu periwayat/murid menghadapkan riwayat hadis kepada guru hadis dengan cara

periwayatan itu sendiri membacanya atau orang lain yang membacakannya dan dia

mendengarkan.10 Riwayat hadis yang dibacakan itu bisa saja berasal dari catatannya atau

bisa juga dari hafalannya. Sedangkan guru (syaikh) hadis yang disodori bacaan tadi aktif

menyimak melalui hafalannya sendiri atau melalui catatan yang ada padanya. Cara ini

hampir mirip dengan pemeriksaan hafalan dalam menghafal al-Qur’an.

Mengenai kedudukan penerimaan hadis dengan cara al-qira’ah ini, ulama berbeda

pendapat, menurut az-Zuhriy dan al-Bukhariy, cara al-qira’ah sama kedudukannya

dengan cara as-sama’. As-Suyuty, Ahmad bin Hambal dan Ibn as-Salah menilai

kedudukan as-sama’ lebih tinggi daripada al-qira’ah. Sedang Abu Hanifah menilai al-

qira’ah lebih tinggi daripada as-sama’.

Apabila dilihat dari proses pemeriksaan terhadap riwayat hadis, maka cara al-qira’ah

lebih berpeluang dapat terhindar dari kesalahan atau lebih korektif dibandingkan dengan

cara as-sama’. Karena dalam cara al-qira’ah, pemeriksaan riwayat hadis dilakukan oleh

guru hadis selaku penyampai riwayat dan murid selaku penerima riwayat. Guru hadis

menyimak hadis yang dibacakan muridnya. Jadi dalam hal ini guru berfungsi sebagai

penguat dan pemeriksa terakhir terhadap hadis yang telah diperiksa oleh murid.

10
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu
Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 61
Kata-kata atau istilah yang dipakai untuk periwayatan cara al-qira’ah ada yang

disepakati oleh ulama, antara lain adalah:

a. ‫(قرأت على فالن‬aku telah membaca kepada fulan ) kata-kata ini dipakai bila

periwayat membaca sendiri di hadapan guru hadis yang menyimaknya.

b. ‫ (قرأت على فالن وأنا اسمع فأقربه‬aku mendengar orang membaca dan ia

menyetujuinya) kata-kata ini dipakai bila periwayat tidak membaca sendiri,

melainkan dia mendengarkan bacaan orang lain, sedang guru hadis menyimaknya.11

Adapun kata-kata yang tidak disepakati pemakaiannya oleh ulama antara lain adalah

kata haddatsana dan akhbarana yang tanpa diikuti kata-kata lain.

3. Al-Ijazah

Yaitu guru hadis memberikan ijin kepada seseorang baik secara lisan maupun tulisan

untuk meriwayatkan hadis yang ada padanya.

Jenis ijazah ini ada dua macam:

a. Al-ijazah disertai al-munawalah, yang mempunyai dua bentuk:

1. Seorang guru hadis yang menyodorkan kepada murid hadis yang ada padanya lalu

guru tadi berkata, “Anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadis yang saya

peroleh ini.”

2. Seorang murid menyodorkan hadis kepada guru, lalu guru memeriksanya,

selanjutnya ia mengatakan: “Hadis ini saya terima dari guru saya dan anda saya

beri ijazah untuk meriwayatkan hadis ini dari saya.”

b. Al-Ijazah al-mujarradah (ijazah murni)

Diantaranya ialah ijazah diberikan kepada guru hadis kepada:

11
Ibn Abdurrahman Asy-Syahrazuwariy Ibn As-Shalah, ‘Ulum al-Hadis, (Madinah: Maktabah al-Ilmiyyah, 1996),
hal. 123
Orang tertentu untuk hadis tertentu, misalnya untuk hadis yang termuat dalam kitab

Shahih- al-Bukhariy.

1. Orang tertentu untuk semua hadis yang telah didengarnya (diriwayatkannya), atau

2. Orang yang tidak tertentu, misalnya umat Islam, untuk hadis tertentu atau hadis tidak

tertentu.

Ijazah murni yang disebutkan pertama oleh mayoritas ulama hadis dan fiqih disepakati

kebolehannya, sedang ijazah murni lainnya masih diperselisihkan.

Adapun kata-akata yang biasa dipakai oleh mayoritas ulama diantaranya ialah

haddatsana ijazatan, haddatsana idznan, ajaza lii, anba’ani ijazatan, dan lain-lain.12

4. Al-Munaawalah (menyerahkan)

Al-Munawalah ada dua macam:

a. Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di

antara macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh

memberikan kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,

ْ َ‫س َما ِعي أ َ ْو ِر َوا َي ِتي َع ْن فُالَ ٍن ف‬


‫ار ِوه‬ َ ‫( َهذَا‬Ini riwayatku/kudengar dari si fulan, maka

riwayatkanlah).

Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk

disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan tingkatannya lebih

rendah daripada as-sama' dan al-qira'ah.

b. Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan

kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan :

12
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologi, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), hal. 107
‫س َما ِعي أَ ْو ِم ْن ِر َوا َيتِي‬
َ ‫( َهذَا‬Inilah hasil pendengaranku atau berasal dari periwayatanku)
Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.

5.Al-Mukatabah

Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis

riwayatnya kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Al-

Mukatabah ada 2 macam :

a. Al-Mukatabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,"Aku ijazahkan

kepadamu apa yang aku tulis untukmu", atau yang semisal dengannya. Dan riwayat

dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah

yang disertai ijazah.

b. Al-Mukatabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian

hadis untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan

untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya.

Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika

diketahui bahwa tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.

Kata-kata yang dipakai untuk periwayatan cara al-mukatabah cukup banyak.

Misalnya Kataba ilayya fulan, Akhbarani bihi Mukatabatan, dan Akhbarani bihi

Kitaban.

6. Al-I'lam (memberitahu)

Yakni pemberitahuan seorang guru kepada muridnya, bahwa kitab atau hadis yang

diriwayatkannya diterima dari seorang guru, dengan tanpa memberikan izin kepada

muridnya untuk meriwayatkannya.Hadis dengan cara ini tidak sah, karena adanya
kemungkinan bahwa sang guru mengetahui bahwa dalam hadis tersebut ada

cacatnya.13

Kata yang dipakai ialah:‫( اَعْل َمنِي فُالن قال حدثنا‬seseorang telah memberitahukan

kepadaku, telah berkata kepada kami)

7. Al-Washiyyah (mewasiati)

Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan disaat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan,

sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat yang seorang terima

dengan jalan wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar

adalah tidak boleh dipakai.

Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya

fulaanun bi kitaabin (si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau

haddatsanii fulaanun washiyyatan (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah

wasiat).

8. Al-Wijaadah (mendapat)

Yaitu: Seorang perawi mendapat hadis atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia

mengenal syaikh itu, sedang hadis- hadisnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis

oleh si perawi. Wijadah ini termasuk hadis munqathi', karena si perawi tidak

menerima sendiri dari orang yang menulisnya.

Dalam menyampaikan hadis atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si

perawi berkata,"Wajadtu bi kaththi fulaanin" (aku mendapat buku ini dengan tulisan

si fulan), atau "qara'tu bi khththi fulaanin" (aku telah membaca buku ini dengan

tulisan si fulan); kemudian menyebutkan sanad dan matannya.

13
Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005), hal. 187.
As-Syafi'e memperbolehkan beramal dengan hadis yang periwayatannya melalui cara

ini. Lafadznya diantaranya:14

ِ ‫(قَراْتُ بخ‬saya telah membaca


‫َط فَالن‬ buku ini dengan tulisan si fulan)

b) ٍ َ‫َط ف‬
‫الن‬ ِ ‫( َو َجدْتُ بخ‬dan….saya mendapat buku ini dengan tulisan si fulan).

14
H. Mudasir, Ilmu Hadis (untuk IAIN, STAIN, dan PTAIS), (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hal. 188
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dan dari jabaran di atas dapatlah kami simpulkan bahwasanya Proses Transmisi
Hadis dari masa Rasulullah hidup dan setelah wafat tidaklah sama. Semakin lama
jarak antara masa hidupnya akan semakin sulit mengontrol menyebaran dan
kebenaran hadis tersebut. Sehingga memerlukan kehati-hatian yang tinggi dalam
penyebaran hadis tersebut sehingga terhindar dari munculnya hadis palsu.
2. Dalam menerima hadis tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Namun
ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat
seorang muslim yang baligh dari hadis yang diterimanya sebelum masuk Islam atau
sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang
bathil) sebelum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan minimal berumur lima
tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat membedakan. Jika
ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang
benar, itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka hadisnya ditolak.

B. Saran
Dikarenakan Hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an, maka
posisi Hadis berada pada tempat yang penting untuk memahami Islam. Dan sebagai seorang
Muslim, penting bagi kita mengetahui perkembangannya.
DAFTAR PUSTAKA

Sohari. Sahrani,. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia

Ismail,M Syuhudi, Kaedah kesahihan sanad hadits. Jakarta. Pt Bulan Bintang. 1995

Mudasir, H, Ilmu Hadis (untuk IAIN, STAIN, dan PTAIS), Bandung: CV Pustaka Setia,
1999
Azami, M.M. Memahami Ilmu Hadist, Terj. Meth Kieraha, Jakarta: Lentera, 1993
LAMPIRAN

A. Pertanyaan-Pertanyaan dari Audience


1. Nama : Sri Wahyuni
Kelompok :
 Bagaimana cara periwayat memperoleh dan menyampaikan hadits pada zaman
nabi, sahabat dan zaman sesudahnya?
Jawab :
 cara memperoleh hadis pada zaman nabi
cara memperoleh hadits pada zaman nabi sangat cepat tersebar dan
lancar di masyarakat karena, rasulullah sendiri yang menyampaikan
hadis secara langsung serta minat yang sangat besar dari para sahabat
untuk membantu menyebarkan hadis Rosulullah.
 Cara memperoleh hadits pada zaman sahabat
Cara memperoleh hadits pada zaman sahabat, abu bakar dengan sangat
kehati-hatianya dalam periwayatan hadits sehingga jumlah hadits yang
diiwayatkan sangat terbatas, kemudian pada zaman umar bin khattab
pun sama dengan abu bakar namun umar bin khattab lebih
memfokuskan pada membaca dan mendalami al quran, lalu pada
zaman utsman bin affan tidak jauh beda dengan sahabat sebelumnya
utsman bin affan meminta kepada para sahabat agar tidak
meriwayatkan hadits yang tidak pernah didengar pada masa abu bakar
dan umar. Periwayatan hadits pada zaman utsman lebih banyak karena,
islam pada saat itu wilayahnya meluas dan jumlah perawi semakin
banyak. Dan yang terakhir pada masa ali bin abu thalib sikap ali tidak
jauh beda dengan para pendahulunya. Ali menerima riwayat hadits
Nabi setelah setelah periwayat hadits mengucapkan sumpah, bahwa
hadits itu benar-benar dari Nabi.
Kemudian proses transmisi hadits juga sangat hati-hati seperti
pendahulunya, namun pada saat konflik pihak –pihak tertentu
melakukan penolakan hadits. Dengan demikian tidak seluruh periwayat
hadits dapat dipercayai riwayatnya.
 Cara memperoleh hadits pada zaman sesudah sahabat
Cara memperoleh hadits pada zaman sesudah sahabat ini tidak
memperoleh hadits secara langsung dari Rosulullah karena memang
tidak sezaman dengan nabi muhammad SAW. Mereka memperolehnya
dari para ulama dan hadits-hadits yang telah dibukukan pada zaman
sahabat.

2. Nama : Trisma Yanti


Kelompok :
 Apa pengertian dari al ada’ serta penjabaran dari kelayakan al ada’ itu sendiri
?
Jawab :
Al ada’ secara etimologis berarti sampai/melaksanakan. Secara terminologi al
ada’ berarti sebuah proses mengajarkan(meriwayatkan) hadits dari seorang
guru kepada muridnya. Para ulama ahli hadits mengistilahkan al ada’ yaitu
menyampaikan atau meriwayatkan hadits.
 Syarat-ayarat al-ada’
1. Beragama islam
Kenapa harus orang islam, karena tidak dapat diterima orang kafir,
walaupun dia bukan orang yang berdusta . Allah menyuruh kita
berhati-hati menerima riwayat orang-orang fasik.
3. Baligh ( sudah sampai umur )
Karenanya tidaklah diterima riwayat anak-anak yang belum sampai
umur, sampai umur adalah dasar untuk menetapkan seseorang itu
mempunyai paham dengan pengertian. Yang dimaksud sampai umur
disini adalah sampai umur sudah mempunyai akal. Para ulama tidak
menerima riwayat anak kecil karena anak kecil belum menyadari
akibat berdusta dan syara’ tidak membenarkan anak kecil menjadi wali
terhadap dirinya dalam urusan keduniaan.
4. Keadilan
Sifat adil dalam hubuganya dengan periwayatan hadits yang dimaksud
adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu
mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu
konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap
agamanya.
5. Kedhabitan(ingatan dan hafalan yang kuat)
Yaitu si perawi sadar benar apa yang didengarnya dan dipahaminya
dengan baik, serta dihafalnya sejak dari dia menerima sampai kepada
dia menceritakan kepada orang lain.

6. Nama : Siti Utami


Kelompok :
 Kenapa para ulama berbeda pendapat mengenai penerimaan hadits dengan
cara al qiroah.?
Jawab :
mengenai perbedaan pendapat tentang penerimaan hadits dengan cara al
qiroah memang wajar, namun dilihat dari proses pemeriksaan terhadap riwayat
hadis, maka cara al qiroah lebih berpeluang dapat terhindar dari kesalahan atau
lebih korektif dibandingkan dengan cara as-sama’, karena dalam cara al
qiroah, pemeriksaan riwayat hadits. Seorang guru menyimak hadis yang
dibaca oleh muridnya. Jadi fungsi seorang guru disini sebagai penguat dan
pemeriksa terakhir hadis yang telah diperiksa oleh murid. Jadi al qiroah lah
yang sangat cocok digunakan untuk penerimaan hadits

Anda mungkin juga menyukai