Anda di halaman 1dari 41

Presentasi Kasus dan Portofolio Kasus Emergency

ASMA BRONKIAL

Oleh:
dr. Fristia Rahmadyah

Pendamping:
dr. Eko Roza Mardian

Wahana:
RSUD PARIAMAN

KOMITE INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


PUSAT PERENCANAAN DAN PENDAYAGUNAAN SDM KESEHATAN
BADAN PPSDM KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
2018
Borang Portofolio Kasus Emergency

No. ID dan Nama Peserta dr. Fristia Rahmadyah


No. ID dan Nama Wahana RSU Pariaman
Topik Kasus Emergency
Tanggal (kasus) 2017
No. RM :
Nama Pasien Nn. F
091653
Tanggal Presentasi Januari 2018 Pendamping : dr. Eko Roza Mardian
Tempat Presentasi Ruang Konfrensi RSU Pariaman
Objektif Presentasi
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □Lansia □ Bumil
□ Deskripsi Pasien perempuan sesak nafas semakin memberat sejak 6 jam yang lalu
Menegakkan diagnosis, penatalaksanaan awal, dan pecegahan eksaserbasi asma
□ Tujuan
bronkial
Bahan
□ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Bahasan
Cara
□ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ E-mail □ Pos
Membahas
Data Pasien Nama : Nn F No. Registrasi : 091653
Terdaftar sejak : 19 Januari
Nama RS : RSUD Pariaman Telp :
2018
1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
Asma Bronkial
2. Riwayat Pengobatan :
Pasien belum meminum obat untuk menghilangkan sesak nafasnya pada serangan kali ini
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit :
Pasien telah sering megalami sesak nafas seperti ini sejak kecil
4. Riwayat Keluarga :
Ayah pasien mengalami sesak nafas sejak kecil.
5. Riwayat Pekerjaan : Pasien adalah seorang mahasiswi
6. Lain-lain : -

Daftar Pustaka:
1. Anwar, T. Bahri. Penyakit jantung koroner dan hypertensi. Medan: USU; 2004.

2. Hamm CW, Bertrand M, Braunwald E. Acute coronary syndrome without ST elevation :


implementation of new guidelines.Lancet 2001;358:1533-8.

3. World Health Organization. Deaths from coronary heart disease. Cited 2014 Feb Available
from URL : http://www.who.int/cardiovasculardiseases/ cvd_14_deathHD.pdf

4. Rahman AM. Angina Pektoris Stabil. Dalam : Sudoyo AW, Setiuohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. (Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV.
Penerbit FK UI,2006. Jakarta: p.1611.

5. Trisnohadi, Hanafi B. 2006. Angina Pectoris Tak Stabil dalam Aru W.S, Bambang S, Idrus
A, Marcelius S.K, Siti S.S (Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi
IV.Penerbit FK UI 2006. Jakarta. P.1606-8.

6. Hamm CW, Bertrand M, Braunwald E. A classification of unstable angina revisited.


Availavle from URL: http://circ.ahajournals.org/content/102/1/118.

Hasil Pembelajaran
1. Diagnosis asma bronkial
2. Tatalaksanana awal pasien asma bronkial
3. Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai faktor risiko penyebab kambuhnya asma bronkial
serta pecegahannya

1. Subjektif :
- Sesak nafas yang semakin memberat sejak 6 jam yang lalu berbunyi menciut,
sesak nafas tidak dipengaruhi aktivitas.
- Batuk sejak 3 hari yang lalu, dahak (+) berwarna putih sulit dikeluarkan, darah
(-).
- demam (+) sejak 3 hari yang lalu, tidak tinggi, idak disertai keringat malam dan
menggigil,
- sakit kepala (-),mual muntah (-)
- nafsu makan menurun (+)
- Riwayat sesak nafas seperti ini sebelumnya (+), tidak ada mengkonsumsi obat
pengendali sesak nafas. Serangan terakhir 1 bulan yang lalu.
- Riwayat terbangun di malam hari karena sesak nafas ada.
- BAB dan BAK biasa
- Riwayat ayah pasien menderita keluhan yag sama (+)
2. Objektif :

Status Generalis:

 Keadaan Umum : Sedang


 Kesadaran : Komposmentis kooperatif
 Tekanan Darah : 120/80 mmHg
 Nadi : 106 x/menit
 Nafas : 32 x/menit
 Suhu : 37 oC

Status Internus:

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor ϕ 2 mm = 2 mm,
refleks cahaya +/+ normal

Mulut : Mukosa mulut dan bibir basah


Tenggorok: Tonsil T1-T1 hiperemis, faring hiperemis
Paru
 Inspeksi : simetris dalam keadaan statis dan dinamis
 Palpasi : fremitus kiri = kanan
 Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
 Auskultasi : bronkial, ronkhi (-/-), wheezing (+/+), ekspirasi memanjang (+/+)

Jantung
 Inspeksi : iktus tidak terlihat
 Palpasi : iktus teraba 1 jari lateral LMCS RIC V
 Perkusi : batas jantung kiri 1 jari lateral LMCS RIC V,
o batas jantung kanan LSD, batas atas RIC II
 Auskultasi : bunyi jantung murni, irama teratur, HR 98 x/menit, gallop (-)
Abdomen
 Inspeksi : tidak tampak membuncit
 Palpasi : nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
 Perkusi : timpani
 Auskultasi : bising usus (+) normal

Punggung : Nyeri tekan CVA (-/-) Nyeri Ketok CVA (-/-)

Ekstremitas : akral hangat, refilling kapiler < 2 detik

Pemeriksaan Penunjang
 Tidak dilakukan

3. Assessment :
Telah dilaporkan suatu kasus seorang pasien peremuan berusia 19 tahun dengan
diagnosis kerja Asma Bronkial serangan sedang terkontrol sebagian. Dasar diagnosis
didapatkan dari anamnesis dirasakan sesak nafas semakin meningkat sejak 6 jam yang
lalu, sesak nafas tidak dipengaruhi aktifitas yang dilakukan pasien. Sesak nafas diketahu
terakhir kali dirasakan pasien sebelum serangan saat ini adalah satu bulan yang lalu.
Riwayat terbangun di malam hari karena serangan sesak ada. Pasien juga tidak didapati
mengkonsumsi obat-obatan untuk menanggulangi sesak nafasnya. Batuk berdahak sejak
3 hari yang lalu dimana dahak berwarna putih dan sulit untuk dikeluarkan, tidak disertai
batuk darah. Anamnesis lain yang didapatkan adalah demam yang terus menurus
dirasakan pasien sejak 3bhari yang lalu, dimana demam tidak terlalu tinggi disertai
keluhan nafsu makan yang menurun. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah
pasien saat masuk 120/80 mmHg, frekuensi nafas 32 kali permenit, frekuensi nadi 106
kali perment, faring hiperemis, dan ditemukan wheezing serta ekspirasi memanjang dari
kedua lapangan paru.
Tujuan utama pengobatan asma bronkial adalah diagnosis cepat, menghilangkan
manifestasi eksaserbasi akut, serta mengontrol manifestasi klinis dari penyakit untuk
waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien dapat
melakukan aktivitas sehari-hari tanpa hambatan. Pada pasien ini duberikan terapi awal
suplementasi oksigen 3L/menit serta nebulizer Combivent 3 kali. Selanjutnya pasien
dianjurkan untuk control ke Poliklinik Paru untuk tatalakasana lanjut terapi kontroler
penyakit asma bronkial.

4. Plan :
Diagnosis : Asma Bronkial Serangan Sedang Terkontrol Sebagian

Penatalaksanaan ;
- O2 3L/menit
- Bedrest posisi ½ duduk
- Nebulizer Combivent 3x1 respul
- Salbutamol 3x4 mg
- N-acesystein 3x200 mg
- Methylprednisolone 3x4 mg
- Cefadroxil 2x500 mg
- Konsul ke Poliklinik Paru
Edukasi
- Pasien diberi edukasi mengenai penyakit ini bahwa asma bronkial merupakan
penyakit terkait imunitas tubuh dan dipengaruhi factor genetik yang bisa
dikontrol dengan cara menghindari faktor pencetus. Pada pasien ini belum
ditemukan faktor pencetus spesifik, namun kondisi pasien yang menderita ISPA
saat ini dianggap sebagai faktor yang berpengaruh. Oleh karena itu pasien
diedukasi untuk lebih menjaga kesehatannya dengan istirahat yang cukup,
konsumsi air putih minimal 2 L/hari, dan makan makanan yang bergizi.
- Menjelaskan pada kondisi saat ini penting bagi pasien untuk mendapatkan obat
kontroler selain reliever, sehingga pasien dianjurkan untuk konsultasi ke
Poliklinik Paru.
2. TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Asma merupakan penyakit yang heterogen yang ditandai dengan
inflamasi kronik saluran napas. Asma ditandai dengan riwayat gejala
saluran pernapasan seperti wheezing (mengi), sesak napas, dada terasa
berat, dan batuk yang bervariasi diantara waktu dan intensitas dan disertai
dengan hambatan jalan napas ekspirasi yang bervariasi. Variasi yang
terjadi disebabkan oleh beberapa faktor seperti olahraga, paparan alergen
atau iritan, perubahan cuaca, atau infeksi virus pada saluran napas.1
Gejala terbatasnya jalan napas dapat sembuh spontan atau dengan
pengobatan dan dapat menghilang selama beberapa minggu atau beberapa
bulan. Di sisi lain pasien juga dapat mengalami beberapa periode
serangan (eksaserbasi) asma yang dapat mengancam jiwa dan memberikan
beban yang signifikan bagi pasien dan keluarga. Asma biasanya dikaitkan
dengan hiporesponsivitas jalan napas karena stimulus langsung dan tidak
langsung, dan dengan inflamasi jalan napas kronik. Karakteristik tersebut
biasanya selalu ada, walaupun tidak ada gejala dan fungsi paru normal,
dan akan membaik dengan terapi.1,2
II. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
Faktor genetik memegang peranan penting dalam etiologi asma. Asma
merupakan complex genetic disorder dan dipengaruhi oleh banyak gen
sehingga tidak mengikuti pola pewarisan Mendel. 1
Faktor-faktor yang dapat memicu atau memperburuk gejala asma
meliputi infeksi virus, alergen rumah tangga seperti tungau debu rumah,
serbuk sari bunga, kecoa, asap tembakau, olahraga dan stres. Respons ini
lebih sering terjadi bila asma tidak terkontrol. Beberapa obat juga dapat
memicu asma seperti beta bloker, aspirin atau NSAID lainnya. Berikut
adalah faktor risiko asma yang dapat dimodifikasi: 1,2,3

1. Pasien dengan minimal satu faktor risiko eksaserbasi


2. Minimal satu periode eksaserbasi berat di tahun terakhir
3. Paparan tembakau dan rokok
4. Penurunan FEV1 terutama kurang dari 60% prediksi
5. Beban psikologis
6. Beban sosial-ekonomi
7. Alergi makanan
8. Paparan alergen
9. Terdapat eosinophilia pada pemeriksaan sputum

III. PATOFISIOLOGI
1. Hygiene Hypothesis
Hubungan antara awal kehidupan dan perkembangan alergi sudah
banyak diteliti. Strachan merupakan orang yang pertama kali
mengemukakan teori hygiene hypothesis. Teori tersebut mengatakan
bahwa infeksi dan kontak dengan lingkungan yang tidak higienis dapat
melindungi perkembangan alergi. Hipotesis tersebut berdasarkan bahwa
sistem imun pada bayi didominasi oleh sitokin T helper (Th2) dan setelah
lahir pengaruh lingkungan akan mengaktifkan respons Th1 sehingga akan
terjadi keseimbangan Th1/Th2. Beberapa bukti menunjukkan bahwa
insidens asma menurun akibat infeksi tertentu (M tuberkulosis, campak,
atau hepatitis A) dan penurunan penggunaan antibiotika. Ketiadaan
kejadian tersebut menyebabkan keberadaaan Th2 menetap sehingga
keseimbangan akan bergeser ke arah Th2, merangsang produksi antibodi
Ig E untuk melawan antigen lingkungan seperti debu rumah dan bulu
kucing.5,6

Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain. Produksi Ig
E pada penderita atopi meningkat sehingga mempengaruhi keseimbangan
Th2 dan Th1. Perkembangan sekresi Th2 memerlukan IL4. Sitokin ini
dihasilkan oleh plasenta untuk mencegah penolakan imunologis janin.
Menetapnya Th2 plasenta berhubungan dengan perubahan nutrisi sehingga
tidak terbentuk Th1, ini merupakan faktor utama peningkatan prevalensi
penyakit alergi dalam 30-40 tahun terakhir. Faktor lain adalah turunnya
infeksi berat pada bayi dan interaksi antara alergen dan polusi udara yang
cenderung untuk terjadi sensitisasi. Infeksi akan menyebabkan
peningkatan respons Th1 dan akan menurunkan kecenderungan
perkembangan penyakit yang berhubungan dengan Th2. Sel Th2 akan
meningkatkan sintesis IL-4 dan IL-13 yang pada akhirnya akan menaikkan
produksi IgE. Sedangkan sel Th1 yang menghasilkan interferon gamma
(IFNγ) akan menghambat sel B untuk menghasilkan Ig
E.3,4

Sel efektor imun utama yang bertanggung jawab terhadap reaksi alergi
adalah mast sel, limfosit T dan eosinophil. Setelah seseorang mengalami
sensitisasi, Ig E disintesis dan kemudian melekat ke target sel. Pajanan
alergen menyebabkan reaksi yang akan melibatkan sel-sel tersebut di atas.
Sitokin atau kemokin yang berperan dalam perkembangan , recruitment
dan aktivasi eosinophil adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-13,
granulocytemacrophage colony stimulating factor (GM-CSF), kemotaksin
dan regulation on activation normal T cell expressed and secreted
(RANTES).3

2. Obstruksi saluran napas


Inflamasi saluran respiratori yang ditemukan pada pasien asma diyakini
merupakan hal yang mendasari terjadinya ganngguan fungsi pada asma
yaitu obstruksi saluran respiratori yang mengakibatkan keterbatasan aliran
udara yang bersifat reversibel. Perubahan fungsional ini dihubungkan
dengan gejala khas pada asma (seperti batuk, sesak, mengi) dan respons
saluran napas yang berlebihan terhadap rangsangan bronkhokontriksi.
Mediator inflamasi dapat juga mempengaruhi persepsi sesak napas melalui
pengaruhnya terhadap saraf aferen. Rangsangan saraf aferen pada keadaan
hiperkapnia atau hipoksemia misalnya akan merangsang timbulnya
hiperventilasi alveolar dan kerusakan lainnya akibat serangan asma akut.3
Penyempitan saluran napas yang terjadi pada pasien asma dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot
polos bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan sel
inflamasi. Mediator tersebut antara lain histamine, triptase, prostaglandin
D2 dan leukotriene C4 yang dikeluarkan oleh sel mast, neuropeptidase
yang dikeluarkan oleh saraf aferen local dan asetilkolin yang berasal dari
saraf aferen post gangglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot
polos saluran napas adalah hiperplasia kronik otot polos, pembuluh darah,
serta terjadi deposisi matriks pada dinding saluran napas.3,4

3. Hiperreaktivitas saluran napas


Asma hampir selalu dihubungkan dengan mudahnya saluran napas
mengalami penyempitan dan atau respons yang berlebihan terhadap
provokasi stimulus. Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap
reaktivitas yang berlebihan ini sampai saat ini belum diketahui, namun
dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas. Inflamasi
pada dinding saluran napas, khususnya pada regio peribronkhial
cenderung memperparah penyempitan saluran napas yang terjadi akibat
kontraksi otot polos tersebut.3,4

4. Hipersekresi mukus
Produksi mukus yang berlebihan merupakan gejala utama pada
penyakit bronchitis kronis, namun gejala tersebut juga merupakan salah
satu karakteristik pasien asma yang tidak pernah memiliki riwayat
merokok ataupun bekerja pada lingkungan berdebu. Hiperplasia kelenjar
submucosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada saluran napas pasien
asma dan remodeling saluran napas merupakan karakteristik asma kronis.
Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran napas hampir
selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab obstruksi
saluran napas yang persisten pada serangan asma berat yang tidak
mengalami perbaikan dengan pemberian bronkodilator.3,4

Sekresi mukus pada saluran napas pasien asma tidak hanya berupa
peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas.
Penebalan dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan
produksi musin saja tetapi juga terdapatnya penumpukan sel epitel,
pengendapan albumin yang berasal dari mikrovaskularisasi bronkial,
eosinophil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi yang lisis

Gambar 3.1. Patofisiologi Asma. Dikutip dari Makmuri.3


Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus.
Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis
saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini menyebabkan udara
distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa ekspirasi.
Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional
(KFR) dan pasien akan bernapas dengan volume yang tinggi mendekati
kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran
napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk
mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas.4
Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara
objektif dengan FEV1 ( forced expiratory volum in 1 second) atau FVC
(force vital capacity). Penyempitan saluran napas dapat terjadi pada
saluran napas yang besar , sedang, maupun kecil. Gejala mengi
menandakan adanya penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada
saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding
mengi.4 Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian
paru. Ada daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi , sehingga darah
kapiler yang melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia, Penurunan
PaO2 mungkin merupakan kelainan pada asma sub-klinis. Untuk
mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi agar
kebutuhan oksigen terpenuhi, tetapi akibatnya pengeluaran CO2 menjadi
berlebihan sehingga PaCO2 menurun yang kemudian menimbulkan
alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak
saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak
memungkinkan lagi terjadinya pertukaran gas. Hal ini menyebabkan
hipoksemia dan kerja otot-otot napas bertambah berat sehingga terjadi
peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2 yang disertai
dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2
(hiperkapnia) dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal napas.
Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan asidosis metabolik dan
konstriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan shunting
yaitu peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik, yang
berakibat perburukan hiperkapnia. Dengan demikian penyempitan saluran
napas pada asma, akan menimbulkan hal-hal sebagai berikut : 1).
Gangguan ventilasi berupa hipoventilasi. 2). Ketidakseimbangan ventilasi
perfusi dimana distribusi ventilasi tidak setara dengan sirkulasi darah paru.
3). Gangguan difusi gas di tingkat alveolus. Ketiga faktor tersebut
menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, serta asidosis respiratorik pada
tahap
IV. Diagnosis
Kriteria diagnosis asma berdasarkan anamnesis adalah sebagai
berikut : 1,2
4.1.1. Terdapat gejala saluran napas yang khas meliputi mengi, sesak
napas, rasa tertekan pada dada, batuk.
• Pasien asma mempunyai lebih dari satu gejala ini ( mengi,
sesak napas, batuk, dada seperti tertekan)
• Gejala dapat terjadi bervariasi dalam hal waktu dan
intensitas
• Gejala biasanya lebih sering terjadi dan lebih berat pada
malam hari dan pada saat bangun tidur
• Gejala sering dipicu olahraga, pada saat tertawa, alergen,
atau udara dingin
• Gejala sering muncul dan lebih berat bila disertai dengan
infeksi virus

Gejala yang menurunkan kemungkinan bahwa seseorang


menderita asma :
• Batuk tanpa gejala respirasi lain
• Produksi sputum kronik
• Dispnea yang disertai dengan pusing, kepala terasa ringan,
paresthesia perifer
• Nyeri dada
• Dispnea dengan inspirasi nyaring terkait olahraga

4.1.2. Terdapat keterbatasan aliran udara ekspirasi


- Variabilitas fungsi paru yang besar DAN keterbatasan aliran
udara, makin besar variasi / makin sering, makin sering
kemungkinan
 Terdapat penurunan FEV1 ( forced expiratory volum in
1 second), sehingga rasio FEV1/FVC (force vital capacity)
berkurang. Nilai normal FEV1/FVC > 0,75-0,80 pada
dewasa dan > 0,90 pada anak.
- Uji reversibilitas bronkhus positif
 Terdapat variasi fungsi paru yang lebih besar dibandingkan
orang normal, misalnya :
o FEV1 meningkat lebih dari 12% dan 200 ml ( pada
anak > 12% nilai prediksi) setelah inhalasi dengan
bronchodilator. Hal ini disebut sebagai uji
reversibilitas bronkhus positif.
o Rata-rata variasi diurnal PEF (peak expiratory flow)
atau arus puncak ekspirasi > 10% ( pada anak
> 13%) o FEV1 meningkat lebih dari 12% dan 200
ml ( pada anak > 12% nilai prediksi) setelah 4 minggu
pemberian anti inflamasi (diluar infeksi saluran napas)
• Semakin besar variasi dan semakin sering gejala muncul
lebih meyakinkan untuk menegakkan diagnosis asma
• Pemeriksaan ulang diperlukan pada saat gejala muncul
pada pagi hari atau setelah pemberian bronchodilator
• Reversibilitas bronchodilator akan hilang pada saat
eksaserbasi dengan gejala yang berat atau akibat infeksi
virus. Apabila tidak terdapat resersibilitas dengan
pemberian bronchodilator pada saat pemeriksaan pertama,
maka langkah selanjutnya tergantung kepentingan klinis
dan ketersediaan pemeriksaan lain.

Tabel 4.1. Kriteria Diagnosis Asma untuk Dewasa, Remaja, Anak 6-11
tahun.1
Diagnosa Kriteria Diagnosis
1. Riwayat gejala asma yang bervariasi
Mengi, sesak • Pasien asma mempunyai lebih dari satu
napas, dada terasa gejala
berat, batuk ini
• Gejala dapat terjadi bervariasi dalam hal
waktu dan intensitas
• Gejala biasanya lebih sering terjadi dan lebih
berat pada malam hari dan pada saat bangun
tidur
• Gejala sering dipicu olahraga, pada saat
tertawa, alergen, atau udara dingin
• Gejala sering muncul dan lebih berat bila
disertai dengan infeksi virus

2. Keterbatasan aliran udara ekspirasi


Variabilitas fungsi Makin besar variasi / makin sering, makin sering
paru yang besar kemungkinan
(satu atau lebih uji) Penurunan FEV1, sehingga rasio FEV1/FVC
DAN keterbatasan berkurang. Nilai normal FEV1/FVC > 0,75-0,80
aliran udara pada dewasa dan > 0,90 pada anak

Uji reversibilitas Peningkatan FEV1 ˃ 12% dan ˃ 200 mldari nilai


bronkhus positif awal, 10-15 menit setelah pemberian 200-400 mcg
albuterol atau setara; ( pada anak > 12% nilai
prediksi)

Variabilitas Rata-rata variasi diurnal PEF atau arus puncak


pengukuran PEF ekspirasi > 10% ( pada anak > 13%)
2x/hari selama 2
minggu

Kenaikan fungsi
paru setelah terapi
anti inflamasi
selama 4 minggu
Uji exercise Dewasa: tidak mencapai FEV1˃ 10% dan 200 ml
challenge Anak : tidak mencapai variasi FEV1 > 12%
nilai prediksi/PFE > 15%

Uji bronchial Tidak mencapai FEV1 ˃ 20% (dengan metacholin,


challenge histamine) ; 15% dengan NaCl hipertonik atau
mannitol
(umumnya pada
dewasa)

Variasi fungsi paru Dewasa: variasi FEV1˃ 12% dan ˃ 200 ml


di antara kunjungan Anak : variasi FEV1 > 12%
ke dokter (kurang
reliable)

4.2. Pemeriksaan fisik


Pemeriksaan pada pasien asma seringkali normal.
Abnormalitas yang paling sering adalah wheezing ekspiratorik pada
auskultasi, tetapi kadang tidak terdengar atau hanya terdengar pada
ekspirasi yang kuat yang dipaksa. Wheezing juga tidak bisa
ditemukan pada asma eksaserbasi berat, karena penurunan aliran udara
yang sangat hebat (silent chest), akan tetapi biasanya tanda- tanda
patologis lain muncul. Wheezing juga bisa ditemukan pada disfungsi
jalan napas atas, missal pada PPOK, infeksi saluran napas,
trakeomalasia, atau korpus alienum. Crakles atau wheezing
inspiratorik bukan karakteristik asma. Perlu juga dilakukkan
pemeriksaan hidung untuk menemukan adanya rhinitis atau polip
nasal.2,4

4.3. Pemeriksaan penunjang


4.3.1. Spirometri
Fungsi normal paru diukur dengan spirometri. Forced expiratory
volume in 1 second (FEV1) lebih dipercaya daripada peak expiratory flow
(PEF). Jika PEF dilakukan, maka alat yang sama harus digunakan tiap
saat pemeriksaan, karena perbedaan sebesar 20% bisa terjadi bila
dilakukan perubahan ukuran atau alat.1,2

Penurunan FEV1 dapat juga ditemukan pada penyakit paru lain, atau
penggunaan spirometri yang tidak tepat, akan tetapi penurunan rasio
FEV1/FVC manandakan adanya hambatan aliran jalan napas. Rasio
FEV1/FVC normal adalah 0,75-0,80 dan kadang 0,90 pada anak-anak, dan
nilai di bawah batas normal tersebut menandakan adanya hambatan aliran
udara.1,2

Variabilitas adalah perbaikan atau perburukan gejala dan fungsi paru.


Variabilitas berlebihan dapat ditemukan dari waktu ke waktu dalam satu
hari (variasi diurnal), dan dari hari ke hari, musiman atau dari sebuah tes
reversibilitas. Reversibilitas adalah perbaikan FEV1 atau penurunan
FEV1 > 12% dan > 200 ml dari batas dasar, atau jika spirometri tidak ada,
perubahan PEF minimal sebesar 20% dapat diterima sebagai asma. Akan
tetapi jika FEV1 tetap dalam batas normal saat pasien sedang mengalami
gejala asma, maka kemungkinannya kecil bahwa penyakitnya adalah
asma. Pengukuran FEV1 dan PEF dilakukan sebelum terapi dengan
bronkhodilator. 1,2

4.3.2. Tes provokasi bronkhus


Pemeriksaan ini dilakukan untuk uji hiperresponsivitas jalan napas.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan latihan inhalasi metakolin dan
histamine, hiperventilasi eukapnik volunter atau mannitol inhalasi. Tes ini
cukup sensitif untuk diagnosis asma tapi kurang spesifik karena bisa juga
disebabkan oaleh penyakit lain seperti rhinitis alergika, fibrosis kistik,
dysplasia bronkhopulmoner, dan PPOK. Jadi bila hasil negatif pada
pasien yang tidak mengkonsumsi ICS dapat mengekslusi asma akan tetapi
hasil positif tidak selalu menandakan bahwa pasien menderita asma,
sehingga anamnesis perlu diperhatikan. 1,2
4.3.3. Tes alergi
Riwayat atopi meningkatkan probabilitas pasien dengan gejala
pernapasan menderita asma alergika tetapi hal ini tidak spesifik. Riwayat
atopi dapat diperiksa dengan skin prick test dan pemeriksaan IgE serum.
Skin prick tes dengan bahan yang mudah ditemukan di lingkungan sekitara
dalah tes yang cepat, murah, dan sensitif jika dikerjakan dengan benar. 1,2

4.3.4. Ekshalasi Nitrit Oksida


Fractional concentration of exhaled nitric oxide (FENO) dapat
diperiksa di beberapa tempat. FENO dapat meningkat pada asma
eosinofilik dan pada keadaan non asma misalnya rhinitis alergi dan belum
dipastikan bermanfaat untuk diagnosis asma. FENO menurun pada
perokok dan saat terjadi bronkhokonstriksi, dan meningkat jika terjadi
infeksi pernapasan yang disebabkan oleh virus. Kadar FENO > 50 ppb
terkait dengan respons jangka waktu yang singkat terhadap ICS. Saat ini
pemeriksaan FENO belum direkomendasikan. 1,2

4.4. Penegakan Diagnosis pada Kondisi Khusus


4.4.1. Pasien hanya dengan gejala batuk
Pada kondisi ini perlu dipikirkan cough variant asthma, batuk yang
diinduksi terapi ACE inhibitor, GERD, chronic upper airway cough
syndrome, sinusitis kronik dan disfungsi pita suara. Pasien dengan cough
variant asthma memiliki gejala utama batuk kronik, jika tidak, mungkin
gejala tersebut berkaitan dengan hiperresponsivitas. Hal ini paling sering
terjadi pada anak-anak dan memberat pada malam hari dengan fungsi
paru normal. Untuk pasien ini perlu dicatat variabilitas fungsi paru.
Penyakit cough variant asthma harus dibedakan dengan bronkhitis
eosinofilik pada pasien yang batuk, pada pemeriksaan sputum didapatkan
eosinophil akan tetapi fungsi paru dan responsivitas jalan napas normal. 1,2
4.4.2. Asma terkait pekerjaan
Asma jenis ini sering kali terlewat. Asma jenis ini diinduksi dan
diperberat dengan adanya paparan alergen atau alergen sensitizer di
lingkungan kerja, kadang paparan bersifat tunggal, kadang masif. Rhinitis
okupasional biasanya amendahului asma beberapa tahun sebelum muncul
asma. Dan paparan yang berlanjut terkait dengan prognosis yang lebih
buruk. 1,2

Asma dengan onset usia dewasa memerlukan anamnesis yang cermat


pada riwayat pekerjaan, paparan alergen, termasuk hobi. Perlu ditanyakan
apakah keluhan membaik jika pasien tidak saat bekerja. Pertanyaan
tersebut penting dan mengarahkan kepada anjuran agar pasien mengganti
tempat kerja atau pekerjaannya, yang tentunya akan berpengaruh pada
aspek sosioekonomis pasien. 1,2

4.4.3. Atlet
Diagnosis pada atlet harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan fungsi
paru, biasanya denngan uji provokasi bronkhus. Kondisi yang mirip
dengan asma, misalnya rhinitis, penyakit laring, gamgguan pernapasan,
gangguan jantung dan over-training harus disingkirkan. 1,2
4.4.4. Wanita hamil
Wanita hamil atau wanita yang merencanakan hamil harus ditanya
mengenai riwayat asma dan diberikan edukasi tentang asma. Jika
pemeriksaan yang objektif perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis,
tidak dianjurkan untuk melakukan uji provokasi bronkhus atau untuk
menurunkan terapi controller sampai selesai persalinan. 1,2
4.4.5. Usia lanjut
Asma seringkali tidak terdiagnosis pada orang tua karena persepsi
orang tua terhadap keterbatasan jalan napas yang berkurang, anggapan
bahwa sesak adalah hal yang wajar, jarang olahraga dan kurangnya
aktifitas. Keberadaan penyakit penyerta juga turut mempersulit diagnosis.
Keluhan mengi, sesak napas, dan batuk yang memberat dengan olahraga
atau memberat saat malam hari juga bisa disebabkan oleh adanya penyakit
jantung atau kegagalan ventrikel kiri. Anamnesis dan pemeriksaan fisis
yang cermat, ditambah dengan pemeriksaan EKG dan foto toraks dapat
membantu diagnosis. Pemeriksaan brain natriuretic polypeptide (BNP)
dan pemeriksaan jantung dengan ekokardiogram juga dapat membantu.
Pada orang tua yang mempunyai riwayat merokok atau paparan bahan
bakar fosil, PPOK dan Asthma-COPD overlap syndrome (ACOS) perlu
disingkirkan. 1,2

4.4.6. Perokok dan bekas perokok


Asma dan PPOK sangat sulit untuk dibedakan, terutama pada orang
yang berusia tua, pada perokok atau bekas perokok, dan keduanya dapat
saling tumpang tindih (Asthma-COPD overlap syndrome (ACOS)). The
Global Strategy for Diagnosis, Management and prevention of COPD
(GOLD) mendefinisikan PPOK berdasarkan gejala respiratorik kronik,
paparan terhadap faktor risiko seperti merokok, dan FEV1/FVC pasca
bronkhodilator kurang dari 0,7. Reversibilitas bronkhodilator (> 12% dan
> 200 ml) dapat ditemukan pada PPOK. Kapasitas difusi yang rendah
biasanya ditemukan pada asma. Riwayat penyakit dan pola gejala di masa
lalu bisa membantu diagnosis. Ketidakpastian diagnosis membuat pasien
dengan kondisi ini perlu dirujuk karena terkait dengan prognosis yang
lebih buruk. 1,2

4.4.7. Pasien yang pernah menjalani terapi controller


Jika diagnosis asma belum ditegakkan maka konfirmasi diagnosis
perlu dilakukan. Sekitar 25-35% pasien dengan diagnosis asma di fasilitas
kesehatan tingkat I tidak bisa terkonfirmasi dengan diagnosis asma.
Konfirmasi diagnosis asma tergantung pada gejala dan fungsi paru. Pada
beberapa pasien, bisa disertakan percobaan untuk menurunkan dan
menaikkan dosis controller. Jika diagnosis tetap tidak bisa ditegakkan,
maka perlu dilakukan rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi. 1,2

4.4.8. Pasien obesitas


Asma lebih sering ditemukan pada pasien dengan obesitas, gejala yang
terkait dengan obesitas dapat menyerupai asma. Pada pasien obes dengan
adanya dyspnea saat aktivitas, perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan
objektif untuk menemukan adanya sumbatan jalan napas. 1,2

4.4.9. Kondisi sumber daya kurang


Pada kondisi sumber daya kurang, perlu dipertajam lagi proses
penggalian gejala. Perlu ditanyakan durasi gejala, demam, batuk,
menggigil, penurunan berat badan, nyeri saat bernapas dan infeksi parasit
atau jamur. Variabilitas jalan napas dapat dikonfirmasi dengan PEF meter
dan perlu diperiksa sebelum diberikan terapi SABA atau ICS atau bisa
dilakukan bersamaan dengan pemberian 1 minggu kortikosteroid oral. 1,2

Penilaian asma
Penilaian asma seharusnya menilai juga pengendalian asma
(pengendalian gejala dan risiko efek samping di kemudian hari), masalh
terapi, terutama dalam hal tekhnik penggunaan inhaler dan kepatuhan,
serta komorbid yang dapat berkontribusi terhadap keparahan gejala dan
kualitas hidup yang buruk. 1,2

Tabel 5.1. Penilaian Kendali Asma dan Risiko Prognosis Buruk Asma.1
A.Kontrol Gejala Asma Level kontrol gejala asma
Apakah dalam 4 minggu Terkontrol Terkontrol Tidak
terakhir pasien memiliki : penuh sebagian terkontrol

Gejala asma 
harian ˃2x 
dalam 1
minggu
Terbangun  Ya
di malam Tidak Terdapat Terdapat
 Tidak
hari karena terdapat 1-2 kriteria 3-4 kriteria
asma satupun
kriteria
Penggunaan  Ya
obat pelega  Tidak
untuk
mengatasi
gejala ˃ 2x
dalam
1
minggu
Keterbatasan  Ya
aktifitas
 Tidak

fisik karena
asma

B. Risiko untuk Prognosis Buruk


Nilai faktor risiko saat menegakkan diagnosis dan secara berkala
Pengukuran FEV1 pada saat mulai penggunaan obat , setelah 3-6 bulan,
kemudian secara berkala untuk menilai faktor risiko yang dimiliki pasien
Faktor risiko munculnya eksaserbasi :

 Gejala asma yang tidak terkontrol


 Penggunaan SABA dosis tinggi (mortalitas
meningkat bila ˃ 1x200 dosis
kanister/bulan)

 ICS tidak adekuat: tidak ada ICS, kepatuhan Bila terdapat 1


atau lebih faktor
yang kurang, tekhnik inhalasi yang salah
risiko maka risiko
 FEV1 rendah, terutama jika˂ 60% prediksi eksaserbasi akan
meningkat
 Masalah psikologi dan sosioekonomi walaupun gejala
 Paparan : merokok, allergen asma terkontrol

 Terdapat komorbid : obesitas, rhinosinusitis,


alergi makanan

 Eosinofilia dalam sputum atau darah


 Kehamilan
Faktor risiko lainnya :

 Pernah diintubasi atau dirawat di ICU

 ≥ 1 eksaserbasi yang berat dalam 12 bulan


terakhir
Faktor risiko terjadinya keterbatasan aliran udara yang menetap
• Terapi ICS yang tidak memadai
• Paparan : tembakau, zat kimia berbahaya, paparan terkait
pekerjaan

 PEV1 awal yang rendah, hipersekresi mucus kronik, eosinophil


dalam sputum atau darah

Faktor risiko efek samping obat


• Sistemik : penggunaan OCS yang sering, jangka panjang, ICS dosis
tinggi dan / atau poten, menggunakan inhibitor P450
• Lokal : ICS dosis tinggi dan / atau poten, tekhnik inhalasi yang
tidak tepat
V. TATALAKSANA
Tujuan jangka panjang tata laksana asma adalah mengontrol
timbulnya gejala dan mengurangi risiko berulangnya serangan. Hal ini
akan mengurangi beban pada pasien, mencegah kerusakan saluran napas,
dan mengurangi efek samping pengobatan. Pengobatan pada pasien asma
sangat bersifat individual dan diperlukan kerjasama yang baik antara
dokter dan pasien. 1,2

Mengobati asma dengan mengontrol timbulnya gejala dan


mengurangi risiko berulangnya serangan meliputi : 1,2
• Pengobatan. Setiap pasien asma harus mempunyai obat pereda
serangan (reliever medication), dan pada sebagian besar pasien dewasa
dan remaja harus mempunyai obat kontroler (controller medication)
untuk mengontrol timbulnya serangan.
• Mengendalikan faktor risiko yang dapat dimodifikasi
• Terapi non farmakologis
Setiap pasien asma harus mempunyai keterampilan dan dapat
mengelola sendiri penyakitnya, yang meliputi :
• Informasi mengenai penyakit asma
• Ketrampilan menggunakan inhaler
• Kepatuhan
• Membuat rencana pengendalian asma
• Monitoring
• Kontrol rutin
Tatalaksana asma merupakan suatu siklus yang kontinu yang terdiri dari
penilaian, penyesuaian terapi, dan melihat respons pasien seperti yang
tergambar di bawah ini : 1

1. Controller

Merupakan obat yang digunakan untuk mengontrol munculnya gejala


asma secara regular. Obat ini menurunkan inflamasi jalan napas,
mengendalikan gejala, menurunkan risiko eksaserbasi, dan mencegah
penurunan fungsi paru

2. Reliever (rescue) medication

Merupakan obat yang digunakan untuk meredakan gejala pada saat


serangan asma, misalnya saat perburukan atau eksaserbasi, atau saat
terjadinya bronkhokontriksi pada saat berolahraga
3. Add-on therapy
Digunakan pada pasien dengan asma berat , mulai dipertimbangkan jika
pasien mengalami gejala asma persisten dan eksaserbasi yang terus
menerus walaupun sudah diberikan terapi secara optimal.

Terapi pemeliharaan asma harian harus dimulai secepat mungkin


setelah diagnosis asma ditegakkan untuk mendapatkan hasil yang lebih
baik, berdasarkan bukti klinis sebagai berikut : 1,2

1. Pemberian ICS dosis rendah dini pada pasien asma akan meningkatkan
fungsi paru lebih baik dibandingkan jika pemberiannya dilakukan setelah
muncul gejala selama 2-4 tahun. Jika telah berlangsung dalam waktu
tersebut maka dibutuhkan dosis ICS yang lebih tinggi sedangnkan fungsi
paru sudah sangat menurun.
2. Pasien yang tidak menggunakan ICS dan mengalami eksaserbasi akan
mengalami penurunan fungsi paru yang lebih hebat dari pada pasien yang
telah mulai menggunakan ICS
3. Pada pasien dengan asma akibat pekerjaan, penghindaran dari alergen
iritan dan terapi dini dapat meningkatkan kemungkinan untuk sembuh.
rhinokonjungtivitis alergi. Terdapat dua pendekatan utama yaitu :
subcutaneous immunotherapy (SCIT) dan sublingual immunotherapy
(SLIT). Studi saat ini banyak dilakukan pada asma ringan.
Pada pasien dengan sensitisasi alergi, SCIT terkait dengan
penurunan gejala dan kebutuhan pengobatan, serta penurunan
responsivitas terhadap alergen. Tetapi efek samping SCIT ini adalah
reaksi anafilaksis yang dapat mengancam nyawa. Sedangkan SLIT
sangat bermanfaat untuk dewasa dan anak-anak. Suatu studi tentang
SLIT pada tungau debu rumah pasien dengan rhinitis dan asma
menunjukkan penurunan secara bermakna penggunaaan ICS. Efek
samping SLIT adalah gejala oral dan gastrointestinal ringan
2. Vaksinasi
Influenza berkontribusi terhadap terjadinya eksaserbasi akut asma.
Pasien dengan asma derajat sedang dan berat disarankan untuk
mendapatkan vaksinasi influenza setiap tahun. Akan tetapi vaksin ini
tidak dapat menurunkan frekuensi atau keparahan serangan asma.
3. Termoplasti bronkhial
Terapi ini menjadi terapi potensial pada pasien dewasa dengan asma
yang tidak terkontrol walaupun sudah diberikan regimen terapi yang
optimal. Terapi ini dilakukan dengan tiga bronkhoskopi terpisah dengan
gelombang radiofrekunsi lokal. Pada pemantauan jangka panjang akan
terjadi penurunan jumlah serangan, tetapi butuk penelitian lebih lanjut
untuk merekomendasikan metoda ini.
4. Vitamin D
Beberapa studi cross-sectional telah memperlihatkan bahwa kadar
serum vitamin D yang rendah terkait dengan penurunan fungsi paru,
peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan penurunan respons
kortikosteroid. Sampai saat ini suplementasi vitamin D belum bisa
dikaitkan dengan peningkatan kontrol asma dan penurunan eksaserbasi.
Indikasi merujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lanjut bila :
• Kesulitan untuk menegakkan diagnosis asma
• Curiga asam okupasional
• Asma persisten tidak terkontrol dan eksaserbasi frekuen
• Adanya faktor risiko asma yang mengancam nyawa
• Adanya bukti risiko dan efek samping terapi
• Gejala yang menunjukkan kompilkasi dari subtype asma
• Ragu tentang diagnosis asma
• Gejala eksaserbasi tidak terkontrol walaupun dengan ICS dosis
sedang dengan tekhnik yang benar dan kepatuhan yang cukup

• Curiga efek samping terapi


• Asma yang disertai dengan alergi makanan
Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam tatalaksana asma
eksaserbasi akut : 1,2

1. Eksaserbasi adalah perburukan akut atau subakut dalam hal gejala dan
fungsi paru dari keadaan pasien yang biasanya dan dalam beberapa kasus
dibandingkan dengan gejala klinis pertama dari serangan asma. Istilah
“episode”,” serangan” atau “asma berat akut” sering digunakan, tetapi
pengertiannya berbeda.
2. Pasien dengan peningkatan risiko kematian terkait asama seharusnya
dapat dikenali dan diperhatikan lebih serius. Berikut adalah ciri-ciri
pasien dengan risiko kematian akibat asma :
• Pernah mengalami asma berat yang hamper fatal dan
membutuhkan intubasi serta ventilasi
• Pernah dirawat inap atau perawatan IGD akibat asma dalam
kurun waktu 12 bulan terakhir
• Sedang tidak menggunakan ICS, kepatuhan rendah dengan ICS
 Saat ini menggunakan atau baru saja menghentikan
kortikosteroid oral
• Penggunaan SABA yang berlebihan , terutama
jika
menggunakan lebih dari 1 kanister per bulan 
Kurangnya rencana penanganan asma yang dibuat
• Pernah mengalami penyakit psikiatrik atau masalah psikososial
• Pasien asma dengan alergi makanan
3. Tatalaksana perburukan dan eksaserbasi asma adalah bagian dari
tatalaksana mandiri dan berkelanjutan dari pasien dengan sebuah rencana
tertulis melalui tatalaksana dari gejala yanag lebih berat di fasilitas
kesehatan tingkat pertama, IGD, dan di rumah sakit

4. Semua pasien seharusnya diberikan tatalaksana tertulis sesuai dengan


derajat asma sehingga dapat memudahkan mengenali dan menangani
asma.
• Rencana tatalaksana seharusnya termasuk kapan dan bagaimana
mengganti obat controller dan reliever, penggunaan kortikosteroid oral,
dan akses ke perawatan medis jika gejala tidak berespons dengan terapi. 
Pasien yang mengalami perburukan cepat seharusnya diarahkan untuk
berobat segera ke dokter.
• Rencana tatalaksana dapat berdasar pada perubahan gejala atau PEF
pada dewasa.
5. Pada pasien dengan gejala eksaserbasi akut pada fasilitas kesehatan
tingkat pertama, berikut aadalah tatalaksananya :
• Penilaian tingkat keparahan eksaserbasi seharusnya berdasarkan pada
derajat sesak napas, laju pernapasan, denyut nadi, saturasi oksigen, dan
fungsi paru, sambil memulai terapi short acting beta 2 agonist (SABA)
dan terapi oksigen.
• Pemindahan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan akut jika ditemui
adanya tanda-tanda eksaserbasi, atau ke ICU jika terdapat penurunan
kesadaran atau silent chest. Saat pemindahan pasien, inhalasi SABA,
ipratropium bromide, terapi oksigen terkendali, dan kortikosteroid
sistemik dapat diberikan jika diperlukan.
• Terapi seharusnya dimulai dengan pemberian SABA berulang (dengan
MDI atau spacer), atau pemberian dini kortikosteroid oral, dan
pemberian oksigen terkendali jika tersedia. Penilaian ulang respons
gejala terhadap terapi, saturasi oksigen, dan fungsi paru harus
dilakukan tiap 1 jam.
• Ipratropium bromide direkomendasikan hanya jika terdapat
eksaserbasi berat.
• Pemberian MgSO4 intravena seharusnya dipertimbangkan pada pasien
dengan eksaserbasi berat yang tidak berespons terhadap terapi awal.
• Foto thoraks tidak direkomendasikan secara rutin.
• Keputusan tentang perawatan di rumah sakit seharusnya berdasarkan
atas status klinis, fungsi paru, respons terhadap terapi, riwayat
eksaserbasi, dan kemampuan untuk mengendalikan asma di rumah.
• Sebelum pasien dipulangkan, harus direncanakan tatalaksana
selanjutnya, termasuk memulai terapi controller atau menaikkan dosis
terapi controller untuk 2-4 minggu, dan penurunan reliever sesuai
indikasi.
Gambar 6.3. Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama. Dikutip dari GINA 2017.1
Gambar 6.4. Tatalaksana Asma eksaserbasi Akut di Instalasi Gawat Darurat. Dikutip
dari GINA 20171

6. Rencanakan pemantauan segera setiap eksaserbasi meliputi :


• Penilaian ulang pengendalian gejala, faktor risiko untuk eksaserbasi
selanjutnya
• Berikan terapi controller regular untuk menurunkan risiko eksaserbasi
lebih lanjut. Lanjutkan peningkatan dosis controller untuk 2-4
minggu.
• Memantau tekhnik inhalasi dan kepatuhan pasien.

VI. KOMPLIKASI

Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah : 4


1. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura
yang dicurigai bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini
dapat menyebabkan kolaps paru yang lebih lanjut lagi dapat
menyebabkan kegagalan napas.
2. Pneumomediastinum
Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga dikenal
sebagai emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara
hadir di mediastinum. Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene
Laennec, kondisi ini dapat disebabkan oleh trauma fisik atau situasi
lain yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru, saluran udara atau
usus ke dalam rongga dada .
3. Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat
pernafasan yang sangat dangkal.
4. Aspergilosis

Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh


jamur dan tersifat oleh adanya gangguan pernapasan yang berat.
Penyakit ini juga dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lainnya,
misalnya pada otak dan mata. Istilah Aspergilosis dipakai untuk
menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp.
5. Gagal napas
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap
karbodioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi
oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam sel-sel tubuh.
6. Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan
bagian dalam dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil
(bronkhiolis) mengalami bengkak. Selain bengkak juga terjadi
peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita merasa perlu
batuk berulang-ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang
berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena sebagian saluran udara
menjadi sempit oleh adanya lendir

VII. RUJUKAN
Pasien yang sejak awal masuk ke IGD sudah menunjukkan tanda ancaman
henti napas langsung dirujuk dan di rawat di ruang rawat intensif (ICU).
Kriteria pasien yang memerlukan perawatan ICU adalah sebagai berikut:
3,4

• Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di


IGD dan/atau perburukan serangan asma yang cepat.
• Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman
henti napas, atau hilangnya kesadaran.
• Tidak adanya perbaikan dengan tatalaksana baku di ruang
rawat inap.
• Ancaman henti napas, hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah
diberi oksigen (kadar PO2 < 60% mmHg dan/atau PaCO2 > 45
mmHg, walaupun tentu saja gagal napas dapat terjadi pada
kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau lebih rendah).

Pasien dengan serangan berat yang terindikasi menggunakan ventilasi


mekanis dan harus dirujuk ke ICU adalah sebagai berikut :
- Pulsus paradoksus yang cepat meningkat
- Penurunan pulsus paradoksus pada pasien yang kelelahan (exhausted)
- Perburukan status mental (letargi/agitasi)
- Aritmia jantung atau henti jantung
- Henti napas
- Tidak bisa bicara
VIII. ALGORITMA PENATALAKSANAAN

ALGORITMA TATA LAKSANA ASMA MANDIRI DI RUMAH 1,2

Klinis:
*Gejala (Batuk, sesak, mengi, dada terasa berat) yang bertambah

Tata laksana awal :


Inhalasi agonis B-2 kerja singkat (sabutamol inhaler), setiap 20
menit, selama 1 jam

Respon baik: Respon buruk:


*Gejala (Batuk, sesak, mengi, dada yang *Gejala menetap atau bertambah buruk
terasa berat) berkurang
*Nilai APE < 60” nilai ediksi
*Perbaikan dengan inhalasi agonis B-2 -Tambahkan kortikodteroid oral
kerja singkat dan bertahan selama 4 jam -Intalasi agonis B-2 Kerja singkat akan
diulang
*Lanjutkan inhalasi agonis B-2 kerja singkat
setiap 3-4 jam selama 1-2 hari
SEGERA KE FASILITAS
*Pemberian inhalasi steroid dosis tinggi(bila KESEMPATAN
sedang menggunakan inhalasi steroid)
selama 2 minggu kemudian kembali ke
dosisi sebelumnya

HUBUNGI DOKTER UNTUK


INSTRUKSI SELANJUTNYA
Serangan asma

Serangan asma Serangan asma Serangan asma mengancam


ringan sedang/berat nyawa

Pengobatan awal

-oksigenasi dengan kanul

-inhalasiagoni beta-2 kerja singkat nebulasi setiap 20 menit dalam satu jam atau agonis beta -2 injeksi
(terbutalin 0,5 ml subkutan atau adrenalin 0,3ml subkutan )

Respon baik Respon buruk dalam 1 jam


Respon tidak sempurna
-stabil dalam 60 menit - Resiko tinggi distres
-resiko tinggi distres
-Pem.fisik normal - Pem. Fisik gelisah dan
-pem.fisik gejalah ringan sampai
sedang kesadaran menurun
-APE>70%

- saturasi O2>90% (95% pada anak -APE>50% - APE<30%

- saturasi O2 tidak perbaikan - PaCO2 > 45 mmHg

- PaO2 < 60mmHg

Dirawat di RS
Dirawat di ICU
- Inhalasi agonis beta-2
kolinergik - Inhalasi agonis beta-2
antikolinergik
- Kortikosteroid sistemik
- Kortikosteroid IV
- Aminofilin drip
- Terapi oksigen
- Terapi oksigen menggunakan masker
venturi
- Pantauan APE
- Aminofiin drip

Tidak perbaikan
Perbaikan
IX. DO & DON’T
Hal-hal yang harus dilakukan pada penderita asma :
- Pemberian edukasi pada pasien dan keluarga tentang asma
- Penilaian dan pemantauan derajat asma
- Identifikasi dan penghindaran terhadap faktor risiko / faktor
pencetus

Mandikan binatang peliharaan 2 x/ minggu


Ganti furniture berlapis kain dengan berlapis kulit
Ganti karpet dengan tikar atau lantai kayu
Gunakan pembersih vakum dengan filter HEPA dan
kantung debu 2 rangkap

Eliminasi lingkungan yang disukai kecoa seperti tempat


Kecoa lembab, sisa makanan, sampah terbuka dll
Gunakan pembasmi kecoa

Jamur

Tepung sari Bila di sekitar ruangan banyak tanaman berbunga dan


bunga dan merupakan pajanan tepung sari bunga, tutup jendela
rapat-rapat, gunakan air conditioning. Hindari pajanan
jamur di luar tepung sari bunga sedapat mungkin.
ruangan
Tabel 10.2. Mengontrol polusi udara di dalam dan di luar ruangan.1

Faktor Pencetus Asma Kontrol Lingkungan


Polusi udara dalam ruangan Tidak merokok di dalam rumah
Asap rokok (perokok pasif) Hindari berdekatan dengan orang yang
Asap kayu/ masak sedang merokok
Spray pembersih rumah Upayakan ventilasi rumah adekuat
Obat nyamuk Hindari memasak dengan kayu
Dll Hindari menggunakan spray pembersih
rumah
Hindari menggunakan obat nyamuk yang
menimbulkan asap atau spray dan
mengandung bahan polutan

Polusi udara di luar`ruangan


Asap rokok
Cuaca
Ozon
Gas buang kendaraan
bermotor
Dll
Pajanan di lingkungan kerja Hindari bahan polutan
Ruang kerja dengan ventilasi yang baik
Lindungi pernapasan misalnya dengan
masker
Bebaskan lingkungan dari asap rokok

Tabel 10.3. Mengontrol faktor pencetus lain.1

Faktor Pencetus Mengontrol Pencetus


Asma

Refluks Tidak makan dalam 3 jam sebelum tidur.


gastroesofagus Pada saat tidur, posisi kepala lebih tinggi dari badan.
Gunakan pengobatan yang tepat untuk meningkatkan
tekanan esofagus bawah dan mengatasi refluks

Obat-obatan

Infeksi Menghindari infeksi pernapasan sedapat mungkin


pernapasan dengan hidup sehat, bila terjadi minta bantuan medis/
(virus) dokter.
Vaksinasi influenza setiap tahun

Hal-hal yang harus dihindari penderita asma : 1,2,3


- Paparan terhadap alergen
- Menggunakan obat penghilang rasa nyeri yang berlebihan dan
tanpa resep dokter
- Olahraga terlalu berat atau terlalu lama
- Cuaca yang ekstrim
- Menghindari kebiasaan merokok

DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma and prevention
Updated 2017. Diunduh dari
file:///C:/Users/LenE440/Documents/wmsGINA-2017-main-reportfinal_V2.pdf.
Diakses tanggal 14 April 2017.
2. Global Initiative for Asthma, 2017. Pocket guide for asthma management and
prevention Updated 2017. Diunduh dari
file:///C:/Users/LenE440/Documents/wms-Main-pocket-guide_2017.pdf.
Diakses tanggal 14 April 2017.
3. Makmuri MS. Patofisiologi asma. Dalam: Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto
BD, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. Cetakan pertama. Jakarta.
Badan Penerbit IDAI, 2008.h.98-104.
4. Sundaru H, Sukamto. Asma bronkial. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, penyunting. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I, Edisi VI. Jakarta. Internal Publishing, 2014.h.478-88.
5. Sohn SW. Evaluation of cytokine mRNA in induced sputum from patients
with allergic rhinitis : relationship to airway hyperresponsivenes. Allergy
2008; 63: 268-73.
6. Alfven T. Allergic diseases and atopic sensitization in children related to
farming and anthroposophilic lifestyle the PARSIPAL Study. Allergy 2006;
61: 414-21.

Anda mungkin juga menyukai