ASMA BRONKIAL
Oleh:
dr. Fristia Rahmadyah
Pendamping:
dr. Eko Roza Mardian
Wahana:
RSUD PARIAMAN
Daftar Pustaka:
1. Anwar, T. Bahri. Penyakit jantung koroner dan hypertensi. Medan: USU; 2004.
3. World Health Organization. Deaths from coronary heart disease. Cited 2014 Feb Available
from URL : http://www.who.int/cardiovasculardiseases/ cvd_14_deathHD.pdf
4. Rahman AM. Angina Pektoris Stabil. Dalam : Sudoyo AW, Setiuohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. (Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV.
Penerbit FK UI,2006. Jakarta: p.1611.
5. Trisnohadi, Hanafi B. 2006. Angina Pectoris Tak Stabil dalam Aru W.S, Bambang S, Idrus
A, Marcelius S.K, Siti S.S (Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi
IV.Penerbit FK UI 2006. Jakarta. P.1606-8.
Hasil Pembelajaran
1. Diagnosis asma bronkial
2. Tatalaksanana awal pasien asma bronkial
3. Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai faktor risiko penyebab kambuhnya asma bronkial
serta pecegahannya
1. Subjektif :
- Sesak nafas yang semakin memberat sejak 6 jam yang lalu berbunyi menciut,
sesak nafas tidak dipengaruhi aktivitas.
- Batuk sejak 3 hari yang lalu, dahak (+) berwarna putih sulit dikeluarkan, darah
(-).
- demam (+) sejak 3 hari yang lalu, tidak tinggi, idak disertai keringat malam dan
menggigil,
- sakit kepala (-),mual muntah (-)
- nafsu makan menurun (+)
- Riwayat sesak nafas seperti ini sebelumnya (+), tidak ada mengkonsumsi obat
pengendali sesak nafas. Serangan terakhir 1 bulan yang lalu.
- Riwayat terbangun di malam hari karena sesak nafas ada.
- BAB dan BAK biasa
- Riwayat ayah pasien menderita keluhan yag sama (+)
2. Objektif :
Status Generalis:
Status Internus:
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor ϕ 2 mm = 2 mm,
refleks cahaya +/+ normal
Jantung
Inspeksi : iktus tidak terlihat
Palpasi : iktus teraba 1 jari lateral LMCS RIC V
Perkusi : batas jantung kiri 1 jari lateral LMCS RIC V,
o batas jantung kanan LSD, batas atas RIC II
Auskultasi : bunyi jantung murni, irama teratur, HR 98 x/menit, gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : tidak tampak membuncit
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan
3. Assessment :
Telah dilaporkan suatu kasus seorang pasien peremuan berusia 19 tahun dengan
diagnosis kerja Asma Bronkial serangan sedang terkontrol sebagian. Dasar diagnosis
didapatkan dari anamnesis dirasakan sesak nafas semakin meningkat sejak 6 jam yang
lalu, sesak nafas tidak dipengaruhi aktifitas yang dilakukan pasien. Sesak nafas diketahu
terakhir kali dirasakan pasien sebelum serangan saat ini adalah satu bulan yang lalu.
Riwayat terbangun di malam hari karena serangan sesak ada. Pasien juga tidak didapati
mengkonsumsi obat-obatan untuk menanggulangi sesak nafasnya. Batuk berdahak sejak
3 hari yang lalu dimana dahak berwarna putih dan sulit untuk dikeluarkan, tidak disertai
batuk darah. Anamnesis lain yang didapatkan adalah demam yang terus menurus
dirasakan pasien sejak 3bhari yang lalu, dimana demam tidak terlalu tinggi disertai
keluhan nafsu makan yang menurun. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah
pasien saat masuk 120/80 mmHg, frekuensi nafas 32 kali permenit, frekuensi nadi 106
kali perment, faring hiperemis, dan ditemukan wheezing serta ekspirasi memanjang dari
kedua lapangan paru.
Tujuan utama pengobatan asma bronkial adalah diagnosis cepat, menghilangkan
manifestasi eksaserbasi akut, serta mengontrol manifestasi klinis dari penyakit untuk
waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien dapat
melakukan aktivitas sehari-hari tanpa hambatan. Pada pasien ini duberikan terapi awal
suplementasi oksigen 3L/menit serta nebulizer Combivent 3 kali. Selanjutnya pasien
dianjurkan untuk control ke Poliklinik Paru untuk tatalakasana lanjut terapi kontroler
penyakit asma bronkial.
4. Plan :
Diagnosis : Asma Bronkial Serangan Sedang Terkontrol Sebagian
Penatalaksanaan ;
- O2 3L/menit
- Bedrest posisi ½ duduk
- Nebulizer Combivent 3x1 respul
- Salbutamol 3x4 mg
- N-acesystein 3x200 mg
- Methylprednisolone 3x4 mg
- Cefadroxil 2x500 mg
- Konsul ke Poliklinik Paru
Edukasi
- Pasien diberi edukasi mengenai penyakit ini bahwa asma bronkial merupakan
penyakit terkait imunitas tubuh dan dipengaruhi factor genetik yang bisa
dikontrol dengan cara menghindari faktor pencetus. Pada pasien ini belum
ditemukan faktor pencetus spesifik, namun kondisi pasien yang menderita ISPA
saat ini dianggap sebagai faktor yang berpengaruh. Oleh karena itu pasien
diedukasi untuk lebih menjaga kesehatannya dengan istirahat yang cukup,
konsumsi air putih minimal 2 L/hari, dan makan makanan yang bergizi.
- Menjelaskan pada kondisi saat ini penting bagi pasien untuk mendapatkan obat
kontroler selain reliever, sehingga pasien dianjurkan untuk konsultasi ke
Poliklinik Paru.
2. TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Asma merupakan penyakit yang heterogen yang ditandai dengan
inflamasi kronik saluran napas. Asma ditandai dengan riwayat gejala
saluran pernapasan seperti wheezing (mengi), sesak napas, dada terasa
berat, dan batuk yang bervariasi diantara waktu dan intensitas dan disertai
dengan hambatan jalan napas ekspirasi yang bervariasi. Variasi yang
terjadi disebabkan oleh beberapa faktor seperti olahraga, paparan alergen
atau iritan, perubahan cuaca, atau infeksi virus pada saluran napas.1
Gejala terbatasnya jalan napas dapat sembuh spontan atau dengan
pengobatan dan dapat menghilang selama beberapa minggu atau beberapa
bulan. Di sisi lain pasien juga dapat mengalami beberapa periode
serangan (eksaserbasi) asma yang dapat mengancam jiwa dan memberikan
beban yang signifikan bagi pasien dan keluarga. Asma biasanya dikaitkan
dengan hiporesponsivitas jalan napas karena stimulus langsung dan tidak
langsung, dan dengan inflamasi jalan napas kronik. Karakteristik tersebut
biasanya selalu ada, walaupun tidak ada gejala dan fungsi paru normal,
dan akan membaik dengan terapi.1,2
II. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
Faktor genetik memegang peranan penting dalam etiologi asma. Asma
merupakan complex genetic disorder dan dipengaruhi oleh banyak gen
sehingga tidak mengikuti pola pewarisan Mendel. 1
Faktor-faktor yang dapat memicu atau memperburuk gejala asma
meliputi infeksi virus, alergen rumah tangga seperti tungau debu rumah,
serbuk sari bunga, kecoa, asap tembakau, olahraga dan stres. Respons ini
lebih sering terjadi bila asma tidak terkontrol. Beberapa obat juga dapat
memicu asma seperti beta bloker, aspirin atau NSAID lainnya. Berikut
adalah faktor risiko asma yang dapat dimodifikasi: 1,2,3
III. PATOFISIOLOGI
1. Hygiene Hypothesis
Hubungan antara awal kehidupan dan perkembangan alergi sudah
banyak diteliti. Strachan merupakan orang yang pertama kali
mengemukakan teori hygiene hypothesis. Teori tersebut mengatakan
bahwa infeksi dan kontak dengan lingkungan yang tidak higienis dapat
melindungi perkembangan alergi. Hipotesis tersebut berdasarkan bahwa
sistem imun pada bayi didominasi oleh sitokin T helper (Th2) dan setelah
lahir pengaruh lingkungan akan mengaktifkan respons Th1 sehingga akan
terjadi keseimbangan Th1/Th2. Beberapa bukti menunjukkan bahwa
insidens asma menurun akibat infeksi tertentu (M tuberkulosis, campak,
atau hepatitis A) dan penurunan penggunaan antibiotika. Ketiadaan
kejadian tersebut menyebabkan keberadaaan Th2 menetap sehingga
keseimbangan akan bergeser ke arah Th2, merangsang produksi antibodi
Ig E untuk melawan antigen lingkungan seperti debu rumah dan bulu
kucing.5,6
Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain. Produksi Ig
E pada penderita atopi meningkat sehingga mempengaruhi keseimbangan
Th2 dan Th1. Perkembangan sekresi Th2 memerlukan IL4. Sitokin ini
dihasilkan oleh plasenta untuk mencegah penolakan imunologis janin.
Menetapnya Th2 plasenta berhubungan dengan perubahan nutrisi sehingga
tidak terbentuk Th1, ini merupakan faktor utama peningkatan prevalensi
penyakit alergi dalam 30-40 tahun terakhir. Faktor lain adalah turunnya
infeksi berat pada bayi dan interaksi antara alergen dan polusi udara yang
cenderung untuk terjadi sensitisasi. Infeksi akan menyebabkan
peningkatan respons Th1 dan akan menurunkan kecenderungan
perkembangan penyakit yang berhubungan dengan Th2. Sel Th2 akan
meningkatkan sintesis IL-4 dan IL-13 yang pada akhirnya akan menaikkan
produksi IgE. Sedangkan sel Th1 yang menghasilkan interferon gamma
(IFNγ) akan menghambat sel B untuk menghasilkan Ig
E.3,4
Sel efektor imun utama yang bertanggung jawab terhadap reaksi alergi
adalah mast sel, limfosit T dan eosinophil. Setelah seseorang mengalami
sensitisasi, Ig E disintesis dan kemudian melekat ke target sel. Pajanan
alergen menyebabkan reaksi yang akan melibatkan sel-sel tersebut di atas.
Sitokin atau kemokin yang berperan dalam perkembangan , recruitment
dan aktivasi eosinophil adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-13,
granulocytemacrophage colony stimulating factor (GM-CSF), kemotaksin
dan regulation on activation normal T cell expressed and secreted
(RANTES).3
4. Hipersekresi mukus
Produksi mukus yang berlebihan merupakan gejala utama pada
penyakit bronchitis kronis, namun gejala tersebut juga merupakan salah
satu karakteristik pasien asma yang tidak pernah memiliki riwayat
merokok ataupun bekerja pada lingkungan berdebu. Hiperplasia kelenjar
submucosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada saluran napas pasien
asma dan remodeling saluran napas merupakan karakteristik asma kronis.
Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran napas hampir
selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab obstruksi
saluran napas yang persisten pada serangan asma berat yang tidak
mengalami perbaikan dengan pemberian bronkodilator.3,4
Sekresi mukus pada saluran napas pasien asma tidak hanya berupa
peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas.
Penebalan dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan
produksi musin saja tetapi juga terdapatnya penumpukan sel epitel,
pengendapan albumin yang berasal dari mikrovaskularisasi bronkial,
eosinophil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi yang lisis
Tabel 4.1. Kriteria Diagnosis Asma untuk Dewasa, Remaja, Anak 6-11
tahun.1
Diagnosa Kriteria Diagnosis
1. Riwayat gejala asma yang bervariasi
Mengi, sesak • Pasien asma mempunyai lebih dari satu
napas, dada terasa gejala
berat, batuk ini
• Gejala dapat terjadi bervariasi dalam hal
waktu dan intensitas
• Gejala biasanya lebih sering terjadi dan lebih
berat pada malam hari dan pada saat bangun
tidur
• Gejala sering dipicu olahraga, pada saat
tertawa, alergen, atau udara dingin
• Gejala sering muncul dan lebih berat bila
disertai dengan infeksi virus
Kenaikan fungsi
paru setelah terapi
anti inflamasi
selama 4 minggu
Uji exercise Dewasa: tidak mencapai FEV1˃ 10% dan 200 ml
challenge Anak : tidak mencapai variasi FEV1 > 12%
nilai prediksi/PFE > 15%
Penurunan FEV1 dapat juga ditemukan pada penyakit paru lain, atau
penggunaan spirometri yang tidak tepat, akan tetapi penurunan rasio
FEV1/FVC manandakan adanya hambatan aliran jalan napas. Rasio
FEV1/FVC normal adalah 0,75-0,80 dan kadang 0,90 pada anak-anak, dan
nilai di bawah batas normal tersebut menandakan adanya hambatan aliran
udara.1,2
4.4.3. Atlet
Diagnosis pada atlet harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan fungsi
paru, biasanya denngan uji provokasi bronkhus. Kondisi yang mirip
dengan asma, misalnya rhinitis, penyakit laring, gamgguan pernapasan,
gangguan jantung dan over-training harus disingkirkan. 1,2
4.4.4. Wanita hamil
Wanita hamil atau wanita yang merencanakan hamil harus ditanya
mengenai riwayat asma dan diberikan edukasi tentang asma. Jika
pemeriksaan yang objektif perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis,
tidak dianjurkan untuk melakukan uji provokasi bronkhus atau untuk
menurunkan terapi controller sampai selesai persalinan. 1,2
4.4.5. Usia lanjut
Asma seringkali tidak terdiagnosis pada orang tua karena persepsi
orang tua terhadap keterbatasan jalan napas yang berkurang, anggapan
bahwa sesak adalah hal yang wajar, jarang olahraga dan kurangnya
aktifitas. Keberadaan penyakit penyerta juga turut mempersulit diagnosis.
Keluhan mengi, sesak napas, dan batuk yang memberat dengan olahraga
atau memberat saat malam hari juga bisa disebabkan oleh adanya penyakit
jantung atau kegagalan ventrikel kiri. Anamnesis dan pemeriksaan fisis
yang cermat, ditambah dengan pemeriksaan EKG dan foto toraks dapat
membantu diagnosis. Pemeriksaan brain natriuretic polypeptide (BNP)
dan pemeriksaan jantung dengan ekokardiogram juga dapat membantu.
Pada orang tua yang mempunyai riwayat merokok atau paparan bahan
bakar fosil, PPOK dan Asthma-COPD overlap syndrome (ACOS) perlu
disingkirkan. 1,2
Penilaian asma
Penilaian asma seharusnya menilai juga pengendalian asma
(pengendalian gejala dan risiko efek samping di kemudian hari), masalh
terapi, terutama dalam hal tekhnik penggunaan inhaler dan kepatuhan,
serta komorbid yang dapat berkontribusi terhadap keparahan gejala dan
kualitas hidup yang buruk. 1,2
Tabel 5.1. Penilaian Kendali Asma dan Risiko Prognosis Buruk Asma.1
A.Kontrol Gejala Asma Level kontrol gejala asma
Apakah dalam 4 minggu Terkontrol Terkontrol Tidak
terakhir pasien memiliki : penuh sebagian terkontrol
Gejala asma
harian ˃2x
dalam 1
minggu
Terbangun Ya
di malam Tidak Terdapat Terdapat
Tidak
hari karena terdapat 1-2 kriteria 3-4 kriteria
asma satupun
kriteria
Penggunaan Ya
obat pelega Tidak
untuk
mengatasi
gejala ˃ 2x
dalam
1
minggu
Keterbatasan Ya
aktifitas
Tidak
fisik karena
asma
1. Controller
1. Pemberian ICS dosis rendah dini pada pasien asma akan meningkatkan
fungsi paru lebih baik dibandingkan jika pemberiannya dilakukan setelah
muncul gejala selama 2-4 tahun. Jika telah berlangsung dalam waktu
tersebut maka dibutuhkan dosis ICS yang lebih tinggi sedangnkan fungsi
paru sudah sangat menurun.
2. Pasien yang tidak menggunakan ICS dan mengalami eksaserbasi akan
mengalami penurunan fungsi paru yang lebih hebat dari pada pasien yang
telah mulai menggunakan ICS
3. Pada pasien dengan asma akibat pekerjaan, penghindaran dari alergen
iritan dan terapi dini dapat meningkatkan kemungkinan untuk sembuh.
rhinokonjungtivitis alergi. Terdapat dua pendekatan utama yaitu :
subcutaneous immunotherapy (SCIT) dan sublingual immunotherapy
(SLIT). Studi saat ini banyak dilakukan pada asma ringan.
Pada pasien dengan sensitisasi alergi, SCIT terkait dengan
penurunan gejala dan kebutuhan pengobatan, serta penurunan
responsivitas terhadap alergen. Tetapi efek samping SCIT ini adalah
reaksi anafilaksis yang dapat mengancam nyawa. Sedangkan SLIT
sangat bermanfaat untuk dewasa dan anak-anak. Suatu studi tentang
SLIT pada tungau debu rumah pasien dengan rhinitis dan asma
menunjukkan penurunan secara bermakna penggunaaan ICS. Efek
samping SLIT adalah gejala oral dan gastrointestinal ringan
2. Vaksinasi
Influenza berkontribusi terhadap terjadinya eksaserbasi akut asma.
Pasien dengan asma derajat sedang dan berat disarankan untuk
mendapatkan vaksinasi influenza setiap tahun. Akan tetapi vaksin ini
tidak dapat menurunkan frekuensi atau keparahan serangan asma.
3. Termoplasti bronkhial
Terapi ini menjadi terapi potensial pada pasien dewasa dengan asma
yang tidak terkontrol walaupun sudah diberikan regimen terapi yang
optimal. Terapi ini dilakukan dengan tiga bronkhoskopi terpisah dengan
gelombang radiofrekunsi lokal. Pada pemantauan jangka panjang akan
terjadi penurunan jumlah serangan, tetapi butuk penelitian lebih lanjut
untuk merekomendasikan metoda ini.
4. Vitamin D
Beberapa studi cross-sectional telah memperlihatkan bahwa kadar
serum vitamin D yang rendah terkait dengan penurunan fungsi paru,
peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan penurunan respons
kortikosteroid. Sampai saat ini suplementasi vitamin D belum bisa
dikaitkan dengan peningkatan kontrol asma dan penurunan eksaserbasi.
Indikasi merujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lanjut bila :
• Kesulitan untuk menegakkan diagnosis asma
• Curiga asam okupasional
• Asma persisten tidak terkontrol dan eksaserbasi frekuen
• Adanya faktor risiko asma yang mengancam nyawa
• Adanya bukti risiko dan efek samping terapi
• Gejala yang menunjukkan kompilkasi dari subtype asma
• Ragu tentang diagnosis asma
• Gejala eksaserbasi tidak terkontrol walaupun dengan ICS dosis
sedang dengan tekhnik yang benar dan kepatuhan yang cukup
1. Eksaserbasi adalah perburukan akut atau subakut dalam hal gejala dan
fungsi paru dari keadaan pasien yang biasanya dan dalam beberapa kasus
dibandingkan dengan gejala klinis pertama dari serangan asma. Istilah
“episode”,” serangan” atau “asma berat akut” sering digunakan, tetapi
pengertiannya berbeda.
2. Pasien dengan peningkatan risiko kematian terkait asama seharusnya
dapat dikenali dan diperhatikan lebih serius. Berikut adalah ciri-ciri
pasien dengan risiko kematian akibat asma :
• Pernah mengalami asma berat yang hamper fatal dan
membutuhkan intubasi serta ventilasi
• Pernah dirawat inap atau perawatan IGD akibat asma dalam
kurun waktu 12 bulan terakhir
• Sedang tidak menggunakan ICS, kepatuhan rendah dengan ICS
Saat ini menggunakan atau baru saja menghentikan
kortikosteroid oral
• Penggunaan SABA yang berlebihan , terutama
jika
menggunakan lebih dari 1 kanister per bulan
Kurangnya rencana penanganan asma yang dibuat
• Pernah mengalami penyakit psikiatrik atau masalah psikososial
• Pasien asma dengan alergi makanan
3. Tatalaksana perburukan dan eksaserbasi asma adalah bagian dari
tatalaksana mandiri dan berkelanjutan dari pasien dengan sebuah rencana
tertulis melalui tatalaksana dari gejala yanag lebih berat di fasilitas
kesehatan tingkat pertama, IGD, dan di rumah sakit
VI. KOMPLIKASI
VII. RUJUKAN
Pasien yang sejak awal masuk ke IGD sudah menunjukkan tanda ancaman
henti napas langsung dirujuk dan di rawat di ruang rawat intensif (ICU).
Kriteria pasien yang memerlukan perawatan ICU adalah sebagai berikut:
3,4
Klinis:
*Gejala (Batuk, sesak, mengi, dada terasa berat) yang bertambah
Pengobatan awal
-inhalasiagoni beta-2 kerja singkat nebulasi setiap 20 menit dalam satu jam atau agonis beta -2 injeksi
(terbutalin 0,5 ml subkutan atau adrenalin 0,3ml subkutan )
Dirawat di RS
Dirawat di ICU
- Inhalasi agonis beta-2
kolinergik - Inhalasi agonis beta-2
antikolinergik
- Kortikosteroid sistemik
- Kortikosteroid IV
- Aminofilin drip
- Terapi oksigen
- Terapi oksigen menggunakan masker
venturi
- Pantauan APE
- Aminofiin drip
Tidak perbaikan
Perbaikan
IX. DO & DON’T
Hal-hal yang harus dilakukan pada penderita asma :
- Pemberian edukasi pada pasien dan keluarga tentang asma
- Penilaian dan pemantauan derajat asma
- Identifikasi dan penghindaran terhadap faktor risiko / faktor
pencetus
Jamur
Obat-obatan
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma and prevention
Updated 2017. Diunduh dari
file:///C:/Users/LenE440/Documents/wmsGINA-2017-main-reportfinal_V2.pdf.
Diakses tanggal 14 April 2017.
2. Global Initiative for Asthma, 2017. Pocket guide for asthma management and
prevention Updated 2017. Diunduh dari
file:///C:/Users/LenE440/Documents/wms-Main-pocket-guide_2017.pdf.
Diakses tanggal 14 April 2017.
3. Makmuri MS. Patofisiologi asma. Dalam: Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto
BD, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. Cetakan pertama. Jakarta.
Badan Penerbit IDAI, 2008.h.98-104.
4. Sundaru H, Sukamto. Asma bronkial. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, penyunting. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I, Edisi VI. Jakarta. Internal Publishing, 2014.h.478-88.
5. Sohn SW. Evaluation of cytokine mRNA in induced sputum from patients
with allergic rhinitis : relationship to airway hyperresponsivenes. Allergy
2008; 63: 268-73.
6. Alfven T. Allergic diseases and atopic sensitization in children related to
farming and anthroposophilic lifestyle the PARSIPAL Study. Allergy 2006;
61: 414-21.