Anda di halaman 1dari 32

CASE REPORT

Penatalaksanaan Anestesi Umum Pada Operasi Kranioplasti et Causa Skull


Defect

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Program Profesi Dokter


Stase Ilmu Anestesi

Pembimbing :
dr. H. Bambang Sutanto, Sp. An-KIC

Oleh :
Zella Novi Rahmaningrum, S.Ked J510170076
Yudhistira Nugraha Rachman, S.Ked J510170101

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RS PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
HALAMAN PENGESAHAN
CASE REPORT
Penatalaksanaan Anestesi Umum Pada Operasi Kranioplasti et Causa Skull
Defect

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Program Profesi Dokter


Stase Ilmu Anestesi
Oleh :
Zella Novi Rahmaningrum, S.Ked J510170076
Yudhistira Nugraha Rachman, S.Ked J510170101

Telah disetujui dan disahkan oleh Pembimbing Program Profesi Dokter


Kepanitraan Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Pada hari 2018

Pembimbing :
dr. H. Bambang Sutanto, Sp. An-KIC (..................................)

Dipresentasikan di hadapan :
dr. H. Bambang Sutanto, Sp. An-KIC (..................................)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RS PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018

i
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAB II
STATUS PASIEN .................................................................................................. 3
I. IDENTITAS PASIEN .................................................................................. 3
II. ANAMNESIS ........................................................................................... 3
III. PEMERIKSAAN FISIK .......................................................................... 4
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG ............................................................. 5
V. DIAGNOSIS ............................................................................................ 5
VI. ASSESMENT MEDIS ANESTESI DAN SEDASI................................. 5
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 8
I. Definisi Trauma Kepala ............................................................................... 8
II. Kranioplasti .............................................................................................. 8
III. Pemilihan Obat dan pertimbangan Anestesi pada Kranioplasti ............. 10
IV. Anestesi .................................................................................................. 12
V. Intubasi Nasal ......................................................................................... 20
VI. Terapi Cairan .......................................................................................... 20
VII. Pemulihan ............................................................................................... 21
BAB IV
PEMBAHASAN ................................................................................................... 24
I. PRE OPERASI........................................................................................... 24
II. DURANTE OPERASI ........................................................................... 24
III. POST OPERASI .................................................................................... 25
BAB V
PENUTUP............................................................................................................. 27
I. KESIMPULAN .......................................................................................... 27

ii
II. SARAN .................................................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 28

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Kranioplasti adalah suatu tindakan intervensi pembedahan yang bertujuan


untuk memperbaiki defek pada tulang tengkorak untuk keperluan komestik dan
perbaikan fungsi. Banyak sekali cara metode dan bahan yang ditawarkan, tetapi
belum ada konsensus yang menetapkan metode apa yang terbaik, sehingga saat ini
belum ada suatu panduan tetap dalam melakukan prosedur kranioplasti. Pada
orang dewasa, kebanyakan kranioplasti dilakukan setelah prosedur
kraniektomi dekompresi yang kebanyakan disebabkan oleh kasus trauma.
Sedangkan pada populasi anak-anak prosedur ini dilakukan untuk mengkoreksi
kelainan anatomis kongenital.
Pada umumnya pada operasi seperti kranioplasti digunakan anestesi umum
atau General Anesthesia. Tatalaksana operasi kranioplasti adalah menggunakan
anestesi inhalasi, anestesi intravena, dan muscle relaxant. Pertimbangan utama
dalam memilih obat anestesi, atau kombinasi obat-obatan anestesi, adalah
pengaruhnya terhadap TIK. Karena semua obat yang menyebabkan vasodilatasi
serebral mungkin berakibat peninggian TIK,pemakaiannya sedapat mungkin harus
dicegah. Satu yang terburuk dalam hal ini adalah ketamin, yang merupakan
vasodilator kuat dan karenanya secara umum dicegah penggunaannya pada pasien
cedera kepala. Semua obat anestesi inhalasi dapat meninggikan aliran darah
serebral secara ringan hingga berat. Obat inhalasi volatil seperti halotan. enfluran
dan isofluran, semua meninggikan aliran darah serebral, namun mereka mungkin
aman pada konsentrasi rendah. Isofluran paling sedikit kemungkinannya
menyebabkan vasodilatasi serebral. Nitrous oksida berefek vasodilatasi ringan yang
mungkin secara klinik tidak bermakna, dan karenanya dipertimbangkan sebagai
obat yang baik untuk digunakan pada pasien cedera kepala. Kombinasi yang umum
digunakan adalah nitrous oksida (50-70 % dengan oksigen), relaksan otot
intravena, dan tiopental. Penggunaan hiperventilasi dan mannitol sebelum dan
selama induksi dapat mengaburkan efek vasodilatasi dan membatasi hipertensi
intrakranial pada batas tertentu saat kranium mulai dibuka. Bila selama operasi

1
pembengkakan otak maligna terjadi, yang refraktori terhadap hiperventilasi dan
mannitol, tiopental (Pentothal) pada dosis besar (5-10 mg/kg) harus digunakan.
Obat ini dapat menyebabkan hipotensi, terutama pada pasien hipovolemik,
karenanya harus digunakan hati-hati. Sebagai pilihan terakhir, penggunaan
hipotensi terkontrol, dengan trimetafan (Arfonad) atau nitroprussida (Nipride)
dapat dipertimbangkan. Pada setiap keadaan, penting untuk memastikan penyebab
pembengkakan otak, seperti kongesti vena akibat kompresi leher dan adanya
hematoma tersembunyi baik ipsi atau kontralateral dari sisi kraniotomi.
Penanganan Hipertensi Intra-Kranial seringkali menjadi tantangan terbesar
dari Ahli Bedah Saraf dalam merawat pasien yang mengalami Cedera Kepala Berat
(CKB) traumatik. Kenaikan yang terlalu tajam dari Tekanan Intra-Kranial dapat
mengganggu kemampuan otak dalam mengatur aliran darah serebral (CBF).
Iskemia Serebral yang terjadi dapat menyebabkan berkurangnya fungsional
otak bahkan hingga kematian. Pilihan pengobatan konvensional seperti
dehidrasi hipersomolar, hiperventilasi, dan koma yang diinduksi oleh barbiturat,
menjadi pengobatan lini pertama.

2
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Sdr. A
Umur : 25 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sukoharjo
No RM : 03XXXXX
Tgl masuk : Selasa, 04 September 2018

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Nyeri kepala
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki usia 25 tahun keluhan nyeri kepala dengan riwayat
operasi pada kepala karena mengalami perdarahan pada otak ± 2 bulan lalu
setelah mengalami kecelakaan.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat keluhan serupa sebelumnya : disangkal
2. Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
3. Riwayat Asma : disangkal
4. Riwayat Alergi : disangkal
5. Riwayat operasi sebelumnya : diakui, kraniotomi ± 2 bulan
lalu
D. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat keluhan serupa : disangkal
2. Hipertensi : disangkal
3. Diabetes Melitus : disangkal
4. Asma : disangkal
5. Alergi : disangkal

3
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
1. Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
2. Kesadaran : Compos Mentis, GCS= E4M6V5
3. Vital Sign : Tekanan darah : 120/80 mmHg
Respirasi : 20 kali/menit
Nadi : 84x/menit, reguler
Suhu : 36,4 0C (Afebris)
4. Status Gizi : Tinggi badan : 168 cm
Berat badan : 53 kg
5. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala : Dalam batas normal
b. Mata : Konjungtiva anemis -/-
Sklera ikterik -/-
Refleks cahaya direct +/+, indirect +/+
Pupil isokor, diameter ± 3 mm
c. Telinga : Dalam batas normal
d. Hidung : Dalam batas normal
e. Mulut : Dalam batas normal
f. Gigi : Dalam batas normal, gigi palsu (-)
g. Leher : Simestris, trakea ditengah, pembesaran tiroid dan
kelenjar getah bening (-)
h. Thorax : Pulmo : Simetris kanan – kiri
Tidak ada retraksi
SN vesikuler (+/+) normal
Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Cor : BJ I-II reguler
i. Abdomen : Dinding perut datar, supel
Hepar/ Lien: tidak teraba.
Usus: BU (+) normal
j. Ekstremitas : Edema (-), sianosis (-), akral hangat

4
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Hematologi
Pemeriksaan Hasil
Lekosit 7.46 10^3/ul
Eritrosit 5.79 Jt/ul
Hemoglobin 15.3 g/dL
Hematokrit 44.9 %
Trombosit 398 10^3/ul
Netrofil 49.4 %
Limfosit 40.5 %
Monosit 8.3 %
Eosinofil 1.5 %
Basofil 0.3 %
MCV 77.5 fL
MCH 26.4 Pg
MCHC 34.1 g/dL
MPV 8.5 fL

B. Pemeriksaan Radiologi
(-)
C. Pemeriksaan Elektrokardiografi
Normal ECG
V. DIAGNOSIS
Skull defect pro kraniotomi
VI. ASSESMENT MEDIS ANESTESI DAN SEDASI
Diagnosis Pre Operatif : Skull defect
Macam Operasi : Kraniotomi
Tanggal Operasi : 4 September 2018
A. Keadaan Pra Induksi
1. Berat Badan : 53 kg
2. Tinggi Badan : 168 cm

5
3. Tekanan Darah : 127/84 mmHg
4. Respirasi : 18 x/menit
5. Nadi : 64 x/menit
6. Suhu : Afebris
7. SpO2 : 99%
8. Alergi :-
9. GCS : Compos Mentis
10. Gol. darah :O
11. Rh :+
12. Hb : 15,3
13. Hmt : 44,9
B. Pemeriksaan Fisik
1. Jalan Nafas : Normal
2. Anamnesis : Autoanamnesis
C. Status Fisik ASA : ASA II
D. Teknik Anestesi
1. Jenis : General Anestesia
a) Intubasi : Oral
b) Ventilasi : Ventilator
c) Jalan napas : ETT no. 7,0 kinking
2. Obat Induksi
a) Fentanyl 100 mg
b) Atracurium 25 mg
c) Propofol 100 mg
E. Monitoring Durante Operasi
1. Obat
a) Atracurium 2x10 mg
b) Fentanyl 50 mg
c) Ondancentron 4 mg
d) Ketorolac 30 mg
e) N2O

6
2. Infus
a) Ringer Laktat 24 tpm
3. Keterangan
 Induksi : 16.20 WIB
 Pasien siap insisi : 17.12 WIB
 Insisi mulai : 17.13 WIB
 Operasi Selesai : 17.43 WIB
F. Pemantauan Tanda Vital
Pukul Vital sign
16.00 TD : 127/84 HR : 100x/menit RR : 18x/menit SpO2 : 99%
16.15 TD : 130/70 HR : 104x/menit RR : 18x/menit SpO2 : 99%
16.30 TD : 100/60 HR : 100x/menit RR : 18x/menit SpO2 : 99%
16.45 TD : 100/70 HR : 102x/menit RR : 19x/menit SpO2 : 99%
17.00 TD : 130/70 HR : 114x/menit RR : 20x/menit SpO2 : 99%
17.15 TD : 130/70 HR : 110x/menit RR : 20x/menit SpO2 : 99%
17.30 TD : 130/70 HR : 110x/menit RR : 20x/menit SpO2 : 99%
17.45 TD : 120/70 HR : 109x/menit RR : 20x/menit SpO2 : 99%

G. Instruksi Pasca Anestesi dan Sedasi


1. Posisi : Supine
2. Analgesia : Pethidin 50 mg
Ketorolac 30 mg
3. Anti emetik : Ondancentron 4 mg/12 jam
4. Infus : Ringer Laktat 24 tpm
5. Makan/minum : post operasi pasien sadar penuh, tidak mual boleh
minum
6. Pemantauan : Tensi, nadi, nafas tiap 15 menit selama 1 jam

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi Trauma Kepala


Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain
Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada
kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi
fisik (Langlois, Rut land-Brown, Thomas, 2006).
II. Kranioplasti
A. Definisi Kranioplasti
Kranioplasti adalah prosedur bedah saraf yang dirancang untuk
memperbaiki atau membentuk kembali penyimpangan atau
ketidaksempurnaan dalam tengkorak. Untuk memperbaiki cacat atau celah
dalam tengkorak, dapat digunakan cangkok tulang dari temoat lain di dalam
tubuh atau bahan sintesis.
B. Indikasi
Beberapa faktor yang dapat ditangani dengan tindakan cranioplasty adalah:
- Premature closing dari sutura tengkorak atau craniosynostosis
- Tengkorak yang tidak berkembang
- Faktor genetik yang mengakibatikan cacat lahir
- Trauma
- Cacat tengkorak lain yang mengakibatkan lubang atau daerah sensitif
pada tengkorak
- Kelainan tengkorak yang tidak diketahui penyebabnya yang
mempengaruhi penampilan
C. Fungsi Kranioplasti

8
1) Kosmetik : akibat terdapat lubang di kepala yang menggangu
penampilan
2) Protection : Untuk melindungi otak yang terekspose sehingga
mengurangi kerusakan berlanjut pada bagian otak tersebut.
3) Nyeri Kepala : Nyeri kepala dapat timbul jika tulang tengkorak yang
telah di angkat tidak digantikan dengan tulang baru.
4) Fungsi Neurologis: Pada beberapa pasien dapat mengalami perbaikan
yang nyata dalam fungsi neurologis jika tulang di ganti.
D. Material Cranioplasty
1) Autograft
Autograft adalah graft yang berasal dari donor sendiri yang
hanya di pindah dari satu tempat ketempat lainnya. Secara fisiologis
paling unggul karena berasal dari jaringan tubuh sendiri, tetapi
mempunyai beberapa kekurangan; jumlahnya terbatas, sulit
mengambil material graft, meningkatkan resiko infeksi, meningkatkan
risiko kehilangan darah dan menambah waktu anestesi, menyebabkan
morbiditas serta kemungkinan resorbsi akar pada daerah donor.
2) Allograft
Allograft (graf alogenik) adalah jaringan yang
ditransplantasikan dari seseorang kepada yang lain baik dalam spesies
yang sama maupun spesies yang berbeda. Walaupun allograft mungkin
memiliki kemampuan menginduksi regenerasi tulang, bahan ini juga
dapat membangkitkan respons jaringan yang merugikan dan respons
penolakan hospes, kecuali diproses secara khusus.
3) Xenograft
Xenograft (xenogenik) adalah bahan graft yang diambil dari
spesies yang berbeda, biasanya berasal dari lembu atau babi, untuk
digunakan pada manusia.
E. Kontraindikasi Kranioplasti
 Peningkatan akut tekanan intrakranial dan prolapsus otak
 Nekrosis kulit pada defek

9
 Infeksi sitemik dan lokal pada kepala
 Defek kranial yang disertai hubungan ke sinus paranasalis
 Defek tulang yang kecil (< 2 cm) di mana lubang tersebut dilapisi oleh
lapisan otot yang tebal (bukan kontraindikasi absolut)
III. Pemilihan Obat dan pertimbangan Anestesi pada Kranioplasti
Pertimbangan utama dalam memilih obat anestesi, atau kombinasi
obat-obatan anestesi, adalah pengaruhnya terhadap TIK. Karena semua obat
yang menyebabkan vasodilatasi serebral mungkin berakibat peninggian
TIK,pemakaiannya sedapat mungkin harus dicegah. Satu yang terburuk dalam
hal ini adalah ketamin, yang merupakan vasodilator kuat dan karenanya secara
umum dicegah penggunaannya pada pasien cedera kepala. Semua obat
anestesi inhalasi dapat meninggikan aliran darah serebral secara ringan hingga
berat. Obat inhalasi volatil seperti halotan. enfluran dan isofluran, semua
meninggikan aliran darah serebral, namun mereka mungkin aman pada
konsentrasi rendah. Isofluran paling sedikit kemungkinannya menyebabkan
vasodilatasi serebral. Nitrous oksida berefek vasodilatasi ringan yang mungkin
secara klinik tidak bermakna, dan karenanya dipertimbangkan sebagai obat
yang baik untuk digunakan pada pasien cedera kepala.
Kombinasi yang umum digunakan adalah nitrous oksida (50-70 %
dengan oksigen), relaksan otot intravena, dan tiopental. Penggunaan
hiperventilasi dan mannitol sebelum dan selama induksi dapat mengaburkan
efek vasodilatasi dan membatasi hipertensi intrakranial pada batas tertentu saat
kranium mulai dibuka. Bila selama operasi pembengkakan otak maligna
terjadi, yang refraktori terhadap hiperventilasi dan mannitol, tiopental
(Pentothal) pada dosis besar (5-10 mg/kg) harus digunakan. Obat ini dapat
menyebabkan hipotensi, terutama pada pasien hipovolemik, karenanya harus
digunakan hati-hati. Sebagai pilihan terakhir, penggunaan hipotensi terkontrol,
dengan trimetafan (Arfonad) atau nitroprussida (Nipride) dapat
dipertimbangkan. Pada setiap keadaan, penting untuk memastikan penyebab
pembengkakan otak, seperti kongesti vena akibat kompresi leher dan adanya
hematoma tersembunyi baik ipsi atau kontralateral dari sisi kraniotomi.

10
Tindakan utama untuk peningkatan ICP adalah untuk mengamankan
ABCDE (primary survey) pada pasien. Banyak pasien dengan peningkatan ICP
memerlukan intubasi. Pasien dengan skor GCS kurang dari 8 harus diintubasi
untuk melindungi airway. Yang menjadi perhatian utama pada pemasangan
intubasi ini adalah intubasi ini mampu memberikan ventilasi tekanan positif
yang kemudian dapat meningkatkan tekanan vena sentral yang kemudian akan
menghasilkan inhibisi aliran balik vena sehingga akan meningkatkan ICP.
Hati-hati dalam memperhatikan gizi, elektrolit, fungsi kandung kemih
dan usus. Pengobatan yang tepat untuk infeksi berupa pemberian antibiotik
harus dilaksanakan dengan segera. Pemberian analgesia yang memadai harus
diberikan walaupun pasien dalam kondisi di bawah sadar.
Posisi kepala pasien juga harus diperhatikan. Elevasi pada kepala dapat
menurunkan ICP pada komdisi normal dan pada pasien dengan cedera kepala
melalui mekanisme penurunan tekanan hidrostatis CSF yang akan
menghasilkan aliran balik vena. Sudut yang dianjurkan dan umumnya
digunakan untuk elevasi pada kepala adalah 30o. Pasien harus diposisikan
dengan kepala menghadap lurus ke depan karena apabila kepala pasien
menghadap ke salah satu sisinya dan disertai dengan fleksi pada leher akan
menyebabkan penekanan pada vena jugularis interna dan memperlambat aliran
balik vena.
A. Tujuan Anestesi Kranioplasti
 Menurunkan tekanan intracranial
 Memperbaiki aliran darah otak
 Mencegah dan menghilangkan herniasi
B. Mempertahankan komponen otak dan fungsi metabolik otak
1. Mengurangi volume komponen-komponen otak
a) Volume darah
o Hiperventilasi
o Pemberian obat-obatan anestesi menyebabkan vasokonstriksi .
o Analgesik,sedative
o Mencegah hipertemi ( menurunkan metabolisme otak )

11
b) Jaringan otak
o Manitol
o Deksametason
c) Cairan serebrospinal
o Furosemide
o Asetazolamid
2. Mempertahankan fungsi metabolik otak
o Tekanan O2 90-120 mmHg
o Atasi kejang
o Jaga keseimbangan elektrolit dan metabolic
o Kadar Hemoglobin dipertahankan 10 mg/dl.
o Mempertahankan MAP dalam batas normal
3. Menghindari keadaan yang dapat meningkatkan tekanan intracranial
a) Pengelolaan pemberian cairan
o Keseimbangan cairan
o Diuresis > 1ml/kgbb/jam
b) Posisi kepala
IV. Anestesi
A. Definisi Anestesi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa"
dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti
suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
General anestesi / anestesi umum adalah tindakan menghilangkan
rasa nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih
kembali (reversibel). Komponen trias anestesi yang ideal terdiri dari
analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot.
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi
kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat
anestesi ialah jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga
kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan sebagainya.

12
Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium anestesi
untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah
terjadinya kelebihan dosis.
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin,
pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini
didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat
anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang
tersedia.
B. Stadium Anestesi
Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium
anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah
terjadinya kelebihan dosis. Tanda-tanda klinis anestesia umum
(menggunakan zat anestesi yang mudah menguap, terutama diethyleter):
 Stadium I
Analgesia dari mulainya induksi anestesi hingga hilangnya kesadaran.
 Stadium II
Excitement, dari hilangnya kesadaran hingga mulainya respirasi teratur
mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau muntah.
 Stadium III
Dari mulai respirasi teratur hingga berhentinya respirasi. Dibagi 4 plane:
Plane 1 : dari timbulnya pernafasan teratur hingga berhentinya
pergerakan bola mata.
Plane 2 : dari tidak adanya pergerakan bola mata hingga mulainya
paralisis interkostal.
Plane 3 : dari mulainya paralisis interkostal hingga total paralisis
interkostal.
Plane 4 : dari kelumpuhan interkostal hingga paralisis diafragma.
 Stadium IV
Overdosis, dari timbulnya paralysis diafragma hingga cardiac arrest.
C. Persiapan Pra Anestesi

13
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan
(elektif/darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi
pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat
sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan
menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus
dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan
pra anestesi adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
 ASA I
Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,
biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
 ASA II
Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai
akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
 ASA III
Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%.
 ASA IV
Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina
menetap. Angka mortalitas 68%.
 ASA V
Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak
ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi /
dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
 ASA VI
Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)

14
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari
kegawatan otak, jantung, paru, ibu dan anak.
D. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum
anestesi.Adapun tujuan dari premedikasi antara lain :
a. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. Memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
e. Mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron
f. Memperlancar induksi, misal : pethidin
g. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium,
sulfas atropin.
i. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin
dan hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis
pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan
demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus
selalu dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik,
derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat
hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang
berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam
operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan.
E. Obat Obatan Premedikasi
1. Sulfas Atropin
Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna
untuk mengurangi sekresi lendir dan menurunkan efek bronchial dan
kardial yang berasal dari perangsangan parasimpatis akibat obat
anestesi atau tindakan operasi. Efek lainnya yaitu melemaskan otot
polos, mendepresi vagal reflek, menurunkan spasme gastrointestinal,

15
dan mengurangi rasa mual serta muntah. Obat ini juga menimbulkan
rasa kering di mulut serta penglihatan kabur, maka lebih baik tidak
diberikan pra anestesi lokal maupun regional. Dalam dosis toksik dapat
menyebabkan gelisah, delirium, halusinasi, dan kebingungan pada
pasien. Tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian prostigmin 1 –2
mg intravena.
Sediaan : dalam ampul 0,25 dan 0,5 mg.
Dosis : 0,01 mg/ kgBB.
Pemberian : SC, IM, IV
2. Pethidin
Pethidin merupakan narkotik yang sering digunakan untuk
premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini adalah memudahkan
induksi, mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia
pra dan pasca bedah, memudahkan melakukan pemberian pernafasan
buatan , dan dapat diantagonis dengan naloxon.
Pethidin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sehingga
dapat menyebabkan hipotensi orthostatik. Hal ini akan lebih berat lagi
bila digunakan pada pasien dengan hipovolemia. Juga dapat
menyebabkan depresi pusat pernapasan di medula yang dapat
ditunjukkan dengan respon turunnya CO2. mual dan muntah
menunjukkan adanya stimulasi narkotik pada pusat muntah di medula.
Posisi tidur dapat mengurangi efek tersebut.
Sediaan : dalam ampul 100 mg/ 2cc.
Dosis : 1 mg/ kgBB.
Pemberian : IV, IM
F. Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai
tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap
pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium
anestesi setelah induksi.
Pada kasus ini digunakan obat induksi :

16
1. Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat
dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2%
phosphatide telur dan 2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan
2,5mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi3.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat
intravena lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien
dapat diambulasi lebih cepat setelah anestesi umum. Selain itu,
secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah postoperasi karena
propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol
digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi
dan merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan.
Obat ini juga efektif dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan
pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan propofol sebagai
sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu
timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan
dan kemungkinan adanya skuele neurologik11,12.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi
secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan,
tetapi jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat
dipertahankan dengan infus propofol yang berkesinambungan
dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain10,12.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang
cukup berarti selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi
arteri perifer dan venodilatasi.Propofol menurunkan tekanan arteri
sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan karena vasodilatasi
perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik
kembali normal dengan intubasi trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh
distribusinya adalah 2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya
kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat dimetabolisme di hati 10 kali

17
lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol diekskresikan
ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan
kurang dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total
anestesinya lebih besar daripada aliran darah hepatik, sehingga
eliminasinya melibatkan mekanisme ekstrahepatik selain
metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat bermanfaat
bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme
obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak
fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan
tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena
bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang
minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini
didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi
sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya
tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai efek
analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih
cepat dan jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah
propofol memiliki efek antiemetik10.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya
depresi pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada
sistem kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi,
bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya sakit
kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan
dapat terjadi nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan
lidokain (20-50 mg)10,12.
G. Pemeliharaan
Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah
terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber

18
(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi
dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan
zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti.
Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena
Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi
tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya
dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan
dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%11.12.
H. Obat Pelumpuh Otot
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya,
obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara
depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat
kompetitif atau nondepolarisasi, misal kurarin.
Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi
cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi
otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali10,11.
Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah :
Atracurium besilat (tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru
yang mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman
Leontice leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan
dengan obat terdahulu antara lain adalah :
a. Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu
reaksi kimia unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak
bergantung pada fungsi hati dan ginjal.
b. Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.

19
c. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.
Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang
dipakai. Pada umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah
2-3 menit, sedang lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35
menit12.
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah
lama kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase.
Nampaknya atracurium dapat menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik
atau pasien dengan penyakit jantung dan ginjal yang berat1,2.
Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg
atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada penyimpanan
pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.
Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv
V. Intubasi Nasal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga
jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea
bertujuan untuk :
a. Mempermudah pemberian anestesi.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
e. Pemakaian ventilasi yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
VI. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus
mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang.Terapi cairan perioperatif
bertujuan untuk.
 Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi.

20
 Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa,
muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang
ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-
lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg
BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah
10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi.
Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :
 Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
 Sedang = 6 ml/kgBB/jam
 Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan
kurang dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan
kristaloid. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat
dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
VII. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi.Ruang pulih sadar
merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif di ICU.Dengan demikian pasien pasca operasi
atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi
atau pengaruh anestesinya.

21
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan
perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan
pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum
yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara Steward mula-mula diterapkan
untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat luas pemakaiannya, termasuk
untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional anestesi digunakan skor
Bromage.
Tabel 1. Aldrete Scoring System
No. Kriteria Skor
1 Aktivitas  Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas atas 2
motorik perintah atau secara sadar.
 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas 1
perintah atau secara sadar.
 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas atas 0
perintah atau secara sadar.
2 Respirasi  Nafas adekuat dan dapat batuk 2
 Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi 1
 Apneu/tidak bernafas 0
3 Sirkulasi  Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula 2
 Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari semula 1
 Tekanan darah berbeda >50% dari semula 0
4 Kesadaran  Sadar penuh 2
 Bangun jika dipanggil 1
 Tidak ada respon atau belum sadar 0
5 Warna  Kemerahan atau seperti semula 2
kulit  Pucat 1
 Sianosis 0
Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.

Tabel 2. Steward Scoring System

22
No. Kriteria Skor
1 Kesadaran  Bangun 2
 Respon terhadap stimuli 1
 Tak ada respon 0
2 Jalan  Batuk atas perintah atau menangis 2
napas  Mempertahankan jalan nafas dengan baik 1
 Perlu bantuan untuk mempertahankan jalan 0
nafas
3 Gerakan  Menggerakkan anggota badan dengan tujuan 2
 Gerakan tanpa maksud 1
 Tidak bergerak 0
Steward score ≥5 boleh dipindah ruangan
Tabel 3. Scoring System untuk pasien anak
Tanda Kriteria
Tanda vital Respirasi, T/N, suhu seperti semula
Reflek laryng dan pharyng Mampu menelan, batuk, dan muntah
Gerakan Mampu bergerak sesuai umur dan tingkat
perkembangan
Muntah Muntah, mual pusing minimal
Pernafasan Tidak ada sesak nafas, stridor, dan mendengkur
Kesadaran Alert, orientasi tempat, waktu, dan orang

Tabel 5. Bromage Scoring System


Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
Bromage score < 2  boleh pindah ke ruang perawatan.

23
BAB IV
PEMBAHASAN

I. PRE OPERASI
Pasien direncanakan operasi kranioplasti. keadaan umu pasien sedang dengan
kesadaran compos mentis GCS E4V5M6, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi
84 x/menit, respiratory rate 20 x/menit, suhu afebris. pasien mempuanyai
riwayat operasi kraniotomi ± 2 bulan lalu karena perdarahan otak, riwayat
hipertensi (-), diabetes melitus (-), alergi (-).
II. DURANTE OPERASI
Sebelum dilakukan tindakan pembedahan pada pasien ini diputuskan
untuk dilakukan general anestesi dengan teknik semi closed system dan
memakai fasilitas intubasi. Alasannya karena tindakan operasi tersebut
termasuk operasi besar khusus, dan berlangsung kurang lebih 1 jam sehingga
dengan teknik ini diharapkan jalan nafas dapat dikendalikan dengan baik.
Sebelum dilakukan tindakan anestesi terlebih dahulu diberikan induksi
Fentanyl 100 mg untuk memberi efek analgetik menyebabkan hilangnya rasa
sakit pada tubuh. Kemudian Recofol yang berisi Propofol. Indikasi Propofol
adalah sebagai induksi sedatif pada anastesi umum dan sedasi pada perawatan
intensif. Suntikan secara iv seringkali menyebabkan nyeri oleh karenanya dapat
diberikan lidocain 1-2 mg/kgBB secara intravena dan harus dilakukan perlahan
untuk mengurangi nyerinya. Dosis pemberian propofol untuk induksi adalah
2−3mg/kgBB sehingga pada pasien ini diberikan dosis 100 mg. Pada wanita
hamil tidak dianjurkan karena dapat menembus plasenta. Kemudian terakhir
diberikan obat Atracurium 25mg untuk memberi efek pelumpuh otot. Setelah
semua obat induksi diberikan, kemudian prosedur intubasi dilakukan dengan
cara memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas bebas
hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Setelah itu pernafasan dibantu dengan
ventilator karena keadaan depresi nafas yang terjadi.
Untuk pemeliharaan anestesi diberikan dengan cara inhalasi. Zat anestesi
yang digunakan adalah N2O, dan O2. N2O merupakan zat anestesi yang lemah

24
tapi mempunyai efek analgetik yang kuat. Pemberian N2O biasanya bersamaan
dengan O2 dengan tujuan untuk mencegah terjadinya hipoksia. Selain itu N2O
bersifat mendesak oksigen dalam tubuh karena sebagian besar N2O masuk ke
dalam alveoli yang akan menyebabkan terjadinya hipoksia dan tindakan yang
dilakukan untuk mencegah terjadinya hipoksia difusi adalah dengan cara
pemberian O2 tinggi beberapa menit setelah selesai anestesi.
Untuk mengatasi atau mengurangi nyeri operasi dan pasca operasi
diberikan petidin dengan dosis 0,2−0,5mg/kgBB iv dan Ketorolac dengan dosis
30 mg/ml. Petidin adalah zat sintetik opioid mirip morfin yang bersifat analgesi
kuat dan sedasi namun menstimulasi saraf parasimpatis sehingga dapat
menyebabkan mual muntah dan hiperaktif reflex spinal. Seperti morfin, petidin
dapat menyebabkan konstipasi tapi efek terhadap sfinter oddi lebih ringan.
Lama kerja petidin lebih pendek disbanding morfin sehingga pemulihan pasca
bedah pasien menjadi lebih cepat. Ketorolac merupakan senyawa anti inflamasi
non steroid bekerja pada jalur siklo oksigenase, menghambat biosintesis
prostaglandin dengan aktifitas analgetik yang kuat secara perifer maupun
sentral, disamping itu memiliki efek anti inflamasi dan anti piretik. Ketorolac
tromethamine memiliki efek analgetik yang setara dengan morfin atau pethidin
namun efeknya lebih lambat. Sehingga digunakan untuk nyeri pasca operasi.
Kemudian diberikan Ondancentron untuk menahan gejala mual pada pasien
agar tidak ada aspirasi ke paru pada saat ekstubasi nanti.
Untuk mengganti kehilangan cairan tubuh diberikan cairan kristaloid dan
koloid pada pasien selama operasi dan cairan kristaloid selama puasa
perioperatif. Setelah selesai operasi, pasien dibawa ke ruang pemulihan dan
diberikan O2 secara inhalasi 2 l/mnt untuk mencegah hipoksia akibat N2O.
III. POST OPERASI
Pasien dibawa ke ruang pulih sadar dan dipantau tanda vitalnya. Laporan
di Ruangan ICU
A : Clear
B : Rr : 24 x / mnt, SN vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/- , ventilator (−)
C : TD : 130/80 mmHg, N: 87 x /mnt, S: 36,7 0C

25
D : GCS : 8 (E2M4V2)
SpO2: 99%. Pasien diberikan oksigen nasal sebanyal 3 liter per menit.
Skor aldrete pada saat pasien masuk ruang pulih sadar adalah 7 dengan rincian
warna kulit (2), aktifitas motorik (0), pernapasan (2), tekanan darah (2),
kesadaran (1). Jika skor aldrete pada pasien >8 maka pasien dapat dipindahkan
ke ruang perawatan.

26
BAB V
PENUTUP

I. KESIMPULAN
a. Fraktur impresi pada cranial harus mendapat tindakan segera karena dapat
mengakibatkan perdarahan intracranial
b. Penatalaksanaan anestesi pada pasien yang di lakukan operasi kranioplasti
pada seorang pria usia 25 tahun adalah dengan anestesi umum.
c. Pasien yang akan dioperasi diperiksa terlebih dahulu, meliputi anamnesis,
pemeriksaaan fisik, pemeriksaan penunjang untuk menentukan ASA.
d. Anestesi umum dengan teknik intubasi dipilih karena operasi tersebut
dilakukan di region kapitis dan termasuk operasi mayor sehingga dengan
teknik ini diharapkan jalan nafas dapat dikendalikan dengan baik.
e. Perawatan pasien di ICU dilakukan dengan tujuan memonitoring stabilitas
pasien post operatif sampai keadaan umum pasien membaik dan dapat
dipindahkan ke ruangan.
II. SARAN
a. Sebaiknya dilakukan pengawasan ketat terhadap pasien post operatif
kranioplasti untuk memonitor kemungkinan yang terjadi, misalnya sepsis
atau peningkatan TIK.
b. Untuk operasi pada cranial hindari penggunaan obat – obat yang
meningkatkan aliran darah ke otak untuk mengurangi resiko kehilangan
darah lebih besar.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. JAPARDI,S. Pentatalaksanaan Cedera Kepala Secara Operatif.


http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=Downloads&file=ind
ex&req=getit&lid=827.
2. Said,A Latief. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terqpi Intensif FK UI.

28

Anda mungkin juga menyukai