Anda di halaman 1dari 27

A.

PENDAHULUAN
Hipersensitivitas merupakan kondisi berubahnya respon imunologi, dimana terjadi
reaksi imun yang sangat hebat dan berbahaya terhadap masuknya/paparan antigen. Reaksi
yang terjadi dibawa, baik melalui imunitas humoral (antibody) maupun CMI (limfosit-T yang
sensitif). Hasil reaksi ini dapat berupa suatu lesi dari yang bentuk ringan sebagai inflamasi
local sampai syok menyeluruh, termasuk kemungkinan terjadinya kolapsnya sirkulasi yang
fatal (Corwin, 2007).
Pada sebagian besar keadaan, reaksi hipersensitivitas disebabkan/ dirangsang oleh
antigen asing, seperti serbuk bunga, jamur, subtansi makanan dan obat-obatan. Pada beberapa
keadaan, antigen yang mengganggu merupakan bagian/konstitusi tubuh. Reaksi
hipersensitivitas seluruhnya mengikutsertakan mekanisme yang ada pada respon imun yang
normal, ini terjadi pada lingkungan yang tidak tepat yang menyebabkan kerugian (Corwin,
2007).
Terdapat empat jenis reaksi hipersensitivitas antara lain :
1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I
Ini merupakan reaksi alergi yang diperantarai oleh antibody IgE. Pada reaksi tipe I,
antigen (disebut juga allergen) yang membuat pejamu peka terhadapnya dikenali oleh sel B.
Sel ini kemudian dirangsang untuk membuat antibody IgE. IgE mengikat antigen yang
berdekatan dengan basofil atau sel mast oleh reseptor IgE afinitas tinggi yang terdapat pada
sel-sel tersebut. Allergen yang menyerang biasanya memiliki valensi ganda (banyak tempat
pengikat IgE), sehingga allergen tersebut benra-benar berikatan dengan beberapa antibody
IgE secara bersamaan. Pengikatan ini memicu terbentuknya jenjang sinyal yang
menyebabkan degranulasi sel mast dan basofil, serta pelepasan histamine, sitokin, kemokin,
dan leukotrien. Perantara ini, seperti halnya komplemen dan faktor kemotaktik eosinofil yang
teraktivasi, menyebabkan vasodilatasi perifer dan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
terjadi begkak terlokalisasi dan edema. Gejala-gejala bersifat spesifik bergantung pada di
mana respon alergi tersebut berlangsung. Pengikatan antigen di saluran hidung menyebabkan
rhinitis alergi disertai kongesti hidung dan peradangan jaringan, sementara pengikatan
antigen di saluran cerna mungkin menimbulkan diare atau muntah (Corwin, 2007).
Suatu reaksi hipersensitivitas tipe I yang parah adalah reaksi anafilaktik. Anafilaksis
melibatkan respon cepat IgE sel mast setelah pajanan ke suatu antigen dan individu sangat
peka terhadapnya. Dapat terjadi dilatasi seluruh sistem pembuluh akibat histmin sehingga
tekanan darah kolaps. Penurunan hebat tekanan darah sistemik selama reaksi anafilaktik
disebut syok anafilaktik. Karena histamine adalah konstriktor kuat bagi otot polos bronkiolus,

1
maka anafilaksis juga menyebabkan penutupan saluran napas. Anafilaksis sebagai respon
terhadap beberapa obat, misalnya penisilim, atau sebagai respon terhadap sengatan lebah,
dapat bersifat fatal pada orang yang sangat peka karena dapat terjadi kolaps sirkulasi atau
gagal napas. Gejala reaksi anafilaktik adalah gatal, kram abdomen, kemerahan kulit,
gangguan saluran cerna, dan kesulitan bernapas (Corwin, 2007).
2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II
Reaksi tipe II terjadi akibat hilangnya toleransi diri dan dianggap suatu reaksi
otoimun. Ini terjadi sewakttu antibodi IgG atau IgM menyerang antigen jaringan. Pada reaksi
tipe II, pengikatan antibodi-antigen menyebabkan pengaktifan komplemen, degranulasi sel
mast, edema interstisial, kerusakan jaringan dan lisis sel. Reaksi tipe II menyebabkan
fagositosis sel0sel pejamu oleh makrofag (Corwin, 2007).
Contoh penyakit otoimun tipe II adalah penyakit Grave yang ditandai oleh terjadinya
pembentukan antibodi terhadap kelenjar tiroid. Anemia hemolitik otoimun ketika antibodi
dibentuk terhadap sel darah merah. Reaksi tranfusi yang melibatkan pembentukan antibodi
terhadap sel darah donor dan purpura trombositopenik otoimun yaitu terjadi pembentukan
antibodi terhadap trombosit (Corwin, 2007).
3. Reaksi Hiepersesitivitas Tipe III
Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler di tempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik di
daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan
enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut
(Corwin, 2007).
Contoh reaksi hipersensitivitas tipe III adalah penyakit serum (serum sickness), ketika
terbentuk antibodi terhadap darah asing, sering sebagai respon terhadap penggunaan obat
intravena. Kompleks antigen-antibodi mengendap di sistem pembuluh, sendi, dan ginjal. Pada
glomerulonefritis, terbentuk kompleks antigen-antibodi sebagai respon terhadap suatu infeksi,
sering oleh bakteri streptokokus, dan mengendap di kapiler glomerulus ginjal. Pada lupus
eritematosus sistemik, terbentuk kompleks antigen-antibodi terhadap kolagen dan DNA sel
dan mengendap di berbagai tempat di seluruh tubuh (Corwin, 2007).
4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV
Pada reaksi yang diperantarai oleh sel T ini, terjadi pengaktifan sel T sitotoksik (CD8)
atau sle T helper ( CD4 ), oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang
bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel sitotoksik sering dibangkitksn oleh sel yag
terinfeksi virus dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan luas. Reaksi yang diperantarai sel

2
CD4 bersifat lamabat (delayed), memerlukan waktu 24 sampai 72 jam untuk terbentuknya.
Sel tersebut ditandai dengan pembentukan ditokin pro-inflamatori yang merangsang
fagositosis makrofag dan meningkatkan pembengkakan atau edema (Corwin, 2007).
Contoh penyakit yang disebabkan oleh reaski tipe IV adalah tiroiditis otoimun
(hashimoto), ketika terbentuk sel T terhadap jaringan tiroid, penolakan tandur dan tumor dan
reaksi alergi tipe lambat, misalnya alergi terhadap pison ivy. Uji kulit tuberkulin
mengisyaratkan adanay imunitas yang diperantarai sel secara lambat terhadap basil
tuberculosis (Corwin, 2007).

B. DEFINISI
Penyakit asma berasal dari kata “Asthma” yang diambil dari bahasa Yunani yang
berarti “sukar bernapas.” Penyakit asma dikenal karena adanya gejala sesak napas, batuk dan
mengi yang disebabkan oleh penyempitan saluran napas. Asma juga disebut penyakit paru-
paru kronis yang menyebabkan penderita sulit bernapas. Hal ini disebabkan karena
pengencangan dari otot sekitar saluran pernafasan, peradangan, rasa nyeri, pembengkakan,
dan iritasi pada saluran nafas di paru-paru. Peningkatan respon dari trakhea dan bronkus
terhadap bermacam – macam stimuli yang ditandai dengan penyempitan bronkus atau
bronkhiolus dan sekresi yang berlebih dari kelenjar – kelenjar di mukosa bronchus juga dapat
menjadi penyebab asma (Ardinata, 2008).
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya. Inflamasi yang terjadi pada asma adalah inflamasi yang khas yaitu inflamasi
yang disertai infiltrasi eosinofil, hal ini yang membedakan asma dari gangguan inflamasi
jalan napas lainnya. Eosinofil merupakan inflamasi utama pada asma, terbukti setelah
inhalasi dengan alergen didapatkan peningkatan eosinofil pada cairan kurasan bronkoalveolar
( BAL) pada saat reaksi asma lambat yang desertai dengan inflamasi (Najoan, 2008).
Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asma adalah:
1. Imunitas dasar
Mekanisme imunitas terhadap kejadian inflamasi pada asma kemungkinan terjadi
ekspresi sel Th2 yang berlebihan. Gen ORMDL3 mempunyai hubungan kuat sebagai faktor
predisposisi asma (Moffatt, 2007).
2. Umur
Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak (7-10%), yaitu umur 5 – 14
tahun. Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian asma lebih kecil yaitu sekitar 3-5%.
Kejadian asma pada kelompok umur 18 – 34 tahun adalah 14% sedangkan >65 tahun

3
menurun menjadi 8.8%. Di Jakarta, sebuah studi pada RSUP Persahabatan menyimpulkan
rerata angka kejadian asma adalah umur 46 tahun (Pratama, 2009).
3. Jenis Kelamin
Jenis kelamin laki-laki merupakan sebuah faktor resiko terjadinya asma pada anak-
anak. Akan tetapi, pada masa pubertas, rasio prevalensi bergeser dan menjadi lebih sering
terjadi pada perempuan. Pada manusia dewasa tidak didapati perbedaan angka kejadian asma
di antara kedua jenis kelamin (Maryono, 2009).
4. Faktor pencetus
Paparan terhadap alergen merupakan faktor pencetus asma yang paling penting.
Alergen – allergen ini dapat berupa kutu debu, kecoak, binatang, dan polen/tepung sari. Kutu
debu umumnya ditemukan pada lantai rumah, karpet dan tempat tidur yang kotor. Kecoak
telah dibuktikan menyebabkan sensitisasi alergi, terutama pada rumah di perkotaan. Paparan
terhadap binatang, khususnya bulu anjing dan kucing dapat meningkatkan sensitisasi alergi
asma. Konsentrasi polen di udara bervariasi pada setiap daerah dan biasanya dibawa oleh
angin dalam bentuk partikel – partikel besar (Nurafiatin, 2007).
Iritan – iritan berupa paparan terhadap rokok dan bahan kimia juga telah dikaitkan
dengan kejadian asma. Dimana rokok diasosiasikan dengan penurunan fungsi paru pada
penderita asma, meningkatkan derajat keparahan asma, dan mengurangi responsivitas
terhadap pengobatan asma dan pengontrolan asma. Balita dari ibu yang merokok mempunyai
resiko 4 kali lebih tinggi menderita kelainan seperti mengi dalam tahun pertama
kehidupannya (Nurafiatin, 2007).
Kegiatan fisik yang berat tanpa diselingi istirahat yang adekuat juga dapat memicu
terjadinya serangan asma. Riwayat penyakit infeksi saluran pernapasan juga telah
dihubungkan dengan kejadian asma. Sekitar 40% anak penderita asma dengan riwayat infeksi
saluran pernapasan (Respiratory syncytial virus) akan terus menderita mengi atau menderita
asma dalam kehidupannya (Nurafiatin, 2007).
5. Status sosial ekonomi
Hubungan antara status sosial ekonomi/ pendapatan dengan prevalensi derajat asma
berat. Dimana, prevalensi derajat asma berat paling banyak terjadi pada penderita dengan
status sosio-ekonomi yang rendah, yaitu sekitar 40% (Nurafiatin, 2007).

4
Adapun tipe asma adalah sebagai berikut :
1. Asma akut intermiten
Di luar serangan, tidak ada gejala sama sekali. Pemeriksaan fungsi paru tanpa
provokasi tetap normal. Penderita ini sangat jarang jatuh ke dalam status asmatikus dan
dalam pengobatannya sangat jarang memerlukan kortikosteroid (Syaifuddun, 2008).
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen,
virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe
cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat (Syaifuddun, 2008).
a. Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi
sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin,
protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi (Syaifuddun,
2008).
b. Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan
serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag (Syaifuddun, 2008).

2. Asma kronik persisten (asma kronik)


Pada asma kronik selalu ditemukan gejala-gejala obstruksi jalan napas, sehingga
diperlukan pengobatan yang terus menerus. Hal tersebut disebabkan oleh karena saluran
nafas penderita terlalu sensitif selain adanya faktor pencetus yang terus-menerus. Berbagai
sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah limfosit T, eosinofil,
makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus (Syaifuddun, 2008).
a. Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2). Limfosit T
ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan sitokin antara
lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke
arah Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5
serta GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil (Syaifuddun, 2008).

5
b. Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita asma.
Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi, endothelin, nitric
oxide synthase, sitokin atau khemokin (Syaifuddun, 2008).
Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih
diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule protein,
oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel
(Syaifuddun, 2008).
c. Eosinofil
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak spesifik.
Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam keadaan
teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin antara lain
IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF.
Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang
ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil
cationic protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan
eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel saluran napas (Syaifuddun,
2008).
d. Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking reseptor
IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast yang
mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease serta newly generated
mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin
antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF (Syaifuddun, 2008).
e. Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada orang normal
maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan bronkus. Makrofag
dapat menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin.
Selain berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway
remodeling. Peran tersebut melalui a.l sekresi growth-promoting factors untuk fibroblast,
sitokin, PDGF dan TGF-b (Syaifuddun, 2008).

6
Modifikasi asma berdasarkan National Asthma Education Program (NAEPP) yaitu :
1. Asma Ringan
 Singkat (< 1 jam ) eksaserbasi symptomatic < dua kali/minggu
 Puncak aliran udara ekspirasi > 80% diduga akan tanpa gejala.
2. Asma Sedang
 Kemampuan puncak ekspirasi /detik dan kemampuan volume ekspirasi berkisar
 Gejala asma kambuh >2 kali / mingggu
 Kekambuhan mempengaruhi aktivitasnya
 Kekambuhan mungkin berlangsung berhari-hari antara 60-80%.
3. Asma Berat
 Gejala terus menerus menganggu aktivitas sehari-hari
 Puncak aliran ekspirasi dan kemampuan volume ekspirasi kurang dari 60% dengan
variasi luas
 Diperlukan kortikosteroid oral untuk menghilangkan gejala
(Muchid, 2007).

C. GEJALA ASMA
Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa pengobatan.
Gejala awal berupa :
1. Batuk terutama pada malam atau dini hari
2. Sesak napas
3. Napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan napasnya
4. Rasa berat di dada
5. Dahak sulit keluar
Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa. Yang
termasuk gejala yang berat adalah :
1. Serangan batuk yang hebat
2. Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal
3. Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut)
4. Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk
5. Kesadaran menurun
(Muchid, 2007).

7
D. EPIDEMIOLOGI ASMA
Asma merupakan penyakit kronik yang benyak diderita oleh anak dan dewasa baik di
negara maju maupun di negara berkembang. Sekitar 300 juta manusia di dunia menderita
asma dan diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 400 juta pada tahun 2025. Satu
dari 250 orang yang meninggal adalah penderita asma (Ratnawati, 2011).
Penelitian cross sectional International Study of Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC) yang dilaukan di 56 negara mendapatkan angka prevalens yang sangat bervariasi
berkisar antara 2,1 % hingga 32,2% pada kelompok 13-14 tahun dan 4,1% hingga 32,1%
pada kelompok 6-7 tahun. Angka kekerapan yang tinggi terutama pada negara Inggris,
Australia dan New Zealand, sedangkan prevalens asma rendah pada negara berkembang
seperti China, India, Meksiko dan Indonesia (Ratnawati, 2011).
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal
itu tergambar dari data studi survey kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia. Pada SKRT 1992, asma, bronchitis kronik dan emfisema sebagai penyebab
kematian (mortalitas) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalens asma di
seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronchitis kronis 11/1000 dan obstruksi
paru 2/1000. Di Indonesia belum ada survei asma secara nasional. Hasil penelitian
menunjukkan prevalens asma di Indonesia sangat bervariasi. Perbedaan ini antara lain
disebabkan kriteria definisi asma yang berbeda dalam penelitian, perbedaan metodologi yang
digunakan, perbedaan etnik, perbedaan faktor lingkungan dan tempat tinggal serta perbedaan
status social ekonomi subjek penelitian (Ratnawati, 2011).

Prevalensi Asma Anak


Meskipun belum ada survei asma secara nasional di Indonesia, dari penelitian yang
ada menyimpulkan bahwa prevalens asma di daerah rural (4,3%) lebih rendah dari pada di
daerah urban (6,5%) dan yan tertinggi adalah di kota besar seperti di Jakarta (16,4%)
(Ratnawati, 2011).
Penelitian prevalens asma anak di beberapa kota besar di Indonesia mendapatkan
hasil yang bervariasi mulai dari 2,1 % hingga 22,2%. Penelitian Rahayu dkk terhadap 1515
anak sekolaha dasar di Jakarta Timur mendapatkan prevalens asma sebesar 10,4%. Di
Manado prevalens asma sebesar 10,1% . Penelitian di Malang terhadap 2232 anak didapatkan
prevalens asma berumur 6-12 tahun 8,4% dan dikatakan bahwa sebagai faktor pencetus
serangan asma adalah infeksi (94,1%), makanan (51,3%), cuaca (45,5%) dan kelelahan
(42,2%). Penelitian di Jakarta Selatan terhadap 471 anak sekolah dasar yang berumur 6-12

8
tahun mendapatkan angka prevalens asma 9,8 %. Beberapa penelitian terhadap anak pubertas
di beberapa kota besar di Indonesia dengan menggunakan kuesioner yang diisi sendiri
menunjukkan bahwa prevalens asma bervariasi antara 5,8% hingga 22,2% (Ratnawati, 2011).

Prevalensi Asma Dewasa


Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo, Surabaya melakukan penelitian di
lingkungan 37 puskesmas di Jawa Timur. Seluruhnya 6662 responden usia 13-70 tahun (rata-
rata 35,6 tahun) mendapatkan prevalens asma sebesar 7,7%, dengan rincian laki-laki 9,2%
dan perempuan 6,6%. Di Bandung, studi pada 381 mahasiswa kedokteran, mendapatkan
prevalens asma 6,6%. Sedangkan penelitian pada 153 mahasiswa di Menado dan
mendapatkan prevalens asma sebesar 6.5% (Ratnawati, 2011).

Asma di Rumah Sakit


Rumah sakit Persahabatan, Jakarta merupakan pusat rujukan nasional penyakit paru di
Indonesia, menunjukkan perawatan penyakit asma tampak menurun. cenderung menurun
pada tahun 2006. Demikian juga dengan pasien rawat inap dan unit perawatan intensif.
Kunjungan ke unit gawat darurat cukup tinggi pada tahun 2000 (1653 pasien), tetapi
kunjungan mulai berkurang hingga tahun 2006 (1463 pasien). Angka kematian karena asma
jarang dijumpai di RS Persahabatan, bahkan pada tahun 2006 tidak dijumpai kematian akibat
asma. Keadaan ini dapat dimungkinkan karena berbagai alasan, antara lain keberhasilan
penangan pasien rawat jalan di poli asma RS Persahabatan, meningkatnya pengertian
masyarakat mengenai penyakit asma sehingga penderita dapat menghindari faktor pencetus
asma, mudahnya mendapatkan obat-obatan asma, atau mungkin pasien tidak datang berobat
ke rumah sakit karena faktor sosial ekonomi (Ratnawati, 2011).

E. PATOFISIOLOGI ASMA
Asma merupakan peradangan saluran napas yang bisa dimediasi oleh berbagai subtipe
sel, sehingga terjadi hiperresponsive saluran udara yang pada akhirnya membatasi aliran
udara dan menyebabkan Gejala yang bervariasi. Bronkokonstriksi saluran napas awal terjadi
dengan diikuti oleh edema saluran napas dan produksi lendir yang berlebihan, disertai dengan
hiperresponsif saluran napas dan diikuti dengan perubahan kronis dalam epitel saluran napas
(airway remodeling). Peradangan saluran napas dimediasi oleh berbagai sitokin dan kemokin
(sitokin yang spesifik untuk kemotaksis dan aktivasi leukosit). Sitokin diproduksi oleh
sejumlah tipe sel, termasuk limfosit, eosinofil, dan sel mast. sitokin proinflamasi (interleukin-

9
4 [IL-4], IL-5, dan IL-13), diproduksi terutama oleh T-helper (Th) 2 limfosit, diyakini dapat
memicu peradangan alergi asma. Ketidakseimbangan antara limfosit Th1 dan Th2
(khususnya, menurunnya aktivitas Th1 dengan peningkatan Aktivitas Th2) memberikan
kontribusi untuk peradangan kronis asma. Kemokin memainkan peran kunci dalam
peradangan. Protein ini merekrut sel proinflamasi, termasuk Limfosit Th2, sel mast, neutrofil,
dan eosinofil. Eosinofil dan sel mast memiliki peran yang berbeda dalam patogenesis asma.
Jenis sel menghasilkan proinflamasi sitokin serta leukotrien, yang menyebabkan
bronkokonstriksi (Hill, 2012).
Infeksi virus dan alergen udara dapat memicu respon yang pada akhirnya
menyebabkan gejala asma. IgE memainkan peran penting dalam proses ini, karena
ditunjukkan dengan bukti bahwa pemberian anti-IgE antibodi monoklonal mengurangi gejala
asma dan meningkatkan fungsi paru-paru. Respon IgE terhadap allergen menyebabkan sel
mast dan basofil terdegranulasi, penyebab bronkospasme serta pelepasan proinflamasi sitokin
dan kemokin. Bronkodilator dapat meregangkan otot polos saluran napas, jika diberikan
selama periode awal bronkospasme. Namun, karena meningkatnya hyperresponsiveness
saluran napas dan peradangan yang terjadi pada akhir respon, terapi bronkodilator tidak
efektif, dan obat anti-inflamasi diperlukan (Hill, 2012).
Keterbatasan aliran udara pada penyakit asma dapat muncul secara berulang dan
disebabkan oleh berbagai macam perubahan yang terjadi pada saluran udara. Antara lain:
1. Bronkokonstriksi
Pada asma, kondisi fisiologi seseorang yang secara dominan menyebabkan simptom
klinik adalah penyempitan saluran pernapasan dan adanya gangguan pada aliran udara. Pada
asma akut, kontraksi dari otot halus bronchial (bronkokonstriksi) terjadi secara cepat untuk
menyempitkan saluran pernapasan sebagai respon dari paparan stimulus seperti allergen atau
irritant. Bronkokonstriksi akut terinduksi allergen adalah hasil dari pelepasan IgE-dependent
mediator dari sel mast yang termasuk histamine, triptase, leukotrien, dan prostaglandin yang
secara langsung akan menyebabkan kontraksi otot halus saluran pernapasan. Aspirin dan
golongan obat anti-inflamasi nonsteroid lain dapat juga menyebabkan obstruksi saluran
pernapasan akut pada sebagian pasien, dan bukti menunjukkan bahwa respon dari non-IgE-
dependent juga berpengaruh pada pelepasan mediator dari sel saluran pernapasan. Sebagai
tambahan, stimulus lain (termasuk olahraga, udara dingin, dan irritant) dapat menyebabkan
obstruksi saluran pernapasan akut (Hill, 2012).

10
Gambar 1. Perbedaan bronkial normal dan asma bronkial (Hill, 2012).

2. Edema pada saluran pernapasan


Seiring berkembangnya penyakit menjadi semakin persisten dan inflamasi semakin
progresif, faktor lain nantinya akan membatasi aliran udara. Hal ini termasuk edema,
inflamasi, hipersekresi mukus, dan adanya pembentukan sumbatan mukus, seiring dengan
perubahan struktur termasuk hipertropi dan hiperplasia dari otot halus saluran pernapasan
(Hill, 2012).
3. Hiperresponsivitas dari saluran pernapasan
Derajat hiperresponsivitas saluran pernapasan diukur dari respon kontraksi korelasi
metakolin dengan gejala klinis asma. Mekanisme yang mempengaruhi hiperresponsivitas
saluran pernapasan ada berbagai macam, termasuk inflamasi, disfungsi neuroregulasi, dan
perubahan struktur. inflamasi muncul sebagai faktor utama mempengaruhi derajat dari
hiperresponsivitas saluran pernapasan. Pengobatan langsung mengurangi inflamasi dapat
menurunkan hiperresponsivitas saluran pernapasan dan meningkatkan kontrol terhadap asma
(Hill, 2012).
4. Perubahan bentuk dari saluran pernapasan
Pada sebagian orang dengan asma, keterbatasan aliran udara mungkin hanya bersifat
reversible. Perubahan struktur secara permanen dapat terjadi pada saluran pernapasan, hal ini
terkait dengan hilangnya fungsi paru-paru secara progresif yang tidak dapat dicegah atau
dikembalikan seperti semula dengan terapi biasa. Perubahan bentuk saluran pernapasan
melibatkan aktivasi banyak sel, dengan konsekuensi perubahan permanen pada saluran
pernapasan yang meningkatkan obstruksi aliran napas dan responsivitas saluran pernapasan
dan menyebabkan pasien kurang responsif terhadap terapi. Perubahan struktur ini termasuk
penebalan membran, fibrosis subepitelial, hipertropi dan hiperplasia otot halus saluran
pernapasan, dan hipersekresi (Hill, 2012).

11
F. MEKANISME PATOFISIOLOGI DARI INFLAMASI SALURAN PERNAPASAN
Inflamasi memiliki peranan utama dalam patofisiologi asma. Seperti definisi asma,
inflamasi saluran napas melibatkan interaksi dari banyak tipe sel dan berbagai mediator
dengan saluran napas yang akan menyebabkan ciri karakter patofisiologi asma: inflamasi
bronchial dan terbatasnya aliran napas menyebabkan timbulnya peristiwa batuk, mendesah
dan napas pendek yang berulang. Walaupun jenis asma banyak (intermittent, persistent,
aspirin-sensitive, asma berat), inflamasi saluran napas tetap menjadi pola utama (NHLBI,
2007).

Gambar 2. Inflamasi Saluran Pernapasan (NHLBI, 2007).


Antigen dapat mengaktifkan sel mast dan sel Th2 dalam saluran napas. Mereka
kemudian menginduksi produksi mediator inflamasi (seperti histamin dan leukotrien) dan
sitokin termasuk interleukin-4 dan interleukin-5. Interleukin-5 menuju ke sumsum tulang dan
menyebabkan diferensiasi terminal eosinofil. Eosinofil bersirkulasi memasuki area inflamasi
alergi dan mulai bermigrasi ke paru-paru, melalui interaksi dengan selektin, dan akhirnya
mengikuti endotelium melalui pengikatan integrin kepada anggota immunoglobulin protein
adhesi : molekul sel - vaskular adhesi 1 (VCAM-1) dan intersel molekul adhesi 1(ICAM-1)
(NHLBI, 2007).

12
Dengan masuknya eosinofil ke jalur pernapasan melalui pengaruh berbagai kemokin
dan sitokin, kelangsungan hidup mereka diperpanjang oleh interleukin-4 dan granulocyte-
makrofag colony-stimulating factor (GM-CSF). Pada aktivasi, eosinofil melepaskan mediator
inflamasi, seperti leukotrien dan protein granula, melukai jaringan saluran napas. Selain itu,
eosinofil dapat menghasilkan GM-CSF untuk memperpanjang dan mempotensiasi
kelangsungan hidup mereka dan berkontribusi terhadap peradangan saluran napas persisten.
MCP-1, monocyte chemotactic protein, dan MIP-1α, macrophage inflammatory protein
(NHLBI, 2007).

G. DIAGNOSTIK ASMA
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin
tinggi tingkat pengobatan (Depkes RI, 2007).

(Depkes RI, 2007).

13
H. PEMERIKSAAN KLINIS ASMA
Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci,
menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisis
pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk
anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan: napas cepat, kesulitan bernapas,
menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan:
mengi, ekspirasi memanjang (Rengganis, 2008).

Pemeriksaan Penunjang:
1. Spirometer
Spirometri adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital paksa (KVP) dan
volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Pemeriksaan ini sangat tergantung kepada
kemampuan pasien sehingga diperlukan instruksi operator yang jelas dan kooperasi pasien.
Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang diperiksa.
Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai VEP1 < 80% nilai prediksi atau rasio VEP1/KVP <
75% (Depkes RI, 2007).
Selain itu, dengan spirometri dapat mengetahui reversibiliti asma, yaitu adanya
perbaikan VEP1 > 15 % secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji
bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian
kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu (Depkes RI, 2007).
2. Peak Expiratory Flow Meter/PEFM.

Gambar 3. Penggunaan alat PEFM (DepKes RI, 2007).


Alat ini adalah alat yang paling sederhana untuk memeriksa gangguan sumbatan jalan
napas, yang relatif sangat murah, mudah dibawa. Dengan PEF meter fungsi paru yang dapat
diukur adalah arus puncak ekspirasi (APE) (Depkes RI, 2007).

14
Cara pemeriksaan APE dengan PEF meter adalah sebagai berikut :
Penuntun meteran dikembalikan ke posisi angka 0. Pasien diminta untuk menghirup napas
dalam, kemudian diinstruksikan untuk menghembuskan napas dengan sangat keras dan cepat
ke bagian mulut alat tersebut, sehingga penuntun meteran akan bergeser ke angka tertentu.
Angka tersebut adalah nilai APE yang dinyatakan dalam liter/menit (Depkes RI, 2007).
Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai APE < 80% nilai prediksi. Selain itu juga
dapat memeriksa reversibiliti, yang ditandai dengan perbaikan nilai APE > 15 % setelah
inhalasi bronkodilator, atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah
pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu (Depkes RI, 2007).
Variabilitas APE ini tergantung pada siklus diurnal (pagi dan malam yang berbeda nilainya),
dan nilai normal variabilitas ini < 20%. Cara pemeriksaan variabilitas APE: Pada pagi hari
diukur APE untuk mendapatkan nilai terendah dan malam hari untuk mendapatkan nilai
tertinggi.
APE malam – APE pagi
Variabilitas harian = ------------------------------------- x 100%
½ (APE malam + APE pagi)
(Depkes RI, 2007).
3. X-ray dada/thorax
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma (Rengganis,
2008).
4. Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada
kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen
yang positif tidak selalumerupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan
dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan
(pada dermographism) (Rengganis, 2008).
5. Petanda inflamasi
Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan
atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan
merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat
dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida
nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan
hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi

15
dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran
inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset (Rengganis, 2008).
6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB.
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan
berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak
alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif.
Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di
samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa
partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes
provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes
provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani,
inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin (Rengganis, 2008).

I. PENATALAKSANAAN TERAPI
Tujuan penatalaksanaan asma :
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma
(Depkes RI, 2007).

1. TERAPI NON FARMAKOLOGI


a. Edukasi pasien
Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam penatalaksanaan
asma. Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk :
 Meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit
asma sendiri)
 Meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma sendiri/asma mandiri)
 Meningkatkan kepuasan
 Meningkatkan rasa percaya diri

16
 Meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
 Membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma
(Depkes RI, 2007).
Bentuk pemberian edukasi:
 Komunikasi/nasehat saat berobat
 Ceramah
 Latihan/training
 Supervisi
 Diskusi
 Tukar menukar informasi (sharing of information group)
 Film/video presentasi
 Leaflet, brosur, buku bacaan, dll
(Depkes RI, 2007).
Komunikasi yang baik adalah kunci kepatuhan pasien, upaya meningkatkan
kepatuhan pasien dilakukan dengan :
1. Edukasi dan mendapatkan persetujuan pasien untuk setiap tindakan/penanganan yang
akan dilakukan. Jelaskan sepenuhnya kegiatan tersebut dan manfaat yang dapat
dirasakan pasien
2. Tindak lanjut (follow-up). Setiap kunjungan, menilai ulang penanganan yang diberikan
dan bagaimana pasien melakukannya. Bila mungkin kaitkan dengan perbaikan yang
dialami pasien (gejala dan faal paru).
3. Menetapkan rencana pengobatan bersama-sama dengan pasien.
4. Membantu pasien/keluarga dalam menggunakan obat asma.
5. Identifikasi dan atasi hambatan yang terjadi atau yang dirasakan pasien, sehingga pasien
merasakan manfaat penatalaksanaan asma secara konkret.
6. Menanyakan kembali tentang rencana penganan yang disetujui bersama dan yang akan
dilakukan, pada setiap kunjungan.
7. Mengajak keterlibatan keluarga.
8. Pertimbangkan pengaruh agama, kepercayaan, budaya dan status sosioekonomi yang
dapat berefek terhadap penanganan asma.
(Depkes RI, 2007).

17
2. Pengukuran peak flow meter
Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat. Pengukuran Arus
Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini dianjurkan pada :
a. Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh pasien di
rumah.
b. Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.
c. Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma persisten usia di atas > 5
tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan di rumah sakit, pasien yang sulit/tidak
mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi untuk mendapat serangan
yang mengancam jiwa.
(Depkes RI, 2007).
Pada asma mandiri pengukuran APE dapat digunakan untuk membantu pengobatan
seperti :
a. Mengetahui apa yang membuat asma memburuk.
b. Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana pengobatan berjalan baik.
c. Memutuskan apa yang akan dilakukan jika dibutuhkan penambahan atau penghentian
obat.
d. Memutuskan kapan pasien meminta bantuan medis/dokter/IGD.
(Depkes RI, 2007).
1. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
2. Pemberian oksigen
3. Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak
4. Kontrol secara teratur
5. Pola hidup sehat, Dapat dilakukan dengan :
 Penghentian merokok
 Menghindari kegemukan
 Kegiatan fisik misalnya senam asma
(Depkes RI, 2007).

18
2. TERAPI FARMAKOLOGI
a. Asma Akut

Gambar 4. Managemen eksaserbasi asma akut (DiPiro, 2008).

1. First line  β2-Agonists


Inhalasi short-acting β2-agonists merupakan obat yang paling efektif sebagai
bronkodilator dan merupakan pilihan pertama untuk pasien dengan asma akut. Reseptor β2-
adrenergik transmembran protein yang terdiri dari kelompok-kelompok tujuh heliks asam
amino membentuk ligand-binding core. Reseptor β2-adrenergik pada manusia berbentuk
dalam struktur polimorfik, dengan polimorfisme yang umum di reseptor amino terminus pada
posisi asam amino 16 (termasuk di dalamnya arginin [Arg] atau glisin [Gly] dan termasuk
didalamnya glutamin [Gln] atau glutamat [Glu]). Beberapa polimorfisme menentukan respon
terhadap β2-agonis, sedangkan yang lain mungkin beraksi dengan penyakit. Stimulasi
reseptor β2-adrenergik mengaktifkan protein sitoplasma G yang pada gilirannya
mengaktifkan adenilat siklase untuk menghasilkan adenosin monofosfat siklik (cAMP),
umumnya dianggap bertanggung jawab untuk sebagian besar aktivitas melalui aktivasi

19
berbagai protein oleh cAMP bergantung protein kinase A. Aktivasi ini pada gilirannya
mengurangi ikatan kalsium-intrasel, memproduksi relaksasi otot polos, stabilisasi membran
sel mast dan stimulasi otot rangka. β2-agonis adalah penghambat yang kuat dari degranulasi
sel mast in vitro yang tidak menghambat respon asma lambat dari allergen atau berikutnya
hiperresponsif bronchial. Agonis β2 kerja singkat (seperti albuterol, bitolterol, pirbuterol,
terbutalin) adalah terapi pilihan untuk menghilangkan gejala akut dan bronkospasmus yang
diinduksi oleh latihan fisik (DiPiro, 2008).

(Depkes RI, 2007).

2. Second line  Kortikosteroid


Kortikosteroid sistemik diindikasikan untuk pasien dengan asma akut yang tidak
berespon dengan terapi awal menggunakan β2-agonis. Obat-obat ini merupakan steroid
adrenokortikal steroid sintetik dengan cara kerja dan efek yang sama dengan glukokortikoid.
Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel yang terinflamasi dan
meningkatkan efek obat beta adrenergik dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi
mekanisme bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung (DiPiro, 2008).
Obat ini tidak diindikasikan untuk pasien asma yang dapat diterapi dengan
bronkodilator dan obat non steroid lain, pasien yang kadang-kadang menggunakan
kortikosteroid sistemik atau terapi bronkhitis non asma (DiPiro, 2008).

20
(DepKes RI, 2007).

b. Asma Kronik

Gambar 5. Tatalaksana pengobatan asma pada anak 0-4 tahun (DiPiro, 2008).
Tabel diatas merupakan tata laksana manajemen pengobatan untuk anak usia 0 – 4
tahun yang mengalami asma dibedakan menjadi intermittent asma dan persistent asma (obat
harian). Pada anak usia 0 – 4 tahun yang menderita intermittent asma langkah pertama yang
dapat diambil adalah pemberian SABA PRN, pada anak usia 0 – 4 tahun yang menderita
persistent asma ringan, langkah pertama yang disarankan yaitu pemberian ICS dosis rendah

21
atau dapat diberikan cromolin sebagai alternative. Pada anak usia 0 – 4 tahun yang menderita
persistent asma menengah dapat disarankan dengan pemberian ICS dosis medium-tinggi dan
dapat dibantu dengan pemberian LABA dan pada anak usia 0 – 4 tahun penderita persistent
asma berat dapat diberikan ICS dosis tinggi dengan LABA dan juga dapat dibantu dengan
penambahan kortikosteroid oral untuk meningkatkan efektifitas pengobatan (DiPiro, 2008).

Gambar 6. Tatalaksana pengobatan asma pada anak 5-11 tahun (DiPiro, 2008).
Tabel diatas merupakan tata laksana manajemen pengobatan untuk anak usia 5-11
tahun yang mengalami asma dibedakan menjadi intermittent asma dan persistent asma (obat
harian). Pada anak usia 5-11 tahun yang menderita intermittent asma langkah pertama yang
dapat diambil adalah pemberian SABA PRN, pada anak usia 5-11 tahun yang menderita
persistent asma ringan, langkah pertama yang disarankan yaitu pemberian ICS dosis rendah
atau dapat diberikan cromolin, nedokromil dan teofilin sebagai alternative. Pada anak usia 5-
11 tahun yang menderita persistent asma menengah dapat disarankan dengan pemberian ICS
dosis medium atau dapat dibantu dengan pemberian LABA. Dan pada anak usia 5-11 tahun
penderita persistent asma berat dapat diberikan ICS dosis tinggi dengan LABA atau dapat
dibantu dengan penambahan kortikosteroid oral untuk meningkatkan efektifitas pengobatan.
Langkah 2-4 dapat dipertimbangkan sebagai pengobatan asma alergi (DiPiro, 2008).

22
Gambar 7. Tatalaksana pengobatan asma pada orang dewas tahun (DiPiro, 2008).
Tabel diatas merupakan tata laksana manajemen pengobatan untuk anak dewasa yang
mengalami asma dibedakan menjadi intermittent asma dan persistent asma (obat harian).
Pada orang dewasa yang menderita intermittent asma langkah pertama yang dapat diambil
adalah pemberian SABA PRN, pada orang dewasa yang menderita persistent asma ringan,
langkah pertama yang disarankan yaitu pemberian ICS dosis rendah atau dapat diberikan
cromolin, nedokromil dan teofilin sebagai alternative. Pada orang dewasa yang menderita
persistent asma menengah dapat disarankan dengan pemberian ICS dosis medium atau dapat
dibantu dengan pemberian LABA. Dan pada orang dewasa penderita persistent asma berat
dapat diberikan ICS dosis tinggi dengan LABA , serta penggunaan Omalizumab pada pasien
yang memiliki alergi (DiPiro, 2008).
ICS telah dipertimbangkan digunakan untuk terapi kontrol jangka panjang untuk asma
persisten pada semua pasien karena potensi dan efektivitasnya. Dosis rendah hingga
menengah ICSs mengurangi Bronkohiperresponsivitas (BHR), meningkatkan fungsi paru dan
mengurangi eksaserbasi berat. ICS lebih efektif daripada kromolin, nedokromil, teofilin atau
antagonis reseptor leukotrien. Selain itu, ICSs merupakan satu-satunya terapi yang
mengurangi resiko kematian akibat asma. Meskipun penelitian tentang alternative terapi
kontrol jangka panjang ( kromolin, antagonis reseptor leukotrien, nedokromil dan teofilin)
menunjukkan peningkattan symptom dan fungsi paru, obat tersebut tidak dapat megurangi
BHR dan memiliki aktivitas antiinflamasi rendah. Untuk pasien dengan ICSs dosis rendah
yang tidak terkontrol, maka dilakukan peningkatan dosis atau kombinasi ICSs dengan LABA

23
pada langkah selanjutnya. Alternative lain juga dapat menambahkan modifikator leukotrien
atau teofilin dengan ICSs. Penambahan teofilin atau leukotrien dengan ICS kurang efektif
dibandingkan ICS dengan LABA dalam mengurangi eksaserbasi asma berat (DiPiro, 2008).

1. Kortikosteroid inhalasi (ICS)


Kortikosteroid inhalasi merupakan terapi untuk kontrol untuk jangka panjang yang
paling efektif untuk asma persisten, dan merupakan satu-satunya terapi yang menunjukkan
penurunan resiko kematian yang disebabkan asma meski dalam dosis yang relative kecil.
Kortikosteroid meningkatkan jumlah reseptor β2-adrenergik dan meningkatkan respon
reseptor terhadap stimulasi β2-adrenergik yang mengakibatkan penurunan produksi mukus
dan hipersekresi, mengurangi hiperresponsivitas bronkus serta mencegah dan mengembalikan
perbaikan jalur nafas. Pada pasien dengan tingkat keparahan menengah dapat dikontrol
dengan dosis 2x sehari. Pasien dengan sakit yang lebih parah memerlukan dosis pembarian
berulang dalam sehari. Karena respon inflamasi asma mengihibisi ikatan reseptor steroid,
pemberian obat harus dimulai dari dosis tinggi dan pemberian yang sering lalu diturunkan
ketika kontrol telah dicapai (DiPiro, 2008).

2. Long Acting Inhaled β2 Agonist (LABA)


Formoterol dan Salmeterol merupakan inhalasi agonis β2 aksi panjang yang
diindikasikan sebagai kontrol tambahan jangka panjang untuk pasien yang telah
mengkonsumsi inhalasi kortikosteroid dosis rendah hingga sedang sebelum ditingkatkan
menjadi dosis sedang atau tinggi. LABA bersifat larut lemak, sehingga dapat menembus
phospolipid layer dan masuk ke membrane sel. Salmeterol lebih β2 selektif dibandingkan
albuterol dan lebih bronkoselektif, sehingga akan dihasilkan durasi yang lebih panjang.
Kombinasi LABA dengan ICS dapat mengontrol asma lebih baik dibandingkan peningkatan
dosis tunggal ICS, karena LABA tidak memiliki aktivitas antiinflamasi (DiPiro, 2008).

3. Metilxantin
Teofilin merupakan metilxantin yang utama, menghasilkan bronkodilatasi dengan
menginhibisi fosfodiesterase yang juga dapat menghasilkan antiinflamasi melalui inhibisi
pelepasan mediator sel mast, penurunan pelepasan protein dasar eosinofil, penurunan
poliferasi limfosit T, penurunan pelepasan sitokin sel T dan penurunan eksudasi plasma.
Teofilin juga menginhibisi permeabilitas vaskuler, meningkatkan klirens mukosiliar, dan
memperkuat kontraksi diafragma. Metilxantin tidak efektif dalam bentuk aerosol dan harus

24
diberikan secara sistemik (p.o atau i.v). Rentang steady state 5-15 mcg/mL efektif dan aman
untuk kebanyakan pasien (DiPiro, 2008).

4. Kromolin Natrium dan Nedokromil Natrium


Kromolin Natrium dan Nedokromil Natrium mempunyai efek menguntungkan yang
merupakan hasil dari stabilisasi membrane sel mast, mengihinbisi respon terhadap paparan
alergen dan bronkospasme yang diinduksi karena latihan tetapi tidak menyebakan
bronkodilatasi. Kromolin Natrium dan Nedokromil Natrium diindikasikan untuk profilaksis
asma persisten ringan pada anak dan dewasa tanpa melihat etiologinya. Kromolin merupakan
obat pilhan kedua untuk pencegahan bronkospasme yang diinduksi latihan fisik dan dapat
digunakan bersama agonis β2 dalam kasus yang lebih parah namun tidak berespon pada tiap
zat masing-masing. Kromolin Natrium dan Nedokromil Natrium hanya efektif jika dihirup
dan tersedia sebagai obat inhalasi dosis terukur. Pasien pada awalnya menerima Kromolin
Natrium atau Nedokromil Natrium 4x sehari, setelah stabilisasi gejala frekuensi dapat
diturunkan hingga 2x sehari untuk nedokromil dan 3x sehari untuk kromolin (DiPiro, 2008).

5. Modifikator Leukotrien
Zafirlukas dan montelukas merupakan antagonis reseptor leukotrien local yang
mengurangi proinflamasi (peningkatan permeabilitas mikrovaskular dan edema jalur udara)
dan efek bronkokonstriksi leukotrien D4. Dosis dewasa zafirlukas adalah 20 mg 2x seahari,
diminum paling tidak 1 jam sebelum atau 2 jam setelah makan. Dosis untuk anak umur 5-11
tahun adalah 10mg 2x sehari, sedangkan montelukas dosis dewasa 10mg 1x sehari diminum
pada sore hari tanpa memperhintungkan makanan, dosis anak umur 6-14 tahun adalah 1 tablet
kunyah dosis 5mg sehari pada sore hari (DiPiro, 2008).
Zileuton merupakan inhibitor sintesis leukotrien, dosisnya 600 mg 4x sehari bersama
makanan dan ketika mau tidur (DiPiro, 2008).

6. Anti IgE (Omalizumab)


Omalizumab merupakan antibody anti IgE yang digunakan untuk pengobatan asma
yang tidak dapat ditangani dengan baik pada penggunaan inhalasi kortikosteroid dosis tinggi.
Obat hanya diindikasikan untuk pasien atopik bergantung kortikosteroid yang memerlukan
kortikosteroid dosis tinggi dengan berlanjutnya gejala dan kadar IgE tinggi. Omalizumab
mengikat bagian Fc dari antibody IgE untuk mencegah pengikatan IgE terhadap FcεRI sel
mast dan basofil. Penurunan pengikatan IgE pada permukaan menyebabkan penurunan dalam

25
pelepasan mediator dalam menanggapi paparan alergen. Omalizumab juga menurunkan
ekspresi FcεRI pada basofil dan sel saluran napas submukosa. Dosis ditentukan berdasarkan
IgE serum total dasar (IU/mL) dan BB pasien (kg), dosis berkisar antara 150-375 mg secara
s.c dengan interval pemberian 2 atau 4 minggu (DiPiro, 2008).

26
DAFTAR PUSTAKA

Ardinata, D., 2008, Majalah Kedokteran Nusantara, Vol. 41, no.4, Departemen Fisiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara, Sumatra Utara, pp. 268.
Corwin, E, J., 2007, Buku Saku Patofisiologi, Edisi 3, EGC, Jakarta, PP. 161- 163.
Depkes RI, 2007, Pharmaceutical Care untuk Penyakit Asma, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
DiPiro, J.T., 2008, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach,7th edition, McGraw
Hill Medical, New York, pp: 463-485.
Hill, V., 2012, Asthma Epidemiology, Pathophysiology, and Initial Evaluation, American
Academy of Pediatrics, USA, pp. 332-333.
Maryono, 2009. Hubungan Antara Faktor Lingkungan dengan Kekambuhan Asma
Bronkhiale pada Klien Rawat Jalan di Poliklinik Paru Instalasi Rawat Jalan RSUD
DR. Moewardi Surakarta, Universitas Muhammadiyah, Surakarta, pp. 58.
Moffatt, M. F., 2007, Genetic Variants Regulating ORMDL3 Expression Contribute to The
Risk of Childhood Asthma, Nature, Vol. 448, pp. 470.
Muchid, A., 2007, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta, pp. 5.
Najoan, W., 2008, Penyakit Saluran Pernapasan, PT Bina Husada, Jakarta, pp. 321-323.
NHLBI, 2007, Guidelines for the Diagnosis and Management of Asthma, National Institutes
of Health, USA, pp. 12-20.
Nurafiatin, A., 2007, Asma, Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta, pp. 93.Syaifuddun,
A., 2008, Ilmu Kebidanan, Ed. 4 Cet. 1, PT Bina Husada Sarwono Prawirohardjo,
Jakarta, pp. 810 -813.
Pratama, 2009, Profil Pasien Rawat Jalan Poli Asma RSUP Persahabatan Juli-Desember,
Jurnal Respirologi Indonesia, Vol. 29, No. 4, Jakarta, pp. 127.
Ratnawati, 2011, Editorial : Epidemiology of Asthma, Jurnal Respirologi Indonesia, Vol. 31,
No. 4, Jakarta, pp. 172-174.
Rengganis, I., 2008, Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial, Maj Kedokt Indon, Volum:
58, Nomor: 11.

27

Anda mungkin juga menyukai