Anda di halaman 1dari 7

Etika, Budaya dan Hubungannya dengan Ekonomi

1. ETIKA
Etika(moral) merupakan ilmu yang tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).

Berthens menjelaskan etika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ethos yang berarti alat
kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik.
Kata etika, sering disebut dengan istilah etik, atau ethics yang mengandung banyak
pengertian.
Dari segi etimologi istilah etika berasal dari kata latin “ethicus” dan dalam bahasa
Yunani disebut ethicos yang berarti kebiasaan.
Dengan demikian menurut pengertian yang asli, yang dikatakan baik itu yang sesuai
dengan masyarakat. Kemudian lambat laun pengertian ini berubah, bahwa etika adalah
suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia. Mana yang
dapat di nilai baik dan mana yang di nilai tidak baik.
Dalam agama Hindu etika dinamakan susila, yang berasal dari dua suku kata su
berarti baik, sila berarti kebiasaan atau tingkah laku perbuatan manusia yang baik. Etika
berkedudukan sebagai pengetahuan tata susila mengatur tingkah laku umat manusia agar
tidak menyimpang dari sabda Tuhan. Etika menjadi dasar-dasar pelaksanaan ajaran
agama untuk mencapai Moksa yang sesuai pada pustaka Samsamuccaya yaitu,
“Kesedihan atau penderitaan batin tidak dapat disembuhkan kaum kerabat, akan tetapi
dapat diringankan dengan pertolongan tingkah laku susila. Bersusila adalah jalan
melenyapkan kedukaan hati”.

Tingkah laku (etika) itu meliputi Trikaya Parisudha; Karma Patha, Trivarga, dan Tat Twam Asi.
1. Trikaya Parisudha

Trikaya parisuda berasal dari bahasa Sansekerta. Tri berarti tiga, kaya atau karya
berarti kerja atau perilaku, dan parisudha berarti upaya penyucian. Jadi, Trikaya
parisuda mengandung arti upaya pembersihan dari tiga macam perilaku kita yaitu :

a. Dasar perilaku pikiran yang baik (Manacika)


b. Dasar perilaku ucapan yang baik (Vacika)
c. Dasar perilaku perbuatan badan yang baik (Kayika)

Maka dengan adanya pikiran yang baik akan menimbulkan ucapan yang baik,
sehingga menimbulkan perbuatan jasmani yang baik.

1
2. Tri Varga

Tri Varga adalah tiga perincian dasar tentang tujuan menjelma sebagai manusia
ke dunia ini yang terdiri atas: Dharma, Artha, dan Kama.

a) Dharma : hukum kebenaran dan kesusilaan yang merupakan dasar dan jiwa dari
segala usaha. Segala bentuk kehidupan di dunia ini diatur oleh Dharma.
b) Artha : hasil usaha yang merupakan benda yang diperoleh dengan cara yang
benar. Memiliki harta benda akan menjerumuskna manusia jika tidak didasarkan
pada Dharma atau tidak diamalkan untuk Dharma. Harta benda itu perlu dan
harus diusahakan tetapi harus dengan jalan yang benar demi untuk memperkokoh
Dharma.
c) Kama : cinta kasih, ketenangan, kesenangan, kebahagiaan, dan kesejahteraan.
Kesenangan tertinggi adalah Moksa, yaitu bersatuya Atman dengan Brahman.

Dharma, Artha, dan Kama harus dijalankan dalam suatu rangkaian yang saling
melengkapi artinya umat tidak dapat hanya melaksanakan salah satunya saja. Dalam ayat
12 dari pustaka sarassamuccaya menyebutkan bahwa jika memerlukan kekayaan (artha),
dharma itulah yang seharusnya terlebih dahulu dilaksanakan dan dengan jalan demikian
niscaya akan mendapatkan kesenangan (kama), kenikmatan. Sebaliknya jika tidak
dilandasi dharma, maka sukarlah untuk mendapatkan artha dan kama.

3. Tat Twam Asi


Tat Twam Asi adalah suatu falsafah dalam Hinduisme yang mengajarkan
kesosialan tanpa batas, disebabkan telah diketahui bahwa segala makhluk adalah sama,
sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri, dan menyakiti orang lain berarti
menyakiti diri sendiri. Tat Twam Asi merupakan dasar utama untuk mewujudkan masyarakat
shanti (damai), kerta raharja (makmur). Ber tat wam asi berarti selalu mengutamakan cinta
kasih, rela berkorban, dan berbakti kepada orang tua guru, bangsa, dan Negara.

4. Karma Patha
Bermakna pelaksanaan atau pengendalian tingkah laku yang baik, perkataan yang baik,
dan pikiran yang baik, yang terdiri atas:

a) Tiga macam pengendalian melalui tingkah laku: tidak melakukan penyiksaan/ membunuh
makhluk yang tidak bersalah; hanya dibolehkan dalam perang, untuk menyelamatkan jiwa
sendiri, untuk yajna/yadna (menyembelih hewan untuk sesaji).

2
b) Tidak melakukan kecurangan terhadap harta benda dan tidak mencuri.
c) Tidak berbuat serong: tidak korupsi; tidak berbuat curang atau tidak mengadakan
hubungan segitiga yang dapat menimbulkan kekeruhan rumah tangga.
d) Empat macam pengendalian melalui perkataan: tidak memaki orang lain, tidak berkata
kasar, tidak memfitnah, tidak ingkar pada ucapan.
e) Tiga macam pengendalian melalui pikiran: tidak mengingini sesuatu yang tidak halal,
tidak berpikiran buruk pada orang lain, tidak mengingkari hukum karma phala.

2. BUDAYA
Kehidupan masyarakat pada dasarnya dapat dilihat dari berbagai macam aspek, misalnya tingkah
laku kehidupan sehari-hari pada satu komunitas kelompok kemasyarakatan. Tingkah laku
keidupan di masing-masing kelompok adalah berbeda-beda yang disesuaikan dengan keadaan
lingkungan tempat kelompok itu berbeda. Kebiasaan atas tingkah laku yang ditunjukkan oleh
suatu komunitas masyarakat tersebut dinamakan dengan tradisi. Tradisi ini timbul dari
kebudayaan yang tedapat dalam kelompok tertentu.

Kebudayaan memiliki banyak aspek. Budaya dapat diartikan sebagai segala hasil cipta, rasa, dan
karsa manusia untuk membantu kehidupannya. Maka dengan hal ini keberadaan seni yang ada
dalam masyarakat termasuk salah satu hasil dari kebudayaan yang tercipta dari kreatifitas rasa
karsa manusia untuk memenuhikebutuhan hidupnya. Dalam pelaksanaan keagamaan agama
Hindu, umat senantiasa mengimplementasikannya dalam bentuk seni, sehingga dalam
pelaksanaan upacara agama senantiasa dibarengi dengan seni. Dalam bahasa sansekerta “Seni”
berasal dari kata “San” yang berarti persembahan dalam upacara agama. Sehingga tidak salah
kalau pelaksanaan upacara Agama Hindu terdapat banyak sekali unsur-unsur seni didalam
pelaksanaannya, baik yang berupa sesajen, suara (dharma gita), gamelan, dan gerak (Tari, sikap
mudra sulinggih). Hal ini menjadikan Seni dan Agama adalah satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan, karena pelaksanaan Ajaran Agama Hindu di lakukan dengan seni.

Dalam kenyataan hidup bermasyarakat maka antara adat/budaya dan agama sering kelihatan
kabur dan sering tidak dimengerti dengan baik. Tidak jarang suatu adat-budaya yang dipraktekan
dalam kehidupan masyarakat dianggap merupakan suatu kegiatan keagamaan , atau sebaliknya,
suatu kegiatan keagamaan dianggap adalah kegiatan budaya.Sesungguhnya antara budaya dan
agama terdapat segi-segi persamaannya tetapi lebih banyak segi-segi perbedaannya. Segi
persamaannya dapat dilihat dalam hal bahwa kedua norma tersebut sama-sama mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat agar tercipta suasana ketentraman dan kedamaian. Tetapi
disamping adanya segi persamaan, terdapat juga segi-segi perbedaan. Segi perbedaan itu akan

3
tampak jika dilihat dari segi berlakunya, dimana perwujudan adat-budaya tergantung pada
tempat, waktu, serta keadaan (desa, kala, patra), sedangkan agama bersifat universal.

Kalau diperhatikan, maka agama dengan ajarannya itu mengatur rohani manusia agar tercapai
kesempurnaan hidup. Sedangkan adat budaya lebih tampak pengaturannya dalam bentuk
perbuatan lahiriah yaitu mengatur bagaimana sebaiknya manusia itu bersikap, bertindak atau
bertingkah laku dalam hubungannya dengan manusia lainnya serta lingkungannya, agar tercipta
suatu suasana yang rukun damai dan sejahtera.

Budaya agama adalah suatu penghayatan terhadap keberadaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
dalam bentuk kegiatan budaya. Sejak munculnya agama hindu, usaha memvisualisasikan ajaran
agama hindu kepada umat manusia telah berlangsungdengan baik. Para rohaniawan Hindu, para
pandita, orang-orang suci mengapresiasikan ajaran yang terdapat dalam kitab suci Weda kedalam
berbagai bentuk simbol budaya. Usaha ini telah terlaksana dari zaman ke zaman. Ajaran yang
sangat luhur ini diwujudkan dan disesuaikan dengan desa, kala, dan patra pada waktu itu.

HUBUNGAN EKONOMI ETIKA DAN BUDAYA

Kata “Ekonomi” adalah sebuah kata yang mustahil dipisahkan dengan barisan kata
Kesejahteraan, Kemakmuran, atau bahkan Kemahardikaan. Namun sebelum mencibir atau
berprasangka buruk, akibat maraknya kewenang-wenangan yang berbuat seenak udel
bodongnya, ya untuk mensejahterakan, memakmurkan kalangan sendiri, golongan sendiri, atau
bahkan diri sendiri. Yang pasti sebuah kemahardikaan sepertinya tiada dirasakan bagi mereka
tentunya.Sebuah kebebasan yang nyata dalam sekala serta niskala.

Apakah ekonomi itu, atau dalam sebutan Kitab Sarasamuscaya adalah Artha itu sendiri,
yang tentunya telah diketahui menjadi bagian dalam catur purusa artha bersama Dharma sebagai
dasar, Kama sebagai motivasi, dan Moksa sebagai tujuan Akhir. Sejak era Adam smith dalam
menumbuhkan kata Kapitalisme sebagai keberlanjutan serta dekontruksi sosial atas
Merkantilisme, maka hal terpenting dari PahamnNya (Adam Smith), yaitu Kapital itu dengan
perlakuan yang sesuai adalah akan memberikan pemerataan yang sesuai dari lapisan atas sampai
pula ke lapisan terbawah pada akhirnya. Jadi bahwa dengan pemerataan itu maka roda
perekonomian dengan meningkatkan produksi di saat memiliki kapasitas pribadi akan berlanjut
menuju kesejahteraan yang diusahakan secara merata baik diri sendiri, atau dengan
berkelompok. Merata dalam artian itu adalah tingkat kesenjangan yang diusahakan diminalisir.
Maksud Adam Smith adalah bahwa moralitas dalam bentuk “kasih” akan dilaksanakan

4
diusahakan menuju suatu perbaikan sampai pada kesejahteraan itu sendiri. Itu inti yang
diinginkan Adam Smith.

Kembali pada kata ekonomi sendiri, maka teringat prinsip bahwa dengan pengeluaran
sekecil-kecilnyanya mendapatkan penghasilan sebesar-besarnyanya..atau kebutuhan(keinginan)
manusia itu tidak terbatas dan alat pemuas kebutuhan terbatas.Sepertinya sedikit kontradiksi jika
dihadapkan pada dunia adalah sebuah persinggahan dan “kemelekatan” akan dunia menghambat
“santi”atau menuju ke arah “sunya” dalam kemoksaan atau mahardika itu sendiri. Lalu jika tanpa
moralitas, maka apa yang terjadi adalah kelicikan, dan lobha(greed) keserakahan adalah
keinginan yang tidak terbatas.

Lobha (Greed) Keserakahan sendiri adalah bagian dari Sad Ripu. Lobha artinya
kerakusan. Artinya suatu sifat yang selalu menginginkan lebih melebihi kapasitas yang
dimilikinya. Untuk mendapatkan kenikmatan dunia dengan merasa selalu kekurangan, walaupun
ia sudah mendapatnya secara cukup. Seperti misal lobha dalam mendapatkan harta seperti
disebutkan dalam :

Sarasamuscaya 267.

Jatasya hi kule mukhye paravittesu grhdyatah lobhasca prajnamahanti prajna hanta hasa
sriyam.
Yadyapin kulaja ikang wwang, yan engine ring pradryabaharana, hilang kaprajnan ika dening
kalobhanya, hilangning kaprajnanya, ya ta humilangken srinya, halep nya salwirning
wibhawanya.

Biar pun orang berketurunan mulia, jika berkeinginan merampas kepunyaan orang lain;
maka hilanglah kearifannya karena kelobhaanya; apabila telah hilang kearifannya itu itulah yang
menghilangkan kemuliaannya dan seluruh kemegahannya. Jadi hanya dengan berkeinginan saja
sudah menyebabkan Ia mendapatkan hasil karma yang buruk.

Dan selanjutnya dapat dijelaskan:

Sarasamuscaya 266

5
Hana yartha ulihlning parikleca, ulihning anyanya kuneng,

Athawa kasembahaning catru kuneng, hetunya ikang artha mangkana kramanya, tan
kenginakena ika

Artinya : Adalah uang yang diperoleh dengan jalan jahat, uang yang diperoleh dengan
jalan melanggar hukum atau pun uang persembahan musuh, uang yang demikian halnya jangan
hendaknya diinginkan.

Jadi Adharma adalah suatu hal yang hanya mendapatkan hasil karma yang tidak mungkin
baik, atau seperti yang diketahui secara universal, neraka itu hasilnya. Reinkarnasi buruk
hasilnya, atau yang benar-benar tidak diharapkan adalah karma wasana yaitu dosa yang diterima
oleh keluarga, dosa diwarisi, turun temurun.

Satu lagi akan suatu pencurian artha. Yaitu :

Sarasamuscaya 149

Yapwan mangke kraman ikang wwang, angalap masning mamas, makapanghada kasaktinya,
kwehning hambanya, tatan mas nika juga inalap nika, apa pwa dharma, artha , kama, nika milu
kalap denika..

Artinya : Jika orang yang merampas kekayaan orang lain dengan berpegang teguh kepada
kekuatannya dan banyak pengikutnya, malahan bukan haga kekayaan hasil curiannya saja yang
terampas darinya, tetapi juga dharma, artha kamanya itu terampas oleh karena perbuatannya.

Dalam hal ini karmapala adalah sebagai dasar yang nyata, yang berarti bahwa ia
akan nantinya cepat atau lambat dan pasti bahwa kebaikan (dharma),harta, dan mimpinya
(kama) akan lenyap. Maka dengan berbagai saran serta peringatan atau pula sebuah hukum
karma yang tercantum pada Sarasamuscya, maka dapat diselaraskan pada semangat moralitas
dari Adam SMith tersebut yang tercantum pada awal tulisan ini.

6
Lalu dalam Sarasamuscaya juga terdapat bagaimana hendaknya Artha itu digunakan
dalam menjalani sebuah lakon kehidupan.

Sarasamuscaya 262

Nuhan kramanyan pinatelu, ikang sabhaga, sadhana rikasiddhaning dharma, ikang kaping
rwaning bhaga sadhanari kasiddhaning artha ika, wrddhyakena muwah, mangkanakramanya
pinatiga, denika sang mahyun, manggihakenang hayu.

Demikian duduknya makan dibagi tiga (hasil usaha itu), satu bagian guna mencapai
dharma, bagian yang kedua adalah untuk memenuhi kama, dan yang ketiga diuntukkan bagi
melakukan kegiatan usaha di dalam bidang arhtha, ekonomi,agar berkembang kembali, demikian
duduknya, maka dibagi tiga, oleh karena yang ingin beroleh kebahagiaan. Seindah artinya bahwa
melakukan dharma, keberhakan mendapatkan kama, serta melakukan kegiatan ekonomi adalah
tiga hal yang disarankan dari sarasamucaya.

Etika dan kebudayaan itu tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling melekat dan saling
melengkapi satu dengan yang lainnya. Karena ketika suatu komunitas itu menciptakan batasan
dan aturan-aturan dalam etika tentulah berdasarkan dari kebiasaan dan juga hukum yang berlaku
di tempat tersebut. Karena terkadang suatu etika itu tidaklah berlaku sepanjang masa, tekadang
terjadi pelapukan dan pemudaran nilai-nilai etika. Nah, untuk membentuk batasan-batasan etika
yag baru diperlukanlah kebudayaan, karena kebudayaan itu merupakan kebiasaaan- kebiasaan
yang berlaku pada suatu komunitas tertentu. Nah disinilah keterkaitan kebudayaan karena ukuran
etis, patut dan tidak patut, layak dan tidak layak, nista atau mulia, memalukan atau tidak perlu
dianggap malu, semuanya merupakan bagian dari unsur-unsur kebudayaan . Dan itu semua
merupakan syarat untuk menciptakan etika. Bagi manusia yang berbudaya, yang menjaga tata
aturan hidup dari urusan sopan dan tidak sopan, layak dan tidak layak, maka perkara malu dan
tidak malu, pantas dan tid ak pantas, nista atau mulia, merupakan perkara penting dan sensitif,
dan dijaga dengan baik agar segenap tingkah lakunya tak tercemar dari sudut etika tadi.

Maka dari itu, jelaslah bahwa manusia itu membutuhkan kebudayaan dan juga aturan -
aturan etika agar bisa mengikuti perkembangan zaman. Maka, agar kebutuhan itu terpenuhi kita
harus kreatif menciptakan. Mungkin menciptakan etika hanya sebagian, mungkin menciptakan
kebudayaan secara keseluruhan.

Anda mungkin juga menyukai