Pendahuluan
Secara umum kebijakan ekonomi sebuah negara dapat dibagi menjadi dua, yaitu
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal adalah kebijakan untuk mengatur
penerimaan, pengeluaran, kekayaan, hutang dan piutang negara. Kebijakan fiskal dilakukan
oleh pemerintah, dalam hal ini kementerian keuangan. Kebijakan moneter adalah kebijakan
untuk mengatur uang beredar, nilai tukar, inflasi dan deflasi. Kebijakan moneter dilakukan
oleh bank sentral salah satunya dengan menentukan tingkat suku bunga acuan (BI rate) dan
penentuan giro wajib minimum.
Berdasarkan pasal 8 UU no.3 tahun 2004, Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam
rangka memelihara kestabilan rupiah memiliki tiga tugas yaitu menetapkan kebijakan
moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dan mengatur dan mengawasi
perbankan. Pasca terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maka tugas mengatur dan
mengawasi bank akan diserahkan kepada OJK.
Pengawasan Perbankan
Perbankan perlu diawasi dalam rangka untuk menciptakan sistem perbankan yang
sehat. Ciri-ciri sistem perbankan yang sehat adalah pertama; sanggup menjaga kepentingan
masyarakat. Hal ini penting mengingat besarnya dana masyarakat yang terakumulasi pada
perbankan, sehingga gagalnya perbankan akan berdampak terhadap kepentingan masyarakat
luas. Kedua, perbankan yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengendalian
moneter. Sebagai lembaga intermediasi, perbankan dituntut mampu mendukung pertumbuhan
ekonomi masyarakat. Perbankan berperan menyalurkan dana masyarakat dari pihak yang
kelebihan dana kepada pihak yang membutuhkan dana, untuk menggerakkan ekonomi
masyarakat. Laju inflasi dan daya beli masyarakat juga perlu dikendalikan, sehingga tidak
membebani masyarakat. Ketiga, perbankan mampu mengembangkan usahanya secara efisien
dan wajar. Tingginya tingkat persaingan dapat menyebabkan inovasi yang tidak wajar dan
memunculkan kegiatan perbankan yang berpotensi merugikan masyarakat. Oleh karena itu
perbankan perlu di atur dan diawasi agar dapat tercapai praktik perbankan yang baik.
Sebelum terbentuk Otoritas Jasa Keuangan, perbankan diatur dan diawasi oleh Bank
Indonesia sebagai bank sentral. Sedangkan lembaga keuangan lainnya seperti Pasar modal,
lembaga pensiun, pegadaian dan pembiayaan diatur dan diawasi oleh BAPEPAM-LK (Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan). Masing-masing lembaga fokus pada
lembaga keuangan yang di awasi. Akan tetapi hal ini mengandung kelemahan, karena praktik
lembaga keuangan sekarang sudah semakin komplek. Teknologi informasi dan inovasi
keuangan menghasilkan sistem keuangan yang semakin rumit, dinamis dan saling terintegrasi
antar lembaga keuangan. Demikian pula dari aspek kepemilikan, konglomerasi pada
lembaga keuangan menyebabkan keterkaitan antar pemilik dan pihak-pihak yang memiliki
kepentingan khusus pada lembaga keuangan.
Terbentuknya lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berawal dari keinginan untuk
melindungi masyarakat dan efisiensi lembaga keuangan. Krisis ekonomi 1997/1998, yang
mengakibatkan rontoknya beberapa bank, menunjukkan pengawasan perbankan tidak mampu
mendeteksi secara dini potensi akan terjadinya krisis. Meskipun krisis saat itu dapat
disebabkan oleh faktor eksternal maupun internal.
Kasus bank Century tahun 2008, yang menyebabkan kisruh politik dan hukum sampai
saat ini. Keterkaitan PT Antaboga Delta Sekuritas, PT Century Mega Investindo dan PT Bank
Century yang tidak terpantau Bapepam-LK dab Bank Indonesia. Hal ini menggambarkan
tidak adanya tukar-menukar informasi dan koordinasi yang baik diantara lembaga pengatur
dan pengawas ini (BI dan Bapepam-LK).
Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat di rumuskan adalah:
1.Pengawasan sektor perbankan, pasar modal dan industri keuangan non bank dilaksanakan
oleh lembaga yang sama yaitu OJK. Hal ini diharapkan mampu mempermudah deteksi
masalah yang bisa terjadi pada lintas sektor industri lembaga keuangan.
2. Mempermudah koordinasi, karena pengawasan pada lembaga keuangan yang memiliki
anak perusahaan di sektor keuangan lain akan mudah untuk terkonsolidasi.
3. Perlu perhatian dalam mengefektifkan fungsi stabilitator moneter BI, pada saat BI bukan
lagi sebagai regulator mikro prudensial.
4. Koordinasi OJK, BI, Lembaga Penjamin Simpanan serta Kementerian keuangan sangat
penting dalam menyelesaikan masalah-masalah khusus.
5. Masa transisi perpindahan dari BI dan Bapepam-LK ke OJK adalah masa yang krusial,
sehingga perlu perhatian khusus.
6. Akhirnya harapan masyarakat adalah semoga pasca terbentuk dan bekerjanya OJK sistem
keuangan kita semakin mantab, tangguh menghadapi krisis internal dan eksternal, konsumen
terlindungi, perekonomian bangsa semakin kuat dan rakyat sejahtera.
(Faqih_14/12/2012)