Anda di halaman 1dari 44

Case Report Session

Preterm Premature Ruptur of Membrane (PPROM)

Oleh :
Dessy Hardiyanti 1740312009
Tika Suryani 1740312010
Sitifa Aisara 1740312230

Preseptor :
dr. H. Muslim Nur, Sp.OG (K)
dr. M. Alam Patria, Sp.OG
dr. Susanti Apriani, Sp.OG

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSUD DR. MUHAMMAD ZEIN PAINAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2018

1
2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Premature rupture of the membranes (PROM) didefinisikan sebagai
pecahnya selaput ketuban spontan yang terjadi sebelum onset persalinan. Jika
selaput ketuban pecah sebelum 37 minggu gestasi hal ini dikenal sebagai preterm
PROM. Managemen konservatif didefinisikan sebagai penanganan secara
langsung untuk melanjutkan kehamilan. Preterm PROM terjadi pada saat atau
sebelum 26 minggu gestasi dan terjadi sebesar 0.6–0.7% kehamilan, dan dikenal
juga sebagai “midtrimester PROM.” Selanjutnya hubungan klinik terbaru
membagi preterm PROM kedalam “previable PROM,” dimana terjadi sebelum
batasan viabilitas (kurang dari 23 minggu), “preterm PROM yang jauh dari aterm”
(dari viabilitas kira-kira 32 minggu gestasi), dan “preterm PROM near term”
(kira-kira 32–36 minggu gestasi). Jika terjadi previable PROM, persalinan segera
yang terjadi akan meningkatkan kematian neonatal. Persalinan segera setelah
preterm PROM yang jauh dari aterm berhubungan dengan tingginya resiko
morbiditas dan mortalitas perinatal dan hal ini akan berkurang dengan
berlanjutnya usia kehamilan saat persalinan. Kemungkinan lain, dengan preterm
PROM yang mendekati aterm, pemilihan cara persalinan yang terbaik dengan
menghindarai infeksi dan pencegahan asfiksia janin akan meningkatkan angka
harapan hidup serta penurunan resiko morbiditas. 1
Preterm premature rupture of membranes (PPROM) terjadi pada 3%
kehamilan dan menimbulkan sepertiga dari kelahiran preterm. Preterm PROM
penting karena menimbulkan morbiditas dan mortalitas perinatal, terutama karena
berhubungan dengan pendeknya masa laten dari pecahnya selaput saat persalinan,
infeksi perinatal, dan kompresi tali pusat akibat oligohidramnion. Amnionitis (13–
60%) dan solusio plasenta (4–12%) biasanya berhubungan dengan preterm
PROM. Resiko komplikasi ini akan meningkat dengan berkurangnya usia gestasi
saat pecahnya selaput ketuban. 1

1
Terdapat perubahan dramatis dari resiko komplikasi perinatal terhadap
usia gestasi saat ruptur membran dan persalinan, sehingga usia kehamilan
digunakan sebagai dasar penanganan preterm PROM. Walaupun tidak terlihat
adanya keuntungan pada neonatal terhadap managemen konservatif setelah ruptur
membran yang terjadi pada aterm, terlihat adanya keuntungan potensial terapi
konservatif pada preterm PROM terhadap janin yang immatur. 1

1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
Menjelaskan tentang Preterm premature rupture of membranes (PPROM)
2. Tujuan Khusus
Mengetahui definisi, etiologi, patologi, gejala klinis, dasar diagnosis,
tatalaksana dan komplikasi dari Preterm premature rupture of membranes
(PPROM).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Premature rupture of the membranes (PROM) didefinisikan sebagai
pecahnya selaput ketuban spontan yang terjadi sebelum onset persalinan. Jika
selaput ketuban pecah sebelum 37 minggu gestasi hal ini dikenal sebagai preterm
PROM. Managemen konservatif didefinisikan sebagai penanganan secara
langsung untuk melanjutkan kehamilan. Preterm PROM terjadi pada saat atau
sebelum 26 minggu gestasi dan terjadi sebesar 0.6–0.7% kehamilan, dan dikenal
juga sebagai “midtrimester PROM.” Selanjutnya hubungan klinik terbaru
membagi preterm PROM kedalam “previable PROM,” dimana terjadi sebelum
batasan viabilitas (kurang dari 23 minggu), “preterm PROM yang jauh dari aterm”
(dari viabilitas kira-kira 32 minggu gestasi), dan “preterm PROM near term”
(kira-kira 32–36 minggu gestasi). Jika terjadi previable PROM, persalinan segera
yang terjadi akan meningkatkan kematian neonatal. Persalinan segera setelah
preterm PROM yang jauh dari aterm berhubungan dengan tingginya resiko
morbiditas dan mortalitas perinatal dan hal ini akan berkurang dengan
berlanjutnya usia kehamilan saat persalinan. Kemungkinan lain, dengan preterm
PROM yang mendekati aterm, pemilihan cara persalinan yang terbaik dengan
menghindari infeksi dan pencegahan asfiksia janin akan meningkatkan angka
harapan hidup serta penurunan resiko morbiditas .1

2.2 Insidens
Dalam keadaan normal 8-10 % perempuan hamil aterm akan
mengalami ketuban pecah dini. KPD preterm terjadi 1% dari seluruh
kehamilan. KPD preterm menyebabkan terjadinya1/3 persalinan preterm dan
merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal.2
KPD iatrogenik yang dikelola secara ekspektatif memiliki angka
kematian perinatal sebesar 60%. Hampir sepertiganya meninggal dalam
kandungan. Hipoplasi paru terjadi pada 50% kasus yang terdiagnosa sebelum

3
usia kehamilan 19 minggu. Sequelae yang berat terjadi pada bayi yang selamat
antara lain kebutaan, penyakit paru kronis dan serebral palsi.3

2.3 Anatomi dan Fisiologi Selaput Ketuban


Selaput ketuban (amniotic sac)yang membatasi rongga amnion terdiri
atas amnion dan khorion yang sangat erat ikatannya. Selaput amnion
merupakan jaringan avaskular yang lentur tapi kuat. Struktur avaskular ini
memiliki peran penting dalam kehamilan pada manusia. Pada banyak kasus
obstetri, pecahnya selaput ketuban secara dini pada kehamilan yang masih
muda merupakan penyebab tersering kelahiran preterm.2,4
Bagian dalam selaput berhubungan dengan cairan amnion yang
merupakan jaringan sel epitel kuboid yang berasal dari ektoderm embrionik.
Epitelini melekat erat kesebuah membran basal yang berhubungan dengan
lapisan interstisial mengandung kolagen I, III, dan V. Bagian luar dari selaput
ialah jaringan mesenkim yang berasal dari mesoderm. Lapisan amnion ini
berhubungan dengan korion leave. Lapisan dalam amnion merupakan mikrovili
yang berfungsi mentransfer cairan dan metabolik. Lapisan ini menghasilkan zat
penghambat metalloproteinase-1.4,5

Gambar 1. Lapisan Membran Amnion

4
Sel masenkim berfungsi menghasilkan kolagen sehingga
selaputmenjadilentur dan kuat. Di samping itu, jaringan tersebut menghasilkan
sitokinIL-6, IL-8, MCP-1 (monosit chemoattractant protein-1); zat ini
bermanfaat untuk melawan bakteri. Disamping itu, selaput amnion
menghasilkan zat vasoaktif: endotelin-1 (vasokonstriktor), dan PHRP
(parathyroid hormone related protein), suatu vasorelaksan. Dengan demikian,
selaput amnion mengatur peredaran darah dan tonus pembuluh lokal.2,4
Selaput amnion juga meliputi tali pusat. Sebagian cairan akan berasal
pula dari difusi pada tali pusat. Pada kehamilan kembar dikorionik-diamniotik
terdapat selaput amnion dari masing-masing yang bersatu.Namun, ada jaringan
korionleave ditengahnya (pada USG tampak sebagaihuruf Y, pada awal
kehamilan);sedangkan pada kehamilan kembar dikorion-monoamniotik
(kembar satu telur)tidak akan ada jaringan korion diantarakedua amnion (pada
USG tampak gambaran huruf T).2,4
Masalah pada klinik ialah pecahnya ketuban berkaitan dengan kekuatan
selaput. Pada perokok dan infeksi terjadi pelemahan pada ketahanan selaput
sehingga mudah pecah. Pada kehamilan normal hanya ada sedikit makrofag.
Pada saat kelahiran leukosit akan masuk ke dalam cairan ketuban sebagai
reaksi terhadap peradangan. Pada kehamilan normal tidak ada IL-1B,tetapi
pada persalinan preterm IL-1B akan ditemukan. Hal ini berkaitan dengan
terjadinya infeksi.4
Sejak awal kehamilan cairan ketuban telah dibentuk. Cairan ketuban
merupakan pelindung dan bantalan untuk proteksi sekaligus menunjang
pertumbuhan. Osmolalitas, kadar natrium, ureum, kreatinin tidak berbeda
dengan kadar serum ibu, artinya kadar di cairan ketuban merupakan hasil difusi
dari ibunya. Cairan ketuban mengandung banyak sel janin (lanugo,verniks
kaseosa). Fungsi cairan ketuban yang juga penting ialah menghambat bakteri
karena mengandung zat seperti fosfat dan seng.2

5
2.4 Pembentukan Cairan Ketuban4
Pada kehamilan sangat muda, air ketuban merupakan ultrafiltrasi dari
plasma maternal dan dibentuk oleh sel amnionnya. Pada trimester II kehamilan,
air ketuban dibentuk oleh difusi ekstraseluler melalui kulit janin sehingga
komposisinya mirip dengan plasma janin. Selanjutnya, setelah trimester II,
terjadi pembentukan zat tanduk kulit janin dan menghalangi difusi plasma janin
sehingga sebagian besar air ketubannya dibentuk oleh; sel amnionnya, dan air
kencing janin.
Ginjal janin mulai mengeluarkan urin sejak usia 12 minggu dan setelah
mencapai usia 18 minggu sudah dapat mengeluarkan urin sebanyak 7-14
cc/hari. Janin aterm mengeluarkan urin 27 cc/jam atau 650 cc dalam sehari.
Dengan demikian, komposisi yang membentuk air ketuban adalah mengikuti
suatu postulat bahwa bertambahnya air ketuban bukan merupakan kenaikan
linier, tetapi bervariasi sebagai berikut :

1. Bertambah 10 cc sampai usia 8 minggu


2. Bertambah 60 cc sampai usia 21 minggu
3. Terjadi penurunan produksi sampai usia kehamilan 33 minggu
4. Pertambahan tetap sampai usia aterm dan mencapai jumlah sekitar 800
sampai dengan 1500 cc
5. Melewati usia kehamilan 42 minggu, terjadi penurunan sekitar 150
cc/minggu sehingga akan cenderung terjadi oligohidramnion.

Setelah usia kehamilan melebihi 12 minggu, yang ikut membentuk air


ketuban adalah; ginjal janin (sehingga dijumpai urea, kreatinin, asam urat),
deskuamasi kulit janin (sel kulit, rambut lanugo, vernik kaseosa), sekresi dari
paru janin, transudat dari permukaan amnion plasenta, hormonal ataupun zat
mirip hormon dalam air ketuban.
Sementara itu regulasi air ketuban sangat penting artinya sehingga
jumlahnya dapat dipertahankan dengan tetap. Pengaturannya dipengaruhi oleh
tiga komponen penting berikut, yaitu; produksi yang dihasilkan oleh sel

6
amnion, jumlah produksi air kencing, serta jumlah air ketuban yang ditelan
janin. Lebih jauh regulasi air ketuban pada kehamilan aterm meliputi jumlah
yang diminum oleh janin ± 500-1000 ml, masuk ke dalam paru ± 170 ml, serta
dari tali pusat dan amnion ± 200-500 ml. Sedangkan jumlah cairan yang
dikeluarkan oleh janin ke rongga amnion adalah dari sekresi oral ± 25 ml,
sekresi dari traktus respiratorius ±170 ml, urin ±800-1200 ml, serta
transmembran dari amnion ± 10 ml. Dengan demikian tampak bahwa urin janin
menjadi dominan dalam produksi cairan ketuban, dan rata-rata regulasi
mendekati aterm mencapai 500 cc/hari.

Gambar 2. Volume Cairan Ketuban menurut Usia Kehamilan

Gambar 3. Perubahan Mingguan Volume Air Ketuban Menurut Usia Kehamilan. 9

7
2.5 Fungsi Cairan Ketuban5
Cairan ketuban mempunyai peranan penting dalam menunjang proses
kehamilan dan persalinan. Di sepanjang kehamilan normal kompartemen dari
cairan ketuban menyediakan ruang bagi janin untuk tumbuh bergerak dan
berkembang. Tanpa cairan ketuban rahim akan mengkerut dan menekan janin,
pada kasus–kasus dimana tejadi kebocoran cairan ketuban pada awal trimester
pertama janin dapat mengalami kelainan struktur termasuk distrorsi muka,
reduksi tungkai, dan cacat dinding perut akibat kompresi rahim.
Menjelang pertengahan kehamilan cairan ketuban menjadi semakin
penting untuk perkembangan dan pertumbuhan janin, antara lain perkembangan
paru-parunya, bila tidak ada cairan ketuban yang memadai selama pertengahan
kehamilan janin akan sering disertai hipoplasia paru dan berlanjut pada
kematian.Selain itu cairan ini juga mempunyai peran protektif pada janin.
Cairan ini mengandung agen-agen anti bakteria dan bekerja menghambat
pertumbuhanbakteri yang memiliki potensi patogen.
Selama proses persalinan dan kelahiran cairan ketuban terus bertindak
sebagai medium protektif pada janin untuk membantu dilatasi servik. Selain itu
cairan ketuban juga berperan sebagai sarana komunikasi antara janin dan ibu.
Kematangan dan kesiapan janin untuk lahir dapat diketahui dari hormon urin
jng diekskresikan ke dalam cairan ketuban.
Cairan ketuban juga dapat digunakan sebagai alat diagnostik untuk
melihat adanya kelainan-kelainan pada proses pertumbuhan dan perkembangan
janin dengan melakukan kultur sel atau melakukan spectrometer.
Fungsi lain cairan ketuban juga dapat melindungi janin dari trauma,
sebagai media perkembangan musculoskeletal janin, menjaga suhu tubuh janin,
meratakan tekanan uterus pada partus, membersihkan jalan lahir sehingga bayi
kurang mengalami infeksi, serta menjaga perkembangan dan pertumbuhan
normal dari paru-paru dan traktus gastro intestinalis.

8
2.6 Etiologi
Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan
membran atau meningkatnya tekanan intrauterin atau oleh kedua faktor
tersebut. Berkurangnya kekuatan membran disebabkan oleh adanya infeksiyang
dapatberasal dari vagina dan serviks. Beberapa ha masih merupakan
kontroversi di bidang obstetri. Penyebab lainnya adalah sebagai berikut:1

a. Serviks inkompeten, kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena


kelainan pada servik uteri (akibat persalinan, kuretase, atau tindakan
bedah obstetri lainnya).
b. Ketegangan rahim berlebihan (tekanan intrauterin meningkat secara
berlebihan/overdistensi uterus: seperti pada keadaan trauma, kehamilan
ganda, hidramnion).
c. Kelainan letak janin dan rahim misalnya: letak sungsang dan letak
lintang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu
ataspanggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran
bagian bawah.
d. Kemungkinan kesempitan panggul dimanabagian terendah belum
masuk PAP misalnyapada Cephalo Pelvic Disproportion (CPD).
e. Infeksi yang menyebabkan terjadinya biomekanik pada selaput ketuban
dalam bentuk preteolitik sel sehingga memudahkan ketuban pecah
(Amnionitis/Korioamnionitis).
f. Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin Crendah, ataupun
kelainangenetik).
g. Akhirnya, pecahnya selaput ketuban juga dapat disebabkan oleh trauma
dan setelah fetoskopi atau amniosentesis (iatrogenic).3

Masa interval sejak ketuban pecah sampai terjadi kontraksi disebut fase
laten. Makin panjang fase laten, makin tinggi kemungkinan infeksi.Makin
muda kehamilan, makin sulit upaya penatalaksanaannya tanpa menimbulkan
morbiditas janin.

9
2.7 Patofisiologi

PROM disebabkan oleh banyak faktor. Pada beberapa pasien, satu atau
lebih proses patofisiologi mungkin dapat ditemukan. Infeksi Choriodecidual atau
inflamasi terlihat memainkan peranan penting dalam etiologi preterm PROM,
terutama pada awal gestasi. Infeksi intra uterin merupakan etiologi dari preterm
PROM sebesar 30-40 % dari seluruh persalinan preterm . Penurunan kandungan
kolagen membran terlihat pada preterm PROM dan kadarnya akan meningkat
sesuai dengan peningkatan usia kehamilan. Peningkatan matrik metalloprotease
cairan amnion (1, 8, dan 9) akan menimbulkan penurunan inhibitor matrik
metalloprotease jaringan (1 dan 2) dan hal ini dapat diidentifikasi pada wanita
dengan preterm PROM. Faktor lain yang juga berhubungan dengan preterm
PROM adalah status sosial ekonomi yang rendah, merokok, sexually transmitted
infections, riwayat konisasi servikal, riwayat persalinan preterm, distensi uterus
(seperti kehamilan kembar, hydramnion), kelainan servik, amniosintesis, dan
perdarahan pervaginam selama kehamilan. Setiap faktor tersebut berhubungan
dengan preterm PROM melalui degradasi membran, inflamasi lokal, atau
kelemahan daya tahan maternal terhadap infeksi asenden bakteri kolonisasi 6,7,8

10
Gambar 4. Diagram skema dari Variasi Mekanisme terjadinya Premature
Rupture atau Preterm Premature Rupture of the Fetal Membranes

Prediksi preterm PROM


Satu hal klinis yang sering terjadi pada preterm PROM adalah pendeknya
masa laten dan tingginya resiko infeksi, sehingga pencegahan kejadiannya sangat
penting. Suatu studi yang besar the National Institute of Child Health & Human
Development Maternal-Fetal Medicine menemukan riwayat kelahiran preterm
pada preterm PROM dan ini berhubungan dengan kelahiran preterm berikutnya.
Dengan adanya riwayat kelahiran preterm pada minggu ke 23–27 maka resiko
untuk terjadinya kelahiran preterm berikutnya sebesar 27.1% (P < .001). Jika
ditemui adanya riwayat preterm PROM maka akan menimbulkan resiko
kelahiran preterm pada preterm PROM untuk kehamilan berikutnya sebesar
13.5% dan 13.5 kali lebih tinggi resiko preterm PROM kurang dari 28 minggu
pada kehamilan berikutnya (1.8% banding 0.13%, P < .01). Studi lain menemukan

11
adanya hubungan antara komplikasi medis, keluhan kontraksi, vaginosis
bakterialis, dan rendahnya masa indek tubuh dengan kelahiran preterm pada
preterm PROM pada nulipara. Preterm PROM pada multipara berhubungan
dengan riwayat preterm PROM sebelumnya, dan rendahnya indek masa tubuh.
Adanya pemendekkan servik (kurang dari 25 mm dengan ultrasonografi
transvaginal) berhubungan dengan preterm PROM baik pada nulipara maupun
multipara. Adanya fetal fibronectin pada saat skrening juga berhubungan dengan
preterm PROM pada multipara. Nullipara dengan fibronektin servikovaginal
positif dan disertai dengan pemendekkan servik, maka 16.7% berisiko untuk
terjadinya persalinan preterm pada preterm PROM, sedangkan pada multipara
dengan riwayat sebelumnya, pemendekkan servik, dan fibronektin fetal yang
positif memiliki resiko 25% untuk terjadinya preterm PROM .6,7,8

2.8 Diagnosis

A. Anamnesis
Pasien merasakan basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang
banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir atau “ngepyok”.Cairan berbau khas dan
perlu diperhatikan warnanya. Menentukan usia kehamilan dari hari pertama
menstruasi terakhir (HPHT) atau dari USG.

B. Inspeksi

Tentukan pecahnya selaput ketuban dengan adanya cairan ketuban


keluar dari vagina.

C. Pemeriksaan dengan speculum


Pemeriksaan dengan speculum pada KPD akan tampak keluar cairan
dari Orifisium Uteri Eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar,
fundus uteri ditekan, penderita diminta batuk, mengejan, atau bagian terendah
digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada
fornik anterior.

12
Gambar 5 : Ketuban Pecah Dini

D. Pemeriksaan dalam
Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada
lagi. Pemeriksaan Vaginal Toucher (VT) perlu dipertimbangkan, terutama pada
kehamilan yang kurang bulan yang belum dalam persalinan sangat dibatasi
dilakukan pemeriksaan dalam (VT), karena pada waktu pemeriksaan dalam,
jari pemeriksa akan mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina
yang normal. Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi pathogen.
Pemeriksaan dalam vagina hanya dilakukan pada kasus KPD yang sudah dalam
persalinan atau yang dilakukan induksi persalinan.

2.9 Pemeriksaan penunjang

A. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk menentukan ada atau tidaknya infeksi, kriteria laboratorium yang
digunakan adalah adanya leukositosis maternal (WBC yang lebih dari
16.000/uL), adanya peningkatan C-reactive protein cairan ketuban dan gas-
liquid chromatography, serta Amniosentesis untuk mendapatkan bukti yang
kuat (misalnya cairan ketuban yang mengandung leukosit yang banyak atau
bakteri pada pengecatan gram maupun pada kultur aerob maupun anaerob)

13
Tes lakmus (tes Nitrazin) digunakan, yaitu jika kertas lakmus merah
berubah menjadi biru menunjukkan adanya air ketuban (alkalis). Normalnya
pH air ketuban berkisar antara 7-7,5. Darah dan infeksi vagina dapat
menghasilkan tes yang positif palsu.1,4
Mikroskopik (tes pakis), yaitu dengan meneteskan air ketuban pada
gelas objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan
gambaran daun pakis.1,4

B. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)


Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban
dalam kavum uteri. Dikenal tiga cara pengukuran cairan ketuban, yaitu secara
subyektif, semikuantitatif (pengukuran satu kantong), dan pengukuran empat
kuadran menurut Phelan. Sayangnya tidak ada satupun metode pengukuran
volume cairan ketuban tersebut yang dapat dijadikan standar baku emas.
Penilaian subyektif oleh seorang pakar dengan menggunakan USG “real-time”
dapat memberikan hasil yang baik.9
Penilaian subyektif volume cairan ketuban berdasarkan atas
pengalaman subyektif pemeriksa didalam menentukan volume tersebut
berdasarkan apa yang dilihatnya pada saat pemeriksaan. Dikatakan normal bila
masih ada bagian janin yang menempel pada dinding uterus, dan bagian lain
cukup terisi cairan ketuban. Bila sedikit, maka sebagian besar tubuh janin akan
melekat pada dinding uterus, sedangkan bila hidramnion, maka tidak ada
bagian janin yang menempel pada dinding uterus.9
Pengukuran semikuantitatif dilakukan melalui pengukuran dari satu
kantong (single pocket) ketuban terbesar yang terletak antara dinding uterus
dan tubuh janin, tegak lurus terhadap lantai. Tidak boleh ada bagian janin yang
terletak didalam area pengukuran tersebut. Klasifikasinya dapat dilihat dalam
table 1. dibawah ini.

14
Tabel 1. Pengukuran Semikuantitatif (Satu Kantong) Volume Cairan Ketuban

HASIL PENGUKURAN INTERPRETASI

> 2 cm, < 8 cm Volume cairan ketuban normal

> 8 cm Polihidramnion
 8-12 cm  Polihidramnion ringan

 12-16 cm  Polihidramnion sedang

 >16 cm  Polihidramnion berat

≥ 1 cm, ≤ 2 cm Volume cairan ketuban meragukan


normal (borderline)

< 1 cm Oligohidramnion

Pengukuran volume cairan ketuban empat kuadran atau indeks cairan


amnion (ICA)/amnion fluid index (AFI) diajukan oleh Phelan, dkk (1987) lebih
akurat dibandingkan cara lainnya. Pada pengukuran ini, abdomen ibu dibagi
atas empat kuadran.Garis yang dibuat melalui umbilikus vertikal ke bawah dan
transversal.Kemudian transduser ditempatkan secara vertikal tegak lurus lantai
dan cari diameter terbesar dari kantong ketuban, tidak boleh ada bagian janin
atau umbilikus didalam kantong tersebut. Setelah diperoleh empat pengukuran,
kemudian dijumlahkan dan hasilnya ditulis dalam millimeter atau sentimeter.17

15
Tabel 2. Indeks CairanKetubanBerdasarkan Pengukuran Empat Kuadran (Phelan)
HASIL PENGUKURAN INTERPRETASI

50 – 250 mm Normal

>250 mm Polihidramnion

< 50 mm Oligohidramnion

2.10 Terapi

Pertimbangan umum

Terdapat perubahan dramatis dari resiko komplikasi perinatal terhadap


usia gestasi saat ruptur membran dan persalinan, sehingga usia kehamilan
digunakan sebagai dasar penanganan preterm PROM. Walaupun tidak terlihat
adanya keuntungan pada neonatal terhadap managemen konservatif setelah ruptur
membran yang terjadi pada aterm, terlihat adanya keuntungan potensial terapi
konservatif pada preterm PROM terhadap janin yang immatur 7,8,9

Pengelolaan kasus dengan preterm PROM harus dimulai dengan


menegakkan diagnosa pasti pecahnya ketuban, menentukan usia hamil dan
maturasi paru janin, menentukan ada tidaknya infeksi intrauterin, tanda-tanda
inpartu dan menentukan jumlah air ketuban masih cukup adekuat atau sudah ada
tanda-tanda oligohiramnion 7,8,9

16
1. Menegakkan diagnosa pasti ketuban sudah pecah.

 Pemeriksaan inspekulo tampak air ketuban di forniks posterior atau


mengalir dari ostium
 Mengukur pH cairan vagina menggunakan kertas lakmus merah yang
akan menjadi biru (Nitrazin test). Kalau hasil kedua pemeriksaan rutin
diatas masih meragukan maka dilanjutkan dengan :
 Pemeriksaan lanugo dan verniks dibawah mikroskop.
 Bila perlu melakukan test dengan Indigo Carmine yang dimasukkan
kedalam rongga rahim dengan amniosentesis kemudian dilihat inspekulo
apakah warna biru air ketuban ada pada cairan diforniks posterior.
 Sedapat mungkin jangan melakukan pemeriksaan vaginal kecuali
memang sudah pasti kehamilan akan diakhiri, untuk mencegah infeksi
intrauterin.
 Bila cairan diforniks sudah pasti air ketuban maka sekaligus dilakukan
pemeriksaan maturasi paru.

2. Menentukan usia hamil dan maturasi paru janin


Usia kehamilan ditentukan secara rutin melalui :

 Penambahan tanggal hari pertama haid terakhir yang normal dan spontan
dengan tujuh hari dan kemudian pengurangan bulan (Rumus Naegele).
Kita harus menentukan apakah haid sebelumnya spontan dan mempunyai
siklus teratur sehingga bisa diramalkan dan memiliki panjang yang
normal di samping memastikan bahwa perdarahan tersebut bukan terjadi
akibat penghentian pemakaian KB
 Tes urin, jika positif, hal ini menunjukkan kehamilan awal dalam 6
minggu pertama awal kehamilan dimulainya dari perdarahan haid
terakhir yang normal. Test melalui urin merupakan slide test inhibis
aglutinasi lateks yang paling sering dikerjakan, karena memiliki
kepekaan terhadap korionik gonadotropin yang berkisar dari 500 hingga
800 mIU permil. Tes dengan menggunakan metode ELISA (enzyme

17
linked immunosorbent assays) sensitif untuk kadar 10 hingga 50 mIU per
ml, jenis test ini juga memberikan keuntungan berupa kecepatan dan
kemudahan pelaksanaan. Sedangkan pemeriksaan serum
radioimunoassay untuk hCG merupakan metode yang paling tepat .
 Pengukuran tinggi fundus uteri di atas simfisis dengan mengukur jarak
dari puncak fundus ke puncak simfisis pubis. Puncak fundus dipastikan
dengan perkusi dan dengan palpasi, lalu pita pengukur dibentangkan dari
puncak fundus sampai ke simfisis dengan syarat kandung kencing harus
dikosongkan terlebih dahulu. Worthen dan Bustillo menyebutkan selisih
pengukuran yang timbul bila kandung kencing tidak dikosongkan sampai
3 cm pada usia kehamilan 17-20 minggu bila kandung kencing dalam
keadaan penuh
 Pengukuran besar janin yang rutin dilakukan dengan USG:
a. Biparietal Diameter (BPD)
Pengukuran BPD dilakukan mulai dari bagian pinggir luar (outer
to inner) tulang parietal sampai kebagian dalam tulang parietal belakang,
pada posisi kepala oksiput transversal sehingga terlihat falx serebri,
thalamus, kavum septum pellusidum dan arteri serebri media dengan
menggunakan gain yang minimal.

b. Femur Length (FL)


Panjang femur dapat diukur pada kehamilan minggu ke-14
hingga kehamilan aterm dengan mengukur jarak antara trokhanter mayor
sampai ke kondilus lateralis. Nilai akurasi FL hampir sama dengan nilai
BPD dan dapat memperkuat hasil BPD serta dapat digunakan bila
pemeriksaan BPD tak dapat dilakukan

18
Pengukuran maturitas paru janin:

 Pemeriksaan biofisik : uji stabilitas busa (foam stability test / uji kocok) (
+ atau ++ : sens. 75%, spec. 72, 7%, PPV. 80%), uji ini dilakukan secara
rutin dan bila uji ini memperlihatkan paru yang belum matang maka
dilanjutkan dengan uji biokimia.
 Pemeriksaan biokimia : maturasi paru janin diperiksa dengan mengukur
Lesitin / Spingomyelin rasio (L/S  2 : sens. 82%, spec. 85%), kadar
phosphatidyl Gliserol, penghitungan badan lamelar dalam air ketuban ( 
9500/ml : sens. 100%, spec. 81,8%, PPV. 80%)

3. Menentukan infeksi intrauterine

Menentukan setiap hari untuk menilai adanya infeksi intrauterin secara


klinis dengan tanda-tanda :

 adanya febris  100F


 takhikardi fetal yang persisten  160 kali/menit
 takhikardi maternal  120 kali/menit
 Nyeri uterus
 pengeluaran cairan dari vagina yang keruh dan berbau.

Secara laboratorik infeksi intrauterin ditentukan dengan :

 peningkatan kadar CRP serum ( > 0.5 )


 lekosit serum maternal ( 11.500 /ml) dilakukan setiap hari.
 Kultur cairan ketuban yang diambil dengan cara amniosintesis, pengecatan
gram, gas liquid chromatography, lymolus lysate, lekosit ( > 20/ml), kadar
glukosa, lekosit esterase dan peningkatan kadar sitokin proinflamasi ( TNF
, IL-1, IL-6 dan IL-8). Bila ditemukan tanda-tanda ini penundaan

19
persalinan tidak lagi dianjurkan oleh karena bahaya terhadap ibu dan atau
anak.

4. Menentukan tanda-tanda inpartu


Menentukan tanda-tanda inpartu bertujuan untuk menentukan apakah
persalinan dapat ditunda secara bermakna untuk meningkatkan usia kehamilan
dan berat lahir (selama tidak ada hal yang membahayakan anak dan atau ibu)
ataukah persalinan sudah tidak mungkin lagi ditunda oleh karena dapat dipastikan
akan lahir preterm. Farooqi (1998) mengemukakan dari pengamatan yang
dilakukan bahwa kasus-kasus preterm PROM pada trimester II yang dirawat
konservatif akan terjadi persalinan paling lama 11 hari dengan risiko komplikasi
hipoplasia paru, deformitas bayi karena kompresi serta infeksi intra amniotik.
Tanda-tanda inpartu dapat berdasarkan gejala klinis kontraksi uterus, penipisan
servik dan dilatasi. Akan tetapi pemeriksaan biofisik janin yakni adanya variabel
deselerasi pada preterm PROM trimester II merupakan tanda inpartu yang paling
awal. Abadi A dalam penelitiannya pada kasus-kasus persalinan preterm
membakat, usia hamil antara 28 – 34 minggu menemukan petanda klinis yakni
kontraksi uterus 3 kali atau lebih per 10 menit, penipisan servik 50% atau lebih,
jumlah lekosit dalam serum 11500/ml atau lebih serta petanda biokimiawi yakni
kadar IL-6 dalam air ketuban 3000 pg/ml atau lebih merupakan penentu terjadinya
persalinan dalam waktu antara 6 jam sampai dengan 11 hari dengan sensitifitas,
spesifitas dan nilai prediksi positif yang cukup tinggi.

5. Menentukan jumlah air ketuban dan tanda-tanda gawat janin

Oligohydramnion sering berhubungan dengan PROM dan ini merupakan


faktor resiko klinik yang akan berkembang menjadi chorioamnionitis dan sepsis
neonatal. Peningkatan invasi mikroba pada rongga amnion berhubungan dengan
PPROM dan memberikan dampak pada imunitas maternal, kemampuan normal
antimikroba cairan amnion yang nantinya akan menimbulkan infeksi asenden

20
intrauterine Diagnosis oligohidramnion dapat ditegakkan dengan pemeriksan
USG dengan ketentuan bahwa dengan memperhatikan usia hamil maka
oligohidramnion apabila jumlah air ketuban kurang dari 5 precentile, sedangkan
tanpa memperhatikan usia hamil maka oligohidramnion apabila jumlah air
ketuban pada 4 kwadran < 5 cm ( AFI < 5cm ). Garite (1999) mengemukakan bila
ditemukan PROM disertai oligohidramnion sebaiknya direncanakan untuk
mengakhiri kehamilan dengan pemantauan janin lebih dahulu untuk menentukan
cara persalinan yang memadai. Oligohidramnion pada trimester II bila disertai
dengan variabel deselerasi maka kematian perinatal mencapai 80-90%.
Amnioinfusion dengan 150-300 ml larutan garam fisiologis pada saat ini akan
memperbaiki variabilitas denyut jantung janin dan memperpanjang periode latent.
Meskipun amnioinfusion merupakan tindakan yang relatif aman akan tetapi
mengingat efek samping yang bisa terjadi misalnya tekanan intrauterin yang
mendadak meningkat dan ruptura uteri pada bekas SC, maka penggunaannya
secara rutin di kamar bersalin belum direkomendasikan dan sebaiknya tindakan
ini hanya dalam kerangka penelitian klinis. Dari apa yang telah dibahas diatas
maka tampaknya pada kasus-kasus preterm PROM, usia hamil dan volume air
ketuban merupakan faktor penentu dari prognosa dan fetal survival

6. Konsultasi dengan neonatologis serta unit perawatan intensif


Kesulitan utama dalam persalinan prematur adalah perawatan bayinya,
semakin muda usia kehamilannya semakin besar morbiditas dan mortalitasnya.
Karena disamping harapan hidup perlu difikirkan pula kwalitas hidup bayi
tersebut. Bila persalinan berlanjut, perlu dipersiapkan penolong bayi prematur
karena asfiksia bisa memperburuk penyakit membran hialin serta komplikasi
prematur. Bila mungkin dirujuk ke tempat perawatan bayi prematur yang lebih
mampu (Unit perawatan intensif neonatus). Penanganan pada saat persalinan
harus mengikutsertakan fasilitas dan petugas yang mampu menangani calon bayi
terutama adanya seorang neonatologis.

21
Gambar 7. Algoritma evaluasi dan managemen preterm premature rupture of the
membranes (pPROM). PgE2 = prostaglandin E2; NIH = National Institutes of
Health Maternal-Fetal Medicine Units Network

Preterm PROM yang mendekati aterm (near term) (32–36 minggu)

Jika preterm PROM terjadi pada saat 34–36 minggu gestasi, resiko
morbiditas akut lanjut dan mortalitas terjadi lebih rendah bila dilakukan pemilihan
cara persalinan baik. Kortikosteroid umumnya tidak diberikan untuk mempercepat
maturitas paru janin. Sebaliknya, managemen konservatif pada saat 34–36 minggu
berhubungan dengan peningkatan resiko amnionitis (16% banding 2%, P = .001),
memperlama hospitalisasi maternal (5.2 banding 2.6 hari, P = .006), dan

22
menurunkan rata-rata pH tali pusat saat persalinan (7.25 banding 7.35, P = .009)
tampa memberikan keuntungan yang signifikan dalam menurunkan komplikasi
perinatal sehubungan dengan prematuritas. Pada janin yang matur, phosphatidyl
glycerol, Amniostat-FLM (Irvine Scientific, Santa Ana, CA), fluorescence
polarization TDX FLMII assay (surfactant/albumin ratio) (Abbott Laboratories,
Abbott Park, IL), lecithin-sphingomyelin ratio, atau jumlah lamellar body dari
koleksi cairan vaginal atau amniosentesis berhubungan dengan rendahnya resiko
komplikasi pulmoner setelah preterm PROM near term, tanpa memperhatikan
adanya kontaminasi darah atau mekonium. Adanya mekonium atau darah pada
keadaan preterm PROM akan meningkatkan resiko solusio plasenta atau
gangguan janin sehingga keuntungan managemen konservatif perlu
dipertimbangankan kembali. Bukti maturitas paru berdasarkan pada genangan
cairan amnion di vagina atau dari amniosentesis saat 32–36 minggu gestasi,
membuktikan bahwa resiko utama komplikasi perinatal nonpulmonari lebih
rendah dan managemen konservatif hanya akan memperpendek lama kelanjutan
suatu kehamilan (36 banding 14 jam, P < .001), meningkatkan resiko amnionitis
(27.7% banding 10.9%, P = .06), dan menempatkan janin pada resiko terjadinya
kompresi tali pusat yang tidak terkontrol, tanpa memberikan keuntungan yang
signifikan dalam menurunkan morbiditas neonatal. Dengan demikian, wanita
dengan preterm PROM pada 34–36 minggu secara umum lebih membutuhkan
cara persalinan yang terbaik. Jika preterm PROM terjadi pada 32 sampai 33
minggu, direkombinasikan untuk pematangan paru janin dengan penilaian
spesimen cairan yang terdapat pada vagina atau melakukan amniosentesis jika
cairan vagina tidak cukup untuk mengevaluasi maturitas paru janin. Jika terdapat
bukti adanya maturitas paru janin setelah preterm PROM pada 32 sampai 33
minggu, maka terdapat sedikit keuntungan dengan melanjutkan kehamilan, dan
menentukan rekombinasi cara terbaik persalinan .

Cox dkk melakukan evaluasi antara persalinan segera dibandingkan


dengan managemen konservatif pada 129 wanita dengan preterm PROM pada 30–
33 minggu gestasi. Disini tidak diberikan tokolitik dan steroid antenatal, serta

23
profilak group B streptococcus. Managemen konservatif dari preterm PROM
berhubungan hanya dengan peningkatan periode laten persalinan (59% banding
100% persalinan dalam 48 jam, P < .001), tetapi secara signifikan meningkatkan
terjadinya amnionitis (15% banding 2%, P = .009), serta tidak terdapat bukti
penurunan morbiditas akibat usia kehamilan. Disini terdapat resiko yang
signifikan terjadinya RDS (35%) 7,8,9

Sebagai tambahan, terdapat satu lahir mati akibat kompresi tali pusat pada
kelompok managemen konservatif, dan tiga kematian neonatal pada kelompok
dengan persalinan yang segera (dua akibat sepsis dan satu akibat hipoplasia
pulmoner). Jika terdapat immaturitas paru janin pada 32 sampai 33 minggu, atau
cairan untuk pemeriksaan tidak tersedia dengan cukup, maka dapat dilakukan
terapi konservatif dengan monitor ketat janin, pemberian terapi antibiotik
tambahan, dan pemberian kortikosteroid antenatal untuk maturitas fetal.
Kemungkinan lain adalah tidak melakukan perangsangan maturitas paru janin
dengan kortikosteroid atau melanjutkan kehamilan serta menekan infeksi dengan
memberikan bersamaan dengan antibiotik 7,8,9

Preterm PROM jauh dari aterm (23–31 minggu)

Persalinan sebelum 32 minggu gestasi berhubungan secara signifikan


dengan resiko komplikasi neonatal, sehingga akan menimbulkan morbiditas serta
kematian janin. Karena hal ini, maka preterm PROM yang jauh dari aterm
biasanya dilakukan managemen konservatif untuk memperpanjang kehamilan dan
menurunkan resiko morbiditas terhadap janin yang lahir. Bagaimanapun, pada
sejumlah wanita akan terjadi perpanjangan periode sisa kehamilan, dan
memberikan kesempatan pada perkembangan maturitas fetal dalam uterus.
Rendahnya amniotic fluid index pada awalnya terlihat berhubungan dengan
pendeknya masa laten dan meningkatkan resiko amnionitis Bagaimanapun,
penilaian volume cairan ketuban tidak akurat untuk memprediksi berakhirnya
kehamilan dengan cepat dan dengan demikian penilaian ini tidak digunakan dalam
pengambilan keputusan mengenai managemen konservatif 7,8,9

24
Selama managemen konservatif, dilakukan pengawasan secara langsung
terhadap deteksi dini persalinan, solusio plasenta, amnionitis, dan kompresi tali
pusat atau fetal distress. Secara umum penyempurnaan terbaik dengan
mengobservasi pasien kecuali kalau ruptur membran menutup kembali.
Managemen konservatif pada umumnya dilakukan dengan pengontrolan kuntinyu
fetal dan maternal yang dikombinasikan dengan istirahat untuk meningkatkan
reakumulasi cairan amnion dan penutupan spontan dari membran. Janin dengan
preterm PROM yang jauh dari aterm secara signifikan berisiko (32–76%) untuk
terjadinya kompresi tali pusat dan fetal distres. Karena gambaran abnormalitas
dari jantung janin dan kontraksi dapat terjadi pada wanita dengan asimptomatik,
penilaian janin dilakukan paling sedikit sekali sehari dengan melakukan test tanpa
tekanan. Walaupun nonstress test dan profil biofisik memiliki kemampuan dalam
menilai fetal well-being atau mengidentifikasi keadaan janin pada preterm PROM,
monitoring rata-rata denyut jantung janin lebih menguntungkan dalam menilai
perubahan periodik denyut jantung seperti variabilitas dan deselerasi lambat,
sebagai tambahan dalam memberikan penilaian aktivitas uterus. Test profil
biofisik mungkin kurang dapat mengidentifikasi adanya oligohidramnion tetapi
hal ini dapat dibantu dengan melakukan nonstress test, terutama pada kehamilan
yang jauh dari aterm, jika ditemukan gambaran rata-rata denyut jantung janin
yang kurang reaktif. Test tanpa tekanan dilakukan secara kontinyu untuk
monitoring denyut jantung janin, guna menilai keberhasilan terapi kortikosteroid
antenatal (24–48 jam setelah dosis awal). Istirahat pelvik serta menghindari
pemeriksaan digital pelvik akan menurunkan resiko terjadinya infeksi intrauterin
serta memperpanjang masa laten kehamilan Alexander JM dkk melakukan
penelitian serta mendapatkan hasil bahwa pemeriksaan digital servik dengan satu
atau dua jari selama manegemen konservatif pada PPROM 24-32 minggu gestasi
berhubungan dengan singkatnya masa laten 8,9.

Kombinasi demam (temperatur diatas 38.0C atau 100.4F) dengan nyeri


uterus dengan atau tanpa maternal atau fetal takikardi, setelah menyingkirkan
sumber infeksi lain, menandakan adanya infeksi intrauterin dan perlu dilakukan

25
pemilihan cara terbaik persalinan. Jumlah sel darah putih maternal akan
meningkat jika diberikan terapi kortikosteroid antenatal dalam 5–7 hari.
Kemungkinan lain, adanya peningkatan jumlah sel darah putih yang disertai
adanya temuan klinis yang mencurigakan mengharuskan kita untuk melakukan
observasi yang ketat, misalnya dengan monitoring janin kontinyu atau melakukan
persalinan. Keluhan maternal, temuan pemeriksaan fisik dan hematology serta
amniosintesis akan memberikan informasi mengenai infeksi intrauterin, termasuk
konsentrasi glukosa yang kurang dari 16–20 mg/dL, pewarnaan Gram yang
positif, atau kultur cairan amnion yang positif .

Terapi tambahan pada PROM yang jauh dari aterm

Antibiotik

Keuntungan dari spektrum profilak intrapartum penicillin atau ampicillin


intravena untuk mencegah transmisi vertikal dan onset sepsis neonatal oleh group
B streptokokus (Streptococcus agalactiae) terlihat nyata. Profilak intrapartum
terhadap group B streptococcus dengan penicillin intravena 5,000,000-U initial
bolus dan dilanjutkan dengan 2,500,000 U tiap 4 jam atau ampicillin (2 g) yang
dilanjutkan dengan 1 g intravena (IV) tiap 4 jam (erythromycin, 500 mg IV tiap 6
jam, atau clindamycin, 900 mg IV tiap 8 jam, jika alergi terhadap penicillin)
diberikan selama persalinan atau sebelum seksiosesaria setelah preterm PROM
kecuali kalau waktu yang tersedia tak cukup atau kultur anovaginal
memperlihatkan hasil negative yang diperoleh dalam 5 minggu persalinan. Karena
adanya peningkatan resistensi group B streptococcus maka pemberian terapi
erythromycin dan clindamycin, dapat digunakan sebagai terapi pilihan terutama
pada pasien dengan riwayat alergi penicillin .

Tujuan terapi antibiotik tambahan selama managemen konservatif dari


preterm PROM yang jauh dari aterm adalah untuk mencegah infeksi asenden
desidual akibat kelanjutan kehamilan dan menguntungkan untuk menurunkan

26
infeksi opportunistic neonatal dan morbiditas. The National Institute of Child
Health & Human Development Maternal-Fetal Medicine melakukan studi pada
wanita dengan preterm PROM pada 24–32 minggu gestasi. Pada penelitian
tersebut dinyatakan bahwa antibiotik akan meningkatkan kesehatan neonatal
dengan menurunkan satu atau lebih morbiditas mayor janin (kematian, RDS,
sepsis, perdarahan intraventrikular yang berat, enterokolitis nekrotikan) dari 53%
menjadi 44% (P < .05). Studi yang dilakukan di Copenhagen, Denmark:
University of Copenhagen, Department of Obstetrics and Gynaecology
Rigshospitalet, 1997) memperlihatkan bahwa antibiotik akan meningkatkan
kemungkinan lama kehamilan lebih dari 1 minggu (odds ratio [OR] dan 95%
confidence interval [CI]: 2.52; 1.92, 3.30), menurunkan amnionitis (0.60; 0.47,
0.78), menurunkan sepsis neonatal (0.47; 0.33, 0.67), menurunkan RDS (0.76;
0.60, 0.96), dan menurunkan perdarahan intraventrikular (0.70; 0.52, 0.95), tanpa
meningkatkan resiko seksiosesaria (1.00; 0.78, 1.28) atau enterokolitis nekrotikan
(1.28; 0.84, 1.98). Berdasarakan temuan ini maka terapi antibiotik dianjurkan
pada managemen preterm PROM yang jauh dari aterm 7,8,9

Kortikosteroid

Sudah diketahui bahwa pemberian kortikosteroid antenatal pada wanita


resiko tinggi dapat mencegah terjadinya janin immature preterm dan merupakan
salah satu interverensi obstetrik yang efektif dalam menurunkan morbiditas dan
mortalitas perinatal. Kortikosteroid antenatal akan menurunkan resiko RDS,
perdarahan intraventrikular, dan kematian perinatal dan terlihat memberikan
keuntungan pada perkembangan neurologik pada kehamilan lebih lanjut jika
diberikan sebelum kelahiran preterm. NIH merekombinasikan pemberian
kortikosteroid pada keadaan preterm PROM secara tunggal betamethasone (12 mg
intramuscularly [IM], dua dosis tiap 24 jam) atau dexamethasone (6 mg IM,
empat dosis tiap 12 jam) diberikan selama managemen konservatif dari preterm
PROM sebelum 30–32 minggu gestasi karena secara potensial dapat menurunkan

27
perdarahan intraventrikular. Penelitian masih menilai kemampuan efektifitas
kortikosteroid pada keadaan preterm PROM dalam mencegah terjadinya RDS. Hal
ini didasarkan karena 8,9:

1. Wanita dengan preterm PROM akan menjalani persalinan dengan cepat


dibandingkan dengan pertambahan potensial keuntungan
2. Preterm PROM sendiri memiliki kekuatan untuk merangsang maturitas
paru janin, dengan demikian kortikosteroid tidak diperlukan lagi.
3. Kortikosteroid antenatal meningkatkan resiko infeksi perinatal melalui
efek immunosuppressive.

Sekarang jelas bahwa sebagian besar dari managemen konservatif wanita


dengan preterm PROM yang jauh dari aterm yang kurang dari 24–48 jam,
terutama diberikan terapi antibiotik tambahan. The National Institute of Child
Health & Human Development Maternal-Fetal Medicine dalam penelitiannya
menemukan insiden RDS setelah managemen konservatif preterm PROM
sebanyak 41% jika kortikosteroid tidak diberikan, meskipun telah diberikan terapi
tambahan antibiotik. Mengenai infeksi perinatal, terdapat pertentangan antara
terapi tambahan antibiotik dengan resiko infeksi neonatal jika diberikan dengan
kortikosteroid antenatal. Dua studi yang dilakukan dengan memberikan
kortikosteroid antenatal bersamaan dengan terapi tambahan antibiotik. Lewis dkk
menemukan penurunan insiden RDS (18.4% banding 43.6%, P = .03) dan tidak
meningkatkan infeksi perinatal (3% banding 5%, P = NS) jika kortikosteroid
antenatal diberikan (ampicillin-sulbactam) pada preterm PROM 24–34 minggu.
Percobaan multisenter, melakukan evaluasi wanita dengan preterm PROM yang
diberikan dosis tunggal dexamethason (12 mg IM, dua dosis setiap 24 jam) atau
placebo pada 28–34 minggu gestasi. Seluruh pasien mendapat amoxicillin dan
metronidazol selama 5 hari. Walaupun tidak terdapat penurunan yang signifikan
dari morbiditas dari seluruh populasi, tidak ditemui adanya peningkatan
morbiditas maternal atau neonatal pada kelompok kortikosteroid. Penulis lain
menemukan pemberian kortikosteroid pada preterm PROM dapat menurunkan
resiko RDS (20% banding 35.4%; OR 0.56; CI 0.46, 0.70), perdarahan

28
intraventrikular (7.5% banding 15.9%; OR 0.47; CI 0.31, 0.70), dan enterokolitis
nekrotikan (0.8% banding 4.6%; OR 0.21; CI 0.05, 0.82), tanpa peningkatan yang
signifikan resiko infeksi maternal (9.2% banding 5.1%; OR 1.95; CI 0.83, 4.59)
atau infeksi neonatal (7.0% banding 6.6%; OR 1.05; CI 0.66, 1.68) .

Tokolitik

Tidak terdapat data yang cukup mengenai rekomendasi terapi tokolitik


pada keadaan preterm PROM. Dua studi kecil memberikan profilak terapi
betamimetik intravena atau oral dan studi profilak tokolitik betamimetik atau
magnesium sulfat setelah preterm PROM menyatakan bahwa pendeknya lama
kehamilan pada keadaan tersebut. Managemen ekspektatif dengan terapi tokolitik
pada awalnya hanya berpengaruh pada onset kontraksi dan tidak terlihat
perpanjangan masa laten. Dengan cara yang sama, peningkatan luaran neonatal
serta pertambahan maturitas paru janin tidak terlihat pada pemberian tokolitik 7,8.

Previable preterm PROM (kurang dari 23 minggu)

Kira-kira setengah dari wanita dengan PROM trimester kedua akan


menjalani persalinan dalam 1 minggu setelah ruptur membran. Kemungkinan lain,
22% akan tetap hamil paling sedikit selama 1 bulan. Sebagai tambahan terjadi
peningkatan resiko chorioamnionitis (39%) serta morbiditas maternal yang
berhubungan dengan managemen konservatif PROM pada trimester kedua seperti
endometritis (14%), solusio plasenta (3%), sisa plasenta, dan perdarahan
postpartum yang memerlukan dilatasi dan kuretase (12%). Sepsis maternal jarang
ditemukan tetapi merupakan komplikasi yang serius, terjadi sebesar 0.8% dari
kasus. Satu kematian maternal akibat sepsis pernah dilaporkan dalam 731
kehamilan dengan komplikasi PROM pada trimester kedua (0.14%). Insiden lahir
mati pada PROM trimester ke dua terjadi sebesar 15%, dan hal ini lebih tinggi

29
dibandingkan dengan preterm PROM pada kehamilan lebih lanjut (~1%). Hal ini
mungkin berhubungan dengan peningkatan kerentanan janin terhadap kompresi
tali pusat, hipoksia, dan infeksi intrauterin, tetapi mungkin juga berhubungan
dengan fetal distress 7

Persalinan previable yang diikuti dengan persalinan segera akan


menimbulkan keadaan lethal pada janin. Persalinan periviable preterm PROM
berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas. Wanita dengan early previable
PROM sebelum 20 minggu yang disertai dengan oligohidramnion persisten
memiliki resiko terjadinya hipoplasia pulmoner yang lebih tinggi. Hipoplasia
pulmoner yang berat jarang terjadi pada ruptur membran pada 24 minggu gestasi,
karena pertumbuhan alveolar yang adekuat untuk menunjang perkembangan post-
natal telah terjadi. Ultrasonografi dapat digunakan dalam menentukan interval
pertumbuhan paru janin misalnya dengan menentukan panjang paru, lingkaran
dada, rasio lingkaran dada/perut, atau rasio lingkaran dada/panjang femur
memiliki nilai positifitas yang tinggi dalam memprediksi hipoplasia pulmoner
yang berat.

Wanita dengan PROM dan belum viabel harus dinasehati mengenai


dampak dari persalinan segera serta resiko potensial serta keuntungan yang
diperoleh dari managemen konservatif. Konseling termasuk harapan yang realistik
dari luaran neonatal serta ketersediaan monitoring obstetri dan fasilitas perawatan
intensif neonatal. Karena terdapatnya resiko yang signifikan terhadap maternal
dan neonatal maka sejumlah wanita berkeinginan untuk mendapatkan cara terbaik
dalam persalinan. Tergantung kepada pengalaman dan keinginan pasien, dapat
dilakukan dilatasi dan kurretase, atau dengan induksi persalinan dengan oksitosin
dosis tinggi atau terapi prostaglandin vaginal jika tidak ada kontraindikasi.
Observasi lebih awal pasien misalnya tempat tidur yang keras dan istirahat pelvik
dengan mempertinggi posisi, identifikasi awal adanya infeksi serta solusio terlihat
memberikan keuntungan yang nyata. Ultrasonografi secara serial dilakukan setiap
1 sampai 2 minggu sebagai evaluasi awal dari reakumulasi dari cairan amnion dan
mengevaluasi interval pertumbuhan paru. Sejumlah penanganan seperti

30
amnioinfusion dan fibrin/platelet/cryoprecipitate atau gel busa untuk menutupi
membran masih dalam penelitian

2.11 Komplikasi

Komplikasi pada preterm PROM pada tabel di bawah ini :

31
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas:

Nama : Ny. W

Umur : 26 Tahun

Masuk RS tgl : 11 September 2018

MR : 25.76.73

Alamat : Tapan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status menikah: Menikah

Anamnesis :

Seorang pasien wanita, 26 tahun, masuk ke IGD RSUD Dr. Muhammad


Zein Painan pada hari selasa, 11 September 2018 pukul 00.10 WIB, datang
dengan keluhan keluar air-air dari kemaluan sejak 7 jam sebelum masuk rumah
sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang:

- Keluar air-air dari kemaluan sejak 7 jam SMRS, membasahi lebih kurang
setengah kain sarung, warna jernih, berbau amis.
- Tidak ada nyeri pinggang menjalar ke ari-ari
- Tidak ada keluar lender bercampur darah.
- Pasien sudah tidak haid sejak 7 bulan yang lalu.
- HPHT : 23.02.18
- Demam (-)
- Keputihan (+), tidak berbau.
- Mual (-), muntah (-)
- BAB dan BAK tidak ada keluhan

32
- Pasien rutin kontrol kehamilan ke puskesmas, sudah 6 kali.
- Riwayat terbentur (-), riwayat jatuh (-)
- Riwayat menstruasi : menarche 12 tahun, siklus teratur, tiap bulan,
lamanya 5-7 hari, banyaknya 2-3 kali ganti duk / hari, nyeri haid (+)
kadang-kadang.
Riwayat Persalinan

Riwayat kehamilan / abortus / persalinan / hidup = 1 / 0 / 0 / 0

Riwayat Penyakit Dahulu:

Tidak ada riwayat penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM & hipertensi.

Riwayat Penyakit Keluarga:

Tidak ada keluarga yang mempunyai riwayat penyakit keturunan, penyakit


menular dan penyakit kejiwaan.

Riwayat Perkawinan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan

- Pasien adalah seorang ibu rumah tangga


- Riwayat Perkawinan : 1 x tahun 2017
- Riwayat Kontrasepsi : (-)
- Riwayat Imunisasi : lengkap
- Riwayat kebiasaan merokok, minum alkohol, dan narkoba tidak ada.
- Aktivitas sedang-berat.

Pemeriksaan Fisik :

Keadaan umum : Sedang


Kesadaran : CMC
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 107 x / menit
Nafas : 23x / menit
Suhu : 36,50C

33
Status Internus

 Mata : Konjungtiva tidak anemis. Sklera tidak ikterik


 Leher : JVP 5 – 2 cmH2O. Tiroid tidak teraba
 Thorak : Jantung dalam batas normal. Paru dalam batas normal
 Abdomen : Status obstetrikus
 Genitalia : Status obstetrikus
 Ekstremitas : Edema -/-, Reflek fisiologis +/+, Reflek patologis -/-

Status Obstretikus

 Muka : Kloasma gravidarum (+)


 Mamae :Tampak membesar, areola hiperpigmentasi, papil
menonjol, tanda radang (-)
 Abdomen :
Inspeksi : Perut tampak membuncit sesuai usia kehamilan preterm
striae gravidarum (+), Sikatrik (-)
Palpasi
L1 : FUT teraba diantara prosesus xipoideus dan umbilikus
Fundus uteri kosong
L2 : Teraba massa besar, lunak, noduler di kiri
Teraba massa bulat, keras di kanan
L3 : Teraba tahanan terbesar
L4 : Bagian terbawah janin belum masuk PAP
TFU : 27 cm TBA : 2170 gr His : tidak ada
Auskultasi : BJA 150-155, teratur
 Genitalia: V/U : tenang, PPV (-), keluar air-air dari vagina (+) sedikit

Hasil Laboratorium : (11/9/18)

Hb : 8,7 g/dl
Leukosit : 13.900 /mm3
Trombosit : 257.000/mm3

34
Ht : 29%
PT/APTT : 14,2 detik/38,5 detik
Golongan Darah: A+

Hasil Pemeriksaan USG :

35
Interpretasi USG :
Janin hidup tunggal intrauterin letak lintang
Aktivitas gerak janin kurang
Biometri :
BPD : 7,57 cm AFI : 4,45 cm
AC : 23,64 cm EFW : 1197 gr
FL : 5,17 cm
Plasenta berimplantasi di corpus depan grade II
Kesan : Gravid 27-28 minggu, sesuai biometri
Janin hidup tunggal intrauterin

Diagnosis:
G1P0A0H0 gravid 27-28 mg + letak lintang + PPROM 7 jam
Janin hidup tunggal intrauterin

Rencana:
Bedrest total
Kontrol KU, Vital sign, PPV, HIS, DJJ

36
IVFD RL 500 cc 28 tpm
Pasang kateter urine menetap
Inj. Dexametason 2x6 ampul (2 hari)
Inj. Ceftriaxon 2x1 gr IV (skin test)
Asam mefenamat 3x500 mg
Nifedipin 3x10 mg

Follow Up
11 September 2018
S :
Keluar air-air dari kemaluan sejak pukul 17.00 WIB
O:
PF = Ku Kes TD Nd Nfs T
Sdg CMC 110/70 80x/m 23x/m 36,50C
Keluar air-air dari vagina (+) sedikit
HIS (-)
DJJ : 160-161 kali per menit
A:
G1P0A0H0 gravid 28-29 mg + PPROM + letak lintang
Anak hidup tunggal intrauterin
P:
Kontrol KU,VS, BJA, HIS
Terapi lanjutkan

12 September 2018
S :
Keluar air-air dari kemaluan (+)
O:
PF = Ku Kes TD Nd Nfs T
Sdg CMC 110/70 81x/m 22x/m 36,50C
DJJ: 145-155 kali/menit

37
A:
G1P0A0H0 gravid 28-29 mg + PPROM + JHTIU letak lintang
P:
SF 1x1
Vit B Komplek 3x1
Cefixime 2x200 mg
As. Mefenamat 3x1
Nifedipin 2x10 mg

13 September 2018
S :
Keluar air-air dari kemaluan (+)
O:
PF = Ku Kes TD Nd Nfs T
Sdg CMC 110/70 82x/m 20x/m 36,50C
DJJ: 144-155 kali/menit
A:
G1P0A0H0 gravid 28-29 mg + PPROM + JHTIU letak lintang
P:
SF 1x1
Vit B Komplek 3x1
Cefixime 2x200 mg
As. Mefenamat 3x1
Nifedipin 2x10 mg

38
BAB IV
DISKUSI
Seorang pasien wanita, 26 tahun, masuk ke IGD RSUD Dr. Muhammad Zein
Painan pada hari selasa, 11 September 2018 pukul 00.10 WIB, datang dengan
keluhan keluar air-air dari kemaluan sejak 7 jam sebelum masuk rumah sakit.
Pasien kemudian dirawat dan diterapi secara konservatif.
Dari anamnesis pasien mengaku keluar air-air dari kemaluan sejak 7 jam
sebelum masuk rumah sakit. Hal ini menunjukkan bahwa bisa jadi ketuban sudah
pecah.
Pada kasus ini pasien didiagnosa dengan PPROM karena dari kepustakaan
dinyatakan bahwa Premature rupture of the membranes (PROM) didefinisikan
sebagai pecahnya selaput ketuban spontan yang terjadi sebelum onset persalinan.
Jika selaput ketuban pecah sebelum 37 minggu gestasi hal ini dikenal sebagai
preterm PROM. Preterm PROM pada kasus ini dikelompokkan pada “preterm
PROM yang jauh dari aterm” (dari viabilitas kira-kira 32 minggu gestasi). 1
Pada kasus ini , kemungkinan penyebab dari PPROM adalah infeksi. Hal ini
terlihat dengan tingginya kadar leukosit darah ( 13.900/mm). PPROM disebabkan
oleh banyak faktor. Pada beberapa pasien, satu atau lebih proses patofisiologi
mungkin dapat ditemukan. Infeksi atau inflamasi terlihat memainkan peranan
penting dalam etiologi preterm PROM, terutama pada awal gestasi. Infeksi intra
uterin merupakan etiologi dari preterm PROM sebesar 30-40 % dari seluruh
persalinan preterm. Setiap faktor tersebut berhubungan dengan preterm PROM
melalui degradasi membran, inflamasi lokal, atau kelemahan daya tahan maternal
terhadap infeksi asenden bakteri kolonisasi.
Pada kasus ini pasien ditatalaksana secara konsevatif karena usia kehamilan
yang jauh dari aterm. Persalinan segera setelah preterm PROM yang jauh dari
aterm berhubungan dengan tingginya resiko morbiditas dan mortalitas perinatal
dan hal ini akan berkurang dengan berlanjutnya usia kehamilan saat persalinan.
Selama perawatan konservatif dilakukan pemeriksaan tinggi fundus uteri, tanda-
tanda inpartu serta denyut jantung janin. Pada kasus ini penting sekali penentuan

39
tanda-tanda infeksi intrauterine. Menentukan setiap hari untuk menilai adanya
infeksi intrauterin secara klinis dengan tanda-tanda :
 adanya febris  100F
 takhikardi fetal yang persisten  160 kali/menit
 takhikardi maternal  120 kali/menit
 Nyeri uterus
 pengeluaran cairan dari vagina yang keruh dan berbau.

Secara laboratorik infeksi intrauterin ditentukan dengan :

 peningkatan kadar CRP serum ( > 0.5 )


 lekosit serum maternal ( 11.500 /ml) dilakukan setiap hari.
 Kultur cairan ketuban yang diambil dengan cara amniosintesis, pengecatan
gram, gas liquid chromatography, lymolus lysate, lekosit ( > 20/ml), kadar
glukosa, lekosit esterase dan peningkatan kadar sitokin proinflamasi ( TNF
, IL-1, IL-6 dan IL-8).
Bila ditemukan tanda-tanda ini penundaan persalinan tidak lagi dianjurkan oleh
karena bahaya terhadap ibu dan atau anak.
Pada kasus ini dilakukan pemeriksaan USG untuk menilai keadaan janin
serta jumlah air ketuban. Didapatkan kesan gravid 27-28 minggu, sesuai biometri
Janin hidup tunggal intrauterin. Didapatkan jumalah air ketuban pada 4 kwadran
4,45 cm.

Pada kasus ini diberikan kortikosteroid dexametason yang bertujuan untuk


pematangan paru-paru janin. Pemberian kortikosteroid antenatal pada wanita
resiko tinggi dapat mencegah terjadinya janin immature preterm dan merupakan
salah satu interverensi obstetrik yang efektif dalam menurunkan morbiditas dan
mortalitas perinatal. Kortikosteroid antenatal akan menurunkan resiko RDS,
perdarahan intraventrikular, dan kematian perinatal dan terlihat memberikan
keuntungan pada perkembangan neurologik pada kehamilan lebih lanjut jika
diberikan sebelum kelahiran preterm. NIH merekombinasikan pemberian

40
kortikosteroid pada keadaan preterm PROM secara tunggal betamethasone (12 mg
intramuscularly [IM], dua dosis tiap 24 jam) atau dexamethasone (6 mg IM,
empat dosis tiap 12 jam) diberikan selama managemen konservatif dari preterm
PROM sebelum 30–32 minggu gestasi karena secara potensial dapat menurunkan
perdarahan intraventrikular. Penelitian masih menilai kemampuan efektifitas
kortikosteroid pada keadaan preterm PROM dalam mencegah terjadinya RDS.
Pada kasus ini diberikan antibiotik untuk pencegahan infeksi. Tujuan terapi
antibiotik tambahan selama managemen konservatif dari preterm PROM yang
jauh dari aterm adalah untuk mencegah infeksi asenden desidual akibat kelanjutan
kehamilan dan menguntungkan untuk menurunkan infeksi opportunistic neonatal
dan morbiditas. The National Institute of Child Health & Human Development
Maternal-Fetal Medicine melakukan studi pada wanita dengan preterm PROM
pada 24–32 minggu gestasi. Pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa antibiotik
akan meningkatkan kesehatan neonatal dengan menurunkan satu atau lebih
morbiditas mayor janin (kematian, RDS, sepsis, perdarahan intraventrikular yang
berat, enterokolitis nekrotikan). Studi yang dilakukan di Copenhagen, Denmark:
University of Copenhagen, Department of Obstetrics and Gynaecology
Rigshospitalet, 1997) memperlihatkan bahwa antibiotik akan meningkatkan
kemungkinan lama kehamilan lebih dari 1 minggu, menurunkan amnionitis, sepsis
neonatal, RDS dan perdarahan intraventrikular. Berdasarkan temuan ini maka
terapi antibiotik dianjurkan pada managemen preterm PROM yang jauh dari
aterm.
Pada kasus ini, juga diberikan nifedipin termasuk golongan calcium
antagonis. Bekerja dengan cara menghambat masuknya calsium ke dalam
membran sel, mencegah lepasnya calcium dari retikulum sarkoplasma dan
mengurangi efek enzim calcium intrasel terhadap interaksi aktin-miosin. Hasil
dari mekasnisme ini adalah relaksasi otot polos termasuk miometrium, serta
vasodilatasi yang potensial. Dibandingkan obat calcium antagonis yang lain
nifedipin lebih spesifik efeknya pada kontraksi miometrium. Efek pada uterus
adalah menurunkan amplitudo dan frekuensi kontraksi uterus serta meghambat
timbulnya kontraksi.

41
Daftar Pustaka

1. Mercer BM. Preterm premature rupture of the membranes. Obstet


Gynecol 2003;101:1.
2. Wiknyosastro H, Saiffudin AB, Rachimhadi T. Ilmu Kebidanan,
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1999; 85-86
3. Quintero R, Morales W, Allen M, Bornick P, Arroyo J, LeParc G.
Treatment of Iatrogenic Previable Premature Rupture of Membranes
with Intraamniotic Injection of Platelets and Cryoprecipitate
(Amniopatch): Preliminary Experience. Am J Obstet Gynecol
1999;181:744-749
4. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC,
Wenstrom KD.Williams Obstetrics. 21 st edition.2001. 1647-1649.
5. Sadller TW. Embriologi kedokteran Langmans. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007
6. Ferrand PE. The CARD15 2936insC mutation and TLR4 896 A>G
polymorphism in African Americans and risk of preterm premature
rupture of membranes (PPROM). Implantation and pregnancy.
Molecular Human Reproduction, 2002. Vol. 8, No. 11, 1031-1034.
7. Maymon E, Romero R, Pacora P et al. Human neutrophil collagenase
(matrix metalloproteinase 8) in parturition, premature rupture of the
membranes, and intrauterine infection. Am J Obstet Gynecol
2000;183:94-99.
8. Mercer BM, Goldenberg RL, Meis PJ et al. The Preterm Prediction
Study: Prediction of preterm premature rupture of membranes through
clinical findings and ancillary testing. Am J Obstet Gynecol 2000; 183:
3.
9. Weber G, Merz E. Amniotic Fluid. Ultrasound in Obstetrics and
Gynecology. 2005:409-414

42

Anda mungkin juga menyukai