Kampung Naga secara administratife berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten
Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan
kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah,
di sebelah barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di hutan tersebut terdapat makam
leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di
sebelah utara dan timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang bermata air dari Gunung Cikuray.
Dalam sistem perekonomian kami fokuskan kepada mata pencaharian dimana mata pencaharian warga
Kampung Naga bermacam-macam mulai dari pokok yaitu bertani, menanam padi sedangkan mata
pencaharian sampingannya adalah membuat kerajinan, beternak dan berdagang.
Sistem Kemasyarakatan
Kemasyarakatan di Kampung Naga masih sangat lekat dengan budaya gotong royong, hormat
menghormati, dan mengutamakan kepentingan golongan diatas kepentingan pribadi. Lebih jauh menilik
pola hidup dan kepemimpinan Kampung Naga, kita akan mendapatkan dua pemimpin dengan tugasnya
masing –masing yaitu pemerintahan desa dan pemimpin adat atau yang oleh masyarakat Kampung Naga
disebut Kuncen. Peran keduanya saling bersinergi satu sama lain untuk tujuan keharmonisan warga
Sanaga. Sang Kuncen yang meski begitu berkuasa dalam hal adapt istiadat jika berhubungan dengan
system pemerintahan desa maka harus taat dan patuh pada RT atau RW, begitupun sebaliknya RT atau
RW haruslah taat pada sang Kuncen apabila berurusan dengan adapt istiadat dan kehidupan rohani
penduduk Kampung Naga.
Lembaga Pemerintahan
Sistem kemasyarakatan disini lebih terfokus kepada sistem atau lembaga-lembaga pemerintahan yang
ada di Kampung Naga. Ada dua lembaga yaitu :
Lembaga Pemerintahan
RT
RK / RW
Lembaga Adat
Kuncen dijabat oleh Bapak Ade Suherlin yang bertugas sebagai pemangku adat dan memimpin upacara
adat dalam berziarah.
Lebe dijabat oleh Bapak Ateng yang bertugas mengurusi jenazah dari awal sampai akhir sesuai dengan
syariat Islam.
Sistem Bahasa
Dalam berkomunikasi warga Kampung Naga mayoritas menggunakan bahasa Sunda Asli, hanya sebagian
orang dalam arti yang duduk di pemerintahan. Adapula yang bisa berbahasa Indonesia itupun hanya
digunakan apabila bercakap – cakap dengan wisatawan dari luar jawa barat.
Tingkat Pendidikan masyarakat Kampung Naga mayoritas hanya mencapai jenjang pendidikan sekolah
dasar, tapi adapula yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi itupun hanya minoritas.
Kebanyakan pola pikirnya masih pendek sehingga mereka pikir bahwa buat apa sekolah tinggi-tinggi
kalau akhirnya pulang kampung juga. Dari anggapan tersebut orang tua menganggap lebih baik belajar
dari pengalaman dan dari alam atau kumpulan-kumpulan yang biasa dilakukan di mesjid atau aula.
Penduduk Kampung Naga Mengaku mayoritas adalah pemeluk agama islam, akan tetapi sebagaimana
masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang adat-istiadat dan kepercayaan nenek
moyangnya.Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat
warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya
bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap
sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar
adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka Masyarakat Sanaga pun
masih mempercayai akan takhayul mengenai adannya makhluk gaib yang mengisi tempat – tempat
tertentu yang dianggap angker.
Kepercayaan masyarakat Kampung Naga kepada mahluk halus masih dipegang kuat. Percaya adanya
jurig cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama bagian sungai yang dalam
(“leuwi”). Kemudian “ririwa” yaitu mahluk halus yang senang mengganggu atau menakut-nakuti
manusia pada malam hari, ada pula yang disebut “kunti anak” yaitu mahluk halus yang berasal dari
perempuan hamil yang meninggal dunia, ia suka mengganggu wanita yang sedang atau akan
melahirkan. Sedangkan tempat-tempat yang dijadikan tempat tinggal mahluk halus tersebut oleh
masyarakat Kampung Naga disebut sebagai tempat yang angker atau sanget. Demikian juga tempat-
tempat seperti makam Sembah Eyang Singaparna, Bumi ageung dan masjid merupakan tempat yang
dipandang suci bagi masyarakat Kampung Naga
Adapun upacara – upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Sanaga yang bertepatan dengan hari
besar Islam yaitu :
Kesenian
Di bidang kesenian masyarakat Kampung Naga mempunyai pantangan atau tabu mengadakan
pertunjukan jenis kesenian dari luar Kampung Naga seperti wayang golek, dangdut, pencak silat, dan
kesenian yang lain yang mempergunakan waditra goong. Sedangkan kesenian yang merupakan warisan
leluhur masyarakat Kampung Naga adalah terbangan, angklung, beluk, dan rengkong. Kesenian beluk
kini sudah jarang dilakukan, sedangkan kesenian rengkong sudah tidak dikenal lagi terutama oleh
kalangan generasi muda. Namun bagi masyarakat Kampung Naga yang hendak menonton kesenian
wayang, pencak silat, dan sebagainya diperbolehkan kesenian tersebut dipertunjukan di luar wilayah
Kampung Naga.
Terebang Gembrung yang dimainkan oleh dua orang sampai tidak terbatas biasanya ini dilaksanakan
pada waktu Takbiran Idul Fitri dan Idul Adha serta kemerdekaan RI. Alat ini terbuat dari kayu.
Terebang Sejat, dimainkan oleh 6 orang dan dilaksanakan pada waktu upacara pernikahan atau khitanan
massal.
Angklung, dimainkan oleh 15 orang dan dilaksanakan pada waktu khitanan massal
Bangunan /Arsitek
Bangunan-bangunan yang ada di Kampung Naga berbentuk segitiga semuanya beratap ijuk, dan
menghadap ke arah kiblat, terdapat kurang lebih 113 bangunan dalam area 1,5 ha yang terdiri dari 110
rumah warga dan 1 tempat ibadah, selain itu juga terdapat balai pertemuan dan lumbung padi (Leuit)
dan Bumi Ageung yang kesemua bahan bangunannya menggunakan bilik-bilik, kayu-kayu, dan lain-lain.
Tidak menggunakan semen atau pasir. Semua bentuk, ukuran, alat dan bahan bangunan semuanya sama
hal ini menunjukkan adanya keseimbangan dan keselarasan yang ada di daerah tersebut.
Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap
rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan
kayu. Rumah harus menghadap kesebelah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah
Barat-Timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh
dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu
membuat rumah tembok atau gedung (gedong).
Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah tidak
boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung
Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang.
Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar
dalam satu garis lurus.
Sistem Politik
Dalam sistem politik di tekankan pada penyelesaian masalah di pimpin oleh ketua adat yaitu dengan
cara bermusyawarah untuk mufakat dimana hasi yang diperoleh adalah merupakan hasil mufakat yang
demokratis dan terbuka.
Sistem Hukum
Seperti kebanyakan kampung adat lainnya, masyarakat Sanaga juga memiliki aturan hukum sendiri yang
tak tertulis namun masyarakat sangat patuh akan keberadaan aturan tersebut. Kampung Naga memang
memiliki Larangan namun tidak memiliki banyak aturan. Prinsip yang mereka anut adalah Larangan,
Wasiat dan Akibat.Sistem hukum di kampung Naga hanya berlandaskan kepada kata pamali, yakni
sesuatu ketentuan yang telah di tentukan oleh nenek moyang Kampung Naga yang tidak boleh di
langgar. Sanksi untuk pelanggaran yang dilakukan tidaklah jelas, mungkin hanyalah berupa teguran,
karena masyarakat Sanaga memegang prinsip bahwa siapa yang melakukan pelanggaran maka dia
sendiri yang akan menerima akibatnya.
Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh
khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas
kehidupannya.pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka
junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak,
arah rumah,pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya.