membawa perubahan dalam diri organisasi yang dipimpinnya. Perubahan tersebut, antara
lain menjadi lebih baik prestasinya, menurun, atau mungkin akan tetap saja. Dalam suatu
pengamatan mendalam terhadap setiap perubahan yang dialami organisasi sehubungan
dengan adanya pergantian pemimpin suatu organisasi dalam beberapa kasus, ternyata ada
faktor di dalam diri setiap pemimpin yang sedang berada di eselon atas setiap unit
organisasi yang dapat menjadi faktor yang menyebabkan organisasi yang dipimpinnya
akan mempunyai budaya lemah atau pun kuat.
Menurut Kotter dan Heskett (1982), budaya organisasi yang sakit tersebut sangat
potensial merusak prestasi secara keseluruhan, karena (1) organisasi tersebut tidak
melakukan apa-apa untuk mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan; (2)
manajernya cenderung bersifat angkuh (arogant), merasa serba tahu dan mengabaikan
informasi yang relevan bagi kepentingan organisasi, dan ingin mempertahankan strategi
dan praktek kemapanan yang sudah usang; dan (3) perilaku pemimpin yang sering
menghargai pelanggan (konsumen) dan anggota yang bekerja bersamanya.
A. Budaya Organisasi
Secara umum, budaya mempunyai banyak arti, penekanan, dan konotasi. Kita
sering sulit mendefinisikan apa sesungguhnya arti budaya tersebut secara konkrit, lebih-
lebih apabila dikaitkan dengan budaya organisasi. Banyak gagasan yang berbeda dalam
membuat definisi tentang budaya organisasi.
Dan hal lain yang penting adalah kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang,
yang menjadi pola perilaku, untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam organisasi
akan cenderung menjadi suatu bagian budaya dalam organisasi tersebut.
Gagasan-gagasan yang melekat dalam suatu budaya dapat saja berasal dari mana-mana,
baik secara bawah-atas (bottom-up), atau dari atas ke bawah (top-down). Kekuatan budaya
organisasi ditentukan oleh kedalaman penghayatan nilai-nilai inti, kejelasan
pengaturannya, dan keluasan penyebarannya dikalangan segenap anggota. Semakin banyak
jumlah anggota yang menerima dan menghayati nilai-nilai inti, menyepakati makna dan
kepentingannya, dan semakin besar komitmen para anggota terhadap nilai-nilai tersebut
maka akan semakin kuat pula budaya organisasi tersebut (Andre Hardjana, 1994: 9).
Sebuah organisasi yang dewasa, yang memiliki keangotaan yang stabil, dan menanamkan
nilai-nilai inti secara mendalam dikalangan para anggota akan memiliki sebuah budaya
yang kuat.
Dengan kriteria tersebut dibedakan adanya budaya kuat dan budaya lemah.
Kebudayaan kuat akan terkait pada efektivitas organisasi dan bercirikan inovatif
(pembaruan-pembaruan). Budaya kuat tersebut memberikan kejelasan perilaku yang harus
ditempuh dan memberikan identitas plus keterlibatan yang lebih besar ke dalam organisasi.
Dalam organisasi yang memiliki budaya kuat, gagasan-gagasan tersebut biasanya berasal
dari para pemimpinnya, baik founders maupun leaders, atau para pahlawan organisasi
(heroes). Mereka adalah orang-orang yang mengartikulasikan budaya sebagai suatu visi,
strategi bisnis, dan filosofi, serta mengarahkan gagasannya ke arah tujuan-tujuan
organisasi.
Hal-hal di atas dapat dilihat dalam pola sebagai berikut: 1. Manajemen Atas. Para
manajer tingkat atas, dalam level mana saja, mengembangkan dan berusaha mewujudkan
dan melaksanakan suatu visi, filosofi, dan atau strategi bisnis. 2. Perilaku Keorganisasian.
Pelaksanaan kerja, yaitu orang-orang yang melakukan cara-cara bekerja yang dituntun oleh
filosofi dan strategi. .3. Hasil-hasil. Proses keberhasilan perusahaan yang terjadi dalam
jangka waktu yang panjang. 4. Budaya. Suatu budaya muncul mencerminkan visi dan
strategi, serta pengalaman orang-orang yang melaksanakan visi dan strategi. Biasanya,
nilai-nilai dasar yang dimaksudkan untuk menjelaskan nilai-nilai yang berada pada level
yang dalam disebut dengan basic assumtions, karena biasanya ada begitu saja (taken-for-
granted).
Menurut Peters dan Waterman (1982) organisasi unggul yang ber-prestasi bekerja
keras untuk membuat segala sesuatunya menjadi sederhana. Organisasi tersebut
mengandalkan struktur yang sederhana, strategi sederhana, tujuan sederhana, dan pola
komunikasi yang sederhana pula. Peters dan Waterman (1982: 13-17) menyebutkan ada
delapan atribut yang menjadi ciri budaya organisasi unggul, yaitu: 1) adanya
kecenderungan ke arah tindakan yang cepat dan tepat (abias for action); 2) mau
mendengarkan keinginan pelanggan dan mau belajar dari pelanggan (cose to the customer);
3) pimpinan dan karyawan mempunyai jiwa mandiri dan wiraswasta yang inovatif
(autonomy and entrepreneurship); 4) produktivitas melalui penghargaan manusiawi, dekat
dengan karyawan, dan memperlakukan karyawan sebagai individu yang dewasa
(productivity through people); 5) tetap berorientasi pada mutu (hands-on, value driven); 6)
tetap pada bisnis kunci yang telah ditekuni dan berhasil (stick to the knitting); 7) dengan
bentuk organisasi yang sederhana dan ramping (simple form, lean staff); dan yang terakhir
8) menjaga nilai-nilai inti dan mengembangkan inisiatif pribadi dalam pengendalian yang
ketat sekaligus longgar (simultaneous loose-tight propeties).
Dari teori kepemimpinan yang dikembangkan oleh WJ Reddin, ada delapan gaya
kepemimpinan, yaitu yang empat gaya dikatakan sebagai gaya yang efektif, dan empat
gaya lagi dikatakan sebagai gaya yang tidak efektif. Teori Reddin ini bertitik tolak kepada
tiga dimensi gaya kepemimpinan yang didasarkan kepada dimensi hubungan dengan
manusia (Orientasi Hubungan), dimensi tugas (Orientasi Tugas), dan dimensi keefektivan.
Empat gaya yang efektif, adalah gaya eksekutif, gaya developer, gaya birokrat, dan gaya
otokrasi bijak. Gaya eksekutif merupakan gaya yang paling efektif karena pemimpin
tersebut mampu mengadakan hubungan kerja yang baik dengan karyawannya dan mampu
menetapkan standar kerja (tugas) yang tinggi. la berhasil membangun tim kerja yang baik.
Dari definisi yang disampaikan oleh Edgar Schein di atas, dapat dikatakan bahwa
budaya organisasi merupakan hasil proses belajar, dihayati oleh segenap anggota
organisasi, mempunyai pola dan bersifat adaptif. Definisi di atas juga mengasumsikan
bahwa di dalam setiap organisasi ada suatu budaya sebagai suatu system makna yang
sama-sama (shared) dihayati oleh anggotanya. Melalui penghayatan bersama tersebut
terbentuklah kesamaan faham mengenai apa organisasinya dan bagaimana mereka
berperilaku.
Dalam praktek, budaya organisasi akan terbentuk lebih nyata, dapat diamati,
dirasakan, dialami dan dipahami oleh para anggota organisasi. Menurut Andre Hardjana
(1994: 7-8) bentuk-bentuk budaya organisasi, antara lain:
1. Keteraturan perilaku: para anggota organisasi berinteraksi satu sama lain menggunakan
bahasa dan tata cara yang berlaku.
3. Nilai-nilai baku: yang meliputi nilai-nilai penting yang akan ditanamkan, dibangun dan
diresapi bersama oleh para anggota, misalnya kualitas pelayanan, mutu produk dan
efisiensi.
6. Iklim organisasi: perasaan secara keseluruhan terhadap tatanan fisik, cara berinteraksi
antar anggota, dan pola bertindak terhadap orang luar. Namun, bagaimanakah budaya
organisasi yang kuat dan positif tersebut dapat dicapai?
Dikatakan bahwa budaya organisasi yang kuat dengan delapan ciri sebagaimana
tersebut di atas, diawali dari pimpinan puncaknya. Pimpinan adalah pihak yang
mengartikulasikan budaya sebagai suatu visi, strategi bisnis, filosofi, dan mengarahkan
gagasannya ke arah pencapaian tujuan-tujuan organisasi.
Apabila pimpinan mempunyai gaya seperti di atas, yang sangat antusias, yang
sangat mempunyai visi dan filosofi ke masa depan, maka akan dapat membentuk budaya
organisasi yang kuat, yang memberikan hasil dan prestasi/kinerja organisasi yang baik.
Sebaliknya, bila organisasi dipimpin oleh orang-orang yang tidak dipacu untuk berprestasi
sebagaimana tersebut dalam empat gaya kepemimpinan yang tidak efektif, yang tidak
memahami kedelapan ciri organisasi unggul, dan hanya duduk di belakang meja saja, tidak
mengadakan "perjalanan" keliling, maka organisasi yang dipimpinnya akan menjadi sakit
dan mempunyai budaya organisasi yang lemah, yang tidak memperhatikan pencapaian
kinerja tinggi.
Kembali kepada budaya organisasi yang kuat, bahwa kekuatan budaya organisasi
terletak kepada konsistensi yang tinggi dalam jangka waktu yang lama mengenai
penerapan nilai-nilai yang dianggap penting oleh organisasi sehingga terbentuk
keseragaman perilaku organisasi dan dikenal sebagai budaya organisasi. Organisasi yang
mempunyai budaya kuat ditandai oleh konsistensi, bukan saja antara nilai-nilai yang
dianggap penting dengan sistem dan prosedur yang berlaku dalam perusahaan, tetapi
terutama adalah konsistensi tinggi antara nilai- nilai tersebut dan perilaku manajemen
organisasi yang bersangkutan.
1. Arah. Apakah nilai-nilai yang hidup searah atau selaras atau mendukung tujuan-tujuan
organisasi.
2. Penyebaran: Apakah nilai-nilai budaya tersebut dihayati dan dimiliki oleh semua
anggota dalam organisasi, atau hanya oleh sekelompok kecil manajer di tingkat puncak.
3. Intensitas: Apakah pengaruh budaya memberi tekanan yang kuat pada anggota
organisasi hingga ditaati atau tidak.
Bila arahnya selaras, penyebarannya luas, dan intensitasnya tinggi, maka budaya
organisasi tersebut adalah kuat. Budaya organisasi yang kuat, unggul dan adaptif terhadap
perubahan dapat dicapai oleh adanya kepemimpinan yang antusias untuk memperjuangkan
nilai-nilai inti organisasi, karena pemimpin yang demikian diharapkan menjadi perintis dan
pencetus visi dan misi organisasi, dan sekaligus penggerak budaya organisasi.
Pertama, meningkatkan semangat dan motivasi kerja yang mungkin selama ini
sangat menurun. Hal yang nyata, memperbaiki bentuk-bentuk motivasi eksternal, yaitu
imbalan-imbalan ekstrinsik yang mereka rasakan kurang merata, dan imbalan instrinsik
berupa terpenuhinya harapan terhadap karier, kepuasan kerja, pendidikan lanjut,
penghargaan terhadap prestasi, dan lain-lain.
Titik tolak pemberian motivasi dalam bentuk di atas, adalah adanya kebutuhan
dasar manusia di dalam organisasi, yaitu (1) kebutuhan untuk mempunyai makna, artinya
mereka akan merasa puas bila mempunyai peran yang berarti, betapapun kecilnya, dalam
memperkuat etos kerja organisasi; (2) kebutuhan untuk tidak menerima pengawasan ketat,
artinya mereka ingin diperlakukan sebagai manusia dewasa, manusia yang mampu
mengembangkan kreativitasnya dengan baik; (3) kebutuhan memperoleh penguatan positif,
antara lain dalam bentuk penghargaan dan perasaan memiliki organisasi di mana la
bekerja; dan (4) tingkat kegiatan dan perilaku yang terjadi membentuk sikap dan
kepercayaan, bukan sebaliknya, artinya adanya kegiatan dan perilaku positif akan
mempertebal rasa tanggung jawab terhadap organisasi.
Ketiga, ada beberapa faktor pembentukan budaya organisasi kuat dan adaptif pada
perubahan lingkungan, yaitu (1) kesesuaian antara budaya masyarakat dan budaya
organisasi, artinya budaya masyarakat akan dibawa oleh anggotanya ketika ia memasuki
organisasi, sehingga "warna" budaya organisasi akan mirip dengan budaya masyarakat dari
mana anggotanya berasal; (2) dalam tingkat organisasi, pimpinan sangat menentukan,
karena ia adalah pencetus visi dan misi organisasi, ia adalah sumber penggerak budaya,
dan menunjukkan apa nilai inti organisasi dan bagaimana memperjuangkan nilai-nilai inti
tersebut. Pimpinan juga sangat menentukan proses sosialisasi antar anggota, menciptakan
iklim kerja yang kondusif untuk membangkitkan komitmen anggota, dan menentukan
iklim komunikasi yang dapat membangkitkan kepuasan, penyusunan kebijakan dan
strategi; (3) sejarah dan tradisi organisasi yang semula "excellence" harus tetap dijaga dan
dilestarikan keunggulannya tersebut; dan (4) memperhitungkan faktor-faktor perubahan
lingkungan organisasi, baik internal maupun ekstemal.
3) Partisipasi. Faktor ini sangat penting sebagai pendorong dan pembangun dukungan
terhadap perubahan. Partisipasi akan menimbulkan keikatan/komitmen, sehingga
meningkatkan motivasi bagi para anggota organisasi untuk mendukung perubahan.
Partisipasi ini perlu dibina sebelum terjadi perubahan, bukan sesudahnya.
4) Imbalan bersama. Perlu adanya imbalan yang cukup bagi para anggota yang dapat
diharapkannya dari adanya perubahan. Mereka harus yakin bahwa perubahan akan
memberikan kegunaan baginya.
5) Rasa aman pegawai. Selama perubahan diharapkan ada rasa aman oleh para anggotanya.
Jaminan pengembangan kemampuan mereka, kesempatan maju, dan lain-lain perlu
disampaikan.
6) Komunikasi. Melalui komunikasi maka para anggota akan tahu bahwa perubahan akan
dapat mempertahankan kerja sama kelompok, dan menimbulkan rasa aman.
7) Bekerja sama dengan sistem menyeluruh. Hal ini penting untuk membantu para anggota
menyadari adanya kebutuhan perubahan. Perubahan dilakukan secara evolusioner,
berangsung-angsur. Perlu juga mengantisipasi dampak negatif terhadap perubahan,
memperhatikan kebutuhan manusia dan mendiagnosis masalah yang mungkin timbul
sekaligus menyediakan cara mengatasinya.
Bahwa pergantian pimpinan dalam suatu organisasi merupakan factor yang krusial dan
menentukan bagi "status" dan "wama" organisasi. Hal tersebut karena adanya peranan yang
strategis dalam meningkatkan komitmen seluruh jajaran organisasi untuk mencapai tujuan
organisasi secara efektif dan efisien. Hal ini dapat tercapai bila pimpinan mau mendorong
seluruh anggota organisasi untuk melaksanakan nilai-nilai inti organisasi, membina dan
meningkatkan saling percaya di antara para anggota, mendorong tumbuh-kembang rasa
memiliki, rasa tanggung jawab, dan mau melakukan mawas diri terhadap seluruh
kegiatannya. Perasaan satu kesatuan dalam persatuan yang kokoh, dalam kelompok-
kelompok yang dinamis melalui sikap-sikap independensi dan interdependensi.
Apabila ada rencana-rencana perubahan, maka perubahan dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan perubahan tersebut perlu dijelaskan kepada seluruh anggota. Hal ini akan
menyadarkan mereka tentang arti penting perubahan, yang akhirnya akan membentuk
dukungan dan komitmen yang kuat dari para anggotanya.
DAFTAR PUSTAKA
Barnard, Chester I (1938). The Functions of the @xecu(we,Cambridge. Mass, Harvard
University.
Cohen, William A & Cohen, Nurit (1994), "The Paranoid Organization" dalam 20 World
Executive's Digest.
Daws, Keith & Newstrom, John W (1985), Human BenaworAt. Work: Organizational
Behavior7th Edition, New York: McGraw-Hill, Inc.
Hardjana, Andre A (1994), Budaya Organisasi: Sebuab Kerangka Pemahaman, Jakarta:
BPIS.
Kotter, John P & Heskett, James L (1992), Corporate Culture and Performance, New York-
ThFree Press.
Petere Thomas J & Waterman Jr, Robert H (1982), In Search of Excellence, New Yoric
Harper
Peters, Thomas J & Austin, Nancy (1983), A Passion for fence, New Yoric Harper & Row.