Anda di halaman 1dari 18

POLIOMILITIS

2.1 Pengertian
Poliomilitis adalah penyakit menular yang akut disebabkan oleh virus dengan
predileksi pada sel anterior massa kelabu sumsum tulang belakang dan inti motorik
batang otak, dan akibat kerusakan bagian susunan syaraf tersebut akan terjadi
kelumpuhan serta autropi otot (Wong, 2003).
Polio adalah penyakit menular yang dikategorikan sebagai penyakit peradaban.Polio
menular melalui kontak antar manusia.Virus masuk ke dalam tubuh melalui mulut
ketika seseorang memakan makanan atau minuman. Poliovirus adalah virus RNA
kecil yang terdiri atas tiga strain berbeda dan amat menular. Virus akan menyerang
sistem saraf dan kelumpuhan dapat terjadi dalam hitungan jam. Polio menyerang
tanpa mengenal usia, lima puluh persen kasus terjadi pada anak berusia antara 3
hingga 5 tahun. Masa inkubasi polio dari gejala pertama berkisar dari 3 hingga 35
hari (Ngastiyah,2005).
Jenis polio, yaitu sebagai berikut:
a. Polio non-paralisis
Polio non-paralisis menyebabkan demam, muntah, sakit perut, lesu, dan
sensitif.Terjadi kram otot pada leher dan punggung, otot terasa lembek jika disentuh.
b. Polio paralisis spinal
Strain poliovirus ini menyerang saraf tulang belakang, menghancurkan sel tanduk
anterior yang mengontrol pergerakan pada batang tubuh dan otot tungkai. Meskipun
strain ini dapat menyebabkan kelumpuhan permanen, kurang dari satu penderita dari
200 penderita akan mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan paling sering ditemukan
terjadi pada kaki. Setelah virus polio menyerang usus, virus ini akan diserap oleh
pembulu darah kapiler pada dinding usus dan diangkut seluruh tubuh.
c. Polio bulbar
Polio jenis ini disebabkan oleh tidak adanya kekebalan alami sehingga batang otak
ikut terserang. Batang otak mengandung syaraf motorik yang mengatur pernapasan
dan saraf kranial, yang mengirim sinyal ke berbagai syaraf yang mengontrol
pergerakan bola mata; saraf trigeminal dan saraf muka yang berhubungan dengan
pipi, kelenjar air mata, gusi, dan otot muka; saraf auditori yang mengatur
pendengaran; saraf glossofaringeal yang membantu proses menelan dan berbagai
fungsi di kerongkongan; pergerakan lidah dan rasa; dan saraf yang mengirim sinyal
ke jantung, usus, paru-paru, dan saraf tambahan yang mengatur pergerakan leher.
Tanpa alat bantu pernapasan, polio bulbar dapat menyebabkan kematian. Lima
hingga sepuluh persen penderita yang menderita polio bulbar akan meninggal ketika
otot pernapasan mereka tidak dapat bekerja. Kematian biasanya terjadi setelah terjadi
kerusakan pada saraf kranial yang bertugas mengirim ‘perintah bernapas’ ke paru-
paru.

2.2 Etiologi Penyakit Poliomilitis


Polio disebabkan virus poliomyelitis. Satu dari 200 infeksi berkembang menjadi
kelumpuhan. Sebanyak 5-10 persen pasien lumpuh meninggal ketika otot-otot
pernapasannya menjadi lumpuh. Kebanyakan menyerang anak-anak di bawah umur
tiga tahun (lebih dari 50 persen kasus), tapi dapat juga menyerang orang
dewasa.Pencegahan dengan vaksinasi secara berkala, idealnya pada masa kanak-
kanak. Penularan polio :
a. Virus masuk ke tubuh melalui mulut, bisa dari makanan atau air yang tercemar
virus.
b. Virus ditemui di kerongkongan dan memperbanyak dirinya di dalam usus.
Menyerang sel-sel saraf yang mengendalikan otot, termasuk otot yang terlibat
dalam pernapasan. Penyebab poliomyelitis Family Pecornavirus dan Genus
virus,dibagi 3 yaitu:
a. Brunhilde
b. Lansing
c. Leon
Dapat hidup berbulan-bulan di dalam air, mati dengan pengeringan/ oksidan.
Masa inkubasi : 7-10-35 hari.

Klasifikasi virus:
a. Golongan : Golongan IV ( (+) ssRNA )
b. Familia : Picornaviridae
c. Genus : Enterovirus
d. Spesies : Polioviru

2.3 Tanda dan Gejala


Tanda –tanda klinik yang timbul kemudian akan sesuai dengan kerusakan
anatomic yang terjadi biasanya masa inkubasi adalah 3-6 hari prodromal dan
kelumpuhan terjadi dalam waktu 7-21 hari. Replikasi di motor neuron sumsum tulang
belakang akan menimbulkan kerusakan sel dan kelumpuhan serta atrofi otot
sedangkan virus yang menyebar ke batang otak akan berakibat kelumpuhan bulbar
dan pernafasan. Selain gejala klinik yang akut juga dikenal adanya post polio
syndrome ( PPS) yang gejala kelumpuhannya terjadi bertahun-tahun setelah infeksi
virus akut.

Poliomelitis dapat dibagi menjadi empat yaitu:


1. Poliomielitis asimtomatis
Setelah masa inkubasi 7-10 hari, tidak terdapat gejala karena daya tahan tubuh
cukup baik, maka tidak terdapat gejala klinik sama sekali. Pada suatu epidemi
diperkirakan terdapat pada 90-95% penduduk dan menyebabkan imunitas
terhadap virus tersebut.
2. Poliomielitis abortif
Diduga secara klinik hanya pada daerah yang terserang epidemi terutama yang
diketahui kontak denga pasien poliomeilitis yang jelas. Diperkirakan terdapat 4-
8% penduduk pada suatu epidemi . Timbul mendadak berlangsung beberapa jam
sampai beberapa hari. Gejela berupa malaise, anoreksia, nause, muntah, nyeri
kepala, nyeri tenggorokan, konstipasi dan nyeri obdemen.
3. Poliomielitis non paralitik
Gejala klinik hampir sama dengan poliomyelitis abortif, hanya nyeri kepala,
nausea dan muntah lebih hebat. Gejala ini timbul 1-2 hari kadang-kadang diikuti
penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam atau masuk ke dalam
fase 2 dengan nyeri otot.Khas untuk penyakit ini dengan hipertonia, mungkin
disebabkan oleh lesi pada batang otak, ganglion spinal dan kolumna posterior.
4. Poliomielitis paralitik
Gejala sama pada poliomyelitis non paralitik disertai kelemahan satu atau lebih
kumpulan otot skelet atau cranial. Timbul paralysis akut pada bayi ditemukan
paralysis fesika urinaria dan antonia usus. Adapun bentuk-bentuk gejalanya antara
lain :
a Bentuk spinal: Gejala kelemahan/paralysis atau paresis otot leher, abdomen,
tubuh, diafragma, thorak dan terbanyak ekstremitas.
b Bentuk bulbar: Gangguan motorik satu atau lebih syaraf otak dengan atau
tanpa gangguan pusat vital yakni pernapasan dan sirkulasi.
c Bentuk bulbospinal: Didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan
bentuk bulbar.
d Bentuk ensefalitik: Dapat disertai dengan gejala delirium, kesadaran menurun,
tremor dan kadang- kadang kejang.

2.4 Patofisiologi
Virus biasanya memasuki tubuh melalui rongga orofaring dan berkembang biak
dalam traktus digestivus, kelenjar getah bening regional dan system retikuloendoteal
dalam keadaan ini timbul :
a. Perkembangan virus sehingga tubuh akan membentuk antibody spesifik.
b. Apabila zat antibody dalam tubuh mencukupi dan cepat maka virus akan
dinetralisasi sehingga hanya timbul gejala klinik yang ringan atau tidak timbul
gejala sama sekali sehingga tubuh timbul imunitas terhadap virus tersebut.
c. Dan apabila proliferasi virus lebih cepat dari pembentukan zat antibody tersebut
maka akan timbul gejala klinik atau viremia kemudian virus akan terdapat dalam
feses penderita dalam beberapa minggu lamanya.

Pada umumnya virus yang tertelan akan menginfeksi di epitel


orofaring,tonsil,kelenjar limfe pada leher dan usus kecil/halus. Faring akan segera
terkena setelah virus masuk dan karena virus tahan terhadap asam lambung maka
virus dapat mencapai saluran cerna bagian bawah tanpa perlu proses in aktivasi. Dari
faring setelah bermultiplikasi virus akan menyebar pada jaringan limfe tonsil yang
berlanjut pada aliran limfe dan pembuluh darah. Virus dapat dideteksi pada
nasofaring setelah 24 jam sampai 3-4 minggu. Infeksi susunan saraf pusat dapat
terjadi akibat viremia yang menyusul replikasi cepat virus ini. Virus polio menempel
dan berkembang biak pada sel usus yang mengandung PVR ( PolioVirus Reseptor)
dalam waktu sekitar 3 jam setelah infeksi telah terjadi kolonisasi. Sel yang
menganduk PVR tidak hanya di usus dan tenggorok saja akan tetapi terdapat di sel
monosit dan sel neuro motor di SSP, sekali terjadi perkaitan antara virion dan
replikator akan terjadi integrasi RNA ke dalam virion berjalan cepat sehingga dari
infeksi sampai pelepasan virion baru hanya memerlukan waktu 4-5 jam. Sedang virus
yang bereplikasi secara local kemudian menyebar pada monosit dan kelenjar limfe
yang terkait. Perlekatan dan penetrasi virus dapat dihambat oleh secretory IgA lokal,
kejadian neuropati pada poliomyelitis merupakan akibat langsung dari multiplikasi
virus di jaringan saraf,itu merupakan gejala yang patognomonik namun tidak semua
saraf yang terkena akan mati keadaan reversibillitas fungsi sebagian disebabkan
karena sprouting dan seolah kembali seperti sediakala dalam waktu 3 – 4 minggu
setelah onset. Terdapat kelainan perivaskular dan infiltrasi interstisiel sel glia, secara
histology pada umumnya kerusakan saraf yang terjadi luas namun tidak sejalan
dengan gejala klinisnya.
Lesi saraf pada kasus poliomyelitis dapat ditemukan pada ;
a. Medula spinalis terutam didaerah kornu anterior,sedikit didaerah kornu
intermediet & dorsal serta di ganglia radiks dorsalis.
b. Medulla oblongata (nuclei vestibularis,nuclei saraf cranial dan formation
retikularis yang merupakan pusat-pusat vital).
c. Serebelum (hanya di nuclei bagian atas dan vermis)
d. Otak tengah/mid brain terutama pada massa kelabu,substansia nigra kadang-
kadang substansia rubra.
e. Thalamus dan hipotalamus
f. Palidum
g. Korteks serebri bagian motorik.

Gambaran patologik menunjukkan adanya reaksi peradangan pada system


retikuloendoteal terutama jaringan limfe, kerusakan terjadi pada sel motor neuron
karena virus bersifat sangat neuronotropik,tetapi tidak menyerang neuroglia,myelin
atau pembuluh darah besar. Terjadi juga peradangan pada sekitar sel yang terinfeksi
dehingga kerusakan sel makin luas. Kerusakan pada sumsum tulang belakang
terutama pada anterior horn cell/kornu anterior,pada otak kerusakan terutama terjadi
pada sel motor neuron formasi dari pons dan medulla,nuclei vestibules,serebelum
sedang lesi pada kortex hanya merusak daerah motor dan premotor saja. Pada jenis
bulbar lesi terutama mengenai medulla yang berisi nuklai motor dari saraf otak,
replikasi pada sel motor neuron di SSP yang akan menyebabkan kerusakan permanen.

2.5 Pemeriksaan Penunjang


a Pemeriksaan laboratorium
- Viral isolation
Polio virus dapat di deteksi secara biakan jaringan, dari bahan yang di peroleh
pada tenggorokan satu minggu sebelum dan sesudah paralisis dan tinja pada
minggu ke 2-6 bahkan 12 minggu setelah gejala klinis.
- Uji serologi
Uji serologi dilakukan dengan mengambil sampel darah dari penderita, jika pada
darah ditemukan zat antibodi polio maka diagnosis orang tersebut terkena polio
benar. Pemeriksaan pada fase akut dapat dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan antibodi immunoglobulin M (IgM) apabila terkena polio akan
didapatkan hasil yang positif.
- Cerebrospinal Fluid (CSF)
Cerebrospinal Fluid pada infeksi poliovirus terdapat peningkatan jumlah sel darah
putih yaitu 10-200 sel/mm3 terutama sel limfosit, dan terjadi kenaikan kadar
protein sebanyak 40-50 mg/100 ml (Paul, 2004).

b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan ini hanya menunjang diagnosis poliomielitis lanjut. Pada anak yang
sedang tumbuh, di dapati tulang yang pendek, osteoporosis dengan korteks yang
tipis dan rongga medulla yang relative lebar, selain itu terdapat penipisan epifise,
subluksasio dan dislokasi dari sendi.

2.6 Komplikasi
a. Hiperkalsuria
b. Melena
c. Pelebaran lambung akut
d. Hipertensi ringan
e. Pneumonia
f. Ulkus dekubitus dan emboli paru
g. Psikosis
h. Deformitas otot berakibat kipo skoliosis
i. Koma

2.7 Penatalaksanaan
- Pencegahan
Imunisasi
a. Pengertian Imunisasi Polio
Imunisasi polio adalah imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan
kekebalan terhadap penyakit poliomielitis yaitu penyakit radang yang
menyerang syaraf dan dapat mengakibatkan lumpuh kaki (Anik Maryunani,
2010).
b. Jadwal Pemberian
Imunisasi polio diberikan sebanyak empat kali dengan selang waktu tidak
kurang dari satu bulan. Saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6
bulan. Dilanjutkan pada usia 18 bulan dan 5 tahun. Kecuali saat lahir,
pemberian vaksin polio selalu dibarengi dengan vaksin DPT.
B. Cara Pemberian
Cara pemberian imunisasi polio bisa lewat suntikan (Inactivated Poliomyelitis
Vaccine/IPV), atau lewat mulut (Oral Poliomyelitis Vaccine/OPV).Di
Indonesia yang digunakan adalah OPV, karena lebih aman. OPV diberikan
dengan meneteskan vaksin polio sebanyak dua tetes langsung kedalam mulut
anak atau dengan menggunakan sendok yang dicampur dengan gula manis.
Imunisasi polio diberikan 4 x dengan jarak minimal 4 minggu.

d. Efek Samping
Hampir tak ada. Hanya sebagian kecil saja yang mengalami pusing, diare
ringan, dan sakit otot.
e. Tingkat Kekebalan
Dapat mencapail hingga 90%. Pemberian imunisasi polio untuk memutus
rantai penularan virus polio.
f. Kontra Indikasi
Tak dapat diberikan pada anak yang menderita penyakit akut atau demam
tinggi (diatas 380C), muntah atau diare, penyakit kanker atau keganasan,
HIV/AIDS, sedang menjalani pengobatan radiasi umum, serta anak dengan
mekanisme kekebalan terganggu.
g. Vaksin Polio
1) Inactived Poliomyelitis Vaccine (IPV)
IPV dihasilkan dengan cara membiakkan virus dalam media pembiakkan,
kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan pemanasan atau bahan
kimia. Karena IPV tidak hidup dan tidak dapat replikasi maka vaksin ini
tidak dapat menyebabkan penyakit polio walaupun diberikan pada anak
dengan daya tahan tubuh yang lemah.
Vaksin yang dibuat oleh Aventis Pasteur ini berisi tipe 1, 2, dan 3
dibiakkan pada sel-sel VERO ginjal kera dan dibuat tidak aktif dengan
formadehid.Selain itu dalam jumlah sedikit terdapat neomisin,
streptomisin dan polimiksin.IPV harus disimpan pada suhu 2 – 8 C dan
tidak boleh dibekukan. Pemberian vaksin tersebut dengan cara suntikan
subkutan dengan dosis 0,5 ml diberikan dalam 4 kali berturut-turut dalam
jarak 2 bulan.

2) Oral Polio Vaccine (OPV)


Vaksin OPV pemberiannya dengan cara meneteskan cairan melalui mulut.
Vaksin ini terbuat dari virus liar (wild) hidup yang dilemahkan.
Komposisi vaksin tersebut terdiri dari virus Polio tipe 1, 2, dan 3 adalah
suku Sabin yang masih hidup tetapi sudah dilemahkan (attenuated).
Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan dalam
sucrosa. Tiap dosis sebanyak 2 tetes mengandung virus tipe 1, tipe 2, dan
tipe 3 serta antibiotika eritromisin tidak lebih dari 2 mcg dan kanamisin
tidak lebih dari 10 mcg.

Virus dalam vaksin ini setelah diberikan 2 tetes akan menempatkan diri di
usus dan memacu pembentukan antibodi baik dalam darah maupun dalam
dinding luar lapisan usus yang mengakibatkan pertahan lokal terhadap
virus polio liar yang akan masuk. Pemberian air susu ibu tidak
berpengaruh pada respon antibodi terhadap OPV dan imunisasi tidak
boleh ditunda karena hal ini. Setelah diberikan dosis pertama dapat
terlindungi secara cepat, sedangkan pada dosis berikutnya akan
memberikan perlindungan jangka panjang. Vaksin ini diberikan pada bayi
baru lahir 2, 4, 6, 18 bulan, dan 5 tahun.

Gejala yang umum terjadi akibat serangan virus polio adalah anak
mendadak lumpuh pada salah satu anggota geraknya setelah demam
selama 2-5 hari.Terdapat 2 jenis vaksin yang beredar dan di Indonesia
yang umum diberikan adalah vaksin sabin (kuman yang dilemahkan).
Cara pemberiannya melalui mulut. Dibeberapa negara dikenal pula
tetravaccine yaitu kombinasi DPT dan polio. Imunisasi dasar diberikan
sejak anak baru lahir atau berumur beberapa hari atau selanjutnya
diberikan setiap 4-6 minggu.Pemberian vaksin polio dapat dilakukan
bersamaan dengan BCG, vaksin hepatitis B, dan DPT. Imunisasi ulang
diberikan bersamaan dengan imunisasi ulang DPT, pmberian imunisasi
polio dapat menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit poliomyelitis.
Imunisasi polio.

Imunisasi ulang dapat diberikan sebelum anak masuk sekolah (5-6 tahun)
dan saat meninggalkan sekolah dasar (12 thun).Cara memberikan
imunisasi polio adalah dengan meneteskan vaksin polio sebanyak dua
tetes langsung ke dalam mulut anak.Imunisasi ini jangan diberika pada
anak yang sedang diare berat, efek samping yang terjadi sangat minimal
dapat berupa kejang.
- Pencegahan yang amat penting dengan perbaikan sanitasi, setiap keluarga
harus memiliki sarana air bersih, sarana sanitasi seperti jamban,
pembuangan air limbah rumah tangga, pembuangan sampah yang tertib.
Dengan mewujudkan rumah sehat dan lingkungan yang sehat maka akan
dapat mencegah penyakit berbasis lingkungan termasuk polio.
2.8 Medis
Tidak ada pengobatan yang spesifik , penanganaan dilakukan secara simtomatis
dan suportif.pengobatan yang di lakukan secara umum dalam mencegah penyakit
tersebut yaitu:
a. Isitarahat
b. Antipiretik (dosisnya 15-20 mg)
c. Analgesik (dosisnya 15-20 mg)
Diberikan secara oral

- Poliomielitis abortif
Pengobatannya:
a. Cukup di berikan analgetika dan sedatifa
b. Diet adekuat
c. Istrahat sampai suhu tubuh normal

- Poliomielitis non paralitik


Pengobatannya:
a. Sama seperti pada tipe abortif
b. Selain di beri analgetik dan sedatif dapat di kombinasi dengan kompres
hangat selama 15-30 menit, setiap 2-4 jam.
- Poliomielitis parilitik
Pengobatannya:
a. Membutuhkan perawatan di rumah sakit
b. Istrahat total minimal 7 hari atau sedikitnya sampai fase akut di lampaui
c. Selama fase akut kebersihan mulut di jaga
d. Fisioterapi di lakukan sedini mungkin sesudah fase akut mulai dengan latihan
pasif dengan maksud untuk mencegah terjadinya deformitas

- Poliomielitis bulbar
Pengobatannya:
a. Memerlukan inkubasi endotrakea
b. Menjaga saluran nafas
c. Menghindari aspirasi sekret yang tidak dapat di telan

2.9 Keperawatan
Penatalaksanaan untuk mencegah penularan klien perlu dirawat di kamar
isolasi dengan perangkat lengkap kamar isolasi dan memerlukan pengawasan
yang teliti. Mengingat bahwa virus polio juga terdapat pada feses Klien maka bila
membuang feses harus betul-betul ke dalam lobang WC dan disiram air sebanyak
mungkin. Kebersihan WC/sekitarnya harus diperhatikan dan dibersihkan dengan
desinfektan.Masalah Klien yang perlu diperhatikan bahaya terjadi kelumpuhan,
gangguan psikososial, dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.

Menganjurkan klien tidur selama 2 minggu/lebih bergantung pada jenis


penyakit bentuk polio.Karena Klien merasakan sakit pada otot yang sarafnya
terkena maka Klien tidak mau bergerak sendiri. Oleh karena itu Klien ditolong di
atas tempat tidur dengan hati-hati misalnya mau memasang pot, atau bila akan
mengubah posisi angkatlah dahulu kaki/anggota yang sakit dan orang lain
memasangkan pot atau membereskan alat tenun.
Pathway

Poli virus PV
(Genus Enterovirus dan family Picorna viridae)

Virus menular melalui kotoran (feses) atau sekret tenggorokan orang yang terinfeksi

Masuk kedalam tubuh melalui mulut

Menginfeksi saluran tenggorokan dan usus (berkembang biak)

Virus memasuki aliran darah Timbul verimia virus

Virus menyerang sistem Proses peradangan


Saraf pusat Nyeri akut

Melemahnya otot Hipertermia

(Motorik) Otot pernapasan

Kelumpuhan Akumulasi sekret Mual & muntah


Ansietas
(paralysis)

Hambatan Ketidakefektifan Ketidakseimbangan


mobilitas bersihan jalan nutrisi kurang dari
fisik napas kebutuhan tubuh

Konstipasi
(Sumber: Wong, 2003)
2.10 Rencana Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Riwayat keperawatan
Riwayat pengobatan penyakit-penyakit dan riwayat imunitas
2. Pemeriksaan fisik (data fokus)
a) Keadaan umum
- Tingkat kesadaran (apatis, sopor, koma, gelisah, kompos mentis
yang bergantung pada keadaan klien).
- Kesakitan atau keadaan penyakit (akut, kronis, ringan, sedang, dan
pada kasus osteomielitis biasanya akut).
- Tanda-tanda vital : Terdapat peningkatan suhu tubuh.
b) Kepala dan leher : Terdapat nyeri kepala dan otot leher mengalami
kram / kaku dan terdapat nyeri saat menelan.
c) Axila : Axila teraba hangat.
d) Abdomen : Adanya nyeri tekan
e) Ekstremitas : Adanya paralysis atau kaku/kram.
Pemeriksaan fisik pada ekstremitas dilakukan dengan :
Pada Bayi
1 Perhatikan posisi tidur. Bayi normal menunjukkan posisi tungkai
menekuk padalutut dan pinggul. Bayi yang lumpuh akan
menunjukkan tungkai lemas dan lutut menyentuh tempat tidur.
2 Lakukan rangsangan dengan menggelitik atau menekan dengan
ujung pensil padatelapak kaki bayi. Bila kaki ditarik berarti tidak
terjadi kelumpuhan.
3 Pegang bayi pada ketiak dan ayunkan. Bayi normal akan
menunjukkan gerakan kaki menekuk, pada bayi lumpuh tungkai
tergantung lemas.

Pada Anak
1. Mintalah anak berjalan dan perhatikan apakah pincang atau
tidak.
2. Mintalah anak berjalan pada ujung jari atau tumit. Anak yang
mengalami kelumpuhan tidak bisa melakukannya.
3. Mintalah anak meloncat pada satu kaki. Anak yang lumpuh tak
bisa melakukannya. Mintalah anak berjongkok atau duduk di
lantai kemudian bangun kembali. Anak yang mengalami
kelumpuhan akan mencoba berdiri dengan berpegangan
merambat pada tungkainya.
4. Tungkai yang mengalami lumpuh pasti lebih kecil.

3. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
a. Viral isolation
Polio virus dapat di deteksi secara biakan jaringan, dari bahan
yang di peroleh pada tenggorokan satu minggu sebelum dan
sesudah paralisis dan tinja pada minggu ke 2-6 bahkan 12 minggu
setelah gejala klinis.
b. Cerebrospinal Fluid (CSF)
Cerebrospinal Fluid pada infeksi poliovirus terdapat peningkatan
jumlah sel darah putih yaitu 10-200 sel/mm3 terutama sel limfosit,
dan terjadi kenaikan kadar protein sebanyak 40-50 mg/100 ml
(Paul,2004).

2) Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan ini hanya menunjang diagnosis poliomielitis lanjut.Pada
anak yang sedang tumbuh, di dapati tulang yang pendek, osteoporosis
dengan korteks yang tipis dan rongga medulla yang relative lebar,
selain itu terdapat penipisan epifise, subluksasio dan dislokasi dari
sendi.

B. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa : Hambatan mobilitas fisik (00085)
i. Definisi:
Keterbatasan dalam pergerakan fisik mandiri dan terarah pada tubuh
atau satu ekstremitas atau lebih.
Tingkat 0 : Mandiri total
Tingkat 1 : Memerlukan penggunaan peralatan atau alat bantu
Tingkat 2 : Memerlukan bantuan orang lain untuk pertolongan,
pengawasan, atau pengajaran
Tingkat 3: Membutuhkan orang lain dan alat bantu peralatan atau alat
bantu
Tingkat 4 : ketergantungan, tidak berpartisipasi alam aktivitas

ii. Batasan Karakteristik


a. Penurunan waktu reaksi
b. Kesulitan membolak-balik posisi
c. Asyik dengan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan (misalnya,
peningkatan perhatian terhadap aktivitas orang lain, perilaku
mengendalikan berfokus pada kondisi sebelum sakit atau
ketunadayaan aktivitas).
d. Dipsnea saat beraktivitas
e. Perubahan cara berjalan
f. Pergerakan menyentak
g. Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik
halus
h. Keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik halus
i. Keterbatasan rentang pergerakan sendi
j. Tremor yang diinduksi oleh pergerakan
k. Melambatnya pergerakan
l. Gerakan tidak teratur atau tidak terkoordinasi
iii. Faktor yang berhubungan
a. Perubahan metabolisme sel
b. IMT di atas persentil ke-75 sesuai usia
c. Gangguan kognitif
d. Kepercayaan budaya terkait aktivitas sesuai dengan usia
e. Penurunan kekuatan, kendali, atau massa otot
f. Keadaan alam perasaan depresi atau ansietas
g. Keterlambatan perkembangan
h. Ketidaknyamanan
i. Intoleransi aktivitas dan penurunan kekuatan dan ketahanan
j. Kaku sendi atau kontraktur
k. Difisiensi pengetahuan tentang nilai aktivitas fisik
l. Kurang dukungan lingkungan fisik atau sosial
m. Keterbatasan ketahanan kardiovaskular
n. Hilangnya integritas struktur tulang
o. Medikasi
p. Gangguan muskuloskeletal
q. Gangguan neuromuskular
r. Nyeri
s. Program pembatasan pergerakan
t. Keengganan untuk memulai pergerakan
u. Gaya hidup yang kurang gerak atau disuse atau melemah
v. Malnutrisi
w. Gangguan sensori persepsi
(NANDA, 2012).

C. Perencanaan
Diagnosa : Hambatan mobilitas fisik (00085)
Tujuan dan kriteria(berdasarkan NOC)
Memperlihatkan mobilitas, yang dibuktikan oleh indikator berikut (sebutkan
1-5: gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak mengalami
gangguan):
a. Keseimbangan
b. Koordinasi
c. Performa posisi tubuh
d. Pergerakan sendi dan otot
e. Berjalan
f. Bergerak dengan mudah

Intervensi keperawatan dan rasional (berdasarkan NIC)


1) Pengkajian
a. Kaji tanda dan gejala hambatan mobilitas fisik
Rasional: mengobservasi penyebab hambatan mobilitas dari tanda
dan gejala untuk menentukan tindakan lanjutan.
b. Kaji skala kekuatan otot
Rasional: menggunakan skala kekuatan otot 0-5 untuk menentukan
kemampuan bermobilisasi berdasarkan hasil skala kekuatan otot.
c. Kaji skala aktivitas
Rasional: menggunakan skala aktivitas 0-4 untuk menentukan
tingkat kemandirian.
2) Observasi
Observasi tingkat kemampuan ROM aktif pasien
Rasional: ROM aktif dapat membantu dalam
mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan kelenturan otot dan
mencegah kekakuan sendi.
3) Mandiri
a. Terapi latihan fisik: latihan kekuatan
Rasional: memfasilitasi pelatihan otot resistif secara rutin untuk
mempertahankan atau meningkatkan kekuatan otot.
b. Terapi latihan fisik: ambulasi
Rasional: meningkatkan dan membantu dalam perjalanan untuk
mempertahankan atau mengembalikan fungsi tubuh autonom dan
volunter selama pengobatan dan pemulihan dari kondisi sakit atau
cedera.
c. Terapi latihan fisik: keseimbangan:
Rasional: menggunakan aktivitas, postur, dan gerakan tertentu untuk
mempertahankan, meningkatkan, atau memulihkan keseimbangan.
d. Terapi latihan fisik: mobilitas sendi:
Rasional: menggunakan gerakan tubuh aktif dan pasif untuk
mempertahankan atau mengembalikan fleksibilitas sendi
e. Terapi latihan fisik: pengendalian otot
Rasional: menggunakan aktivitas tertentu atau protokol latihan yang
sesuai untuk meningkatkan atau mengembalikan gerakan tubuh yang
terkendali.
f. Pengaturan posisi:
Rasional: mengatur posisi pasien atau bagian tubuh pasien secara
hati-hati untuk meningkatkan kesejaraheraan fisiologis dan
psikologis.
g. Pengaturan posisi: kursi roda
Rasional: mengatur posisi pasien dengan benar di kursi roda pilihan
untuk mencapai rasa nyaman, meningkatkan integritas kulit, dan
menumbuhkan kemandirian pasien
h. Bantuan perawatan - diri: berpindah:
Rasional: membantu individu untuk mengubah posisi tubuhnya.
4) Edukasi
Ajarkan keluarga teknik mobilisasi
Rasional: Melibatkan peran keluarga untuk meningkatkan mobilisasi
pasien
5) Kolaborasi
Kolaborasi dengan fisioterapi untuk program latihan.
Rasional: Mempercepat proses penyembuhan.

.
Daftar Pustaka

Huda, A. N., & Kusuma, H. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis. Yogyakarta: Mediaction.

Maryunani, Anik. 2010. Imu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Jakarta : TIM.

NANDA Internasional Inc. Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017,


Ed.10. Jakarta: EGC.

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit, ed 2. Jakarta: EGC.

Smeltzer, suzannec. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth,
ed.8, vol.1. Jakarta: EGC.

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik, ed.4. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai