Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN (LP)

DENGAN DIAGNOSA MEDIS RETENSI URIN


DI RUANG KENANGA
RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARDJO PURWOKERTO

“Disusun sebagai syarat untuk memenuhi tugas Aplikasi Klinik

Keperawatan Medikal Bedah (KMB)

Disusun Oleh :

Irma Susrini (113118033)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)

AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH CILACAP

2018
RETENSI URIN

A. PENGERTIAN
Retensi urin adalah ketidakmampuan dalam mengeluarkan urine sesuai
dengan keinginan, sehingga urine yang terkumpul di buli-buli melampaui
batas maksimal (Wiyono, 2016). Menurut Smeltzer dan Bare (2010),
menyataan retensi urine merupakan penumpukan urine dalam bladder dan
ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih. Penyebab distensi
bladder adalah urine yang terdapat dalam bladder melebihi 400 ml, normalnya
250-400 ml.
B. ETIOLOGI
Menurut Sulli (2011), penyebab retensi urin berdasarkan lokasi kerusakan
syaraf dapat dibagi menjadi :
1. Supravesikal
Gangguan supravesikal adalah kerusakan pada pusat kemih di medulla
spinalis sakralis, terjadi kerusakan pada saraf motorik dan sensorik baik
sebagian maupun seluruhnya, misalnya pada operasi miles dan
mesenterasi pelvis, kelainan medulla spinalis, misalnya miningokel, tabes
doraslis, atau spasmus sfinkter yang ditandai dengan rasa sakit yang hebat.
2. Vesikal
Gangguan vesikal adalah kondisi lokal seperti batu di kandung kemih,
obat antimuskarinik/antikolinergik (tekanan kandung kemih yang rendah)
menyebabkan kelemahan pada otot detrusor. Kelemahan otot detrusor
terjadi akibat lama teregang pada pasien masa kehamilan dan proses
persalinan, atoni pada pasien DM atau penyakit neurologis, sehingga
terjadi neuropati yang mengakibatkan otot tidak mau berkontraksi.
3. Infravesikal (distal kandung kemih)
Gangguan infravesikal adalah berupa pembesaran prostat (kanker,
prostatitis), kekakuan leher vesika, tumor pada leher vesika, fimosis,
stenosis meatus uretra, tumor penis, striktur uretra, trauma uretra, batu
uretra, sklerosis leher kandung kemih (bladder neck sclerosis).
Secara garis besar retensi urin disebabkan oleh obstruksi, infeksi,
faktor farmakologi, faktor neurologi dan faktor trauma.

2
C. KLASIFIKASI RETENSI URIN
1. Retensi urin akut
Retensi urin yang akut adalah ketidakmampuan berkemih tiba-tiba
dan disertai rasa sakit meskipun buli-buli terisi penuh. Berbeda dengan
kronis, tidak ada rasa sakit karena urin sedikit demi sedikit tertimbun.
Retensi urin akut penderitanya seakan-akan tidak dapat berkemih (BAK).
Kandung kemih terasa sakit yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat
ingin BAK yang hebat disertai mengejan. Sering kali urin keluar menetes
atau sedikit-sedikit. Kasus retensi akut ini bila penyebabnya tidak segera
ditemukan maka kerusakan lebih berat yang sifatnya permanen dapat
terjadi, karena otot detrusor atau ganglia parasimpatik pada kandung
kemih menjadi tidak berkompromi (Pribakti, 2011).
2. Retensi urin kronik
Retensi urin kronik adalah retensi urin ‘tanpa rasa nyeri’ yang
disebabkan oleh peningkatan volume residu urin yang bertahap. Penderita
secara perlahan dalam waktu yang lama tidak dapat BAK, merasakan nyeri
di daerah suprapubik hanya sedikit atau tidak sama sekali walaupun
kandung kemih penuh. Terdapat masalah khusus pada retensi urin kronis
akibat peningkatan tekanan intravesikal yang menyebabkan refluks uretra,
infeksi saluran kemih atas dan penurunan fungsi ginjal (Pribakti, 2011).
Hal ini dapat disebabkan karena pembesaran prostat, pembesaran sedikit-
sedikit lama-lama tidak bisa kencing. Bisa kencing sedikit tapi bukan
karena keinginannya sendiri tapi keluar sendiri karena tekanan lebih tinggi
daripada tekanan sfingternya. Kondisi yang terkait adalah masih dapat
berkemih, namun tidak lancar, sulit memulai berkemih (hesitancy), tidak
dapat mengosongkan kandung kemih dengan sempurna (tidak lampias).
Retensi urin kronik tidak mengancam nyawa, namun dapat menyebabkan
permasalahan medis yang serius di kemudian hari.
Retensi urin juga dapat terjadi sebagian dan total :
1. Retensi urin sebagian yaitu penderita masih bisa mengeluarkan urin
tetapi terdapat sisa urin yang cukup banyak dalam kandung kemih.

3
2. Retensi urin total yaitu penderita sama sekali tidak dapat
mengeluarkan urin.
D. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Sari (2016) gejala dari retensi urin antara lain :
1. Diawali dengan urine mengalir lambat
2. Jumlah residu urin lebih dari 150 ml dalam 24 jam.
3. Kemudian terjadi poliuria yang makin lama menjadi parah karena
pengosongan kandung kemih tidak efisien.
4. Ketidakyamanan daerah pubis
5. Terjadi distensi vesika urinari dan abdomen akibat dilatasi kandung kemih
6. Ketidaksanggupan berkemih
7. Terasa ada tekanan, kadang terasa nyeri dan merasa ingin BAK.
8. Pada retensi berat bisa mencapai 3000 -4000 cc urin dalam kandung
kemih.
E. PATOFISIOLOGI

Pada retensio urine, penderita tidak dapat miksi, buli-buli penuh disertai
rasa sakit yang hebat di daerah supra pubik dan hasrat ingin miksi yang hebat
disertai mengejan. Retensio urine dapat terjadi menurut lokasi, factor obat dan
factor lainnya seperti ansietas, kelainan patologi urethra, trauma dan lain
sebagainya.

Berdasarkan lokasi bisa dibagi menjadi supravesikal berupa kerusakan


pusat miksi di medulla spinalsi menyebabkan kerusaan simpatis dan
parasimpatis sebagian atau seluruhnya sehingga tidak terjadi koneksi dengan
otot detrusor yang mengakibatkan tidak adanya atau menurunnya relaksasi
otot spinkter internal,vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama
teregang, intravesikal berupa hipertrofi prostate, tumor atau kekakuan leher
vesika, striktur, batu kecil menyebabkan obstruksi urethra sehingga urine sisa
meningkat dan terjadi dilatasi bladder kemudian distensia abdomen.

Factor obat dapat mempengaruhi proses BAK, menurunkan tekanan darah,


menurunkan filtrasi glumerolus sehingga menyebabkan produksi urine
menurun.

4
Factor lain berupa kecemasan, kelainan patologi urethra, trauma dan lain
sebagainya yang dapat meningkatkan tensi otot perut, peri anal, sfrinkter anal
eksterna tidak dapat relaksasi dengan baik. Dari semua factor di atas
menyebabkan urine mengalir labat kemudian terjadi poliuria
karena pengosongan kandung kemih tidak efisien.

Selanjutnya terjadi distensi bladder dan distensi abdomen sehingga


memerlukan tindakan, salah satunya berupa kateterisasi urethra.

F. PATHWAYS

Suprevesikal Vesikal Intravesikal

Kerusakan medula spinalis, Penyumbatan/


kerusakan saraf simpatis penyempitan
dan para simpatis Otot detrusor melemah uretra

Neuropati (otot tidak


mau berkontraksi)

Distensi kandung kemih

RETENSI URIN

Urin tertahan

VU penuh pemberian tindakan


Distensi abdomen invasif
Gangguan pola
Nyeri pada eliminasi urin pemasangan kateter
daerah pubis
Resiko infeksi

Nyeri akut

5
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Adapun pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada retensio urine
adalah sebagai berikut:
1. Laboratorium
a. Urin dan urin kultur untuk melihat adanya infeksi
b. Ureum dan kreatinin untuk melihat faal ginjal
2. Radiologi
a. Diagnose pasti dapat di buat dengan uretrografi
b. Retrograde uretrografi untuk melihat urethra anterior
c. Antegrade urethrografi untuk melihat urethra posterior
d. Bipolar urethrografi adalah kombinasi dari pemeriksaan antegrade dan
retrograde urethrografi
Dengan pemeriksaan ini di harapkan disamping dapat dibuat
diagnose striktur urethra juga dapat ditentukan panjang striktur, ini
penting untuk perencanaan terapi/operasi
3. Uretroskopi
Pemeriksaan dengan endoskopi untuk melihat secara langsung adanya
striktur
4. Uroflometri
Uroflometri adalah pemeriksaan untuk menentukan jumlah urin yang
dipancarkan per detik, normal flow maksimal laki-laki adalah 15 ml/detik
dan wanita 25 ml/detik
5. Sistoskopi (pemeriksaan kandung kemih)
6. IVP ( Intravena Pielogram ) / Rontgen dengan bahan kontras.
H. PENATALAKSANAAN
1. Kateterisasi urethra
Syarat-syarat :
a. dilakukan dengan prinsip aseptik
b. digunakan kateter nelaton/sejenis yang tidak terlalu besar, jenis Fole
c. diusahakan tidak nyeri agar tidak terjadi spasme dari sfingter.
d. diusahakan dengan sistem tertutup bila dipasang kateter tetap.

6
e. diberikan antibiotika profilaksis sebelum pemasangan kateter 1 X saja
(biasanya tidak diperlukan antibiotika sama sekali). Kateter tetap
dipertahankan sesingkat mungkin, hanya sepanjang masih dibutuhkan.
2. Drainase suprapubik
Merupakan tindakan darurat sementara bila keteterisasi tidak
berhasil dan fasilitas / sarana untuksistostomi baik trokar maupun terbuka
tidak tersedia. Digunakan jarum pungsi dan penderitasegera dirujuk ke
pusat pelayanan dimana dapat dilakukan sistostomi. Penderita dan
keluarga harus diberi informasi yang jelas tentang prosedur ini karena
tanpatindakan susulan sistostomi, buli-buli akan terisi penuh kembali dan
sebagian urin merembes melalui lubang bekas pungsi.
3. Dilatasi urethra dengan boudy
Dilatasi, balon kateter atau dialtor (plastik atau metal) dimasukkan
kedalam uretra untuk membuka daerah yang menyempit
I. KOMPLIKASI
1. Urolitiasis atau nefrolitiasis
2. Pielonefritis
3. Hydronefrosis
4. Pendarahan
5. Ekstravasasi urine
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi anatomik.
2. Nyeri akut berhubungan dengan distensi pada kandung kemih
3. Risiko infeksi
K. FOKUS INTERVENSI KEPERAWATAN NOC DAN NIC
No. Diagnosa NOC NIC
keperawatan
1. Gangguan Setelah dilakukan tindakan Urinary Retention
keperawatan selama….x24 jam, Care
eliminasi urin
diharapkan eliminasi urin efektif 1. Monitor intake
berhubungan dengan kriteria hasil : dan output
Urinary elimination 2. Monitor derajat
dengan
Indikator IR ER distensi bladder
obstruksi 1. Kandung kemih 3. Instruksikan pada
pasien dan

7
anatomik kosong secara keluarga untuk
penuh mencatat output
2. Tidak ada residu urine
urine >100-200 cc 4. Stimulasi reflek
3. Intake cairan dalam bladder dengan
rentang normal kompres dingin
4. Tidak ada spasme pada abdomen.
bladder 5. Kateterisaai jika
5. Bebas dari ISK perlu
6. Balance cairan 6. Monitor tanda dan
seimbang gejala ISK
2. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Pain Management
berhubungan keperawatan selama...x24 jam, 1. Lakukan
pengkajian nyeri
dengan diharapkan pasien tidak
secara
distensi pada mengalami nyeri, dengan kriteria komprehensif
2. Observasi reaksi
kandung hasil :
nonverbal dari
kemih Pain level ketidaknyamanan
3. Kontrol
Pain control
lingkungan yang
Indikator IR ER dapat
mempengaruhi
1. Mampu nyeri
mengontrol nyeri 4. Kurangi faktor
2. Mampu mengenali presipitasi nyeri
nyeri 5. Ajarkan tentang
3. Menyatakan rasa teknik non
nyaman setelah farmakologi
nyeri berkurang 6. Berikan analgetik
4. Tanda vital dalam untuk mengurangi
rentang normal nyeri
7. Tingkatkan
istirahat
8. Monitor vital sign
sebelum dan
sesudah pemberian
analgesik pertama
kali
3. Risiko Setelah dilakukan tindakan Infection Control
keperawatan selama…x24 jam, 1. Pertahankan teknik
infeksi
diharapkan pasien tidak aseptif
mengalami infeksi dengan kriteria 2. Cuci tangan setiap
hasil : sebelum dan
Risk control sesudah tindakan
Indikator IR ER keperawatan
1. Klien bebas dari 3. Gunakan kateter

8
tanda dan gejala intermiten untuk
infeksi menurunkan
2. Jumlah leukosit infeksi kandung
dalam batas kencing
normal 4. Tingkatkan intake
3. Status imun, nutrisi
gastrointestinal, 5. Berikan terapi
genitourinaria antibiotik
dalam batas 6. Monitor tanda dan
normal gejala infeksi
sistemik dan lokal
7. Dorong istirahat
8. Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan
gejala infeksi

9
DAFTAR PUSTAKA

Wiyono, D., (2016). Efektivitas Bladder Training Terhadap Retensi Urin Pada
Psien Post Operasi di Ruang Mawar RSUD Dr Soehadi Prijonegoro,
Sragen (http://digilib.stikeskusumahusada.ac.id/files/disk1/29/01-gdl-
dwiwiyonon-1425-1-skripsi-o.pdf), diakses pada 24 September, pukul 20.00
WIB

Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC.

Sulli, Nova. (2011). Retensi Urin.diakses dari http://www.scribd.co/novasulli.

Sari, D.N. (2016). Gangguan Eliminasi Urine. Diakses dari https://edoc.site/lp-


retensio-urine-pdf-free.html.

Pribakti, Basuki. (2011). Dasar dasar Urologi. Edisi ketiga. Jakarta: CV.

10

Anda mungkin juga menyukai