Buku Kajian Pendidikan Tinggi PDF
Buku Kajian Pendidikan Tinggi PDF
Hidup Mahasiswa!
Hidup Rakyat Indonesia!
Salam Ganesha!
Pendidikan sebagai hak konstitusional seluruh rakyat Indonesia menjadi faktor utama
pembangunan sumber daya manusia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemajuan
suatu negara pun dinilai dari baiknya kualitas penduduknya dari kacamata pendidikan.
Khususnya akses pendidikan tinggi yang dijamin dengan baik penerapannya oleh negara.
Sayangnya, pendidikan tinggi sebagai salah satu elemen penting Sistem Pendidikan
Nasional yang sudah termaktub dalam UUD 1945 saat ini belum terimplementasikan dengan
baik. Sistem Pendidikan Nasional Indonesia hingga saat ini belum menjamin akses pendidikan
yang luas kepada seluruh lapisan elemen masyarakat. Terjadinya gap yang besar di dalam
penerapan Pendidikan Dasar dan Menengah berbuntut pada akses pendidikan tinggi yang
tidak bisa diterima secara menyeluruh oleh anak – anak Indonesia. Kondisi ini semakin
mengkhawatirkan dengan berbagai isu – isu yang beredar terkait pendidikan tinggi di
Indonesia. Dimulai dari isu radikalisme yang disangkutpautkan dengan tujuh perguruan tinggi
negeri besar, penerapan Student Loan yang tidak mengentaskan akar masalah, hingga
kebijakan pemungutan biaya pendidikan tinggi melalui uang pangkal yang memberatkan
mahasiswa.
Kebebasan berpikir dan berpendapat adalah komponen utama yang menguji daya
kritis yang dimiliki sebagai komponen utama mahasiswa. Kebebasan berpikir ini seringkali
dipandang sebagai bibit-bibit pemicu gerakan radikalisme. Seperti pada terjadinya kasus
pemberangusan kebebasan berpendapat yang dilakukan ormas-ormas tidak bertanggung
jawab seperti kasus pembubaran diskusi Marx di kampus ISBI 1.Isu mengenai radikalisme dalam
kehidupan kemahasiswaan sudah lama mencuat semenjak 2011 dengan terbitnya artikel
“Radikalisme Mengincar Kampus” oleh Ansyaad Mbai yang menjabat kepala BNPT kala itu.
Artikel tersebut memuat bahwa radikalisme menyusup ke lingkungan kampus dengan
memanfaatkan ketidakpuasan mahasiswa terhadap kinerja pemerintah. Tindakan dan klaim
seperti ini menurut pengamat Terorisme Harits Abu Ulya menilai : “tidak boleh hanya karena
ada satu-dua orang oknum mahasiswa satu kampus terlibat aksi terror kemudian dibuat dasar
untuk menggeneralisir untuk semua kampus”.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh pengamat terorisme lainnya, Al Chaidar.
Menurutnya penyebaran radikalisme jangan sampai menciderai arti pola pikir kritis khas
mahasiswa. Kampus merupakan tempat dimana kebebasan akademis perlu dihormati, apapun
bisa dibahas sebagai bagian dari aktivias intelektual dan pengembangan kelimuan. Kajian-
kajian berbagai hal mengenai keislaman, kesosialismean, marzisme, feminism, globalisme,
liberalism, dan LGBT pun adalah hal yang lumrah. Kajian tersebut dipahami dalam konteks
berdialektika dalam koridor pemikiran semata, tidak serta merta mahasiswa yang
bersangkutan penganut paham/idiologi terkait2.
Penjelasan berikutnya akan memaparkan lebih lanjut mengenai perbedaan antara
aktivisme, radikalisme, dan terorisme. Karena ketiga hal ini seringkali tercampur aduk dan
menjadi legitimasi tindakan represif terhadap golongan masyarakat tertentu. Pada akhir
penjelasan akan dipaparkan juga mengenai kecenderungan tindakan represif yang sengaja
dilakukan oleh pemerintah.
1
https://www.merdeka.com/peristiwa/diskusi-karl-marx-di-kampus-isbi-bandung-dibubarkan-fpi.html
2
https://nusantara.news/klaim-bnpt-soal-kampus-terpapar-radikalisme-perlu-parameter-jelas/
3
http://ayobandung.com/read/20180307/64/29711/bentrokan-dalam-mencari-keadilan-untuk-tamansari
Partisipasi
Politik
Aktivisme
Politik
4
https://www.bbc.com/news/world-middle-east-12813859
5
https://katadata.co.id/berita/2018/05/15/definisi-terorisme-tuai-perdebatan-di-pansus-ruu-antiterorisme
6
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170918073733-20-242364/kronologi-pengepungan-gedung-lbh-
jakarta-oleh-massa-anti-pki
7
https://www.bantuanhukum.or.id/web/aparat-kepolisian-terbukti-melakukan-kriminalisasi/
8
https://news.detik.com/berita/4057461/menristek-jelaskan-kabar-7-kampus-negeri-ternama-terpapar-
radikalisme
9
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180606165229-20-304059/menristek-kumpulkan-rektor-bahas-
radikalisme-kampus-25-juni
10
https://www.republika.co.id/berita/pendidikan/dunia-kampus/18/06/05/p9u3c7430-pengawasan-hp-dan-
medsos-mahasiswa-dinilai-berlebihan
Pada akhirnya Indonesia sebagai negara demokratis yang dilandakan oleh Pancasila
memiliki kewajiban untuk memperlakukan setiap masyarakatnya dengan adil dan beradab.
Tindakan-tindakan represif terhadap gerakan aktivisme bukanlah langkah yang bijak untuk
dilakukan. Memang betul sejatinya setiap bentuk terror yang menempatkan kehidupan
masyarakat sipil terancama haruslah diberantas secara tuntas. Namun jangan sampai
kebebasan dalam mengemukakan pendapat di muka umum, berdiskusi mengenai topik-topik
tertentu untuk memperlebar wawasan, dan bahkan berikir pun di halang-halangi melalui
tindakan represif dengan dalih pemberantasan gerakan radikal dan terror.
Kemahasiswaan memiliki kemandirian dalam mengatur segala tata nilai yang diatur
bersama, bentuk pengawasan dan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah sudah seharusnya
melibatkan mahasiswa. Pemerintah tidak bisa begitu saja menerapkan kebijakan dalam
pengawasan gerakan kemahasiswaan yang membatasi proses berpikir kritis mahasiswa,
karena pada akhirnya yang mengetahui kegiatan kemahasiswan adalah mahasiswa itu sendiri.
Oleh karena itu pemerintah dan perkumpulan mahasiswa harus duduk bersama agar terjadi
musyawarah yang saling menguntungkan dan mendukung kedua belah pihak. Mahasiswa
bukanlah oposisi dari pemerintah, sebaliknya kita adalah rekan kerja bersama dalam
membangun Bangsa Indonesia dengan saling mengkritisi satu sama lain.
Daftar Pustaka
Calhoun, C. (1983). Industrialization and Social Radicalism : British and French Workers'
Movement and The Mid-Nineteenth-Century Crises. Theory and Society, Vol 12, No. 4, 485-
504.
deMeritt, J. H. (2016, October 1). The Strategic Use of State Repression and Political Violence.
Contentious Politics and Political Violence, pp. 1-23.
Sjoqvist, S. (2014). On Radicalism : A Study of Political Methods in the Shadow Land Between
Activism and Terrorism. Uppsala: Uppsala University.
Student Loan
Reformasi 1998, adalah sebuah momen bersejarah bagi seluruh rakyat Indonesia.
Setelah dikuasai oleh rezim otoriter Orde Baru selama lebih dari tiga dekade, pada momen ini
Indonesia memulai langkah pertamanya dalam memasuki periode demokrasi dengan
perpolitikan yang merdeka dan liberal. Reformasi 1998 tentu tidak bisa dilepaskan dari
pergerakan mahasiswa. Mahasiswa sebagai motor penggerak reformasi yang menggulingkan
pemerintahan Orde baru adalah fakta yang sudah umum diketahui di Indonesia.
Dengan ini, sejarah telah membuktikan bahwa mahasiswa sebagai buah dari
pendidikan dapat membawa atau memantik perubahan-perubahan besar bagi negara
Indonesia sendiri. Oleh karena itu, di momen 20 tahun reformasi ini, sudah sepantasnya kita
menengok kembali kabar sistem Pendidikan yang mencetak calon-calon pemberi perubahan
tersebut.
Untuk Pendidikan tinggi, topik yang menjadi sorotan adalah mengenai student loan
yang yang menimbulkan polemik akan keberadaan negara dalam menjamin Pendidikan
terjangkau bagi masyarakat. Hal ini dikarenakan penerapan student loan sendiri yang jika
dianalisis dampaknya dapat berpengaruh besar untuk Indonesia itu sendiri dan butuh
persiapan dan kerja sama yang cukup matang oleh para penyelenggaranya. Sementara itu,
untuk pendidikan dasar dan menengah, topik yang menjadi sorotan ada tiga, yakni : 20%
Anggaran untuk Pendidikan, Kondisi Guru Saat ini, dan UU wajib belajar 12 tahun.
Kewajiban pemerintah dan perguruan tinggi yang telah disebutkan diatas kemudian
juga ditegaskan dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi Pasal
76 ayat (1) yang menekankan bahwasannya pemerintah pusat dan daerah, serta perguruan
tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa kurang mampu secara ekonomi. Apabila
pemenuhan hak tersebut dialihkan kepada selain dari pihak-pihak yang disebutkan dengan
tegas oleh undang-undang (misal bank), maka sudah sangat jelas terjadi pengingkaran
terhadap kewajiban, baik oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah maupun Perguruan Tinggi.
Selanjutnya, pada undang – undang dan pasal yang sama ayat 2, diberikan beberapa
bentuk pilihan metode pemenuhan hak masyarakat atas pendidikan oleh pihak-pihak yang
bertanggung jawab. Pilihan metode yang dimaksud adalah berupa beasiswa kepada
mahasiswa berprestasi, bantuan atau membebaskan biaya pendidikan, pinjaman dana tanpa
bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan. Hal tersebut
memperlihatkan bahwa sebenarnya Undang-Undang ini tidak menutup kesempatan bagi
pemerintah untuk melakukan pinjaman dana kepada peserta didik. Namun, pada frasa
selanjutnya terdapat syarat yang harus dipenuhi dalam mekanisme peminjaman dana
tersebut, yakni tanpa bunga dan wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.
Pada akhirnya, penerapan student loan bermasalah dengan poin “tanpa bunga” pada syarat
tersebut karena sistem pendanaan yang diberikan kepada bank.
Namun, penerapan student loan juga memiliki risiko yang nilainya, menurut Direktur
Penelitian Centre of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, bergantung
pada sejumlah faktor, terutama kepastian peminjam student loan mendapatkan pekerjaan
setelah lulus yang memengaruhi kemampuan peminjam dalam pengembalian dana. Untuk itu,
adanya program kredit pendidikan perlu dibarengi dengan evaluasi kurikulum pendidikan
tinggi sehingga para lulusan perguruan tinggi benar-benar siap kerja setelah lulus dan
memiliki keahlian yang dibutuhkan dunia kerja. Berdasarkan hal tersebut, kita perlu
memperhatikan jumlah pengangguran terbuka yang masih tinggi. Berikut adalah data yang
terdapat di BPS terkait tingkat pengangguran berdasarkan tingkat pendidikan tertinggi yang
ditamatkan pada tiga tahun terakhir.
Tidak/belum pernah
55554 59346 62984
sekolah
Jika dilihat berdasarkan data BPS diatas, tingkat pengangguran dalam tiga tahun
terakhir terbilang tinggi. Terutama pada data terakhir pada tahun 2017 untuk lulusan diploma
tingkat pengangguran mencapai 3.4507% dari total jumlah pengangguran. Sedangkan untuk
lulusan universitas, tingkat pengangguran bulan mencapai 8.7888%. Angka pengangguran
baik untuk lulusan diploma ataupun universitas terbilang tinggi.
Jika skema student loan tetap dilakukan dalam kondisi pengangguran sarjana/diploma
yang masih tinggi, maka kemungkinan ketidaksanggupan membayar peminjam sebagai
peminjam akan sangat tinggi yang pada akhirnya menyebabkan kegagalan bayar kredit dan
berdampak pada pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Selain itu, riset Albrecht dan Ziderman pada tahun 1991 terkait review program
pendidikan di 24 negara, baik di negara maju dan berkembang juga perlu menjadi bahan
pertimbangan dalam kebijakan penerapan student loan. Berdasarkan hasil risetnya, negara
maju pada umumnya mampu mendapatkan keuntungan dari selisih bunga pinjaman
pemerintah ke pasar keuangan dengan beban bunga kepada mahasiswa sebagai biaya
operasional karena biaya modal yang terbilang rendah namun biaya manusia terbilang tinggi.
Sedangkan untuk negara berkembang justru sebaliknya dimana pada umumnya belum
memiliki sistem administrasi pajak yang baik, kependudukan dan penegakan hukum yang
kurang memadai, mahalnya biaya modal namun biaya manusia yang murah, yang
mengakibatkan tingkat gagal bayar atas utang pendidikan terbilang tinggi. Penelitian lain
terkait student loan yang tidak cocok untuk negara berkembang salah satunya data yang
ditunjukkan oleh Chapman dan Lounkaew menunjukkan perbandingan tingkat gagal bayar 4
negara yaitu: Amerika Serikat, Kanada, Thailand, dan Malaysia, yang menunjukkan persentase
14,7%, 13%, 53% dan 49%. Mereka menyatakan perbedaan yang tinggi pada gagal bayar
antara negara maju dan berkembang terletak pada rendahnya pendapatan manusia dan
sistem administrasi yang buruk.
Jika dilakukan asumsi uang kuliah yang dibutuhkan sekitar 8 juta rupiah persemester,
dikalikan 8 semester maka kurang lebih dibutuhkan pinjaman sekitar 64 juta rupiah. Pinjaman
tersebut belum termasuk kebutuhan makan, transportasi, tempat tinggal, dan lain-lain. Saat
ini, Bank BTN telah melakukan peluncuran dana kredit untuk memenuhi kebutuhan pendidikan
hingga 200 juta rupiah dengan bunga 6.5% flat selama lima tahun. Jika diasumsikan peminjam
melakukan kredit pendidikan bunga bank dilakukan di Bank BTN maka, contoh perhitunganya:
Dari skema perhitungan diatas, angsuran perbulan yang harus dibayarkan peminjam
terhitung Rp. 1.136.000. Berdasarkan data dari BPS pada tahun 2016 terkait rata-rata upah
pegawai yang bekerja sebagai tenaga profesional, teknisi, dan sejenisnya adalah sebagai
berikut:
2016
Februari Agustus
Tidak/belum pernah
- Rp400,000
sekolah
Sekolah Menengah
Rp1,367,792 Rp1,421,082
Pertama
Sekolah Menengah
Rp1,635,401 Rp1,698,891
Atas (Umum)
Sekolah Menengah
Rp2,184,118 Rp2,629,860
Atas (Kejuruan)
Diploma
Rp2,641,067 Rp2,945,882
I/II/III/Akademi
Jika dilihat dari data BPS, untuk lulusan diploma dan universitas dengan masing-
masing gaji rata-rata pada bulan Agustus 2016 sebesar Rp.2.945.882 dan Rp.3.652.015, dengan
kewajibannya untuk membayar angsuran sebesar Rp. 1.136.000, maka sisa uang yang dimiliki
setelah membayar pinjaman sebesar Rp. 1.809.882 untuk lulusan diploma dan Rp. 2.516.015
untuk lulusan universitas.
Asumsikan dengan sisa uang tersebut dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup
perbulan di daerah perkotaan contohnya saja di DKI Jakarta berdasarkan hasil survey oleh
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tentang standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sepanjang
tahun 2017 sebesar Rp.3.149.631. Jika dihitung dengan sisa uang yang masih ada setelah
Jika angsuran kredit pendidikan tidak mempengaruhi konsumsi, hal tersebut akan
mempengaruhi komponen pendukung rumah tangga lainnya, yaitu tabungan (S). Jika
kemampuan menabung masyarakat menurun, uang yang tersedia untuk investasi akan
berkurang (persamaan ekonomi dimana Saving = Investment, dengan asumsi current account
konstan). Berkurangnya investasi juga akan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti, Thailand dan Malaysia yang
memiliki sistem administrasi dengan tingkat GDP yang lebih tinggi dari Indonesia, memiliki
bunga modal yang lebih rendah dan pendapatan manusia yang kebih tinggi memiliki rasio
gagal bayar 53% dan 49%. Maka jika hal ini diterapkan di Indonesia, akan ada kemungkinan
rasio gagal bayar yang timbul melebihi rasio gagal bayar Malaysia dan Thailand sehingga
pemerintah harus bersiap untuk mengeluarkan dana yang sangat besar dikemudian hari untuk
menalangi rasio gagal bayar ini. Sehingga dapat disimpulan bahwa, dalam jangka pendek
Keberadaan pendidikan yang sangat penting tersebut telah diakui dan sekaligus
memiliki legalitas yang sangat kuat sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 31 (1) yang menyebutkan bahwa: ”Setiap warga
negara berhak mendapat pendidikan”. Kata “setiap” dalam pasal tersebut menyatakan
keseluruhan dari sesuatu, atau dalam hal ini merujuk pada istilah seluruh warga negara,
umumnya Warga Negara Indonesia, bukan hanya sebagian atau beberapa elemen warga
negara saja. Tidak hanya itu, komitmen bangsa Indonesia untuk memperjuangkan pendidikan
tertuang pada tujuan negara (Alinea IV pembukaan UUD 1945) yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa yang menjadi penekanan bagi kita bersama bahwa pendidikan yang terakses adalah
hal esensial bagi kita masyarakat Indonesia. Kajian ini dikurasi ulang berdasarkan tulisan yang
dilansir oleh Ignatius Rhadite11.
Sebelum diberlakukannya sistem Uang Kuliah Tunggal, masih segar di ingatan kita bahwa
biaya pendidikan tinggi tergolong mahal karena masih menarik uang pangkal untuk kuliah.
Namun hal tersebut berubah dengan diberlakukannya Sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Sistem ini merupakan suatu upaya untuk mewujudkan biaya kuliah yang “murah” di seluruh
Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Dengan sistem ini, mahasiswa sudah tidak akan dikenakan
11
https://suarr.id/menggugat-komersialisasi-pendidikan-indonesia-pendidikan-murah-kenapa-tidak/
1. Biaya SPMA atau Uang Pangkal yang selama itu berlaku dirasa memberatkan calon
mahasiswa
2. Biaya operaional yang selama ini dibutuhkan oleh PTN dalam proses Kegiatan Belajar
Mengajar dirasa tinggi sehingga “dibebankan” ke calon mahasiswa
3. Selain adanya uang pangkal, pada setiap semesternya mahasiswa diharuskan
membayarkan biaya diluar SPP untuk biaya operasional pendidikan
4. Terbatasnya kesempatan belajar di PTN bagi calon mahasiswa dari golongan kurang
mampu dan menengah dikarenakan tingginya biaya pendidikan.
Uang Kuliah Tunggal menjadi sebuah harapan baru bagi setiap orang-orang di
Indonesia untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi secara lebih terjangkau.
Namun, sejak tahun Tahun 2015 lalu, UU DIKTI beserta turunannya (Peraturan Menteri)
mengenai UKT masih menimbulkan persoalan bagi calon mahasiswa baru atau mahasiswa
umumnya. Sistem pembayaran uang kuliah tunggal yang melarang pungutan lain terhadap
mahasiswa diploma atau sarjana masih menyisakan celah.
Di dalam pasal 8 (Permenristekdikti) No. 22 Tahun 2015 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan
Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tiniggi Negeri menjelaskan;
“PTN dilarang memungut uang pangkal dan atau selain UKT kepada mahasiswa baru program
sarjana dan diploma”. Tapi kebijakan ini masih kontradiktif terhadap dirinya sendiri. Sebab di
dalam pasal 9 ayat 1 memberikan legitimasi bagi perguruan tinggi untuk melakukan pungutan
Celah ini menjadi sebuah pernyataan dari pemerintah melalui Permenristekdikti No. 39
tahun 2017 bahwa pemerintah membiarkan kampus memugut biaya pendidikan selain UKT.
Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017 telah memasang standart gandanya. Kebijakan UKT
dianggap menjadi jaminan atas biaya pendidikan yang murah dan terjangkau bagi seluruh
mahasiswa baru dan terbebaskan dari pungutan lain, namun kenyataannya perguruan tinggi
juga masih diperbolehkan memungut biaya lain selain UKT. Maka menjadi pertanyaan bagi
kita semua, apakah pemerintah benar-benar memiliki keseriusan dalam menjamin biaya
pendidikan tinggi yang murah bagi masyarakat. Karena sejak UKT diamanatkan di dalam pasal
88 UU DIKTI untuk dijalankan, masih menuai protes di kalangan mahasiswa.
Berlanjut di tahun 2018 ini secara terang-terangan Uang Pangkal masih diberlakukan
di salah satu Universitas di Indonesia yakni di Universitas Negeri Semarang (Unnes). Pada awal
tahun 2018 uang pangkal mahasiswa diwajibkan untuk ditarik dalam jalur mandiri sebesar Rp
25 juta – Rp 40 juta12. Namun setelah mengalami protes dari mahasiswa, besara tersebut
berubah dari Rp 5 juta – Rp 25 juta sesuai golongan tanpa adanya pilihan 0 rupiah. Proses
penentuan besaran uang pangkal ini tidak melalui proses diskusi yang tranparan. Namun pihak
Universitas Negeri Semarang memberikan alasan bahwa pihak universitas berwenang menarik
uang pangkal karena diizinkan oleh Permenristekdikti No. 29 tahun 2017. Tanggapan terakhir
dari pihak Universitas Negeri Semarang kepada mahasiswa yang mengkritisi kebijakan uang
pangkal ini berbunyi demikian : ““Jika yang dituntut adalah hapus uang pangkal, maka
tuntutan ini salah sasaran karena yang mengeluarkan peraturan adalah Kemenristekdikti, kami
hanya menjalankan aturan sesuai Permenristekdikti,” 13
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa masih terdapat celah dari kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah dalam mewujudkan pendidikan yang terjangkau, karena memberikan
kewenangan yang bebas kepada setiap PTN dalam memberlakukan uang pangkal. Tetapi
nyatanya celah permasalahan uang kuliah yang terjangkau berada pada penjaminan UKT itu
sendiri. Dengan adanya sistem UKT, harapannya biaya gedung, praktikum, uang SKS, uang
wisuda, Uang Kuliah Kerja Nyata (KKN) atau biaya tambahan lainnya karena sudah
dikumpulkan menjadi satu dalam UKT tidak perlu ditarik kepada mahasiswa lagi. Tetapi dalam
keberjalanannya PTN masih saja menarik uang pungutan kepada mahasiswa.
12
https://radarsemarang.com/2018/06/05/tolak-uang-pangkal-hingga-rp-25-juta/
13
ibid
Pada akhirnya besar harapan kami untuk menjadi lilin-lilin kecil yang
merawat nyala semangat pendidikan yang mencerdaskan kehidupan
bangsa, sebagaimana yang diamanatkan para pendiri bangsa.
Buku ini kami susun bukan untuk berkata bahwa kami paling benar, tapi
kami percaya bahwa masih banyak pekerjaan kita bersama yang harus
terus kita perjuangkan, demi pendidikan berkeadilan.
Pantas kiranya bila kita semua bertanya, apa yang salah dengan
pendidikan tinggi kita?
Merdeka!