Anda di halaman 1dari 8

A.

Poligami : Sebuah Pendekatan Terminologis


Penggunaa istilah “poligami” untuk mengartikulasikan relasi perkawinan seorang laki-laki
dengan beberapa orang istri pada dasarnya tidaklah tepat. Secara etimologi, plogami dalam
Bahasa latin disebut “Polygamia “ yang berasal dari Bahasa Greek (Yunani) dan merupakan
bentukan dari dua kata yaitu “polus” dan “gomes”. “polus” berarti banyak dan “gomes”
berarti kawin. Dalam istilah Bahasa Indonesia, Poligami adalah sistem perkawinan yang salah
satu pihak mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu bersamaan .

Dalam antropologi social, terdapat tiga bentuk poligami, yaitu :


1. Poligini, yaitu sistem perkawinan yang membolehkan seorang laki-laki memiliki atau
mengawini beberapa perempuan sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan
(seorang laki-laki memiliki beberapa istri sekaligus). Menurut para ahli sejarah, model
perkawinan ini sudah berlangsung sejak lama dan diakui oleh banyak peradaban bangsa-
bangsa dunia.
2. Poliandri yaitu sistem perkawinan yang membolehkan perempuan mempunyai suami
lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan (seorang istri/perempuan memiliki
beberapa suami sekaligus). Praktik perkawinan poliandri sering dijumpai dibagian
selatan dan utara India dan beberapa wilayah di Rusia. Perkawinan poliandri ini seorang
istri secara alami dan otomatis menjadi istri dari seluruh saudara laki-lakinya atau
kerabat yang berhubungan dekat. Akan tetapi, secara umum, praktik poliandri ini tidak
diakui oleh agama manapun dan dianggap sebagai penyimpangan social.
3. Perkawinan Kelompok yaitu kombinasi poligini dan poliandri. Perkawinan jenis ini terjadi
dalam masyarakat primitive seperti daerah pegunungan Tibet, Himalaya India dan
Australia.

Oleh karena itu, term poligami pada dasarnya tidak hanya menggambarkan perkawinan
seorang laki-laki dengan banyak istri saja, tetapi juga sebaliknya. Dengan demikian,
penggunaan istilah “Poligami” sebagai nomenklatur kondisi seorang laki-laki yang
mempunyai banyak istri sebenarnya tidak tepat. Sebab, istilah tersebut akan mempersempit
makna “poligami” itu sendiri. Agar konsisten, maka tulisan dalam naskah ini secara
keseluruhan menggunakan istilah “poligini”. Istilah tersebut lebih tepat secara struktur
kebahasaan, dari pada istilah “poligami”-yang meskipun ‘lazim’, tetapi tidak tepat. Kutipan
langsung yang menggunakan istilah poligami akan dimodifikasi menjadi poligini, tanpa
merubah substansi yang dimaksud.
B. Alasan-Alasan Berpoligami
Peraturan tentang perkawinan di Indonesia dilandasi asas monogami terbuka,1 perkawinan
seorang suami dengan lebih dari seorang istri dimungkinkan bila dikehendaki ataupun disetujui oleh
pihak-pihak yang bersangkutan, hanya saja hal itu dapat dilakukan, apabila dipenuhi berbagai
persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Hal ini diatur dalam UU No. 1/1974 pasal 3(2),
pasal 4 (1) dan pasal 5 (1) dan (2).
1. Alasan berpoligami menurut UU No.1/1974
Pasal 3
1) Pengadilan, dapat member izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang
apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 4
2) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam
pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke
Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
3) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang
akan beristri lebih dari seorang apabila:
a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.2
2. Alasan-alasan berpoligami menurut Kompilasi Hukum Islam
BAB IX
BERISTERI LEBIH SATU ORANG
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih
dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri

1 Menurut Mohammd Daud Ali, Asas hukum perkawinan terdiri dari: (1) Asas kesukarelaan, (2) Asas
persetujuan kedua belah pihak, (3) Asas Kebebasan memilih, (4) Asas monogami terbuka. Lihat Membendung
Liberalisasi, hal. 79
2 UU No. 1/1974, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Pustaka: Yayasan Peduli Anak Negeri
(YPAN)), hal. 2
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Kalau umat Islam mempedomani pasal 57 di atas serta terkait yaitu pasal 55, 56, dan 58,
maka tipis kemungkinan orang berpoligami. Walaupun pasal 55 ayat (1) KHI memberi peluang
bolehnya beristri sampai empat orang dalam waktu yang bersamaan, tetapi pasal 57 ini mengunci
dengan persyaratan yang ketat. Meskipun dibolehkan poligami dengan syarat adil, itupun dapat
dilakukan hanya sebagai pintu darurat saja.3

C. Syarat-Syarat Berpoligami
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang menyatakan bahwa asas perkawinan
adalah monogami, dan poligami diperbolehkan dengan alasan, syarat, dan prosedur tertentu tidak
bertentangan dengan ajaran Islam dan hak untuk membentuk keluarga, hak untuk bebas memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya.4
Menurut Abdul Karim Zaidan, syarat bolehnya berpoligami dalam tinjauan fiqih hanya ada dua
yaitu:
1. Kemampuan bersikap adil
2. Kemampuan untuk memberikan nafaqah. Jika diduga kuat seorang suami yang ingin
berpoligami tidak mampu bersikap adil, maka haram baginya untuk melakukannya. Adapun
kemampuan memberikan nafkah merupakan syarat bagi umumnya perkawinan.5
Menurut Abdurrahman ada 7 syarat poligami
1. Istri mengidap penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan
2. Istri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tidak dapat melahirkan
3. Istri sakit ingatan
4. Istri lanjut usia sehingga tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai istri
5. Istri memiliki sifat buruk
6. Istri minggat dari rumah
7. Kebutuhan suami beristri lebih dari satu dan apabila tidak dipenuhi menimbulkan
kemudharatan di dalam kehidupan dan keluarganya.

Syarat-syarat berpoligami menurut UU No. 1/1974 adalah

3 Tanggo, Huzaemah Tahido, Membendung Liberalisme, (Jakarta: Penerbit Republika, 2004), hal. 58
4 Luthfi Widagdo Eddyono, Persyaratan Poligami dalam UU Perkawinan Tidak Bertentangan Dengan
Konstitusi, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=458, (diakses, 01/05, 2013)
5 Zaidan, Abdul Karim, Al-Mufashshal fi Ahkam al-Mar’ah wa al-Bait al-Muslim fi as-Syari’ah al-Islamiyah,
Juz 6, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1415 H/1994 M), hal. 287-289
BAB I
DASAR PERKAWINAN
Pasal 5
1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup isteri- isteri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-
anak mereka.6

Syarat-syarat berpoligami menurut Kompilasi Hukum Islam adalah


BAB IX
BERISTERI LEBIH SATU ORANG
Pasal 55
1) Beristeri lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang
isteri.
2) Syarat utama beristeri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anaknya.
3) Apabila syarat utama yang disebutpada ayat (2) tidak mungkin terpenuhi, suami dilarang
beristeri lebih dari satu.7

D. Prosedur Poligami
Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur oleh Islam memang tidak ada
ketentuan secara pasti. Namun di indonesia dengan kompilasi hukum islamnya telah menggatur hal
tersebut sebagai berikut:8
Pasal 56
1) Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama.

6 UU No. 1/1974, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Pustaka: Yayasan Peduli Anak Negeri
(YPAN)), hal.10
7 Kompilasi Hukum Islam, pasal 55
8 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Akedemika Pressindo,1995, cet ke-2),
h.114
2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara
sebagaimana diatur dalam Bab VIII peraturan pemerintahan No.9 Tahun 1975.
3) Perkawinan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tampa izin dari pengadilan agama,
tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari
seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
b. Istri dapat mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat di sembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
1) Peradilan agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pada pasal 5
Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
a. Adanya persetujuan istri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-
anak mereka.
2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf (b) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun
1975, persetujuan istri atau istri –istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan,
tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan lisan istri
pada sidang pengadilan agama.
3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf (a) tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
istri atau istri-istrinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurangnya 2
tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberi persetujuan , dan permohonan untuk beristri lebih dari
satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang di atur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57,
pengadilan agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar
istri yang bersangkutan di persidangan pengadilan agama, dan terhadap penetapan ini istri atau
suami dapat mengajukan banding atau kasasi
E. Sosio-Budaya Perkawinan Poligini Pasca Islam
Islam merupakan agama yang sangat revolusioner. Agama yang dibawa Muhammad tersebut
merupakan sebuah sistem nilai yang secara historis-empiris telah berhasil merombak secara masif
tradisi kejahiliyaan dengan begitu sempurna. Tidak heran, jika kemudian Michael Heart
menempatkan Muhammad Saw.di urutan teratas tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah
manusia.

Dalam konteks poligini, revolusi Islam terhadap budaya patriarkhis jahiliyah ditunjukkan dengan
adanya pembatasan empat istri. Tidak hanya itu, seorang lakilaki yang berpoligini juga dituntut harus
mampu berlaku adil terhadap istri-istri yang dipoligini. Konsep ini jelas mendekonstruksi tradisi
masyarakat Arab Jahiliyah, dimana praktik poligini sebelumnya dilakukan tanpa batas dan tanpa
syarat, yang sudah pasti tidak menghargai harkat dan martabat perempuan.

Dasar fundamental pembatasan poligini dengan syarat adil ditunjukkan dalam QS. An-Nisa' ayat 3,
yaitu:
‫وإن خفة أال تقسطوا ىف آليت فانكحوا ما طاب لكم من النساء ى‬
‫مثت وثلث‬ ‫ي‬ ‫ي‬
‫ذلك ى‬
‫أدن أال تعولوا وژي ع فإن خفتم أال تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمن‬

"dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga
atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya"

Dan QS. An-Nisa': 129

V1
‫ولن تستطيعوا أن تعدلوا ن‬
‫بي البنا ولو حرصتم فال تميلوا كل الميل تدژوها المعلقة وإن تضلوا وتتقوا فإن هللا كان فورا رحيما‬

SA

"dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara istriisterismu), walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian, karena itu

janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung, dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan),
Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Sebagian pendapat yang ekstrim menyatakan bahwa poligini merupakan sesuatu yang
diharamkan. Sebab, syarat berlaku adil untuk menikahi istri dua, tiga, atau empat dalam QS. An-
Nisa': 3, sudah digariskan ketidakmungkinannya dalam QS. An-Nisa': 129. Dari sudut pandang
metodologi ushul fiqih konvensional, pendapat ini sebenarnya sangat tidak tepat. Sebab, pendapat
ini menafikan beberapa hadits yang menunjukkan kebolehan poligini, misalkan:
"Diriwayatkan dari Ibn 'Umar bahwa Gaylan ibn Salamah al-Tsaqafi masuk Islam, sedang dia
mempunyai sepuluh orang istri yang dikawininya pada masa Jahiliyyah, lalu mereka (para istrinya)
juiga ikut masuk Islam. Maka, Nabi saw. memerintahkan Gaylan untuk memilih di antara mereka
empat orang saja (sebagai istri)" (H.R.al

Turmudzi).26

Atas dasar ini, ulama klasik sepakat bahwa yang dimaksud adil dalam hal ini adalah adil dalam
bentuk materi seperti pemenuhan terhadap keperluan biologis dan nafkah, bukan dalam hal cinta.
Karena secara psiokologis, keadilan cinta tidak dimungkinan. Ketidakmampuan seorang suami yang
berpoligini untuk tidak dapat berlaku adil secara psikis (cinta) sudah ditetapkan dalam QS: An-Nisa':
129. Hal ini diperkuat dengan sebuah hadits yang menunjukkan bahwa seorang Nabi Muhammad
pun juga tidak akan mampu adil terhadap istri-isterinya dalam hal perasaan cinta sebagai berikut:

"Diriwayatkan dari 'Aisyah bahwa Nabi saw. biasa melakukan penggiliran kunjungan untuk istri-
isterinya maka beliau selalu berlaku adil, dan beliau berkata: "Ya Allah, inilah penggiliran
kunjunganku sejauh yang aku bisa; maka, janganlah Engkau mempersalahkanku mengenai apa yang
Engkau kuasai, sedang aku tidak dapat menguasainya." (H.R. al-Turmudzi).27

Di samping itu, banyak juga hadits-hadits yang menunjukkan legitimasi Nabi Muhammad
terhadap praktik poligini terbatas yang dilakukan oleh para sahabat. Oleh karena itu, harus diakui,
bahwa Islam membolehkan poligini dengan batasan empat istri dan syarat adil sebagaimana QS. An-
Nisa: 3.

Kendati demikian, ini bukan berarti bahwa sejak turunnya, Islam tidak pro terhadap
perempuan. Sebab, penegasan QS. An-Nisa' ayat 3 terhadap poligini tersebut, diakui atau tidak,
telah membawa perubahan yang sangat signifikan daripada praktik beristri yang tidak terbatas pada
masyarakat Arab dan luar Arab waktu itu. Dengan konsep Islam ini, sescorang yang sebelumnya bisa
dengan seenaknya beristri sebanyak-banyak menjadi terbatasi. Sahabat-sahabat yang sebelumnya
beristri lebih dari empat harus menceraikannya dan mempertahankan maksimal empat istri saja.
Mereka yang secara semena-mena menikahi banyak istri, pasca ayat tersebut turun harus
menjunjung tinggi nilai-nilai egalitarianisme yang terdapat dalam keharusan untuk berlaku adil. Islam
pun mengecam keras pelaku poligini yang tidak adil. Kecaman ini ditegaskan dalam Sabda Nabi Saw:

"Barangsiapa yang mempunnyai dua istri, kemudian dia lebih mencintai kepada salah satu di antara
keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dengan tubuhnya miring sebelah." (HR. Al-Khamsah)28

Lalu, bagaimana dengan poligini Rasulullah Saw? Quraish Shihab berpendapat


bahwa dari poligini Rasul tersebut bukan berarti kita harus meneladaninya. Sebab, tidak
semua apa yang dilakukan Rasul perlu diteladani. Tidak semua yang wajib atau terlarang
bagi beliau, wajib dan terlarang pula bagi umatnya seperti wajib bangun shalat malam dan
larangan menerima zakat. 37 Banyaknya istri Nabi yang terdiri dari janda-janda juga
menjadikan Quraish Shibab mempertanyakan mereka yang melakukan dan mendukung
poligini, kenapa bukan tindakan itu (berpoligini dengan janda) yang diteladani?
Oleh sebab itu, Quraish berpendapat bahwa poligini merupakan pintu kecil
yang dibolehkan hanya dalam keadaan tertentu. Pendapat ini pada dasarnya mirip
sekali dengan pendapat Imam al-Maraghi dalam tafsirnya yang mengatakan bahwa
poligini dalam Islam memang diperbolehkan, tetapi dipersulit dan diperketat. Begitu
juga Sayyid Quthb yang menyatakan bahwa poligini adalah bentuk rukhsah
(keringanan) dalam kondisi tertentu. Di Indonesia, beberapa ahli akhirnya
mengemukakan sebuah analogi yang belakanan sangat populer, bahwa kebolehan
poligini dalam Islam ibarat pintu emergency exit dalam pesawat terbang
Sayangnya, sepanjang sejarah Islam, pemahaman umat Islam mengenai poligini
memang tidaklah demikian. Poligini justru lebih sering disalahgunakan secara sewenang-
wenang sebagai pemuas hasrat libidis an sich. Maka, dapat dipastikan bahwa praktik
poligini yang demikian menunjukkan tidak sampainya

Anda mungkin juga menyukai