Anda di halaman 1dari 38

Shery Glennita

Van Leun
────

17612082

Prodi Ilmu Kimia

Rachmania Aurel
Yulianty
────

17612098

Putwi Widya
POLIGAMI Citradewi
16612112

DAN NIKAH SIRI


Dosen Pengampu :
Tugas mata kuliah islam
Asyahrul
rahmatan lil alamin Muala,S.H.I.,M.H.I
asyahrulmuala@uii.ac.id

PRODI ILMU KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU


PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2018 0
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat,
Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah
Islam Rahmatan Lil Alamin dengan judul "Poligami dan Nikah Siri" tepat pada
waktunya.

Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan


berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak
lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam merampungkan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu,
dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang
ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat
diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca
untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah
selanjutnya.

Yogyakarta,10 September 2018

Penyusun

1
DAFTAR ISI
1. KATA PENGANTAR 1
2. DAFTAR ISI 2
3. BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan 4
1.4 Manfaat 4
4. BAB II : LANDASAN TEORI
2.1 Definisi Nikah Siri Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat
umum 5
2.2 Poligami : Sebuah Pendekatan Terminologis 7
5. BAB III : PEMBAHASAN
3.1 NIKAH SIRI 9

3.2 POLIGAMI 22

6. BAB IV : PENUTUP
4.1 Kesimpulan 34
7. DAFTAR PUSTAKA 36

2
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, statistik kejadian nikah siri dan poligami meningkat berlalunya waktu.
Terutama pasca beredarnya berbagai pemberitaan di seluruh jenis media (audio,
visual dan audiovisual) akan nikah siri dan poligami yang dilakukan tidak hanya 1-2
selebritis namun segelintir orang dengan tingkat pemberitaan tinggi sehingga
menyebabkan fenomena yang marak dimana terjadi di masyarakat akibat konsumen
berita. Akibat maraknya fenomena poligami dan nikah siri yang dilakukan oleh
pemberitaan media massa,akibatnya membuat masyarakat Indonesia mengalami
kondisi conditioning dimana kondisi tersebut merupakan adaptasi yang dilakukan
oleh masyarakat akan berbagai budaya baru yang terjadi namun akibat pemberitaan
yang berulang-ulang budaya tersebut semakin cepat dapat diterima olehmasyarakat
dan dijadikan bagian dari budaya masyarakat itu sendiri.

Berbagai pemberitaan tersebut lah (spesifikasi : pemberitaan pernikahan siri dan


poligami yang dilakukan oleh selebritis) yang melatar belakangi kami untuk memilih
topik “Nikah Siri Dan Poligami”sebagai topik yang diangkat dalam pembuatan
makalah ini. Terlepas dari berbagai pemberitaan akan “Pernikahan Siri Dan Poligami”
yang terjadi, masih banyak orang yang salahm mengartikan nikah siri dan poligami
itu sendiri,dimana masih banyak masyarakat yang tidak mengerti baik-buruknya jenis
pernikahan ini. Hal itu juga termasuk salah satu faktor yang melatar belakangi
diangkatnya topik “PernikahanSiri Dan Poligami” ini. Kami berharap agar makalah
ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai sumber informasi terkait topik
pernikahan siri. Maka dari itu, kami tim penyusun berusaha sebaik-baiknya untuk
mengumpulkan berbagai informasi dari berbagai sumber untuk dimasukkan ke dalam

3
makalah ini agar kelak dapat dijadikan sebagai referensi oleh pihak-pihak yang
membutuhkan.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini ialah sebagai berikut:

1. Apa pengertian definisi tentang pernikahan siri dan poligami?

2. Bagaimana pandangan nikah siri dan poligami dalam prespektif hukum islam?

3. Bagaimana pandangan nikah siri dan poligami dalam hukum positif Indonesia?

1.3 Tujuan

Tujuan tim penyusun menulis dan menyusun makalah ini antara lain :

a. Memahami berbagai definisi akan nikah siri dan poligami baik yang
berhubungan dengan wali / saksi
b. Mengerti dan mengetahui landasan hukum terkait nikah siri dan poligami baik
ditinjau dari sudut pandang Islam dan pembahasan berbagai rancangan
undang-undang
c. Mengetahui dampak positif dan dampak negatif dari nikah siri dan poligami
d. Dapat mengeluarkan berbagai pendapatnya terkait nikah siri dan berdiskusi
satu sama lain
1.4 Manfaat

Dengan penjelasan yang detail dan berbagai kajian akan negatif - positifnya nikah siri
atau poligami dapat diketahui bahwa nikah siri dan poligami lebih banyak
menimbulkan hal negatif dan pada akhirnya dapatdijadikan pencegahan akan
terjadinya nikah siri dan poligami

4
BAB 2
LANDASAN TEORI
A. .Definisi Nikah Siri Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat
umum dengan :

Pertama: Pernikahan tanpa wali, atau ada wali (tidak jelas) dan tidak ada izin dari
walisebenarnya lalu menikah dengan wali yang tidak jelas (asal copot), jadi sama saja
tidak memakai wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri),
penyebab umumyang terjadi dikalangan masyarakat dikarenakan pihak wali
perempuan tidak setuju; ataukarena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau
hanya karena ingin memuaskannafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi
ketentuan-ketentuan syariat

Kedua: Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam
lembagapencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak
mencatatkanpernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena
faktor biaya, aliastidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang
disebabkan karena takutketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri
nikah lebih dari satu; dan lainsebagainya.

Ketiga: Pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan


tertentu;misalnya karena takut mendapatkan stigma / noda negatif dari masyarakat
yang terlanjurmenganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-
pertimbangan rumit yangmemaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.

2.1 Landasan Terkait Catatan Pernikahan

Pertama: Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan


sipiladalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa

5
dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah
bukti yangdianggap abash sebagai bukti syar‟iy (bayyinah syar‟iyyah) adalah
dokumen resmi yangdikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada
lembaga pencatatan sipil,tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi
yang bisa ia dijadikan sebagaialat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan,
ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir
akibat pernikahan, seperti waris, hak asuhanak, perceraian, nafkah, dan lain
sebagainya.

Kedua : pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang
denganpesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang
mempidanakanorang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada
lembaga pencatatanresmi negara.

Ketiga: dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak


menjatuhkansanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan

mukhalafat . Pasalnya, negara(dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang
diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk
mengatur urusan-urusan rakyat yang belumditetapkan ketentuan dan tata cara
pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas,pembangunan rumah, eksplorasi,
dan lain sebagainya.

Keempat : jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus
semacamini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat
kepadapelakunya.

Kelima: pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk


menyebarluaskanpernikahan dengan menyelenggarakanwalimatul „ursy. Anjuran
untuk melakukan walimah,walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi
sangat menganjurkan (sunnahmuakkadah)

6
B. Poligami : Sebuah Pendekatan Terminologis

Penggunaa istilah “poligami” untuk mengartikulasikan relasi perkawinan seorang


laki-laki dengan beberapa orang istri pada dasarnya tidaklah tepat. Secara etimologi,
plogami dalam Bahasa latin disebut “Polygamia “ yang berasal dari Bahasa Greek
(Yunani) dan merupakan bentukan dari dua kata yaitu “polus” dan “gomes”. “polus”
berarti banyak dan “gomes” berarti kawin. Dalam istilah Bahasa Indonesia, Poligami
adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak mengawini beberapa lawan jenisnya
dalam waktu bersamaan .

Dalam antropologi social, terdapat tiga bentuk poligami, yaitu :


1. Poligini, yaitu sistem perkawinan yang membolehkan seorang laki-laki
memiliki atau mengawini beberapa perempuan sebagai istrinya dalam waktu
yang bersamaan (seorang laki-laki memiliki beberapa istri sekaligus).
Menurut para ahli sejarah, model perkawinan ini sudah berlangsung sejak
lama dan diakui oleh banyak peradaban bangsa-bangsa dunia.
2. Poliandri yaitu sistem perkawinan yang membolehkan perempuan mempunyai
suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan (seorang
istri/perempuan memiliki beberapa suami sekaligus). Praktik perkawinan
poliandri sering dijumpai dibagian selatan dan utara India dan beberapa
wilayah di Rusia. Perkawinan poliandri ini seorang istri secara alami dan
otomatis menjadi istri dari seluruh saudara laki-lakinya atau kerabat yang
berhubungan dekat. Akan tetapi, secara umum, praktik poliandri ini tidak
diakui oleh agama manapun dan dianggap sebagai penyimpangan social.
3. Perkawinan Kelompok yaitu kombinasi poligini dan poliandri. Perkawinan
jenis ini terjadi dalam masyarakat primitive seperti daerah pegunungan Tibet,
Himalaya India dan Australia.

Oleh karena itu, term poligami pada dasarnya tidak hanya menggambarkan
perkawinan seorang laki-laki dengan banyak istri saja, tetapi juga sebaliknya. Dengan

7
demikian, penggunaan istilah “Poligami” sebagai nomenklatur kondisi seorang laki-
laki yang mempunyai banyak istri sebenarnya tidak tepat. Sebab, istilah tersebut akan
mempersempit makna “poligami” itu sendiri. Agar konsisten, maka tulisan dalam
naskah ini secara keseluruhan menggunakan istilah “poligini”. Istilah tersebut lebih
tepat secara struktur kebahasaan, dari pada istilah “poligami”-yang meskipun ‘lazim’,
tetapi tidak tepat. Kutipan langsung yang menggunakan istilah poligami akan
dimodifikasi menjadi poligini, tanpa merubah substansi yang dimaksud

Agaknya poligami marak pada masa lalu karena “nurani” dan rasa keadilan lelaki
maupun perempuan tidak terusik olehnya. Kini “rasa keadilan” berkembang
sedemikian rupa akibat maraknya seruan HAM dan persamaan gender, sehingga
mengantar kepada perubahan pandangan terhadap banyak hal, termasuk poligami.
Apalagi, ketergantungan perempuam kepada lelaki tidak lagi serupa dengan masa lalu
akibat pencerahan dan kemajuan yang diraih perempuan dalam berbagai bidang.

8
BAB 3
PEMBAHASAN
A. NIKAH SIRI
3.1.Nikah Siri Menurut Hukum Negara

RUU Nikah Siri atau Rancangan Undang-Undang Hukum Materil oleh Peradilan
AgamaBidang Perkawinan yang akan memidanakan pernikahan tanpa dokumen
resmi atau yangbiasa disebut sebagai nikah siri, kini tengah memicu kontroversi
ditengah-tengah masyarakat..

Pasal 143 Rancangan Undang-Undang

Pasal 143 RUU yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini menggariskan,
setiaporang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan
pejabat pencatatnikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari
enam bulan hingga tigatahun dan denda mulai dari Rp6 juta hingga Rp12 juta. Selain
kawin siri,draf RUU jugamenyinggung kawin mut‟ah atau kawin kontrak.

Pasal 144 Rancangan Undang-Undang

Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan perkawinan mut‟ah dihukum
penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu
juga mengatursoal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda
kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarga
negaraan asing harus membayar uang jaminankepada calon istri melalui bank syariah
sebesar Rp500 juta.

3.2..Nikah Siri Menurut Islam

Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam
telahmelarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini

9
didasarkan padasebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra, bahwasanya
Rasulullah saw bersabda:

Berdasarkan Dalalah al-iqtidla‟ , kata ” Laa” pada hadits menunjukkan pengertian


“tidak sah‟, bukan sekedar ‟tidak sempurna‟ sebagaimana pendapat sebagian ahli
fikih. Maknasemacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan
oleh Aisyah ra,bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:

Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw


bersabda:

10
Imam Al Baghawi berkata, “Mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi dan
sesudah mereka mengamalkan kandungan hadits “ Tidak sah pernikahan kecuali
dengan wali”. Halini merupakan pendapat Umar,’Ali,’Abdullah bin Mas‟ud,
‘Abdullah bin ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Aisyah dan sebagainya. Ini pula pendapat
Sa‟id bin Musayyib, Hasan al-Bashri,Syuraih, Ibrahim An Nakha‟I, Qotadah, Umar
bin Abdul Aziz, dan sebagainya. Ini pula pendapat Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah,
SufyanAtsTsauri, Al Auza‟i, Abdullah bin Mubarak, Syafi‟i, Ahmad, dan Ishaq”
(SyarhSunnah,9: 40-41). Berdasarkan hadits-hadits di atas dapat disimpulkan bahwa
pernikahan tanpa wali adalahpernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat
kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat
belum menetapkan bentuk dan kadarsanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam
pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke
dalam bab ta‟zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan
sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi
penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.

1. Makna Wali

Secara literal, redaksi hadits yang berbunyi


menunjukkan arti bahwa tidak ada pernikahan tanpa adanya wali dan dua saksi yang

11
adil. Namun terkait dengan susunan lafadh yang nantinya berimplikasi pada konteks
hukum, terdapat perbedaan di antara ulama.

Bentuk kata mendapat interpretasi beragam dari ulama. Ada yang menyebut
bahwa Nafy tersebut hanya menunjukkan arti ketidak sempurnaan. Dengan
demikian,hadits di atas dapat diartikan ” Tidak sempurna pernikahan tanpa wali dan
dua saksi yang adil”. Dalam konteks hukum, tidak sempurna berarti wali dan atau
aksi bukan merupakan syarat sah, sehingga pernikahan yang tidak dihadiri wali dan
atau saksi dihukumi sah. Dengan kata lain, wali dan atau saksi hanya sebatas
disunnahkan.

Ada juga ulama yang menginterpretasikan nafy pada sah dan tidaknya
perbuatan.Dengan demikian, berarti tidak sah pernikahan. Dalam konteks
hukum, bila Nafy diinterpretasikan sebagai hakikat syari‟at, maka pernikahan yang
dilaksanakan tanpa wali dan ataupun saksi adalah tidak sah.

2. Pendapat Ulama Tentang Wali dan Saksi Nikah

Sehubungan dengan masih beragamnya interpretasi tentang hadits diatas, ulama juga
masih berbeda pendapat terkait hukum pernikahan tanpa adanya wali dan ataupun
saksi. Mengingat bahwa keterangan wali dan saksi serta hukum keberadaan wali dan
saksidalam pernikahan dalam beberapa kitab dipisahkan, maka demi menghindari
kerancuanpembahasan hukum keberadaan wali dan saksi dalam makalah ini juga
akan dipisahkan

1) Wali Nikah

Berdasarkan hadits utama di atas, mayoritas ulama berpendapat bahwa


walimerupakan syarat sah dalam suatu pernikahan. Pendapat ini berdasarkan firman
Allah :

12
Imam al- Shafi’I menyatakan bahwa ayat di atas merupakan petunjuk yang sangat
jelas terkait wali dalam pernikahan. Selain itu, keberadaan wali sebagai syarat
sahpernikahan juga telah dijelaskan dalam beberapa hadits, misalnya hadits yang
ditakhrij Abu Daud yang berbunyi Al-Tirdmizi :

al-Daruqutni: dan juga Ibnu


Majah : Dengan berdasar dalil-dalil tersebut, maka
pernikahan yang dilaksanakantanpa adanya wali diangap tidak sah. Lebih jauh lagi,
hubungan badan yangdilakukan oleh wanita yang menikah tanpa wali dianggap
merupakan perbuatan zina.

Adapun esensi wali menurut ulama yang berpendapat wali sebagai syarat sah adalah
kehadirannya dalam prosesi akad nikah. Hal ini berarti apabila ada seorang
wanitamenikahkan dirinya sendiri dan wali sudah memberi izin, namun ia tidak ada
dantidak mewakilkannya, maka pernikahan tetap diangap tidak sah.Tidak sahnya
pernikahan tersebut tak lain adalah tidak terpenuhinya salah satu syarat sah
nikah,yakni wali.

Kemudian apabila ada seorang wanita yang hendak menikah namun tidak ada
wali,maka yang berhak menjadi wali adalah Sultan (pihak yang berwenang).
Dalamkonteks pernikahan di indonesia, wewenang menikahkan wanita yang tidak
adawalinya ialah hakim atau petugas KUA.

Pendapat berbeda disampaikan oleh imam Abu Hanifah dan Abu yusuf yang
menyatakan bahwa wali bukan merupakan syarat sah pernikahan.Wali menurut

13
pendapat kedua ini hanya merupakan sesuatu yang disunahkan. Dengan
demikian,wanita diperbolehkan menikahkan dirinya sendiri ataupun anak
perempuannya.Pendapat ini berpegangan pada dalil yang sama namun dengan
interpretasi berbeda,yakni bahwa bentuk pada adalah ketiadaan dari
kesempurnaan. Selain itu,kewenangan wanita untuk menikahkan dirinya tanpa wali
juga dapat dipahami dari hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibn ‟Abbas
berikut :

Dalam hadits lain disebutkan :

Adapun dari al-Quran, ayat yang dipergunakan sebagai dasar istimbath hokum
kelompok kedua juga sama dengan kelompok pertama, namun beda
dalammenafsirinya. Abu Hanifah dan Abu yusuf menyandarkan pendapatnya pada
ayat-ayat berikut:

14
Lafadh nikah pada dua ayat pertama menurut Abu Hanifah disandarkan pada
wanitadan khitabnya menunjuk pada azwaj, bukan wali. Sedangkan berdasarkan
ayatketiga, dapat dipahami dengan jelas bahwa suami bagi wanita adalah
kewenanganmutlak mereka.

2) Saksi Nikah

Pada masalah saksi pernikahan, Imam Malik menyatakan bahwa keberadaan saksi
bukan merupakan keharusan, melainkan cukup dengan diberitakan atau
asalpernikahan tersebut sudah diketahui oleh khalayak. Senada dengan imam
Malik,Abu Thaur dan madzhab Syiah menyatakan bahwa pernikahan dianggap sah
dengantanpa saksi, sebab pada hakikatnya pernikahan adalah akad dan akad tidak
memerlukan saksi, kehadiran saksi menjurut pendapat ini hanya sebatas sunnah
sajaPendapat tersebut diambil setidaknya berdasarkan dua hal.

Pertama: analogi terhadap jual beli. Allah dalam al- Qur‟an memerintahkan adanya
saksi dalam jual beli, sedangkan saksi tidak diperintahkan dalam pernikahan.
Olehkarena itu, apabila saksi bukan merupakan syarat dalam sah jual beli, maka saksi
lebih tidak disyaratkan dalam pernikahan.

Kedua: adanya hadits yang memerintahkan untuk memberitakan pernikahan.Hadits


tersebut adalah:

15
Adanya perintah Rasulullah untuk memberitakan pernikahan diangap merupakan
esensi dari perintah adanya saksi. Dengan kata lain, adanya saksi bukan
merupakansyarat sah nikah, melainkan hanya agar pernikahan tersebut diketahui
olehmasyarakat. Apabila tujuan diketahui oleh khalayak tersebut telah terpenuhi,
makasaksi tidak lagi diperlukan.

Berlawanan dengan imam Malik, mayoritas ulama menyatakan bahwa


saksimerupakan syarat sah dalam pernikahan. Dengan demikian, akad pernikahan
yangdilaksanakan tanpa saksi hukumnya adalah tidak sah. Pendapat ini berdasarkan
padabeberapa hadits yang telah secara jelas menyebutkan disyaratkannya saksi
dalamnikah. Di antara hadits-hadits tersebut ialah:

Selain itu, saksi harus hadir ketika akad nikah, dan tidak cukup hanya
dengandiberitakan saja. Menurut mereka, pernikahan merupakan hal yang berbeda
dengan jual beli. Tujuan dari jual beli adalah harta benda, sedangkan tujuan
pernikahanadalah memperoleh kenikmatan dan keturunan. Oleh karena itu, harus
dilakukan dengan hati-hati dengan cara menghadirkan dua saksi.

Adapun terkait dengan persyaratan adanya saksi dalam pernikahan, ulama


sepakatmemberikan kriteria bagi orang-orang yang dijadikan saksi sebagai berikut:(1).
Islam, (2). Akil balig, (3). Berakal, (4). Mendengar rangkaian kalimat akad
danmemahaminya. Dengan demikian, anak kecil, orang gila atau mabuk dan non
Muslim tidak dapat diterima persaksiannya.

Sehubungan dengan kriteria bagi saksi nikah, status saksi sebagai seorang yang
adilmasih menjadi perdebatan di kalangan ulama.

Ulama Hanafiyah

16
berpendapat bahwa saksi tidak harus orang yang adil. Siapapunyang berhak menjadi
wali nikah, maka ia juga berhak menjadi saksi. Menurutkriteria ini, pernikahan
dengan dua saksi yang fasiq dihukumi sah.

Ulama Shafi’iyah , Malikiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa saksi haruslah


orang yang adil, sebagaimana tersebut dalam hadits

Terlepas dari status adil maupun tidak, madhhab Shafi‟i dan Hambali menyatakan
bahwa dua orang yang menjadi saksi harus laki-laki. Dengan demikian, persaksian
seorang laki-laki dan dua orang wanita tidak dapat diterima dalam
pernikahan.Pendapat ini berdasarkan pada hadits nabi :

Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa persaksian satu orang laki-laki


dandua orang perempuan dalam pernikahan diperbolehkan. Pendapat ini berangkat
daripersepsi bahwa saksi pernikahan sama dengan saksi dalam jual beli (harta
benda).Oleh karena perempuan dapat dijadikan saksi dalam masalah harta benda,
maka ia juga dapat menjadi saksi pernikahan.

3.3. Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil

Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan
syariatnamun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua
hukum yangharus dikaji secara berbeda; yakni

1. Hukum pernikahannya

2. Hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan Negara

Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan
pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak
dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan

17
berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut
terkategori ”mengerjakan yang haram”dan ”meninggalkan yang wajib”.Seseorang
baru absah dinyatakan melakukankemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan
perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh
syariat.

Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang


berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan
telahmelakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun
diakherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-
orangyang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan
mubah atau makruh.

Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut;

1) Meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain


sebagainya;
2) Mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw,
dan lainsebagainya;
3) Melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu
lintas,perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah
ditetapkan olehnegara.

Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di


lembagapencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga
pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang
ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt.

3.4. Hal-Hal Positif yang Didapat dari Penyiaran Pernikahan

1. Untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat;

18
2. Memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada
persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai;

3. Memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.

Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan,
ataudirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika
perempuanyang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari
masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan
pelakunya ketikadimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki
dokumen resmi, makadalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus
menghadirkan saksi-saksipernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat
menyulitkan dirinya. Atas dasar itu,anjuran untuk mencatatkan pernikahan di
lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demimewujudkan kemudahan-
kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.

3.4.Bahaya Terselubung Surat Nikah

Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi


masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acap kali juga membuka ruang
bagimunculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi,
pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan
hukum-hukum ijtimaa‟iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui
samasekali. Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat
nikah adalah;

Pertama , ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak
melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya
masihmemegang surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-
sengketalain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah,
denganmenyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara syar‟iy benar

19
-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri

Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan


atauhubungan tidak syar‟iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi
ketikasuami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada
pengadilanagama, sehingga masih memegang surat nikah.Ketika suami isteri itu
merujuk kembali hubungan suami isteri – padahal mereka sudah bercerai – , maka
mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka denganberlindung
kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan
perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan
suamiisteri dengan menunjukkan surat nikah.Oleh karena itu, penguasa tidak cukup
menghimbau masyarakat untuk mencatatkanpernikahannya pada lembaga pencatatan
sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum
syariat – agar masyarakat semakin memahami hokum syariat – , dan mengawasi
dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat,
agar surat nikah tidak justru disalahgunakan.

3.5.Nilai Nilai Islam Rahmatan Lil’Alamin Sebagai Solusi Nikah Siri

Perkawinan siri tersebut hanya sah menurut fikih dan tidak atau belum sah menurut
agama. Karena pesan yang dibawa agama adalah universal di bawah prinsip rahmatan
lil-‘alamin. Artinya, segala tindakan manusia hanya dapat dibenarkan menggunakan i
agama sejauh ia mendatangkan manfaat bagi kepentingan umum—li tahqiq masalih
al-‘ammah, bukan kemaslahatan yang bersifat perorangan atau kasuistik. Ini berbeda
dengan fikih yang diformulasikan oleh fuqaha yang dipengaruhi oleh ruang dan
waktu. Jadi bisa saja, dahulu suatu keputusan hukum dapat mendatangkan
kemaslahatan, namun diterapkan pada masa sekarang malah menimbulkan
kemadaratan. Oleh karena itu, harus dibedakan (konteknya), bukannya
dipertentangkan. Apalagi masalah ini didukung oleh data faktual bahwa perkawinan

20
yang tidak dicatat akan menimbulkan kesengsaraan bagi pihak istri yang ditinggal
suaminya tanpa tanggung jawab yang jelas.

Dan karena Islam memberikan pandangan yang dalam dan serius tentang pengaruh
perkawinan dan kedudukannya dalam membentuk hidup perorangan, rumah tangga,
dan ummat, maka Islam memandang bahwa perkawinan bukanlah hanya sekedar
aqad (perjanjian) dan persetujuan biasa yang hanya cukup diselesaikan dengan ijab
kabul serta saksi, sebagaimana perjanjian-persetujuan lainnya, melainkan persetujuan
itu ditingkatkan menjadi mithaq, piagam perjanjian, persetujuan dan ikatan yang
meresap ke dalam jiwa dan sanubari, pertanggungjawabannya untuk terus
memelihara dan memenuhinya, biar bagaimana pun rintangan yang menghadang.
Perkawinan dinyatakan oleh Allah sebagai suatu ikatan yang teguh dan janji yang
kuat, sukar untuk membuka dan menanggalkannya.

Dengan diharamkannya nikah sirih, ketika direnungi ternyata banyak sekali hikmah
yang terkandung di dalamnya, antara lain :

1. Menjauhkan muslimin dari tujuan perkawinan yang rendah, yang mana


perkawinan dalam Islam diletakkan dalam kedudukan yang suci, mulia dan
agung
2. Menghindarkan kaum mukminah dari perbuatan rendah menjual diri hanya
untuk kepentingan syahwat
3. Membebaskan dari tujuan buruk menelantarkan keturunan (anak-anak) yang
mungkin lahir dari nikah mut’ah
4. Menjauhkan pandangan merendahkan syariat nikah, karena dengan nikah
mut’ah sebuah perkawinan tidak punya arti. Wanita dalam hinaan dan derajat
yang sangat rendah

21
B. POLIGAMI
3.6.Alasan-Alasan Berpoligami

Peraturan tentang perkawinan di Indonesia dilandasi asas monogami terbuka,


perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri dimungkinkan bila
dikehendaki ataupun disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya saja hal itu
dapat dilakukan, apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh
pengadilan. Hal ini diatur dalam UU No. 1/1974 pasal 3(2), pasal 4 (1) dan pasal 5
(1) dan (2).

1. Alasan berpoligami menurut UU No.1/1974


Pasal 3
1) Pengadilan, dapat member izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih
dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 4

2) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut
dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan
ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

3) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami
yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri


b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan

2. Alasan-alasan berpoligami menurut Kompilasi Hukum Islam

22
BAB IX

BERISTERI LEBIH SATU ORANG

Pasal 57

Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri
lebih dari seorang apabila:

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri

b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Kalau umat Islam mempedomani pasal 57 di atas serta terkait yaitu pasal 55,
56, dan 58, maka tipis kemungkinan orang berpoligami. Walaupun pasal 55 ayat (1)
KHI memberi peluang bolehnya beristri sampai empat orang dalam waktu yang
bersamaan, tetapi pasal 57 ini mengunci dengan persyaratan yang ketat. Meskipun
dibolehkan poligami dengan syarat adil, itupun dapat dilakukan hanya sebagai pintu
darurat saja.

3.7.Syarat-Syarat Berpoligami

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang


tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang
menyatakan bahwa asas perkawinan adalah monogami, dan poligami diperbolehkan
dengan alasan, syarat, dan prosedur tertentu tidak bertentangan dengan ajaran Islam
dan hak untuk membentuk keluarga, hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya.

Menurut Abdul Karim Zaidan, syarat bolehnya berpoligami dalam tinjauan


fiqih hanya ada dua yaitu:

1. Kemampuan bersikap adil

23
2. Kemampuan untuk memberikan nafaqah. Jika diduga kuat seorang suami yang
ingin berpoligami tidak mampu bersikap adil, maka haram baginya untuk
melakukannya. Adapun kemampuan memberikan nafkah merupakan syarat bagi
umumnya perkawinan.

Menurut Abdurrahman ada 7 syarat poligami

1. Istri mengidap penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan


2. Istri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tidak dapat melahirkan
3. Istri sakit ingatan
4. Istri lanjut usia sehingga tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai
istri
5. Istri memiliki sifat buruk
6. Istri minggat dari rumah
7. Kebutuhan suami beristri lebih dari satu dan apabila tidak dipenuhi
menimbulkan kemudharatan di dalam kehidupan dan keluarganya.

Syarat-syarat berpoligami menurut UU No. 1/1974 adalah

BAB I

DASAR PERKAWINAN

Pasal 5

1. Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana


dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat
berikut:

a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan


keperluan hidup isteri- isteri dan anak-anak mereka.

24
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-
isteri dan anak-anak mereka.

Syarat-syarat berpoligami menurut Kompilasi Hukum Islam adalah

BAB IX

BERISTERI LEBIH SATU ORANG

Pasal 55

1) Beristeri lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan, terbatas hanya sampai
empat orang isteri.

2) Syarat utama beristeri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

3) Apabila syarat utama yang disebutpada ayat (2) tidak mungkin terpenuhi, suami
dilarang beristeri lebih dari satu.

3.8. Prosedur Poligami

Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur oleh Islam memang
tidak ada ketentuan secara pasti. Namun di indonesia dengan kompilasi hukum
islamnya telah menggatur hal tersebut sebagai berikut:

Pasal 56

1) Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
pengadilan agama.

2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara
sebagaimana diatur dalam Bab VIII peraturan pemerintahan No.9 Tahun 1975.

3) Perkawinan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tampa izin dari pengadilan
agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

25
Pasal 57

Pengadilan agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri
lebih dari seorang apabila:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.

b. Istri dapat mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat di sembuhkan.

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 58

1) Peradilan agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pada
pasal 5 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:

a. Adanya persetujuan istri.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri


dan anak- anak mereka.

2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf (b) Peraturan Pemerintah


No.9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri –istri dapat diberikan secara tertulis atau
dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas
dengan lisan istri pada sidang pengadilan agama.

3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf (a) tidak diperlukan bagi seorang
suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-
istrinya sekurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian
Hakim.

26
Pasal 59

Dalam hal istri tidak mau memberi persetujuan , dan permohonan untuk beristri lebih
dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang di atur dalam pasal 55 ayat (2)
dan 57, pengadilan agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah
memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan pengadilan agama,
dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi

3.8.Sosio-Budaya Perkawinan Poligini Pasca Islam

Islam merupakan agama yang sangat revolusioner. Agama yang dibawa Muhammad
tersebut merupakan sebuah sistem nilai yang secara historis-empiris telah berhasil
merombak secara masif tradisi kejahiliyaan dengan begitu sempurna. Tidak heran,
jika kemudian Michael Heart menempatkan Muhammad Saw.di urutan teratas tokoh
paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia.

Dalam konteks poligini, revolusi Islam terhadap budaya patriarkhis jahiliyah


ditunjukkan dengan adanya pembatasan empat istri. Tidak hanya itu, seorang lakilaki
yang berpoligini juga dituntut harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri yang
dipoligini. Konsep ini jelas mendekonstruksi tradisi masyarakat Arab Jahiliyah,
dimana praktik poligini sebelumnya dilakukan tanpa batas dan tanpa syarat, yang
sudah pasti tidak menghargai harkat dan martabat perempuan.

Dasar fundamental pembatasan poligini dengan syarat adil ditunjukkan dalam QS.
An-Nisa' ayat 3, yaitu:

27
"dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya"
Dan QS. An-Nisa': 129

"dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara istriisterismu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang
lain terkatung-katung, dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara
diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang."

Sebagian pendapat yang ekstrim menyatakan bahwa poligini merupakan sesuatu yang
diharamkan. Sebab, syarat berlaku adil untuk menikahi istri dua, tiga, atau empat
dalam QS. An-Nisa': 3, sudah digariskan ketidakmungkinannya dalam QS. An-Nisa':
129. Dari sudut pandang metodologi ushul fiqih konvensional, pendapat ini
sebenarnya sangat tidak tepat. Sebab, pendapat ini menafikan beberapa hadits yang
menunjukkan kebolehan poligini, misalkan:

"Diriwayatkan dari Ibn 'Umar bahwa Gaylan ibn Salamah al-Tsaqafi masuk Islam,
sedang dia mempunyai sepuluh orang istri yang dikawininya pada masa Jahiliyyah,

28
lalu mereka (para istrinya) juiga ikut masuk Islam. Maka, Nabi saw. memerintahkan
Gaylan untuk memilih di antara mereka empat orang saja (sebagai istri)" (H.R.al

Turmudzi).

Atas dasar ini, ulama klasik sepakat bahwa yang dimaksud adil dalam hal ini adalah
adil dalam bentuk materi seperti pemenuhan terhadap keperluan biologis dan nafkah,
bukan dalam hal cinta. Karena secara psiokologis, keadilan cinta tidak dimungkinan.
Ketidakmampuan seorang suami yang berpoligini untuk tidak dapat berlaku adil
secara psikis (cinta) sudah ditetapkan dalam QS: An-Nisa': 129. Hal ini diperkuat
dengan sebuah hadits yang menunjukkan bahwa seorang Nabi Muhammad pun juga
tidak akan mampu adil terhadap istri-isterinya dalam hal perasaan cinta sebagai
berikut:

"Diriwayatkan dari 'Aisyah bahwa Nabi saw. biasa melakukan penggiliran kunjungan
untuk istri-isterinya maka beliau selalu berlaku adil, dan beliau berkata: "Ya Allah,
inilah penggiliran kunjunganku sejauh yang aku bisa; maka, janganlah Engkau
mempersalahkanku mengenai apa yang Engkau kuasai, sedang aku tidak dapat
menguasainya." (H.R. al-Turmudzi).27

Lalu, bagaimana dengan poligini Rasulullah Saw? Quraish Shihab berpendapat


bahwa dari poligini Rasul tersebut bukan berarti kita harus meneladaninya. Sebab,
tidak semua apa yang dilakukan Rasul perlu diteladani. Tidak semua yang wajib atau
terlarang bagi beliau, wajib dan terlarang pula bagi umatnya seperti wajib bangun
shalat malam dan larangan menerima zakat. 37 Banyaknya istri Nabi yang terdiri dari
janda-janda juga menjadikan Quraish Shibab mempertanyakan mereka yang
melakukan dan mendukung poligini, kenapa bukan tindakan itu (berpoligini dengan
janda) yang diteladani?

Oleh sebab itu, Quraish berpendapat bahwa poligini merupakan pintu kecil yang
dibolehkan hanya dalam keadaan tertentu. Pendapat ini pada dasarnya mirip sekali
dengan pendapat Imam al-Maraghi dalam tafsirnya yang mengatakan bahwa poligini

29
dalam Islam memang diperbolehkan, tetapi dipersulit dan diperketat. Begitu juga
Sayyid Quthb yang menyatakan bahwa poligini adalah bentuk rukhsah (keringanan)
dalam kondisi tertentu. Di Indonesia, beberapa ahli akhirnya mengemukakan sebuah
analogi yang belakanan sangat populer, bahwa kebolehan poligini dalam Islam ibarat
pintu emergency exit dalam pesawat terbang

Sayangnya, sepanjang sejarah Islam, pemahaman umat Islam mengenai poligini


memang tidaklah demikian. Poligini justru lebih sering disalahgunakan secara
sewenang-wenang sebagai pemuas hasrat libidis an sich. Maka, dapat dipastikan
bahwa praktik poligini yang demikian menunjukkan tidak sampainya pesan pesan
substansial Islam terhadap perilaku Poligini.

Oleh sebab itu, poligini selayaknya diletakkan dalam posisi sebuah masalah yang
lebih dari sekedar fiqih. Akan tetapi, kedudukan fiqih tetaplah penting sebagai
pijakan hukum umat Islam yang digalih dari sumber-sumbernya yang otentik. Oleh
karena itu, argumentasi-argumentasi yang disajikan dalam buku ini, tentu bukan
dimaksudkan untuk memaksa kepada khalayak untuk mengikuti pendapat tokoh ini
atau tokoh itu, tetapi lebih dimaksudkan untuk memperkaya khazanah tentang
poligini. Jika memang dimaksudkan untuk memperkaya khazanah tentang poligini,
pertanyaannya, kenapa pendapat ulama klasik tidak diungkap? Di sinilahı, penulis
ingin berpendapat, bahwa Islam pada dasarnya sesuai dengan fitrah manusia. Oleh
karena itu, fiqih adalah produk yang senantiasa berkembang sesuai dengan perubahan
zaman. Kenyataan bahwa kita saat ini sedang dalam situasi sosial dan kultur yang
berbeda dengan masyarakat Arab era Nabi adalah realitas yang tidak bisa dimungkiri.

Fiqih haruslah dinamis, tidak statis. Maka dari itu, perubahan-perubahan dalam fiqih
adalah sesuatu yang niscaya, tanpa keluar dari nilai-nilainya yang universal. Patutlah
dikutip di sini sebuah adagium dari seorang ulama klasik yang terkenal, Ibn Qayyim
al-Jauziyah, "Taghayyur al-Ahkam bi taghayurul azman" Bahwa perubahan hukum

30
itu tergantung dengan perubahan zaman. Hukum adalah perangkat formal untuk
memenuhi tujuan-tujuan universal(Sumirto, W,dkk, 2004)

3.9.Nilai Nilai Islam Rahmatan Lil Alamin Sebagai Solusi Poligami

Ajaran Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, membawa rahmat dan perubahan besar
bagi manusia baik yang berupa ibadah, mu’amalah maupun yang berupa hablum
minal ‘alam. Ajaran Islam juga memuat seluruh sendi-sendi kehidupan, mulai dari
etika, tuntunan kemasyarakatan, tata negara sampai hubungan internasional. Hal ini
dapat menjadi bukti bahwa ajaran Islam sangat aktual dan potensial untuk dijadikan
tuntunan hidup dan kehidupan.

Islam juga merupakan aturan yang sesuai dengan fitrah dan diciptakannya manusia
sejalan dengan kepentingan kehidupannya. Islam memperhatikan moralitas manusia,
memelihara kebersihan masyarakat, serta tidak mentoleransi timbulnya materialisme
yang mendorong terjadinya kerusakan akhlak dan masyarakat. Allah Swt menjadikan
keluarga sebagai tonggak kehidupan, kaidah pembangunan, asas pertumbuhan sosial
kemasyarakatan, dan perkembangan peradaban. Demikianlah Allah mengokohkan
bangunan keluarga dan masyarakat dengan fondasi yang kuat. Untuk melindungi
bangunan dari apa yang dapat melemahkannya. Diantara kaidah-kaidah tersebut
disyariatkannya poligami. Poligami inilah yang banyak memberikan persepsi dalam
hidup berkeluarga. Mengenai poligami ada yang pro dan ada yang kontra. Bagi yang
kontra mereka beralasan dengan berlandaskan emansipasi wanita. Membolehkan
poligami baginya adalah suatu tindakan yang berarti meletakkan suatu hambatan di
hadapan wanita, di tengah-tengah perjalanannya menuju kemajuan masyarakat.
Sedangkan bagi yang pro melihat bahwa poligami adalah salah satu usaha untuk
membimbing wanita, meningkatkan dari suasana kehidupan yang diliputi kegelisahan,
kehinaan dan terlantar menuju kehidupan berkeluarga yang mulia dan keibuan yang
mulia, dimana wanita merasakan kebahagiaan, kesucian dan kemuliaan di bawah

31
naungannya. Poligami juga merupakan salah satu penerapan dari kebebasan wanita
dan terlaksananya apa yang dikehendakinya, karena sebenarnya laki-laki itu tidak
berpoligami tanpa kemauan wanita.

Sudah menjadi kenyataan yang patut didiskusikan oleh para ahli hukum Islam, bahwa
poligami memerlukan tata aturan yang “khusus”, agar orang yang hendak melakukan
poligami tidak hanya asal melakukan, terlebih dalam pemahaman ayat di atas (QS.
An-Nisa: 3) tidak konprehensip. Walau ulama sepakat akan kebolehannya melakukan
poligami, ada pula yang melarangnya dengan alasan-alasan tertentu. Hal ini
membuktikan bahwa poligami adalah pekerjaan/perbuatan yang “sulit”. Orang-orang
Barat menentang keras poligami, dengan alasan emansipasi. Kalau seorang laki-laki
dapat berpoligami mengapa kaum wanita tidak dapat berpoliandri? Demikian alasan
mereka. Pendapat ini dijelaskan oleh ahli hukum Islam (ulama) dengan mengatakan:
“…bahwa emansipasi wanita dalam hal pernikahan tidak berlaku secara mutlak
karena tabiat kaum wanita berbeda sekali dengan kaum laki-laki. Seorang wanita
diciptakan Allah memiliki rahim dan dapat hamil sekali dalam setahun, sedangkan
laki-laki tidak. Seorang laki-laki dapat mempunyai keturunan anak dan beberapa istri,
dan dia bertanggung jawab atas nafkah dan pendidikan mereka. Sedangkan jika kaum
wanita melakukan poliandri dengan tiga atau empat suami misalnya, maka siapakah
yang harus bertanggung jawab atas kehidupan rumah tangganya? Apakah suami
pertama atau suami kedua, atau suami ke empat itu penanggung jawabnya? Demikian
pula nasib anaknya, apakah akan dinisbatkan kepada suami pertamanya atau
dinisbatkan kepada semua suami tadi (gabungan)? Atau mungkin dia memilih salah
seorang dari mereka dan menisbatkan anaknya kepadanya?”

Karena ajaran Islam itu rahmat, maka pembolehan pelaksanaan poligami


dalam Islam membawa hikmah sebagai berikut:

1. Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri mandul

32
2. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri
tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai istri

3. Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di


negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya

4. Untuk menhindarkan laki-laki dari perbuatan zina, jika istrinya tidak bisa
dikumpuli karena terkena sesuatu penyakit yang berkepanjangan

5. Untuk memberi kesempatan bagi perempuan yang terlantar, agar


mendapatkan suami yang berfungsi melindunginya, memberi nafkah hidup serta
melayani kebutuhan biologisnya

6. Untuk menghibur perempuan yang ditinggal mati suaminya di medan


peperangan, agar tidak merasa kesepian.

ari keterangan di atas, dapatlah di ketahui bahwa aturan berpoligami dalam Islam
tidak hanya bertujuan untuk pemuasan syahwat laki-laki semata, melainkan lebih
mulia dari apa yang wanita bayangkan. Bahkan poligami dapat mengangkat status
perempuan dari kehinaan dan kehancuran, seperti terlihat dalam hikmah poligami.
Poligami juga dapat dijadikan sarana pengembangan Islam (da’wah) dan pranata
sosial. Maka tak salah jika Mahmud Akkad berpendirian bahwa wanita yang menolak
atau tidak menerima praktek poligami akan hidup sendiri tanpa keluarga sehingga
hidupnya akan lemah

Selain itu poligami juga dapat mencegah maraknya bisnis-bisnis pelacuran, yang
kerap terjadi saat ini, disamping mencegah timbulnya penyakit sek, seperti sipilis,
AIDS dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa poligami merupakan terapi dari
kehidupan sek pada zaman yang katanya modern. Namun demikian jika hendak
berpoligami harus memenuhi syarat-syarat “adil” sebagaimana yang diterangkan pada
konteks ayat di atas (An-Nisa: 3, 129), agar tata aturan poligami tidak dimanipulasi

33
oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab. Dan yang terpenting syari’at Islam
berjalan sesuai dengan yang dikehendaki oleh Al-Qur’an dan Hadist.

BAB IV
PENUTUP
2.1.Kesimpulan

1. Bahwa penyiaran pernikahan dan adanya surat nikah lebih banyak menimbulkan ha
lpositif daripada hal negatif

2.Pemerintah harus mengawasi dengan ketat penggunaan danperedaran surat nikah di


tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan

3.Hadith yang ditakhrij oleh al- Daruqutni dari ‟Aishah tentang pernikahan tanpa
wali dan saksi adalah hadith dhaif.

4. Selain ulama Hanafiyah, ulama sepakat bahwa wali merupakan syarat sah
nikah.Dengan kata lain, pernikahan tanpa adanya saksi adalah tidak sah. Bagi wanita
yangtidak memiliki wali, maka yang menjadi walinya adalah hakim.

5.Selain imam Malik dan madhhab Shi‟ah, mayoritas ulama menyepakati bahwa
saksi juga merupakan syarat yang menentukan dalam sah atau tidaknya pernikahan.
Dengandemikian, tidak sah hukumnya pernikahan tanpa adanya dua orang saksi.

6. Dalam pandangan agama diperbolehkan sepanjang hal-hal yg menjadi rukun


terpenuhi

a) Wali

b)Dua orang saksi, dan

34
c) Ijab qabul.

Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara
syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.

7. Poligini, yaitu sistem perkawinan yang membolehkan seorang laki-laki memiliki


atau mengawini beberapa perempuan sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan
(seorang laki-laki memiliki beberapa istri sekaligus)

8. Poligini telah ada sebelum ajaran Islam datang, Islam membantu kaum wanita yang
telah dipoligini pada masa itu, Jadi tidak benar Islam tidak pro terhadap kaum wanita,
justru Islam memuliakan kaum wanita

9. Poligini bukanlah sesuatu dianjurkan dalam kondisi normal, poligini dibolehkan


namun bukan merupakan Sunnah

35
DAFTAR PUSTAKA
Artikel “ Rancangan Undang-Undang Materil oleh Peradilan Agama Bidang
Perkawinan”

Abdurrohman bin Muhammad’uwadl Al jazary,Kitabul Fiqh’Alaa Madzahibul


Arba‟ah

Maktabah al-Shamilah, Sunan al-Daruqutni no 3580

Ali, Ibn Umar al-Daruqutni.Sunan al-Daruqutni.Beirut: Dar al-Kitab al-‟Alamiyah.


1985

Ali, Muhammad al-Shabuni.Tafsir ayat al-Ahkam. Syiria: Maktabah al-Ghazali, Juz


II. 1988

Sumirto, W, Moh. Hanas Kholish, In’amul Mushoffa, Konfigurasi Fiqih


Poligini:Kritik Terhadap Paham Ortodoksi Perkawinan Poligini di Indonesia,
(Malang:UB Press, 2004)

Menurut Mohammd Daud Ali, Asas hukum perkawinan terdiri dari: (1) Asas
kesukarelaan, (2) Asas persetujuan kedua belah pihak, (3) Asas Kebebasan memilih,
(4) Asas monogami terbuka. Lihat Membendung Liberalisasi, hal. 79

Menurut Mohammd Daud Ali, Asas hukum perkawinan terdiri dari: (1) Asas
kesukarelaan, (2) Asas persetujuan kedua belah pihak, (3) Asas Kebebasan memilih,
(4) Asas monogami terbuka. Lihat Membendung Liberalisasi, hal. 79

UU No. 1/1974, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Pustaka:


Yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN)), hal. 2

Tanggo, Huzaemah Tahido, Membendung Liberalisme, (Jakarta: Penerbit Republika,


2004), hal. 58

Luthfi Widagdo Eddyono, Persyaratan Poligami dalam UU Perkawinan Tidak


Bertentangan Dengan Konstitusi,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=458, (diakses, 01/05,
2013)

36
Zaidan, Abdul Karim, Al-Mufashshal fi Ahkam al-Mar’ah wa al-Bait al-Muslim fi
as-Syari’ah al-Islamiyah, Juz 6, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1415 H/1994 M), hal.
287-289

UU No. 1/1974, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Pustaka:


Yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN)), hal.10

Kompilasi Hukum Islam, pasal 55

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Akedemika


Pressindo,1995, cet ke-2), h.114

37

Anda mungkin juga menyukai