Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


APLIKASI SYARIAH PERNIKAHAN DALAM ISLAM

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 7

1. BUNGA UTARI ( 18045006 )


2. DIOS OKTRIADI ( 18086369 )
3. KURNIA ANDINI ( 18033097 )
4. NURUL FADILAH QORINATUL AULIA ( 18033161 )
5. MARDHIATUL AZMI ( 18337054 )

DOSEN PEMBIMBING : SULAIMAN, S.Pd, M.Pd

MATA KULIAH UMUM

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2018
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, dimana
berkat limpahan rahmat,taufik,dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
pembuatan tugas makalah diskusi pendidikan agama islam dengan judul Aplikasi
syariah pernikahan dalam islam. Sholawat dan salam kami curahkan kepada Nabi
besar Muhammad SAW karena beliaulah satu - satunya Nabi yang mampu
mengubah dunia dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang yakni
Agama Islam.

Makalah ini disusun dan diuraikan secara efektif dengan landasan


pengetahuan yang diambil dari buku untuk menambah wawasan,kemudian
makalah ini disusun berdasarkan hasil diskusi anggota masing – masing kelompok
yang dijilid menjadi satu kedalam bentuk makalah.

Kiranya makalah ini masih sangat jauh dari kata kesempurnaan oleh
karena itu kami menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
memperbaiki isi dari makalah ini.Kami berharap semoga makalah ini dapat
menambah ilmu pengetahuan dan wawasan kepada pembaca serta ridho dari Allah
SWT

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 2

BAB II PEMBAHASAN 3

A. Konsep dan Hukum Pernikahan 3


1. Pengertian Pernikahan 3
2. Hukum Pernikahan 4
3. Syarat dan Rukun Pernikahan 5
B. Tujuan dan Hikmah Pernikahan 7
1. Tujuan Pernikahan 7
2. Hikmah Pernikahan 10
C. Bentuk-Bentuk Pernikahan Dalam Islam 11
1. Nikah Mut’ah 11
2. Nikah Tahlil 11
3. Nikah Syigar 11
D. Talak, Iddah dan Rujuk 12
1. Talak 12
2. Iddah 14
3. Rujuk 15
E. Kewarisan Dalam Islam 16
1. Pengertian Kewarisan 16
2. Rukun dan Syarat Kewarisan 16
3. Sebab-Sebab Waris-Mewaris 16
4. Dalil Mengenai Hukum Waris Islam 17

ii
5. Pembagia Harta Waris 19

BAB III PENUTUP 21

A. Kesimpulan 21
B. Saran 21

DAFTAR PUSTAKA 22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa terlepas dari ketergantungan dengan
orang lain. Menurut Ibnu Khaldun, manusia itu (pasti) dilahirkan di tengah-tengah
masyarakat, dan tidak mungkin hidup kecuali di tengah-tengah mereka pula. Manusia
memiliki naluri untuk hidup bersama dan melestarikan keturunannya. Ini diwujudkan
dengan pernikahan. Pernikahan yang menjadi anjuran Allah dan Rasull-Nya ini
merupakan akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Hidup yang tentram, damai, dan bahagia merupakan idaman setiap keluarga untuk
dapat meraih kehidupan tersebut. Islam memberikan solusi dengan cara melakukan
pernikahan. Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam
pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan bukan saja merupakan suatu
jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi
juga dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum yang
lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara
satu dengan yang lainnya.

Pernikahan yang telah diatur sedemikian rupa dalam agama dan Undang-
undang ini memiliki tujuan dan hikmah yang sangat besar bagi manusia sendiri. Tak
lepas dari aturan yang diturunkan oleh Allah, pernikahan memiliki berbagai macam
hokum dilihat dari kondisi orang yang akan melaksanakan pernikahan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dan hukum pernikahan ?
2. Bagaimana tujuan dan hikmah pernikahan ?
3. Bagaimana bentuk-bentuk pernikahan dalam islam ?
4. Apa itu talak, iddah, dan rujuk ?
5. Bagaimana kewarisan dalam islam ?

1
C. Tujuan

1. Untuk mengetahui dan memahami konsep dan hukum dari pernikahan


dalam islam.
2. Untuk mengetahui dan memahami tujuan dan hikmah dari pernikahan
dalam islam.
3. Untuk mengetahui dan memahami nilai bentuk-bentuk pernikahan dalam
islam.
4. Untuk mengetahui dan memahami apa itu talak, iddah dan rujuk.
5. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana kewarisan dalam islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP DAN HUKUM PERNIKAHAN DALAM ISLAM

1. Pengertian nikah

Nikah secara bahasa artinya berhimpun. Menurut syara’seperti yang


ditemukan wahba az-suhaili dalam al-fiqh al-islami wa adillatuhu bahwa pernikahan
artinya akad atau perjanjian atau ikatan yang menghalalkan atau membolehkan
pergaulan antara seorang lelaki dengan seorang wanita hidup bersama sebagai suami
istri.

Menurut komplikasi hukum islam dinyatakan bahwa pernikahan adalah akad


atau perjanjian kedua belah pihak di wujudkan dalam bentuk ijab dan qabul seorang
pria dan seorang wanita sebagai seorang suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagiah kekal dan berdasarkan Ketuhanan ynag Maha
Esa

Dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah suatu ikatan lahir dan batin
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang menjamin halalnya pergaulan
sebagai suami istri untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan mendapatkan
keturunan yang sah, dan dilangsungkan menurut ketentuan – ketentuan syari’at islam.
Seperti dalam surat An-Nisa ayat 3 :

    


   
   
    
    
    
  

3. Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

3
2. Hukum pernikahan

Berdasarkan syariat islam dan tuntunan cara pernikahan yang benar maka
hukum pernikahan dapat digolongkan dalam lima kategori yaitu wajib, sunnah,
haram, makruh dan mubah. Hukum pernikahan tersebut dikategorikan berdasarkan
keadaan dan kemampuan seseorang untuk menikah. Sebagaimana dijabarkan dalam
penjelasan berikut ini

a. Wajib

Pernikahan dapat menjadi wajib hukumnya jika seseorang memiliki


kemampuan untuk membangun rumah tangga atau menikah serta ia tidak dapat
menahan dirinya dari hal-hal yang dapat menjuruskannya pada perbuatan zina. Orang
tersebut wajib hukumnya untuk melaksanakan pernikahan karena dikhawatirkan jika
tidak menikah ia bisa melakukan perbuatan zina yang dilarang dalam islam (baca zina
dalam islam).

b. Sunnah

Berdasarkan pendapat para ulama, pernikahan hukumnya sunnah jika


seseorang memiliki kemampuan untuk menikah atau sudah siap untuk membangun
rumah tangga akan tetapi ia dapat menahan dirinya dari sesuatu yang mampu
menjerumuskannya dalam perbuatan zina.dengan kata lain, seseorang hukumnya
sunnah untuk menikah jika ia tidak dikhawatirkan melakukan perbuatan zina jika ia
tidak menikah. Meskipun demikian, agama islam selalu menganjurkan umatnya
untuk menikah jika sudah memiliki kemampuan dan melakukan pernikahan sebagai
salah satu bentuk ibadah.

c. Haram

Pernikahan dapat menjadi haram hukumnya jika dilaksanakan oleh orang


yang tidak memiliki kemampuan atau tanggung jawab untuk memulai suatu
kehidupan rumah tangga dan jika menikah ia dikhawatirkan akan menelantarkan
istrinya. Selain itu, pernikahan dengan maksud untuk menganiaya atau menyakiti
seseorang juga haram hukumnya dalam islam atau bertujuan untuk menghalangi

4
seseorang agar tidak menikah dengan orang lain namun ia kemudian menelantarkan
atau tidak mengurus pasangannya tersebut.

d. Makruh

Pernikahan makruh hukumnya jika dilaksanakan oleh orang yang memiliki


cukup kemampuan atau tanggung jawab untuk berumahtangga serta ia dapat menahan
dirinya dari perbuatan zina sehingga jika tidak menikah ia tidak akan tergelincir
dalam perbuatan zina. Pernikahan hukumnya makruh karena meskipun ia memiliki
keinginan untuk menikah tetapi tidak memiliki keinginan atau tekad yang kuat untuk
memenuhi kewajiban suami terhadap istri maupun kewajiban istri terhadap suami.

e. Mubah

Pernikahan bersifat mubah jika ia menikah hanya untuk memenuhi


syahwatnya saja dan bukan bertujuan untuk membina rumah tangga sesuai syariat
islam namun ia juga tidak dikhwatirkan akan menelantarkan istrinya.

3. Syarat dan Rukun Nikah

Suatu pernikahan tidak sah jika tidak memenuhi syarat-syarat dan rukunnya.
Syarat merupakan unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum, sementara rukun
merupakan unsur pokok yang mesti dipenuhi. Apabila kedua unsur tersebut tidak
terpenuhi, maka perbuatan itu dianggap tidak sah menurut hukum.

a. Syarat-syarat nikah
 Adanya persetujuan kedua calon mempelai
 Bagi calon yang belum mencapai umur tahun harus mendapat izin dari
kedua orang tuanya
 Antara kedua calon penganten tidak ada larangan untuk menikah
 Masing- masing tidak terkait dalam perkawinan, kecuali bagi calon
pengantin laki-laki mendapat izin dari pengaadilan (atas persetujuan istri)
 Kedua calon pengantin tidak pernah terjadi dua kali perceraian
 Telah lepas dari masa iddah atau jangka waktu tunggu karena putusnya
perkawinan

b. Rukun nikah

5
Rukun, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu bermaksud dalam rangkaian pekerjaan itu,
seperti membasuh muka untuk wudhu’ dan takbiratul ihram untuk shalat. Atau
adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan.

1) Mempelai laki-laki (calon suami), untuk calon laki-laki kriterianya adalah


sebagai berikut:
 Beragama Islam
 Lelaki yang tertentu
 Bukan mahram dengan bakal istri
 Bukan dalam ihram haji atau umrah
 Dengan kerelaan sendiri
 Mengetahui wali yang sah bagi akad nikah tersebut
 Mengetahui bahawa perempuan itu boleh dan sah dinikahi
 Tidak mempunyai empat orang isteri yang sah dalam satu masa

2) Mempelai Wanita (calon istri)


 Beragama Islam
 Bukan seorang khunsa (perempuan yang merasa dirinya laki-laki)
 Perempuan yang tertentu
 Tidak dalam masa Iddah
 Bukan dalam ihram haji atau umrah
 Dengan rela hati
 Bukan perempuan mahram dengan bakal suami
 Bukan istri orang atau masih ada suami

3) Wali, syarat-syarat wali :


 Adil
 Beragama Islam
 Baligh
 Lelaki
 Merdeka
 Tidak fasik, kafir, atau murtad
 Bukan dalam ihram haji atau umrah
 Waras (tidak cacat pikiran dan akal)
 Dengan kerelaan sendiri

6
 Tidak muflis (ditahan hukum atau harta)

4) Dua orang saksi, :

Adapun syarat saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki,
muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti (paham) akan maksud
akad nikah.

Adapun kewajiban adanya saksi tidak lain, hanyalah untuk kemaslahatan kedua
belah pihak dan masyarakat. Misalnya, salah seorang mengingkari, hal itu dapat
dielakkan oleh adanya dua orang saksi. Juga misalnya apabila terjadi kecurigaan
masyarakat, maka dua orang saksi dapatlah menjadi pembela terhadap adanya akad
perkawinan dari sepasang suami istri. Disamping itu, menyangkut pula keturunan
apakah benar yang lahir adalah dari perkawinan suami istri tersebut. Dan di sinilah
saksi itu dapat memberikan kesaksiannya.

5) Shigat akad yang terdiri dari ijab dan kabul

Pada hakikatnya ijab adalah suatu pernyataan dari wali pengaantin perempuan
untuk mengikatkan diri dengan seorang laki-laki untuk dijadikan sebagai suami yang
sah. Sedangkan qabul adalah pernyataan menerima dengan sepenuh hati untuk
menjadikan seorang perempuan tersebut menjadi istri yang sah.

Di dalam ijab dan qabul ini di sebutkan mahar atau mas kawin. Mahar ini bukan
termasuk syarat atau pun rukun pernikahan, akan tetapi mahar ini termasuk kewajiban
suami terhadap istri, kewajiban yang berupa pemberian. Menurut mazhab Maliki,
mahar adalah sebagai sesuatu yang menjadikan istri halal untuk digauli.

B. TUJUAN DAN HIKMAH PERNIKAHAN

1. Tujuan pernikahan

Allah SWT. sangat menganjurkan ummatnya untuk melakukan pernikahan


apabila telah memenuhi syarat untuk menikah. Sebagaiman firman Allah dalam (Q.S.
AR-Ruum : 21) yang berbunyi :

7
    
  
  
     
   


Artinya :

Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-


pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. [QS.
Ar. Ruum (30):21].

Dan adapun hadist yang menganjurkan untuk melakukan pernikahan yaitu :

Artinya :

Wahai para pemuda! Siapa saja di antara kamu yang mampu menikah, maka
hendaknya ia menikah. Karena nikah itu dapat menundukkkan pandangan dan
menjaga kehormatan. Namun barang siapa yang tidak mampu, hendaknya ia
berpuasa, karena puasa dapat memutuskan syahwatnya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Adapun tujuan pernikhan dalam Islam :

a. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi

Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi
kebutuhan ini adalah dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan dengan
cara yang amat kotor dan menjijikkan, seperti cara-cara orang sekarang ini; dengan
berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang
telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

b. Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan


Pandangan

Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah


untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat
merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang

8
pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk me-melihara
pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.

c. Untuk mengikuti dan mentaati perintah Allah SWT dan sunnah Rasul

Melakukan pernikahan merupakan ibadah kepada Allah AWT. Oleh sebab itu,
bagi setiap muslim yang menikah dengan niat melaksanakan perintah Allah dan
sunnah Rasul berarti dia sudah mempersiapkan diri untuk melakukan serangkaian
ibadah. Firman Allah dalam surat An-Nur ayat 32 yang terjemahannya sebagai
berikut :

  


  
    
     
  

Artinya : “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu,


dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-
laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan
kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi
Maha Mengetahui[4].

d. Untuk Memperoleh Keturunan Yang Shalih

Tujuan pernikahan di antaranya adalah untuk memperoleh keturunan yang shalih,


untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, sebagaimana firman Allah
‘Azza wa Jalla:

    


    
   
  
   
 

Artinya : “Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis
kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta
memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan
mengingkari nikmat Allah?” [An-Nahl : 72]

e. Menginginkan kebahagiaan dan ketentraman

9
Memperoleh ketentraman dan kebahagiaa adalah menjadi idaman bagi setiap
manusia. Dengan adanya ketentraman dan ketenangan maka kesulitan hidup akan
mudah teratasi. Di antara syarat untuk mendapatkan ketentraman dalam pernikahan
adalah tumbuhnya rasa cinta antara suami dan istri, antara orang tua dan anak.
Apabila kedua sifat itu tercermin dalam tutur kata, tingkah laku, dan sikap pada
semua pihak, maka dapat dipastikan ketentraman dapat dicapai.

2. Hikmah Pernikahan dalam Islam

Anjuran telah banyak disinggung oleh Allah dalam al-Quran dan Nabi lewat
perkataan dan perbuatannya. Hikmah yang terserak di balik anjuran tersebut
bertebaran mewarnai perjalanan hidup manusia. Secara sederhana, setidaknya ada 4
(empat) hikmah di balik perintah menikah dalam Islam.

a. Menjaga harkat dan martabat manusia

Manusia sebagai makhluk mempunyai berbagai kebutuhan kebutuhan dasar


untuk mempertahankan hidupnya seperti makan minum dan kebutuhan seksual untuk
mempertahankan keturunannya. Kebutuhan seksual merupakan kebutuhan dasar yang
tidak bisa digantikan dengan yang lain, karena itu islam memberikan unntuk
menyalurkan kebutuhan tersebut melalui pernikahan. Pengaturan pernikahan
merupakan konsep syariat Islam agar manusia dapat memenuhi kebutuhan tanpa
kehilangan derajat kemanusiaannya yang mulia dan terhormat. Karena itu dalam
pandangan Islam seks bukanlah sesuatu yang kotor dan terlarang tetapi tapi yang
dibolehkan dengan prosedur yang sah . Nabi SAW sendiri menganjurkan agar berdoa
dikala mengadakan hubungan seks dimulai.

Pernikahan yang sah, seseorang akan dapat memenuhi kebutuhan


biologisnya dengan cara yang berbeda dengan binatang. Penyaluran kebutuhan
seksual secara bebas adalah perilaku yang tak bermartabat dan bermoral. Padahal
Manusia adalah makhluk yang mulia, karena itu pernikahan merupakan Wahana
memelihara kebutuhan kemuliaan manusia sebagai pemegang amanah Allah
Subhanahu Wa Ta'ala.

b. Melanjutkan dan memelihara garis keturunan

Proses regenerasi manusia akan diperoleh melalui adanya pernikahan. Dengan


pernikahan sistem kekerabatan dan status orang semakin jelas, adanya suami, istri,

10
anak, ayah, ibu, saudara dan sebagainya dapat ditetapkan dengan jelas beserta fungsi
dan peranannya masing-maing. Seandainya pernikahan tidak diatur, maka garis
keturunan akan kacau dan tentu arah kehancuran budaya manusia semakin mendekati
kejhiliyahan

c. Menumbuhkan kasih sayang

Salah satu sifat yang di anugrahi oleh Allah kepada manusia adalah adanya
rasa kasih sayang, karena itu rasa kasih sayang merupakan salah satu kebutuhan
manusia, baik untuk memberi maupun menerima dari orang lain. Melalui pernikahan,
rasa kasih sayang itu akan dapat diterima dan diberikan secara nyata dan
berkelanjutan, sehingga seseorang dapat memiliki dorongan jiwa yang kuat untuk
berinteraksi dan berkreasi dalam kehidupan dan pergaulannya degan manusia lainnya.

d. Memperoleh ketenangan jiwa

Melalui pernikahan suami istri dapat mengekspresikan perasaannya tanpa ada


rasa khawatir terhadap sikap orang lain, dan selalu bekerja sama denga ikhlas untuk
mencapai tujuan bersama sehingga beban berat terasa lebih ringan.

C. BENTUK-BENTUK PERNIKAHAN DALAM ISLAM

Tujuan perkawinan bisa dicapai dengan adanya prinsip bahwa perkawinan


adalah untuk selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja. Karena prinsip
perkawinan dalam Islam seperti itu, maka Islam tidak membenarkan:

1. Nikah Mut’ah

Mut’ah berasal dari kata “mata’a” yang berarti menikmati. Nikah Mut’ah
disebut juga nikah sementara atau nikah yang terputus. seperti : satu hari, satu
minggu, satu bulan. Nikah mut’ah dalam istilah hukum biasa disebut: “perkawinan
untuk masa tertentu”, dalam arti pada waktu akad dinyatakan ikatan berlaku
perkawinan sampai masa tertentu yang bila masa itu telah datang, perkawinan
terputus dengan sendirinya tanpa melalui proses perceraian.

2. Nikah tahlil (tahallu)

Nikah Muhallil adalah perkawinan yang dilakukan untuk menghalalkan orang


yang telah melakukan talak tiga untuk segera kembali pada isterinya. Bila seseorang

11
telah menceraikan istrinya sampai tiga kali pada masa yang berbeda, suami tidak
boleh lagi nikah dengan bekas istrinya itu kecuali jika istrinya itu telah menikah
dengan laki-laki lain, kmudian bercerai dan habis pula masa iddahnya.

3. Nikah Syigar

Nikah Syigar adalah seorang wali mengawinkan puterinya dengan seorang


laki-laki dengan syarat agar laki-laki itu mengawinkan puterinya dengan si wali tadi
tanpa bayar mahar..

Orang arab menjadikan kata syighar tersebut menjadi redaksi berikut ini:
“Saya akan menikahkan putriku dengan kamu, jika kamu menikahkan putrimu
denganku”. Setidaknya ada tiga bentuk nikah syighar. Salah satu ta’rif yang rajih dan
kuat menurut ulama adalah kondisi dimana seseorang hendak menikahkan putrinya,
atau saudara perempuannya, atau budaknya dengan seseorang lelaki, sebagai
kompensasi juga memberikan putrinya, atau saudara perempuan, atau budaknya
untuk dinikahkan dengan dia, baik dengan membayar sejumlah mahar atau tidak.
Dengan kata lain, syighar adalah perikahan dengan sejumlah kompensasi tukar
menukar anak putrinya atau saudara perempuannya atau budak perempuannya.
Dalam kata lain disebut saling menikah sebagai maharnya adalah manfaat kelamin
anak putrinya atau saudara perempuannya atau budak perempuannya

D. TALAK, IDDAH DAN RUJUK

1. Talak

Talaq artinya melepaskan ikatan. Secara istilah talaq adalah lepasnya ikatan
pernikahan dengan ucapan talaq atau ucapan lain yang maksudnya sama dengan
talaq, yang dimaksud melepas tali perkawinan adalah memutuskan tali perkawinan
yang dulunya di ikat dengan ijab dan Kabul sehingga satatus suami isteri di antara
keduanya menjadi hilang termasuk hilangnya hak dan kewajiban sebagai suami dan
isteri

Talaq adalah hak suami artinya isteri tidak bisa melepaskan diri dari ikatan
pernikahan kalau tidak dijatuhkan oleh suami,namun meskipun itu adalah hak suami
bukan berarti suami boleh semena-mena menjatuhkan talaq

a. Hukum Talaq Itu Beberapa Macam

12
• Talaq Wajib yaitu talaq yang dijatuhkan oleh pihak
hakam(penengah)karena perpecahan antara suami isteri yang tidak
mungkin disatukan kembali dan talaq adalah satu-satunya jalan
• Talaq Haram yaitu talaq tanpa lasan yang benar,diharamakan karena
menganiaya atau menyakiti isteri yang akhirnya akan merugikan kedua
belah pihak tidak ada guna dan kemaslahatan dari talaq ini.
• Talaq sunnah yaitu talaq yang disebabkan isteri mengabaikan
kewajibannya kepada Allah atau suatu suka melanggar larangan-Nya dan
isteri dikategorikan rusak moralnya sedangkan suami sudah berupaya
memperbaiki
b. Macam-Macam Talaq

Ditinjau dari segi Jumlah

1) Talaq satu yaitu talaq pertama kali dan suami hanya menjatuhkan hanya
dengan talak Satu
2) Talaq dua adalah talaq suami yang kedua kalinya atau talak pertama yang
dijatuhkan talak 2 oleh suami (aku talaq kamu dengan talaq 2)
3) Talaq tiga yaitu talaq yang dijatuhkan oleh suami untuk ketiga kalinya atau
talaq pertama dengan ucapan talaq tiga

Ditinjau dari segi boleh atau tidaknya bekas suami rujuk

1) Talaq raj’I yaitu talaq yang boleh bekas suami rujuk kembali sebelum atau
sesudah masa iddahnya habis dan dalam hal ini nikahnya tidak di ulang lagi
(QS.Al-Baqarah 229)
2) Talaq Ba’in yaitu talaq yang dijatuhkan suami dan bekas suami toidak boleh
rujuk kembali kecuali dengan aqad nikah yang baru dan rukun dan syaratnya.
3) Ba’in shuqra yaitu yang menghilangkan pemilikan mantan suami terhadap
mantan isteri tetapi tidak menghilangkan kebolehan mantan suami untuk rujuk
(talq sebelem bercampur,talak 1 dan 2 tetapi masa iddahnya sudah
habis,khuluk,karena salah seseorang masuk penjara)
4) Ba’in qubra yaitu talaq 3 dimana mantan suami tidak boleh rujuk kembali
kecuali apabila mantan isterinya nikah lagi dan digauli kemudian dia dicerai
oleh suaminya yang kedua (QS.Al-Baqarah,230)

Ditinjau dari segi tegas atau tidaknya kata –kata yang dipergunakan

13
1) Talaq saharih yaitu talaq yang lafalnya jelas dengan kata talaq dan dipahami
sebagai talaq saat dijatuhkan
2) Talaq kinayah yaitu talaq yang menggunakan kata-kata sindiran atau samara-
samar yang tujuannya untuk menjatuhkan talaq

Ditinjau dari langsung atau tidaknya menjatuhkan talaq

1) Talaq Muallaq yaitu talaq yang dikaitkan dengan syarat tertentu dan talaq
akan jatuhnya bila syarat yang disebutkan suami terwujud
2) Talaq ghairu muallaq yaitu talaq yang tidak dikaitkan dengan sutu syarat
tertentu

2. Iddah

Iddah menurut syara’ adalah masa menunggu yang ditetapkan oleh syara’ bagi
wanita yang dicerai oleh suminya baik karena cerai mati atau cerai hidup dan masa
iddah ini hanya berlaku bagi isteri yang sudah di gauli oleh suminya (QS.Al-
Ahzab/33: 49)

a. Macam-Macam Iddah

1) Isteri yang ditinggal mati suaminya dan ia dalam keadaan tidak hamil baik ia
dalam sedang haid atau sudah lepas haidnya atau sudah dicampiri suaminya
maka masa idahnya 4 bulan 10 hari.
2) Isteri yang ditinggal mati suaminya dan ia dalam keadaan hamil maka masa
idahnya adalah sampai ia melahirkan walaupun kurang dari 4 bulan 10 hari
3) Isteri yang ditalaq suaminya dalam keadaan hamil maka masa idahnya sampai
ia melahirkan kandunganya (QS.At-Talaq/65:4)
4) Isteri yang ditalaq suaminya dan ia masih haid maka masa iddahnya adalah 3
kali suci (Qs. Al-Baqarah/2:228)
5) Isteri yang ditalaq suaminya padahal ia belum pernah haid atau sudah tidak
haid (monopouse) masa idahnya 3 bulan (QS.At-Thalaq/65:4)

c. Kewajiban Mantan Isteri Dan Suami Selama Masa Idah


1)Kewajiban mantan suami
• Memberikan nafkah makan/belanja dfan tempat tinggal bagi perempuan
yang ditalak raj’I sebagaimana sabda rasulullah yang artinya: hak
mendapat belanja dan tempat tinggal hanya dimilki oleh perempuan yang
boleh dirujuk oleh suaminya (HR.Ahmad dan Nasa’i)

14
•memberi nafkah makan/belanja dan tempat tinggal bagi perempuan yang
ditalak ba’in dalam keadaan hamil (QS.At-Thalaq/65:6)
• Memberi tempat tinggal saja bagi perempuan yang ditalaq ba’in
2) Kewajiban mantan isteri
• Tinggal dirumah yang disediakan mantan suaminya selama masa idahnya
belum berakhir
• Dapat menjaga dirinya dari perbuatan-perbuatan maksiat atau yang bias
menimbulkan fitnah
• Tidak boleh menerima pinangan kecuali pinangan mantan suaminya untuk
rujuk kembali

3. Rujuk

Rujuk adalah mengembalikan ikatan dan hukum perkawinan secara penuh


setelah terjadi talaq raj’I yang dilakukan oleh mantan suami terhadsap mantan
isterinya dalam masa idah selama mantan suami bermaksud islah,dasar hukumnya
adalah.QS.Al-Baqarah/2:228

Artinya: dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam masa itu
jika mereka menghendaki perbaikan

a. Hukum Rujuk
1) Mubah/boleh adalah hukum asalnya sesuai dengan hadist rasulullah sbb:
Artinya: dari ibnu umar ra diriwayatkan ketika ia menceraikan
isterinya,Nabi saw bersabda kepada umar (ayah ibnu umar) suruhlah ia
merujuk isterinya (mutafaq ‘alaih)
2) Haram apabila dengan rujuk pihak isteri dirugikan seperti keadaannya lebih
menderita daripada sebelum di rujuk. Makruh apabila diketahui bahwa
meneruskan perceraian lebih bermanfaat bagi keduanya jika dibandingakan
dengan rujuk. Sunah apabila diketahui rujuk lebih bermanfaat jika
dibandingkan dengan meneruskan perceraian
3) Wajib khusus bagi laki-laki yang beristeri lebih dari satu jika salah seorang
ditalak sebelum gilirannya disempurnakan
b. Rukun Dan Syarat Rujuk
1) Isteri
• Sudah digauli oleh suaminya

15
• Talaq yang dijatuhkan adalah talaq Raj’I bukan talaq ba’in,khulu dan
fasakh
• Masih dalam masa idah
2) Suami. Syaratnya Baliq,sehat akalnya dan atas kemauan sendiri/tidak
dipaksa
3) Shighat. Diucapkan dengan terang-terangan atau sindiran
4) Saksi.

c. Hikmah Rujuk
1) Sebagai sarana untuk mempertimbangkan kembali atas keputusan
perceraian apakah didasari atas nafsu,amarah atau emosi atau semata-mata
atas kemaslahatan
2) Sebagai sarana untuk mempertanggung jawabkan anak-anak mereka secara
bersama-sama baik dalam pemeliharaan,pendidikan,nafkah dll
3) Sebagai sarana intropeksi diri untuk saling memperbaiki diri kearah rumah
tangga yang lebih baik,pengertian dan harmonis

E. KEWARISAN DALAM ISLAM

1. Pengertian Kewarisan

Kata kewarisan berasal dari kata dasar waris, bahasa arab warisa yang berarti
pusaka. Orang yang meninggalkan harta disebut mawaris dan yang menerima harta
disebut waris. Menurut Syafrudin yang dikutip dari Mahalil III bahwa hukum
kewarisan disebut faraid adalah karena banyak dari kewarisan yang sudah ditentukan
secara pasti walaupun ada pula jumlah yang tidak ditentukan.

2. Rukun dan Syarat kewarisan


a. Rukun
1) pewaris
2) ahli waris
3) harta yang diwariskan
b. Syarat
1) Pewaris harus sudah meninggal dunia baikmeninggal secara hakiki maupun
secara hukum

16
2) Ahli waris diisyaratkan hidup ketika pewaris meninggal dunia dan
mempunyai hubungan dengan pewaris
3) Harta warisan adalah harta peninggalan pewaris sesudah dikeluarkan
kebutuhan pewaris

3. Sebab- sebab waris- mewaris


1) Hubungan kerabat atau hubunngan nasab, seperti ayah, ibu nenek, kakek,
anak, cucu, dan saudara
2) Hubungan perkawinan yaitu suami istri
3) Karena memerdekakan budak
4) Hubungan agama, diberikan kepada baitui mal

4. Dalil Mengenai Hukum Waris Islam

Dalil mengenai harta waris dalam islam ada di dalam Al-Quran Surat An-
Nisaa ayat 11-12 yang cukup detail dibahas dan disampaikan di Al-Quran.

    


     
    
      
    
    
       
   
     
     
     
   
     
      
 

      


       
     
     
    
       

17
     
     
      
    
    
    
     
     
     
      


Artinya : 11. “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)


anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang
anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang
saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi
oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui
siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

12. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sdsudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.

18
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”

Selain itu, dibahas juga di dalam Al-Quran Surat An-Nisaa ayat 176

    


     
     
       
     
     
   
    
      
   

Artinya : “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah


memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan
ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya
yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal”

5. Pembagian Harta Waris

Pembagian warisan dalam islam tidak hanya berdasarkan atas nasab-arti nasab
dan berdasarkan muhrim dalam islam saja. Ada spesifikasi dan pembagian yang
berbeda antar status keluarga. Dari ayat al-quran yang telah dijelaskan di atas, maka
dapat diambil beberapa poin untuk menjelaskan mengenai pembagian harta waris
dalam islam.

a. Ahli Waris yang Mendapat ½


1) Suami yang istrinya meninggal. Syaratnya adalah ia tidak memiliki keturunan
(laki-laki atau perempuan), walaupun keturunan tersebut adalah anak tiri.
2) Anak kandung perempuan. Syaratnya adalah ia tidak memiliki anak laki-laki
dan anak perempuan tersebut adalah anak tunggal.

19
3) Cucu Perempuan dari keturunan anak laki-laki. Syaratnya adalah cucu
tersebut tidak memiliki anak laki-laki, merupakan cucu tunggal (satu-
satunya), dan tidak memiliki anak perempuan ataupun anak laki-laki.
4) Saudara kandung perempuan. Syaratnya saudara tersebut adalah seorang diri
dan tidak memiliki saudara lain. Ia pun tidak memiliki ayah atau kakek atau
keturunan (anak laki-laki ataupun perempuan)
5) Saudara perempuan yang se ayah. Syaratnya adalah ia tidak memiliki saudara
(hanya seorang diri) dan tidak memiliki saudara kandung. Ia pun tidak
memiliki ayah atau kakek.

b. Ahli Waris yang Mendapat ¼


1) Suami yang ditinggalkan istrinya. Syaratnya adalah istri memiliki anak atau
cucu dari keturunan laki-lakinya. Cucu tersebuit bisa dari darah dagingnya
atau tidak.
2) Istri yang ditinggal suaminya. Syaratnya adalah suami tidak memiliki anak
atau cucu

c. Waris yang mendapat 1/8


• Istri yang ditinggalkan oleh suaminya yang memiliki keturunan baik laki-laki
atau perempuan, baik anak tersebut berasal dari rahimnya atau bukan

d. Ahli Waris yang mendapat 2/3


1) Dua orang anak kandung perempuan atau lebih yang tidak memiliki saudara
laki-laki
2) Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laku yang dengan syarat
bahwa pewaris tidak memiliki anak kandung dan tidak mempunyai saudara
laki-laki
3) Dua saudara perempuan atau lebih dengan syarat bahwa pewaris tidak
memiliki anak, tidak memiliki ayah atau kakek, dan tidak memiliki saudara
laki-laki
4) Dua perempuan yang satu ayah dengan syarat tidak memiliki anak, ayah, atau
kakek. Ia tidak memiliki saudara laki-laki se ayah dan tidak memiliki saudara
kandung

e. Ahli Waris yang mendapat 1/3


1) Ibu yang tidak memiliki anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki.
Ia tidak memiliki dua atau lebih saudara kandung atau tidak kandung

20
2) Saudara perempuan dan laki-laki yang se ibu, tidak memiliki anak, ayah, atak
kakek. Jumlah saudara seibu tersebut adalah dua oranng atau lebih.

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang


sakinah, mawaddah, dan rahmah. Adapun hikmah-hikmah perkawinan adalah dengan
pernikahan maka akan memelihara gen manusia, menjaga diri dari terjatuh pada
kerusakan seksual dll.

Nikah ditinjau dari segi hukum syar’i ada lima macam ialah sunnah, mekruh,
wajib, haram dan mubah.

B. Saran

Demikianlah makalah tentang “Nikah” yang dapat kelompok kami sampaikan.


Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak
kesalahan. Untuk itu kami mohon maaf dan kritikannya yang membangun untuk
perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat. Amin.

22
DAFTAR PUSTAKA

Hakim., D. N. 1988. Pendidikan Agama Islam. Dalam Pendidikan Agama Islam.


Bandung: Ganeca Exac.

Islam, T. D. (2016). Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi . Dalam


Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi . Padang: Unp Press.

Rasjid, H. S. (1976 ). Fiqh Islam. Dalam Fiqh Islam. Bandung: Attahiriyah.

Saiban, Kasuwi. 2011. Hukum kewarisan dalam islam. Malang : UNMER press.

Syarifudin, Amir. 2005. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta : Prenada Media.

23

Anda mungkin juga menyukai