Anda di halaman 1dari 33

TINDAK LANJUT TERHADAP STAF YANG TERPAPAR PENYAKIT INFEKSIUS

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keselamatan (safety) telah menjadi issue global termasuk juga untuk
rumah sakit. Ada lima (5) issue penting yang terkait dengan keselamatan (safety)
rumah sakit, yaitu : keselamatan pasien (patient safety), keselamatan pekerja
atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit
yang bisa berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas, keselamatan
lingkungan (green productivity) yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan
dan keselamatan “bisnis” rumah sakit yang terkait dengan kelangsungan hidup
rumah sakit. Kelima aspek keselamatan tersebut sangatlah penting untuk
dilaksanakan di setiap rumah sakit. Keselamatan bukan hanya milik pasien semata,
melainkan petugas kesehatan sebagai pelaku kesehatan juga memerlukan
perlindungan keselamatan terutama dalam hal selama melakukan perawatan
kepada pasien (Iswanto 2013).
Petugas pelayanan kesehatan termasuk staf penunjang (misalnya petugas
rumah tangga, peralatan dan laboratorium), yang bekerja di fasilitas kesehatan
beresiko terpapar pada infeksi yang secara potensial membahayakan jiwa.
Misalnya di Amerika Serikat, lebih dari 800.000 luka karena tertusuk jarum suntik
terjadi setiap tahun walaupun telah dilakukan pendidikan berkelanjutan dan upaya
pencegahan kecelakaan tersebut (Rogers, 1997).
Upaya untuk mengurangi kecelakaan akibat bekerja perlu mendapatkan
perhatian. Dalam tindakan menyuntik misalnya petugas kesehatan perlu dibekali
pengetahuan, sikap dan ketrampilan tentang standar operasional presedur yang
berlaku di rumah sakit dan prinsip-prinsip pencegahan infeksi yang berfungsi
sebagai pedoman dalam melaksanakan suatu tindakan dalam menyuntik yang
aman karena tindakan sekecil apapun yang berhubungan dengan nyawa manusia
dapat menimbulkan resiko terhadap petugas kesehatan dan pasien (Potter dan
Perry, 2006).
Luka jarum suntik sering terjadi pada lingkungan pelayanan kesehatan
yang melibatkan jarum sebagai alat kerjanya. Peristiwa ini menjadi perhatian bagi
pelayanan rumah sakit karena risiko untuk menularkan penyakit melalui darah,
seperti virus Hepatitis B (HBV), virus Hepatitis C (HCV), dan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) (Kemenkes RI ,2011). Keamanan Kerja dan
Pelayanan Kesehatan (Occupational Safety and Health Administation, OSHA),
pada tahun 1991 mengeluarkan sebuah mandat tindakan kewaspadaan yang
disebut kewaspadaan standar (Standart Precaution) yang menyatakan bahwa
institusi harus menyediakan alat pelindung untuk pegawai guna mencegah
penularan pathogen yang ditularkan melalui darah, karena rute pajanan penyakit
yang ditularkan melalui darah paling sering berasal dari jarum suntik
(Bohony,1993). Dewasa ini banyak institusi menyuplai “Spuit pengaman
(safety Syringes) untuk perawat yang digunakan ketika memberi injeksi (Potter &
Perry, 2006). Pencegahan universal berprinsip, setiap pasien berpotensi
menularkan virus hepatitis B, hepatitis C dan HIV (Human Immunodeficiency
Virus) melalui darah dan cairan tubuhnya. Pencegahan tersebut penting sebab
selama ini di rumah sakit petugas kesehatan kerap mengalami kecelakaan tertusuk
jarum bekas pakai. Kecelakaan tertusuk jarum dapat terjadi, misalnya ketika
petugas kesehatan menyuntik pasien yang tiba tiba bergerak spontan saat ujung
jarum menusuk kulitnya. Selain itu yang juga rawan adalah saat petugas kesehatan
melakukan recapping (memasukan dengan tangan jarum suntik bekas pakai pada
tutupnya sebelum dibuang).
Cedera akibat tusukan jarum pada petugas kesehatan merupakan masalah
yang signifikan dalam institusi pelayanan kesehatan dewasa ini maka
diharapkan petugas kesehatan memahami prosedur penatalaksanaan needle stick
injury. Saat ini Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi RS Mulia Amuntai telah
memantau kejadian tertusuk jarum dan memiliki prosedur tetap penanganan
tertusuk jarum. Hal ini dilakukan di RS Mulia Amuntai sebab hal ini sangat
penting dilakukan untuk mengurangi dampak pajanan yang mungkin terjadi.
Terkadang paparan terhadap darah yang disebabkan oleh tertusuk jarum
meningkatkan risiko infeksi virus yang ditularkan melalui darah seperti virus
Hepatitis B (HBV) dengan risiko 5-40%, virus Hepatitis C (HCV) dengan risiko 3-
10% dan human immunodeficiency virus (HIV) dengan risiko 0,2 – 0,5% "
(WHO,2013).
Berdasarkan studi literatur di atas tentang kejadian dan penatalaksanaan
needle stick injury di Rumah Sakit maka sangat diperlukan suatu terobosan baru
untuk mengatasi kejadian needle stick injury. Strategi untuk meningkatkan
pengetahuan petugas kesehatan dalam kewaspadaan Universal adalah dengan
memberikan edukasi dan pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan petugas kesehatan tentang presedur penatalaksanaan needle stik
injury.
B. Tujuan pengendalian infeksi
Program pencegahan dan pengendalian infeksi bertujuan untuk
melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan lain - lain di dalam
lingkungan rumah sakit serta penghematan biaya dan meningkatkan kualitas
pelayanan rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya dan yang paling penting
adalah menurunkan angka kejadian infeksi nosokomial (Scheckler et al. 1998).

C. Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi


Menurut Depkes RI (2008) strategi pencegahan dan pengendalian infeksi
terdiri dari: 1) Peningkatan daya tahan pejamu. Daya tahan pejamu dapat
meningkat dengan pemberian imunisasi aktif (contoh vaksinasi Hepatitis B),
pemberian imunisasi pasif (imunoglobulin). Promosi kesehatan secara umum
termasuk nutrisi yang adekuat akan meningkatkan daya tahan tubuh, 2)
Inaktivasi agen penyebab infeksi. Inaktivasi agen infeksi dapat dilakukan
dengan metode fisik maupun kimiawi. Contoh metode fisik adalah pemanasan
(Pasteurisasi atau Sterilisasi) dan memasak makanan seperlunya. Metode
kimiaw termasuk klorinasi air, disinfeksi, 3) Memutus rantai penularan. Hal
ini merupakan cara yang paling mudah untuk mencegah penularan penyakit
infeksi, tetapi hasilnya sangat bergantung kepada ketaatan petugas dalam
melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan. Tindakan pencegahan ini telah
disusun dalam suatu Isolation Precautions (Kewaspadaan Isolasi) yang terdiri
dari dua pilar/tingkatan yaitu Standard Precaution (Kewaspadaan Standar)
dan Transmission-based Precautions (Kewaspadaan Berdasarkan Cara
Penularan), 4) Tindakan pencegahan paska pajanan (Post Exposure Prophylaxis/
PEP) terhadap petugas kesehatan. Hal ini terutama berkaitan dengan pencegahan
agen infeksi yang ditularkan melalui darah dan cairan tubuh lainnya, yang sering
terjadi karena luka tusuk jarum bekas pakai atau pajanan lainnya.

D. Kewaspadaan standar (Standard precautions)


Berdasarkan WHO (2004) kewaspadaan standar adalah prinsip
kewaspadaan sebagai bagian manajemen resiko pada pengendalian infeksi RS
yang dilaksanakan secara menyeluruh oleh setiap petugas berdasarkan
perhitungan besar resiko transmisi infeksi yang dihadapi pada setiap pelayanan
rawat jalan maupun rawat inap untuk melindungi pasien, petugas, pengunjung
maupun lingkungan RS. Prinsip kewaspadaan standar meliputi : Kebersihan
tangan, APD, Perawatan peralatan pasien, Pengendalian lingkungan, Pemrosesan
peralatan pasien dan penatalaksanaan linen, Kesehatan karyawan/Perlindungan
petugas kesehatan, Penempatan pasien, Hygiene respirasi/Etika batuk, Praktek
menyuntik yang aman, Praktek pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi.
BAB II
RUANG LINGKUP
Kebijakan ini diberikan kepada semua staf di Rumah Sakit dan semua bagian
(termasuk staf dan dokter) yang menggunakan atau berisiko terpapar benda tajam.
Ruang lingkup program PPI meliputi kewaspadaan isolasi, penerapan PPI terkait
pelayanan kesehatan (Health Care Associated Infections/HAIs) berupa langkah
yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya HAIs (bundles), surveilans HAIs,
pendidikan dan pelatihan serta penggunaan anti mikroba yang bijak. Disamping
itu, dilakukan monitoring melalui Infection Control Risk Assesment (ICRA),
audit dan monitoring lainya secara berkala. Dalam pelaksanaan PPI, Rumah Sakit,
wajib menerapkan seluruh program PPI sedangkan untuk fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya, penerapan PPI disesuaikan dengan pelayanan yang di lakukan
pada fasilitas pelayanan kesehatan tersebut.
BAB III
TATA LAKSANA

1) Kebersihan tangan

Menurut WHO (2004) kebersihan tangan yang tepat dapat meminimalkan

mikro-organisme yang diperoleh dari tangan selama tugas sehari-hari dan ketika ada

kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi dan peralatan yang

terkontaminasi dikenal dan tidak dikenal. Ada enam langkah dalam kebersihan

tangan sebagai berikut : 1) Gosokkan kedua telapak tangan, 2) Gosok punggung

tangan kiri dengan telapak tangan kanan, lakukan sebaliknya, 3) Gosokkan kedua

telapak tangan dengan jari-jari tangan saling menyilang, 4) Gosok ruas jari

tangan kiri dengan ibu jari tangan kanan, lakukan sebaliknya, 5) Gosok ibu jari

tangan kiri dengan telapak tangan kanan secara memutar, lakukan sebaliknya, 6)

Gosokkan semua ujung jari tangan kanan di atas telapak tangan kiri, lakukan

sebaliknya.

Berdasarkan pedoman PPIRS RSUP HAM (2012) ada lima momen untuk

kebersihan tangan yaitu : 1) Sebelum menyentuh pasien, 2) Sebelum prosedur

bersih/aseptik, 3) Setelah terpapar cairan tubuh, 4) Setelah menyentuh pasien, 5)

Setelah menyentuh lingkungan sekitar pasien. Sedangkan menurut Depkes RI (2008)

penggunaan handrub antiseptik untuk tangan yang bersih lebih efektif

membunuh flora residen dan flora transien. Antiseptik ini cepat dan mudah

digunakan serta menghasilkan penurunan jumlah flora tangan awal yang lebih.

Teknik untuk rnenggosok tangan dengan antiseptik : 1) Tuangkan secukupnya

handrub berbasis alkohol untuk dapat mencakup seluruh permukaan tangan dan

jari (kira-kira satu sendok teh), 2) Gosokkan larutan dengan teliti dan benar pada

kedua belah tangan, khususnya diantara jari-jemari dan di bawah kuku hingga

kering.
2) Alat Pelindung Diri

Menurut WHO (2004) penggunaan alat pelindung diri memberikan

penghalang fisik antara mikro - organisme dan pemakainya. Alat pelindung diri

meliputi sarung tangan, masker, alat pelindung mata (pelindung wajah dan kaca

mata), topi, gaun, apron, sepatu dan pelindung lainnya. Alat pelindung diri harus

digunakan oleh : 1) Petugas kesehatan yang memberikan perawatan langsung kepada

pasien dan yang bekerja dalam situasi di mana mereka mungkin memiliki kontak

dengan cairan darah, tubuh, ekskresi atau sekresi, 2) Staf dukungan termasuk

pembantu medis, pembersih, dan staf laundry di situasi di mana mereka mungkin

memiliki kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi dan ekskresi, 3) Staf

laboratorium yang menangani spesimen pasien dan 4) Anggota keluarga yang

memberikan perawatan kepada pasien dan berada dalam situasi di mana mereka

mungkin memiliki kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi dan ekskresi.

Berdasarkan Depkes RI (2008) pedoman umum alat pelindung diri sebagai

berikut : 1) Tangan harus selalu dibersihkan meskipun menggunakan APD, 2)

Lepas dan ganti bila perlu segala perlengkapan APD yang dapat digunakan

kembali yang sudah rusak atau sobek segera setelah anda mengetahui APD

tersebut tidak berfungsi optimal, 3) Lepaskan semua APD sesegara mungkin

setelah selesai memberikan pelayanan dan hindari kontaminasi terhadap : a)

Lingkungan di luar ruang isolasi, b) Para pasien atau pekerja lain, c) Diri anda
sendiri, 4) Buang semua perlengkapan APD dengan hati-hati dan segera membersihkan

tangan : a) Perkirakan risiko terpajan cairan tubuh sesuai atau area terkontaminasi sebelum

melakukan kegiatan perawatan kesehatan, b) Pilih APD dengan perkiraan risiko terjadi

pajanan, c) Menyediakan sarana APD bila emergensi dibutuhkan untuk dipakai.

Pedoman PPIRS RSUP HAM (2012) menyatakan prinsip-prinsip PPI yang perlu

diperhatikan pada pemakaian APD yaitu : 1) Gaun pelindung, tutupi badan sepenuhnya dan

leher hingga lutut, lengan hingga bagian pergelangan tangan dan selubungkan ke belakang

punggung, ikat di bagian belakang leher dan pinggang, 2) Masker, eratkan tali atau karet

elastis pada bagian tengah kepala dan leher, paskan klip hidung dan logam fleksibel pada

batang hidung, paskan dengan erat pada wajah dan di bawah dagu sehingga melekat dengan

baik, periksa ulang pengepasan masker, 3) Kacamata atau pelindung wajah, pasang pada

wajah dan mata dan sesuaikan agar pas, 4) Sarung tangan ditarik hingga menutupi bagian

pergelangan tangan gaun isolasi. Masloman et al. (2015) menyatakan beberapa faktor

yang mempengaruhi petugas kesehatan menggunakan APD dalam menjamin

keselamatannya sebelum bersentuhan dengan pasien dan melakukan tindakan yaitu

motivasi, perilaku, kebiasaan maupun ketersediaan APD tersebut. Sedangkan menurut

Green (1990) menyatakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan dan termasuk

faktor pemungkin adanya ketersediaan fasilitas.


3) Sterilisasi alat

Menurut Depkes (2003) pengelolaan alat-alat kesehatan bertujuan untuk

mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan atau untuk menjamin alat

tersebut dalam keadaan steril dan siap pakai.

WHO (2004) bahwa pengolahan ulang instrumen dan peralatan, berisiko

infeksi mentransfer dari instrumen dan peralatan tergantung pada faktor-faktor

berikut : 1) Adanya mikro-organisme, jumlah dan virulensi organisme, 2) Jenis

prosedur yang akan dilakukan (invasif atau non-invasif), 3) Bagian tubuh mana

instrumen atau peralatan yang akan digunakan (menembus jaringan mukosa atau

kulit atau digunakan pada kulit utuh). Pengolahan ulang instrumen dan peralatan

dengan cara yang efektif meliputi: 1) Pembersihan instrumen dan peralatan segera

setelah digunakan untuk menghapus semua bahan organik, bahan kimia, 2)

Disinfeksi (oleh panas dan air atau disinfektan kimia), 3) Sterilisasi.

Sterilisasi alat/instrumen kesehatan pasca pakai di RS dilakukan dengan 2

cara yaitu secara fisika atau kimia, melalui tahapan pencucian (termasuk

perendaman dan pembilasan), pengeringan, pengemasan, labeling, indikatorisasi,

sterilisasi, penyimpanan, distribusi diikuti dengan pemantauan dan evaluasi proses

serta kualitas/mutu hasil sterilisasi secara terpusat melalui lnstalasi Pusat

Pelayanan Sterilisasi/Central Sterile Supply Department (CSSD). Pemrosesan alat

instrumen pasca pakai dipilih berdasarkan kriteria alat, dilakukan dengan

sterilisasi untuk alat kritikal, sterilisasi atau Desinfeksi Tingkat Tinggi (DTT)

untuk alat semi kritikal, disinfeksi tingkat rendah untuk non kritikal. Kriteria
pemilihan desinfektan didasari secara cermat terkait kriteria memiliki spektrum

luas dengan daya bunuh kuman yang tinggi dengan toksisitas rendah, waktu

disinfeksi singkat, stabil dalam penyimpanan, tidak merusak bahan dan efisien.

CSSD bertanggungjawab menyusun panduan dan prosedur tetap,

mengkoordinasikan, serta melakukan monitoring dan evaluasi proses serta

kualitas hasil sterilisasi dengan persetujuan Komite PPI RS.

Alur kerja penyediaan barang steril sebagai berikut : 1) Pengumpulan dan

serah terima/pencatatan alat/bahan non steril, 2) Pengumpulan linen kotor dan di

distribusikan ke laundry, 3) Dekontaminasi, 4) Perendaman/Desinfeksi yang

merupakan proses fisik atau kimia untuk membersihkan benda-benda yang

terkontaminasi oleh mikroba dengan melakukan perendaman sesuai label dan

instruksi produsen, 5) Pencucian semua alat-alat pakai ulang harus dicuci hingga

benar-benar bersih sebelum disterilkan, 6) Pengeringan, sebelum dilakukan setting

alat dan packing alat terlebih dahulu alat-alat dikeringkan yang dilakukan dengan

secara manual atau secara mekanikal, 7) Packing alat/bahan, semua material yang

tersedia untuk fasilitas kesehatan yang didesain untuk membungkus mengemas

dan menampung alat - alat yang dipakai ulang untuk sterilisasi, penyimpanan dan

pemakaian, 8) Labelling, proses identifikasi alat/instrumen sebulum dilakukan

proses sterilisasi (Pedoman PPIRS RSUP HAM, 2012).

4) Pengendalian lingkungan

Menurut WHO (2004) sebuah lingkungan yang bersih memainkan peranan

penting dalam pencegahan dari Hospital Associated Infeksi (HAI). Pengendalian


lingkungan RS meliputi penyehatan air, pengendalian serangga dan binatang

pengganggu, penyehatan ruang dan bangunan, pemantauan hygiene sanitasi

makanan, pemantauan penyehatan linen, disinfeksi permukaan udara, lantai,

pengelolaan limbah cair, limbah B3 limbah padat medis, non medis dikelola oleh

lnstalasi Kesehatan Lingkungan dan Sub Bagian Rumah Tangga bekerjasama

dengan pihak ketiga, berkoordinasi dengan komite PPI RS, sehingga aman bagi

lingkungan. Pengelolaan limbah padat medis dipisahkan dan dikelola khusus

sampai dengan pemusnahannya sesuai persyaratan Kementerian Lingkungan

Hidup sebagai limbah infeksius (ditempatkan dalam kantong plastik berwarna

kuning berlogo infeksius), limbah padat tajam (ditempatkan dalam wadah tahan

tusuk, tidak tembus basah dan tertutup). Pengelolaan limbah padat non medis

ditempatkan dalam kantong plastik berwarna hitam.

Prinsip metode pembersihan ruang perawatan dan lingkungan, pemilihan

bahan desinfektan, cara penyiapan dan penggunaannya dilaksanakan berdasarkan

telaah Komite PPI RS untuk mencapai efektivitas yang tinggi. Pernbersihan

lingkungan ruang perawatan diutamakan dengan metode usap seluruh permukaan

lingkungan menggunakan bahan desinfektan yang efektif, Pelaksanaan Panduan

PPI RS dan standar prosedur operasional tentang pengendalian lingkungan,

monitoring dan evaluasinya dilaksanakan oleh Instalasi Kesehatan Lingkungan

bersama sub Bagian Rumah Tangga berkoordinasi dengan komite PPI. Baku mutu

berbagai parameter pengendalian lingkungan dievaluasi periodik dengan

pemeriksaan parameter kimia, biologi surveilans angka dan pola kuman

lingkungan berdasarkan standar Kepmenkes Rl No.416/MenKes/Per/|x1990


tentang persyaratan Kualitas Air Bersih dan Air Minum, Kepmenkes Rl No.

492lMenKes/sKA/ll/2010 tentang persyaratan Kualitas Air Minum, Kepmenkes

Rl No, l204/Menkes/X/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan RS.

Tahap Pengelolaan Limbah sebagai berikut : 1) Identifikasi Limbah :

padat, cair, tajam, infeksius, non infeksius, 2) Pemisahan : pemisahan dimulai

dari awal penghasil limbah, pisahkan limbah sesuai dengan jenis limbah,

tempatkan limbah sesuai dengan jenisnya, limbah cair segera dibuang ke wastafel

di spoelhok, 3) Labeling : limbah padat infeksius, plastik kantong kuning yang

diberi symbol biohazard, limbah padat non infeksius, plastik kantong warna

hitam, limbah benda tajam, wadah tahan tusuk dan air /jerigen yang diberi symbol

biohazard, 4) Packing : tempatkan dalam wadah limbah tertutup, tutup mudah

dibuka, kontainer dalam keadaan bersih, kontainer terbuat dari bahan yang kuat,

ringan dan tidak berkarat, 5) Tempatkan setiap kontainer limbah pada jarak 10 -

20 meter, ikat limbah jika sudah terisi 3/4 penuh, kontainer limbah harus dicuci

setiap hari, 6) Penyimpanan : simpan limbah di tempat penampungan sementara

khusus, tempatkan limbah dalam kantong plastik dan ikat dengan kuat, beri label

pada kantong plastik limbah, setiap hari limbah diangkat dari tempat

penampungan sementara, 7) Pengangkutan : mengangkut limbah harus

menggunakan kereta dorong khusus, kereta dorong harus kuat, mudah

dibersihkan, tertutup, tidak boleh ada yang tercecer, sebaiknya lift pengangkut

limbah berbeda dengan lift pasien, gunakan alat pelindung diri ketika menangani

limbah, tempat penampungan sementara harus di area terbuka, terjangkau (oleh

kendaraan), aman dan selalu dijaga kebersihannya dan kondisi kering, 8)


Treatment : limbah infeksius dimasukkan dalam incenerator, limbah non infeksius

dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), limbah benda tajam dimasukkan

dalam incenerator, limbah cair dalam wastafel di ruang spoelhok, limbah feces

dan urine ke dalam WC yang langsung dialirkan ke IPAL (Instalasi Pengolahan

Air Limbah), 9) Penanganan Limbah Benda Tajam : jangan menekuk atau

mematahkan benda tajam, jangan meletakkan limbah benda tajam sembarang

tempat, segera buang limbah benda tajam ke kontainer yang tersedia tahan tusuk

dan tahan air dan tidak bisa dibuka lagi, selalu buang sendiri oleh si pemakai,

tidak menyarungkan kembali jarum suntik habis pakai, kontainer benda tajam

diletakkan dekat lokasi tindakan, 10) Penanganan Limbah Pecahan Kaca :

gunakan sarung tangan rumah tangga, gunakan kertas koran untuk mengumpulkan

pecahan benda tajam tersebut, kemudian bungkus dengan kertas, masukkan dalam

kontainer tahan tusukan beri label, 11) Unit Pengelolaan Limbah Cair :

pengolahan limbah cair dengan sistim bakteri Aerob di IPAL (Pedoman PPIRS

RSUP HAM, 2012). Pruss (2005) menyatakan proses pengelolaan limbah medis

pada tahap pemilahan dilakukan oleh perawat dan tahap pengangkutan oleh

petugas kebersihan.

5) Pengelolaan linen

Manajemen linen yang baik merupakan salah satu upaya untuk

menekan kejadian infeksi nosokomial. Selain itu pengetahuan dan perilaku

petugas kesehatan juga mempunyai peran yang sangat penting. Pengelolaan linen

bertujuan mencegah kontaminasi linen kotor atau infeksius kepada petugas, pasien
dan lingkungan, meliputi proses pengumpulan, pemilahan, pengangkutan linen

kotor, pemilahan dan teknik pencucian sampai dengan pengangkutan dan

distribusi linen bersih. Pengelolaan linen kotor dan bersih secara terpisah untuk

mengurangi risiko infeksi pada pasien, petugas dan lingkungan dilakukan

menyeluruh dan sistematis agar mencegah kontaminasi, di bawah tanggung jawab

lnstalasi Laundry berkoordinasi dengan Komite PPI RS. Jenis linen di RS

diklasifikasikan menjadi linen bersih, linen steril, linen kotor infeksius, linen

kotor non infeksius (linen kotor berat dan linen kotor ringan). Pencegahan

kontaminasi lingkungan maupun pada petugas dilakukan dengan disinfeksi kereta

linen, pengepelan/disinfeksi lantai, implementasi praktik kebersihan tangan,

penggunaan APD sesuai potensi risiko selama bekerja (Pedoman PPIRS RSUP

HAM, 2012).

Prinsip-prinsip dasar pengelolaan linen adalah sebagai berikut: linen yang

sudah digunakan tempatkan di tas yang tepat, linen kotor dengan cairan tubuh

atau cairan lain tempatkan dalam tas kedap air yang cocok dan aman untuk

transportasi untuk menghindari tumpahan atau menetes darah, cairan tubuh,

sekresi atau ekskresi. Jangan membilas atau memilah linen di daerah perawatan

pasien. Handle semua linen dengan agitasi minimum untuk menghindari

aerosolisation daripatogen mikro-organisme. Separate bersih dari linen kotor dan

transportasi secara terpisah.Pencucian linen (seprai, selimut kapas) dalam air

panas (70 ° C hingga 80 ° C)dan deterjen, bilas dan keringkan sebaiknya dalam

pengeringan atau di bawah sinar matahari. Autoclave linen sebelum dipasok ke

kamar operasi. Pencucian selimut wol dalam air hangat dan keringkan di bawah
sinar matahari, di pengering pada suhu dingin atau kering-bersih (WHO, 2004).

6) Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) petugas di RS

Kesehatan dan keselarnatan kerja petugas di RS terkait risiko penularan

infeksi karena merawat pasien maupun identifikasi risiko petugas yang mengidap

penyakit menular dilaksanakan oleh Unit K3RS berkoordinasi dengan Komite PPI

RS. Pencegahan penularan infeksi pada dan dari petugas dilakukan dengan

pengendalian administratif untuk petugas yang rentan tertular infeksi ataupun

berisiko menularkan infeksi dikoordinasikan Unit K3 RS bersama Komite PPI RS

dan Bagian Sumber Daya Manusia (SDM) berupa penataan penempatan SDM,

pemberian imunisasi, dan sosialisasi PPI berkala khususnya di tempat risiko tinggi

infeksi. Perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kondisi kesehatan petugas

dilakukan dengan pemeriksaan kesehatan prakarya dan berkala sesuai faktor risiko

di tempat kerja. Perencanaan, pengadaan dan pengawasan penggunaan alat

pelindung diri petugas dari risiko infeksi yang berupa alat/ bahan tidak habis pakai

dikelola Unit K3 RS berkoordinasi dengan Komite PPI RS. Unit K3RS

berkoordinasi dengan Komite PPI RS mengembangkan panduan dan menyusun

standar pelaporan dan penanganan kejadian kecelakaan kerja terkait pajanan

infeksi, mensosialisasikan, memonitor pelaksanaan, serta melakukan evaluasi

kasus dan menyusun rekomendasi tindaklanjutnya. Surveilans pada petugas dan

pelaporannya dilakukan secara teratur, berkesinambungan, periodik oleh unit

K3RS berkoordinasi dengan PPI RS.


Petugas kesehatan berada pada risiko tertular infeksi melalui karyawan

Rumah Sakit. Ketika bekerja juga dapat menularkan infeksi ke pasien dan

karyawan lainnya. Dengan demikian, program kesehatan karyawan harus berada

di tempat untuk mencegah dan mengelola infeksi pada staf rumah sakit. kesehatan

karyawan harus ditinjau pada perekrutan, termasuk riwayat imunisasi dan

penyakit menular sebelumnya (Misal TBC) dan status kekebalan. Beberapa

infeksi sebelumnya seperti virus varicella-zoster dapat dinilai dengan uji

serologis. Imunisasi dianjurkan untuk staf meliputi: hepatitis A dan B, influenza,

campak, gondok, rubella, tetanus, dan difteri. Imunisasi terhadap varicella, rabies

dapat dipertimbangkan dalam kasus-kasus tertentu. Mantoux tes kulit akan

mendokumentasikan tuberkulosis sebelumnya (TB). Kebijakan pasca-paparan

spesifik harus dikembangkan, dan kepatuhan dipastikan untuk sejumlah penyakit

menular misalnya : Human Immunodeficiency Virus (HIV), virus hepatitis,

sindrom pernapasan akut parah (SARS), varicella, rubella dan TBC. Pekerja

perawatan kesehatan dengan infeksi harus melaporkan penyakit mereka/insiden

untuk staf klinik untuk evaluasi dan pengelolaan selanjutnya (WHO, 2004).

Bolyard EA, et al. (1998) mengatakan fasilitas kesehatan harus memiliki

program pencegahan dan pengendalian infeksi bagi petugas kesehatan. Depkes

RI, (2007) menyatakan bahwa petugas kesehatan saat menjadi karyawan baru

harus diperiksa riwayat pernah infeksi apa dan status imunisasinya. Imunisasi

yang dianjurkan untuk petugas kesehatan adalah Hepatitis B, dan bila

memungkinkan A, influenza, campak, tetanus, difteri, dan rubella.


7) Penempatan pasien/Kewaspadaan pasien

Penanganan pasien dengan penyakit menular/suspek sebagai berikut : 1)

Terapkan dan lakukan pengawasan terhadap kewaspadaan standar. Untuk

kasus/dugaan kasus penyakit menular melalui udara, 2) Letakkan pasien di dalam

satu ruangan tersendiri. Jika ruangan tersendiri tidak tersedia, kelompokkan kasus

yang telah dikonfirmasi secara terpisah di dalam ruangan atau bangsal dengan

beberapa tempat tidur dari kasus yang belum dikonfirmasi atau sedang didiagnosis

(kohorting). Bila ditempatkan dalam 1 ruangan, jarak antar tempat tidur harus

lebih dari 2 meter dan diantara tempat tidur harus ditempatkan penghalang fisik

seperti tirai atau sekat, 3) Jika memungkinkan, upayakan ruangan tersebut dialiri

udara bertekanan negatif yang di monitor (ruangan bertekanan negatif) dengan 6-

12 pergantian udara per jam dan sistem pembuangan udara keluar atau

menggunakan saringan udara partikufasi efisiensi tinggi (filter HEPA) yang

termonitor sebelum masuk ke sistem sirkulasi udara lain di rumah sakit, 4) Jika

tidak tersedia ruangan bertekanan negatif dengan sistem penyaringan udara

partikulasi efisiensi tinggi, buat tekanan negatif di dalam ruangan pasien dengan

memasang pendingin ruangan atau kipas angin di jendela sedemikian rupa agar

aliran udara ke luar gedung melalui jendela. Jendela harus membuka keluar dan

tidak mengarah ke daerah publik. Uji untuk tekanan negatif dapat dilakukan

dengan menempatkan sedikit bedak tabur dibawah pintu dan amati apakah

terhisap ke dalam ruangan. Jika diperlukan kipas angin tambahan di dalam

ruangan dapat meningkatkan aliran udara, 5) Jaga pintu tertutup setiap saat dan

jelaskan kepada pasien mengenai perlunya tindakan- tindakan pencegahan ini, 6)


Pastikan setiap orang yang memasuki ruangan memakai APD yang sesuai, masker

(bila memungkinkan masker efisiensi tinggi harus digunakan, bila tidak, gunakan

masker bedah sebagai alternatif), gaun, pelindung wajah atau pelindung mata dan

sarung tangan, 7) Pakai sarung tangan bersih, non-steril ketika masuk ruangan, 8)

Pakai gaun yang bersih, non-steril ketika masuk ruangan jika akan berhubungan

dengan pasien atau kontak dengan permukaan atau barang-barang di dalam

ruangan.

Pertimbangan pada saat penempatan pasien antara lain : 1) Kamar terpisah

bila dimungkinkan kontaminasi luas terhadap lingkungan, misal: luka lebar

dengan cairan keluar, diare, perdarahan tidak terkontrol, 2) Kamar terpisah dengan

pintu tertutup diwaspadai transmisi melalui udara ke kontak, misal: luka dengan

infeksi kuman gram positif, 3) Kamar terpisah atau kohort dengan ventilasi

dibuang keluar dengan exhaust ke area tidak ada orang lalu lalang, misal : TBC,

4) Kamar terpisah dengan udara terkunci bila diwaspadai transmisi airborne luas,

misal: varicella, 5) Kamar terpisah bila pasien kurang mampu menjaga kebersihan

(anak, gangguan mental), 6) Bila kamar terpisah tidak memungkinkan dapat

kohorting. Bila pasien terinfeksi dicampur dengan non infeksi maka pasien,

petugas dan pengunjung menjaga kewaspadaan untuk mencegah transmisi infeksi

(Pedoman PPIRS RSUP HAM, 2012).

8) Hygiene respirasi/Etika batuk

Etika batuk merupakan suatu teknik yang dirancang untuk

meminimalkan penularan patogen pernapasan melalui rute droplet atau udara


(CDC, 2012). Kebersihan pernafasan dan etika batuk adalah dua cara penting

untuk mengendalikan penyebaran infeksi di sumbernya. Semua pasien,

pengunjung dan petugas kesehatan harus dianjurkan untuk selalu mematuhi etika

batuk dan kebersihan pernafasan untuk mencegah sekresi pernafasan. Ada

beberapa hal yang harus dilakukan saat batuk atau bersin yaitu : 1) Tutup hidung

dan mulut dengan tisu, 2) Buang jaringan yang digunakan dalam wadah limbah

terdekat, 3) Lakukan kebersihan tangan dengan sabun dan air atau larutan

antiseptik (Depkes RI, 2008).

9) Praktek menyuntik yang aman

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam praktek menyuntik yang aman

berdasarkan WHO (2004) sebagai berikut : 1) Berhati-hati untuk mencegah cedera

saat menggunakan jarum, pisau bedah dan instrumen atau peralatan tajam lainnya,

2) Gunakan jarum suntik sekali pakai, pisau bedah dan benda tajam lainnya, 3)

Tempatkan item benda tajam dalam wadah tahan tusukan dengan tutup yang

menutup dan terletak dekat dengan daerah di mana item tersebut digunakan, 4)

Berhati-hati ketika membersihkan instrumen atau peralatan tajam yang dapat

digunakan kembali, 6) Benda tajam harus tepat desinfeksi dan dimusnahkan

sesuai pedoman atau standar nasional. Sedangkan untuk penanganan benda tajam

menurut Tietjen (2004) yaitu: 1) Tidak disarankan untuk menyarungkan kembali

atau melepaskan spuit, 2) Memasukkan benda- benda tajam tersebut ke dalam

wadah sebelum diinsersi. Daley & Karen (2004) menjelaskan Center for Disease

Control (CDC) memperkirakan setiap tahun terjadi 385.000 kejadian luka


akibat benda tajam yang terkontaminasi darah pada tenaga kesehatan di rumah

sakit di Amerika. Pekerja kesehatan beresiko terpapar darah dan cairan tubuh

yang terinfeksi (bloodborne pathogen) yang dapat menimbulkan infeksi HBV

(Hepatitis B Virus), HCV (Hepatitis C Virus) dan HIV (Human Imunodefisiensi

Virus) melalui berbagai cara, salah satunya melalui luka tusuk jarum atau yang

dikenal dengan istilah Needle Stick Injury (NSI).

10) Praktek pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi.

Pemakaian masker pada insersi cateter atau injeksi suatu obat kedalam

area spinal epidural melalui prosedur lumbal punksi misal saat melakukan anastesi

spinal dan epidural, myelogram, untuk mencegah transmisi droplet flora orofaring

(WHO, 2004). Schulz-Stubnerr (2008) dalam Masloman (2015) menyatakan

infeksi yang terjadi akibat pemberian anestesi spinal di kamar operasi sangat

berbahaya dari 100.000 prosedur anestesi spinal didapatkan angka kejadian

meningitis yang berhubungan dengan pemberian anestesi spinal sebesar 3,7-7,2.

Sedangkan kejadian epidural abses berkisar antara 0,2 sampai 83/100.000

prosedur anestesi spinal. Kebersihan tangan dan pemakaian alat pelindung diri

sebelum melakukan pemberian anestesi spinal merupakan salah satu cara

yang penting untuk menekan angka kejadian infeksi saat pemberian anestesi

spinal.
2.1.5 Kewaspadaan berdasarkan cara penularan

WHO (2004) bahwa kewaspadaan tambahan (berdasarkan transmisi)

tindakan pencegahan yang diambil sambil memastikan tindakan pencegahan

standar dipertahankan adalah tindakan pencegahan tambahan meliputi:

pencegahan airborne, pencegahan droplet dan pencegahan kontak.

Tindakan pencegahan airborne berikut harus diambil : tempatkan pasien di

satu ruangan yang memiliki aliran udara tekanan negatif dan dipantau, udara harus

dibuang ke luar rumah atau khusus disaring sebelum diedarkan ke area lain dari

fasilitas pelayanan kesehatan, pintu harus ditutup,setiap yang memasuki ruangan

harus memakai pakaian khusus, filtrasi tinggi, memakai masker, batasi gerakan

dan transportasi pasien dari kamar untuktujuan penting saja. Jika transportasi

diperlukan, meminimalkan penyebaran droplet nuklei dengan penggunaan masker

pada pasien dengan masker bedah.

Tindakan pencegahan droplet berikut harus diambil : tempatkan di satu

ruangan (di sebuah ruangan dengan pasien laindengan pasien terinfeksi oleh

patogen yang sama), gunakan masker bedah ketika bekerja dalam waktu 1-2 meter

dari pasien, gunakan masker bedah pada pasien jika transportasi diperlukan,

penanganan udara dan ventilasi tidak diperlukan untuk mencegah droplet

penularan infeksi.

Tindakan pencegahan kontak berikut harus diambil : tempatkan di satu

ruangan (di sebuah ruangan dengan pasien laindengan pasien terinfeksi oleh
patogen yang sama), Pertimbangkan epidemiologi dari penyakit dan populasi

pasien saat menentukan penempatan pasien, pakaian bersih, sarung tangan non -

steril ketika memasuki ruangan, gunakan gaun non - steril bersih ketika memasuki

ruangan jika kontak dengan pasien, permukaan lingkungan atau item dalam kamar

pasien diantisipasi, batasi gerakan dan transportasi pasien dari ruangan, pasien

harus dipindahkan untuk tujuan penting saja. Jika transportasi diperlukan

gunakan tindakan pencegahan untuk meminimalkan risiko penularan.

2.1.6 Surveilans

Surveilans lnfeksi RS (lRS) menurut Haley (1992); Pearl (1993); Depkes,

(2001), dilakukan secara sistematik aktif oleh IPCN yaitu perawat pengendali

infeksi purna waktu dan IPCLN yaitu perawat penghubung pengendali infeksi,

untuk menggambarkan tingkat kejadian berbagai penyakit infeksi target sesuai

pedoman surveilans IRS Kemenkes dan penyakit infeksi endemis di RS, target

surveilans yaitu : lSK terkait kateterisasi, infeksi luka operasi, plebitis lRS, dan

dekubitus, Ventilator Associated Pneumonia (VAP) & Hospital Associated

Pneumonia (HAP), Infeksi Aliran Darah Primer (IADP) dan diare.

Menurut Haley (1992); Pearl (1993); Depkes (2001) bahwa unsur-unsur

kegiatan surveilans meliputi : 1) Merumuskan kejadian yang akan diamati yaitu

kriteria jenis infeksi nosokomial, 2) Mengumpulkan data yang relevan secara

sistematik, 3) Mengolah dan menganalisa data sehingga mempunyai makna, 4)

Menyebarkan informasi dari analisa data yang diperoleh kepada seluruh


anggota rumah sakit dalam rangka program pencegahan dan pengendalian

infeksi.

2.2 Tugas IPCLN

Menurut Depkes RI & PERDALIN (2008) bahwa tugas IPCLN adalah

mengisi dan mengumpulkan formulir surveilans setiap pasien di unit rawat inap

masing-masing, kemudian menyerahkan nya kepada IPCN. Memberikan motivasi dan

teguran tentang pelaksanaan kepatuhan pencegahan dan pengendalian infeksi pada

setiap personil ruangan di unit rawatnya masing-masing. Memberitahukan kepada IPCN

apabila ada kecurigaan adanya infeksi nosokomial pada pasien. Berkoordinasi dengan

IPCN saat terjadi infeksi potensial KLB, penyuluhan bagi pengunjung di ruang

rawat masing-masing, konsultasi prosedur yang harus dijalankan bila belum faham.

Memonitor kepatuhan petugas kesehatan yang lain dalam menjalankan standar isolasi.

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial

Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya infeksi nosokomial yang

dikemukakan Darmadi (2008) adalah: 1) Faktor-faktor luar (extrinsic factor) yang

berpengaruh dalam proses terjadinya infeksi nosokomial seperti petugas

pelayanan medis (dokter, perawat, bidan, tenaga laboratorium, dan sebagainya),

peralatan, dan dan material medis (jarum, kateter, instrumen, respirator,

kain/doek, kassa, dan lain-lain), lingkungan seperti lingkungan internal seperti

ruangan /bangsal perawatan, kamar bersalin, dan kamar bedah, sedangkan

lingkungan eksternal adalah halaman rumah sakit dan tempat pembuangan


sampah/pengelolahan limbah, makanan/minuman (hidangan yang disajikan setiap

saat kepada penderita, penderita lain (keberadaan penderita lain dalam satu

kamar/ruangan/bangsal perawatan dapat merupakan sumber penularan),

pengunjung/keluarga (keberadaan tamu/keluarga dapat merupakan sumber

penularan), 2) Faktor-faktor yang ada dalam diri penderita (instrinsic factors)

seperti umur, jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi, atau adanya

penyakit lain yang menyertai (multipatologi) beserta komplikasinya 3). Faktor

keperawatan seperti lamanya hari perawatan (length of stay), menurunnya standar

pelayanan perawatan, serta padatnya penderita dalam satu ruangan, 4) Faktor

mikroba seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan merusak

jaringan, lamanya paparan (length of exposure) antara sumber penularan

(reservoir) dengan penderita. Green (1990) menyebutkan bahwa salah satu faktor

yang mempengaruhi perilaku seseorang adalah pengetahuan. CDC (2012)

memperkirakan sekitar 36% infeksi nosokomial dapat dicegah bila semua

petugas kesehatan diberikan pedoman khusus dalam pengkontrolan infeksi

ketika merawat pasien dan lingkungan rumah sakit. Menurut Rubin R. (2006)

bekerja dengan sumber daya manusia dan peralatan yang terbatas mempunyai

risiko 10 kali terjadi infeksi nosokomial. Ketersediaan fasilitas merupakan salah

satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan dan termasuk faktor pemungkin

(Green,1990).

Pelaksanaan praktik asuhan keperawatan untuk pengendalian infeksi

nosokomial adalah bagian dari peran perawat (WHO, 2002). Perawat sangat

berperan dalam pengendalian infeksi sebab perawat merupakan praktisi


kesehatan yang berhubungan langsung dengan klien dan bahan infeksius di

ruang rawat. Perawat juga bertanggung jawab menjaga keselamatan klien di

RS melalui pencegahan kecelakaan, cidera, atau trauma lain, dan melalui

pencegahan penyebaran infeksi (Abdellah 1960). Kepala ruangan (karu) perlu

terus menerus membina stafnya agar program pengendalian infeksi nosokomial

(IN) berjalan sesuai kesepakatan. Namun, tampaknya belum semua karu memahami

upaya tersebut secara tepat. Ini tercermin dari belum optimalnya upaya karu dalam

meningkatkan upaya pengendalian IN di ruangannya, khususnya dalam menjalankan

peran dan fungsi karu sebagai bagian dari tim PPIRS. Hal inilah yang mendorong

perlu adanya telaah lebih lanjut terhadap upaya karu dalam pengendalian IN,

(Handiyani et al. 2004).

2.4 Konsep Fenomenologi

Fenomenologi berasal dari kata fenomena dan logos. Fenomena berasal

dari kata kerja Yunani “phainesthai” yang berarti menampak, dan terbentuk dari

akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu

terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa kita berarti

cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang

menampakkan.

Fenomena dapat dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu

“menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua,

fenomena dari sudut kesadaran kita, karena fenomenologi selalu berada dalam

kesadaran kita. Oleh karena itu dalam memandang fenomena harus terlebih
dahulu melihat “penyaringan” (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang

murni (Moeryadi, 2009).

Menurut Donny (2005) fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi

kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelasi dengan kesadaran.

Fenomenologi juga merupakan sebuah pendekatan filosofis untuk menyelidiki

pengalaman manusia. Fenomenologi bermakna metode pemikiran untuk

memperoleh ilmu pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang ada

dengan langkah-langkah logis, sistematis kritis, tidak berdasarkan

apriori/prasangka, dan tidak dogmatis. Fenomenologi sebagai metode tidak hanya

digunakan dalam filsafat tetapi juga dalam ilmu-ilmu sosial dan pendidikan.

Smith et al. (2009) melakukan penelitian fenomenologi, melibatkan

pengujian yang teliti dan seksama pada kesadaran pengalaman manusia. Konsep

utama dalam fenomenologi adalah makna. Makna merupakan isi penting yang

muncul dari pengalaman kesadaran manusia. Untuk mengidentifikasi kualitas

yang essensial dari pengalaman kesadaran dilakukan dengan mendalam dan teliti.

Ada dua jenis penelitian fenomenologi yaitu fenomenologi deskriptif dan

fenomenologi interpretif (Polit dan Beck, 2008).

Pertama, fenomenologi deskriptif dikembangkan oleh Husserl pada tahun

1962. Jenis penelitian ini menekankan pada deskripsi pengalaman yang dialami

oleh manusia berdasarkan apa yang didengar, dilihat, diyakini, dirasakan, diingat,

dievaluasi, dilakukan, dan seterusnya. Fokus utama fenomenologi deskriptif


adalah „knowing’. Penelitian ini memiliki empat langkah, yaitu bracketing,

intuiting, analyzing, dan describing.

Bracketing merupakan proses mengidentifikasi dan membebaskan diri dari

teori-teori yang diketahuinya serta menghindari perkiraan-perkiraan dalam upaya

memperoleh data yang murni. Intuting merupakan langkah kedua dimana peneliti

tetap terbuka terhadap makna yang dikaitkan dengan fenomena yang dialami oleh

partisipan. Analyzing merupakan proses analisa data yang dilakukan melalui

beberapa fase seperti; mencari pernyataan-pernyataan signifikan kemudian

mengkategorikan dan menemukan makna esensial dari fenomena yang dialami.

Describing merupakan tahap terakhir dalam fenomenologi deskriptif. Langkah ini

peneliti membuat narasi yang luas dan mendalam tentang fenomena yang diteliti.

Fenomenologist dalam proses analisis data untuk fenomenologi deskriptif

adalah Collaizi (1978a), Giorgi (1985), dan Van Kaam (1959). Ketiga

fenomenologis tersebut berpedoman pada Filosofi Husserl yang mana fokus

utamanya adalah mengetahui gambaran sebuah fenomena.

Kedua, Interpretive Phenomenology dengan mempunyai pemahaman dan

interpretif (penafsiran), tidak sekedar deskripsi pengalaman manusia. Pengalaman

hidup manusia merupakan suatu proses interpretif dan pemahaman yang

merupakan ciri dasar keberadaan manusia. Penelitian interpretif bertujuan untuk

menemukan pemahaman dari makna pengalaman hidup dengan cara masuk ke

dalam dunia partisipan. Pemahaman yang dimaksud adalah pemahaman setiap

bagian dan bagian-bagian secara keseluruhan.


Polit & Beck ( 2008) menyatakan Van Manen adalah ahli fenomonelogi

interpretif yang berpedoman pada filosofi Heiddegrian. Metode analisis datanya

menggunakan kombinasi karakteristik pendekatan fenomenologi deskriptif dan

interpretif.

Van Manen (2006) dalam Polit dan Beck (2008) menekankan bahwa

pendekatan metode fenomenologi tidak terpisahkan dari praktik menulis.

Penulisan hasil analisa kualitatif merupakan suatu upaya aktif untuk memahami

dan mengenali makna hidup dari fenomena yang diteliti yang dituangkan dalam

bentuk teks tertulis. Teks tertulis yang dibuat oleh peneliti harus dapat

mengarahkan pemahaman pembaca dalam memahami fenomena tersebut. Van

Manen juga mengatakan identifikasi tema dari deskripsi partisipan tidak hanya

diperoleh dari teks tertulis hasil transkrip wawancara, tetapi juga dapat diperoleh

dari sumber artistik lain seperti literatur, musik, lukisan, dan seni lainnya yang

dapat menyediakan wawasan bagi peneliti dalam melakukan interpretasi dan

pencarian makna dari suatu fenomena.

Lincoln dan Guba (1985) mengemukakan penelitian kualitatif termasuk

fenomenologi perlu ditingkatkan kualitas dan integritas dalam proses

penelitiannya. Oleh karena itu, perlu diperiksa bagaimana tingkat keabsahan data

pada penelitian kualitatif termasuk fenomenologi. Tingkat keabsahan data dikenal

dengan istilah Trustworthiness of Data.


Guba & Lincoln (1994) menyatakan bahwa tingkat keabsahan data hasil

penelitian dapat dipercaya dengan memvalidasi data menurut beberapa kriteria,

yaitu credibility, transferability, dependability, confirmability dan authenticity.

Credibility mengacu pada keyakinan kebenaran data dan interpretasi data.

Peneliti kualitatif harus berusaha untuk membangun kepercayaan dalam

kebenaran temuan bagi peserta dan konteks penelitian. Kredibilitas melibatkan

dua aspek: pertama, melakukan penelitian dengan cara yang dapat meningkatkan

kepercayaan dari temuan, dan kedua, mengambil langkah-langkah untuk

menunjukkan kredibilitas dalam laporan penelitian. Beberapa teknik yang dapat

dilakukan peneliti untuk mempertahankan credibility antara lain teknik prolonged

engagement dan member check.

Transferability mengacu pada sejauh mana hasil temuan dapat ditransfer

atau diterapkan pada kelompok atau populasi yang lain. Hal ini bergantung pada

pengetahuan seorang peneliti tentang konteks pengirim dan konteks penerima.

Peneliti akan menguraikan secara rinci tentang data terkait dengan latar belakang

dan fenomena yang terjadi serta temuan di tempat penelitian untuk

memungkinkan perbandingan yang akan dibuat tentang temuan yang akan

didapat. Semua data tersebut dibuat dalam satu deskripsi tebal (thick description)

untuk memungkinkan seseorang tertarik dalam membuat transfer untuk mencapai

kesimpulan apakah transfer dapat dipikirkan sebagai kemungkinan.

Dependability mengacu pada stabilitas (reliability) data dari waktu ke

waktu dan kondisi. Artinya bahwa jika pekerjaan itu diulang dalam konteks yang

sama, dengan metode yang sama dan dengan peserta yang sama maka hasil yang
sama akan diperoleh. Peneliti melaporkan secara detail setiap proses penelitian

kepada pembimbing untuk menilai apakah proses dan hasil yang diperoleh sudah

sesuai sehingga data yang diperoleh dari hasil penelitian dapat lebih objektif.

Confirmability mengacu pada objektifitas atau netralitas data, dimana

tercapai persetujuan antara dua orang atau lebih tentang relevansi dan arti data.

Kriteria ini berkaitan dengan penetapan bahwa data merupakan informasi yang

disediakan partisipan, dan interpretasi data tersebut tidak diciptakan oleh peneliti.

Temuan penelitian harus mencerminkan suara peserta dan kondisi sebenarnya,

bukan bias peneliti, motivasi atau perspektif. Confirmability tercapai jika peneliti

dapat meyakinkan orang lain bahwa data yang dikumpulkan adalah data yang

objektif, seperti apa adanya di lapangan.

Authenticity mengacu pada sejauh mana peneliti dengan adil dan dengan

tepat menunjukkan kenyataan yang terjadi. Keaslian muncul dalam laporan ketika

laporan tersebut dapat menyampaikan perasaan partisipan sebagaimana mereka

hidup. Sebuah teks memiliki keaslian jika dapat mengajak pembaca merasakan

sebuah pengalaman kehidupan yang digambarkan, dan memungkinkan pembaca

untuk mengembangkan kepekaan yang meningkat dengan masalah yang

digambarkan. Ketika teks mencapai keaslian, pembaca lebih mampu memahami

kehidupan yang digambarkan “in the round” dengan berbagai suasana hati,

perasaan, pengalaman, bahasa dan konteks hidup.


BAB IV

DOKUMENTASI
3
3

Anda mungkin juga menyukai