Anda di halaman 1dari 31

BAB I

LAPORAN KASUS

I. ANAMNESIS
1. IDENTITAS
Nama : An. Ap
Umur : 16 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Kelilik.
Pekerjaan : Pelajar
Suku : Bengkulu
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : SMA
Status : Belum Menikah
No. Rekam Medis : 08.61.03
Masuk Rumah Sakit : 19 April 2018
Keluar Rumah Sakit : 20 April 2018

2. KELUHAN UTAMA
Nyeri seluruh perut sejak 30 menit yangt lalu

3. RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT


Pasien datang ke IGD RSUD Kepahiang diantar keluarga karena
mengeluhkan nyeri seluruh perut sejak 30 menit yang lalu. Pasien mengalami
kecelakaan tunggal ketika mengendarai sepeda motor ketika hendak kesekolah
dengan kecepatan ±50 km/jam sendiri mengggunakan helm tiba-tiba ada
anjing melintas pasien mengelak lalu kehilangan keseimbangan, sehingga pasien
terjatuh dengan posisi bagian tubuh kiri jatuh terlebih dahulu dengan dada dan
perut kiri menghantam stang motor. Setelah jatuh, pasien pingsan ± 5 menit,
Pasien merasakan mual dan muntah 1 kali yang dimuntahkan adalah makanan
dan air. Kemudian pasien langsung dibawa keluarga ke IGD RSUD Kepahiang

1
4. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit apa pun yang berhubungan dengan
keluhan pasien sekarang.
5. RIWAYAT KEBIASAAN

Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok, maupun minuman alkohol.

6. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Tidak ada keluarga pasien memiliki penyakit yang berhubungan dengan


penyakit pasien atau pun riwayat atopi dalam keluarga..

II. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis
Tekanan darah : 100/ 70 mmHg
Frekuensi nadi : 90x/ menit
Frekuensi napas : 24 x/ menit
Suhu : 37,4 0 C

III. STATUS GENERALIS


Kepala
Mata : Konj. Anemis -/-, sklera ikterik -/-, reflek pupil +/+
Hidung : Epistaksis -/-, deviasi septum (-)
Mulut : Tidak ada kelainan
Leher : Trakea sulit dinilai, pembesaran KGB (-)
Thoraks

Inspeksi : Hemitorak simetris kanan dan kiri dalam keadaan statis dan
dinamis
Palpasi : Fremitus taktil simetris kanan dan kiri
Perkusi : Sonor pada kedua hemitorak
Auskultasi: Pulmo : VBS kanan = kiri normal, ronki -/-, wheezing -/-
Cor : Bunyi jantung I -II murni reguler, murmur (-), Gallop (-)

2
Abdomen
Inspeksi : flat, simetris, massa (-), terdapat jejas di regio hipokondria kiri
dan regio illiaka kiri  selang obs 1 jam nyeri tekan di semua
regio
Palpasi : nyeri tekan (+) di regio hipokondria kiri dan regio illiaka kiri 
selang obs 1 jam nyeri tekan di semua regio (defens muskular)
hepar/ lien tak teraba membesar
Perkusi : timpani diseluruh kuadran abdomen, pekak hepar ada
Auskultasi : BU (+) meningkat
Ekstremitas
Akral hangat, sianosis -/-
Kulit lembab dan hangat (-)
Edema tungkai (-/-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG ( 19 April 2018 pukul : 08:32)
1. LABORATORIUM Normal
Hb : 12,3 g/dl 13-18 gr/dl
Ht : 37% 37-47 %
Leukosit : 5000 mm3 5000-10.000 mm3
Trombosit : 302.000 sel/mm3 150.000-400.000 sel/mm3

( 19 April 2018 pukul : 09:45)


Hb : 12,0 g/dl 13-18 gr/dl
Ht : 38% 37-47 %
Leukosit : 15.600 mm3 5000-10.000 mm3
Trombosit : 395.000 sel/mm3 150.000-400.000 sel/mm3

URIN LENGKAP

Warna Kuning jernih Kuning /Jernih


Berat jenis 1,015 1,015-1,025
PH 7,5 4,8-7,4
Protein Negatif Negatif
Reduksi Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif

3
Darah Negatif Negatif
Bilirrubin Negatif Negatif
Urobillinogen Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit esterase Negatif Negatif
Sedimen -
WBC 0-1 1-4/LPB
RBC 0-1 0-1/LPB
Epitel +
Kristal Negatif Negatif
Silinder Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif

V. RESUME

Seorang laki-laki, An. A, usia 16 tahun datang ke IGD RSUD Kepahiang


diantar keluarga karena mengeluhkan nyeri seluruh perut sejak 30 menit yang
lalu. Pasien mengalami kecelakaan tunggal ketika mengendarai sepeda motor
ketika hendak keskolah dengan kecepatan ±50 km/jam sendiri mengggunakan
helm tiba-tiba ada anjing melintas pasien mengelak lalu kehilangan
keseimbangan, sehingga pasien terjatuh dengan posisi bagian tubuh kiri jatuh
terlebih dahulu dengan dada dan perut kiri menghantam stang motor. Setelah
jatuh, pasien pingsan ± 5 menit, Pasien merasakan mual dan muntah 1kali yang
dimuntahkan adalah makanan dan air. Kemudian pasien langsung dibawa
keluarga ke IGD RSUD Kepahiang. Hasil pemeriksaan laboratorium pasien
dalam batas normal.

VI. DIAGNOSA KERJA


- Obs Trauma tumpul abdomen dengan susp ruptur ginjal
- Multiple vulnus eksoriasi et regio manus dektra , sinistra
VII. DIAGNOSA BANDING : -
VIII. ANJURAN PEMERIKSAAN
- Foto polos abdomen BNO 3 posisI
- Hb serial
- USG abdomen

4
IX. PENATALAKSANAAN

O2 2-3 liter/menit
Inf RL rehidrasi 500 cc 20 tts/menit
Pronalgess supp
Inj. ketorolak 1 amp/8 jam/iv
Inj. Ranitidin 1 amp/ 12 jam/iv
Inj. Ceftriaxon 2 gr vial/ 24 jam /iv
Pro kateter dan pantau urine dan Pasien di rawat di ICU

X. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

XI. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil BNO

BNO :

 Preperitoneal fat tidak jelas


 Kontur kedua ginjal tidak jelas
 Psoas line tidak jelas
 Tampak distribusi udara dalam
usus halus sedikit di abdomen
tengah.
 Rongga pelvis kanan tidak
terlihat
 Fre air,, mau pun air fluid level
tidak terlihat

5
Hasil USG

XII. FOLLOW UP

Tanggal S O A P
Hari I -Nyeri perut CM, TD: 140/70, N: 93x/i, Obs trauma Inf RL 20 gtt / menit -Pronalgess
supp K/P nyeri hebat
19/04/18 berkurang RR: 18 x/i tumpul abdomen
Inj. ketorolak 1 amp/8 jam/iv
- mual (+), T: 36,8ºC, An (-), Ikt(-), dengan susp Inj. Ranitidin 1 amp/ 12 jam/iv
Inj. Ceftriaxon 2 gr vial/ 24 jam /iv
muntah (-) Vesikuler, , Rh (-), Wh (-), rupture ginjal
Inj. Asam traneksamat amp/8
edem ekstremitas(-), Multiple vulnus jam/iv
Urine kuning jernih ada sedikit
akral dingin (-) eksoriasi et regio
darah
Abdomen : NT berkurang, manus dektra ,
bising usus (+) N, sinistra
supel,datar,CVA : -/-
Hari II -Nyeri perut CM, TD: 120/70, N: 78x/i, Obs trauma Inf RL 20 gtt / menit -Pronalgess
supp K/P nyeri hebat
20/04/18 berkurang RR: 18 x/i tumpul abdomen
Inj. ketorolak 1 amp/8 jam/iv
- mual (-), T: 36,8ºC, An (-), Ikt(-), dengan susp Inj. Ranitidin 1 amp/ 12 jam/iv
Inj. Ceftriaxon 2 gr vial/ 24 jam /iv
muntah (-) Vesikuler, , Rh (-), Wh (-), rupture ginjal
Inj. Asam traneksamat amp/8
edem ekstremitas(-), Multiple vulnus jam/iv
Urine kuning jernih ada sedikit
akral dingin (-) eksoriasi et regio
darah
Abdomen : NT berkurang, manus dektra , Obat pulang
asam mefenamat tab 3x 500 mg ,
bising usus (+) N, sinistra
ranitidin tab 2x1, asam traneksamat
supel,datar 3 x1 tab, metil predisolon tab 2 x 4
mg, asam folat 2x1 tab
CVA : -/- (PASIEN APS)

6
BAB II

TRAUMA TUMPUL ABDOMEN

A. Definisi
Trauma tumpul abdomen adalah cedera pada abdomen tanpa penetrasi ke dalam
rongga peritoneum.Trauma tumpul abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap
struktur yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul.
Trauma tumpul abdomen kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada permukaan
tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusio atau laserasi jaringan atau organ di
bawahnya.Trauma tumpul abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ berongga
berupa perforasi atau pada organ padat berupa perdarahan.1

B. Anatomi
Abdomen adalah bagian tubuh yang terletak antara diaphragma di bagian atas
dan pintu masuk pelvis dibagian bawah. Untuk kepentingan klinik, biasanya abdomen
dibagi dalam sembilan regio oleh dua garis vertikal, dan dua garis horizontal. Masing-
masing garis vertikal melalui pertengahan antara spina iliaca anterior superior dan
symphisis pubis. Garis horizontal yang atas merupakan bidang subcostalis, yang mana
menghubungkan titik terbawah pinggir costa satu sama lain. Garis horizontal yang bawah
merupakan bidang intertubercularis, yang menghubungkan tuberculum pada crista iliaca.
Bidang ini terletak setinggi corpus vertebrae lumbalis V.2 Pembagian regio pada
abdomen yaitu : pada abdomen bagian atas : regio hypochondrium kanan, regio
epigastrium dan regio hypocondrium kiri. Pada abdomen bagian tengah : regio lumbalis
kanan, regio umbilicalis dan regio lumbalis kiri. Pada abdomen bagian bawah : regio
iliaca kanan, regio hypogastrium dan regio iliaca kiri.2

7
Gambar 3.1 Pembagian 9 regio abdomen.

Sedangkan pembagian abdomen juga dipermudah menjadi empat kuadran dengan


menggunakan satu garis vertikal dan satu garis horisontal yang saling berpotongan pada
umbilicus.Kuadran tersebut adalah kuadran kanan atas, kuadran kiri atas, kuadran kanan
bawah dan kuadran kiri bawah.2

Gambar 3.2 Pembagian abdomen menjadi empat kuadran

8
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks.Di
bagian belakang, struktur ini melekat pada tulang belakang, di sebelah atas pada iga, dan
di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri atas beberapa lapis, yaitu
dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kutis dan subkutis; lemak subkutan dan
fasia superfisial (fasia Scarpa); kemudian ketiga otot dinding perut, m. oblikus abdominis
eksternus, m. oblikus abdominis internus, dan m. tranversus abdominis; dan akhirnya
lapisan preperitoneal, dan peritoneum. Otot di bagian depan terdiri atas sepasang otot
rektus abdominis dengan fasianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba. 2

Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga


perut.Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah.Dari kranikaudal diperoleh
pendarahan dari cabang aa.interkostales VI s/d XII dan a.epigastrika superior.Dari
kaudal, a.iliaka sirkumfleksa superfisialis, a.pudenda eksterna, dan a.epigastrica
inferior.Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun
vertikal tanpa menimbulkan gangguan pendarahan. Persarafan dinding perut dilayani
secara segmental oleh n.torakalis VI s/d XII dan n.lumbalis I.2

Rongga perut (cavitas abdominalis) dibatasi oleh membran serosa yang tipis
mengkilap yang juga melipat untuk meliputi organ-organ di dalam rongga
abdominal.Lapisan membran yang membatasi dinding abdomen dinamakan peritoneum
parietale, sedangkan bagian yang meliputi organ dinamakan peritoneum viscerale.Di
sekitar dan sekeliling organ ada lapisan ganda peritoneum yang membatasi dan
menyangga organ, menjaganya agar tetap berada di tempatnya, serta membawa pembuluh
darah, pembuluh limfe, dan saraf.Bagian-bagian peritoneum sekitar masing-masing organ
diberi nama-nama khusus.2

Mesenterium ialah bangunan peritoneal yang berlapis ganda, bentuknya seperti


kipas, pangkalnya melekat pada dinding belakang perut dan ujungnya yang mengembang
melekat pada usus halus. Di antara dua lapisan membran yang membentuk mesenterium
terdapat pembuluh darah, saraf dan bangunan lainnya yang memasok usus.Bagian
mesenterium di sekitar usus besar dinamakan mesokolon. Lapisan ganda peritoneum
yang berisi lemak, menggantung seperti celemek di sebelah atas depan usus bernama
omentum majus. Bangunan ini memanjang dari tepi lambung sebelah bawah ke dalam

9
bagian pelvik abdomen dan kemudian melipat kembali dan melekat pada colon
tranversum.Ada juga membran yang lebih kecil bernama omentum minus yang terentang
antara lambung dan liver.Organ dalam rongga abdomen dibagi menjadi dua, yaitu :2

C. CEDERA ORGAN ABDOMEN


a. Diafragma
Robekan diafragma dapat terjadi pada bagian manapun dari ke dua diafragma,
yang paling penting mengenai cedera adalah diafragma kiri. Cedera biasanya 5 – 10 cm
panjangnya dengan lokasi di postero lateral dari diafragma kiri. Pada pemeriksaan foto
thorak awal akan terlihat diafragma yang labih tinggi ataupun kabur, biasanya berupa
hemathoraks, ataupun adanya bayangan udara yang membuat kaburnya gambaran
diafragma, ataupun terlihat NGT yang terpasang dalam gaster terlihat di thorak. Pada
sebagian kecil foto thorak tidak memperlihatkan adanya kelainan.
b. Organ berongga
1. Lambung dan usus halus
Trauma tumpul dan penetrasi ke dalam lambung, jejunum, dan ileum relatif
mudah dikoreksi pada eksplorasi bedah. Trauma penetrasi memerlukan debridemen luka
dan penutupan sederhana. Kadang-kadang sejumlah luka akan ditemukan dalam usus
halus di atas segmen yang relatif pendek, sehingga mereseksi segmen yang terlibat dan
melakukan anastomosis primer merupakan tindakan yang tepat. Faktor yang dianggap
mencetuskan hal tersebut adalah peningkatan mendadak tekanan intralumina lokal,
kompresi usus halus pada kolumna vertebralis serta deselerasi pada atau dekat titik
fiksasi. Penggunaan sabuk pengaman mengakibatkan avulsi lambung dan usus halus.
2. Kolon dan rektum
Trauma kolon dan rektum tersering mengikuti trauma penetrasi cavitas
abdominalis. Banyak kontroversi sehubungan dengan terapi cedera kolon.
Penatalaksanaan memerlukan banyak penilaian klinik dan terutama ditentukan oleh
derajat cedera, adanya cedera penyerta yang mengancam nyawa dan kontaminasi feses
serta waktu yang terlewatkan antara trauma dan perbaikan bedah. Para ahli percaya terapi
konservatif lebih tepat, kecuali cedera kolon ringan dan kontaminasi feses sedikit.
c. Organ padat
1. Hati

10
Karena ukuran dan letaknya, hati merupakan organ yang paling sering terkena
kerusakan yang diakibatkan oleh luka tembus dan sering kali kerusakan disebabkan oleh
trauma tumpul. Hal utama yang dilakukan apabila terjadi perlukaan di hati yaitu
mengontrol perdarahan dan mendrainase cairan empedu. Trauma hepar dengan
hemodinamik stabil dan tidak ada tanda perdarahan serta defans muskular dilakukan
perawatan non operatif dengan observasi ketat selama minimal 3 x 24 jam. Harus
dilakukan pemeriksaan CT scan serial, USG maupun Hb serial. Indikasi operatif cedera
hepar yaitu trauma hepar dengan shok, peritonitis, hematoma yang meluas, penanganan
konservatif gagal, dan dengan cedera lain intra abdominal.
2. Limpa
Merupakan organ yang paling sering terkena kerusakan yang diakibatkan oleh
trauma tumpul. Sering terjadi hemoragi atau perdarahan masif yang berasal dari limpa
yang ruptur sehingga semua upaya dilakukan untuk memperbaiki kerusakan di limpa.
Penatalaksanaan cedera limpa dapat dilakukan dengan terapi operatif dan non
operatif. Jika terapi operatif harus dipilih, splenorafi dapat dilakukan dengan memberikan
zat-zat hemostatik topikal, dijahit atau splenoktomi parsial cedera dengan vaskularisasi.
Kontraindikasi tindakan penyelamatan limpa adalah kondisi pasien yang tidak stabil,
avulsi limpa atau fragmentasi yang luas, dan cedera pembuluh darah hilus yang luas serta
kegagalan mencapai hemostasis.
3. Pankreas
Umumnya cedera pankreas terjadi pada pukulan langsung di daerah epigastrium
dengan kolumna vertebralis sebagai alas. Peningkatan kadar amilase yang konstan harus
dicurigai adanya cedera pankreas. Pada 8 jam pertama pasca trauma pemeriksaan CT
dengan double contras bisa saja belum memperlihatkan cedera pankreas. Pemeriksaan
harus diulang jika dicurigai adanya cedera pada organ tersebut. Jika CT scan meragukan
maka dianjurkan untuk dilakukan pembedahan eksplorasi.
4. Traktus urinarius
a. Ginjal
Delapan puluh sampai delapan puluh lima persen trauma ginjal disebabkan oleh
trauma tumpul yang secara langsung mengenai abdomen, pinggang, dan punggung.
Trauma tersebut disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh, dan

11
olahraga kontak. Tabrakan kendaraan pada kecepatan tinggi bisa menyebabkan trauma
pembuluh darah utama karena deselerasi cepat. Luka karena senjata api dan pisau
merupakan luka tembus terbanyak yang mengenai ginjal sehingga jika terdapat luka pada
pinggang harus dipikirkan trauma ginjal. Pada luka tembus ginjal, 80% berhubungan
dengan trauma visera abdomen.
Ginjal yang terletak pada rongga retroperitoneum bagian atas hanya terfiksasi
oleh pedikel pembuluh darah serta ureter, sementara massa ginjal melayang bebas dalam
bantalan lemak yang berada dalam fascia gerota. Karena fiksasi yang sedikit, ginjal
mudah mengalami dislokasi oleh akselerasi maupun deselerasi mendadak yang bisa
menyebabkan trauma seperti avulsi collecting system atau sobekan pada intima arteri
renalis sehingga terjadi oklusi parsila mauopun komplit pembuluh darah.
Vena renalis kiri terletak ventral aorta sehingga luka penetrasi di daerah ini bisa
menyebabkan trauma pada ke dua struktur. Vena renalis yang berdekatan dengan
pankreas dan pole atas ginjal kiri serta duodenum dengan tepi medial ginjal kanan bisa
menyebabkan trauma kombinsai yaitu trauma pankreas, duodenum, dan ginjal. Anatomi
ginjal yang mengalami kelainan seperti hidronefrosis atau tumor maligna lebih mudah
mengalami ruptur karena adanya trauma ginjal.
b. Ureter, vesika urinaria, dan urethra
Trauma tumpul ureter jarang terjadi dan biasanya timbul akibat tindakan
laparotomi. Ruptur intraperitonium dari kandung kemih biasanya timbul akibat fraktur
pelvik atau ketika pukulan langsung pada perut bagian bawah. Gejala yang timbul berupa
rangsangan peritoneum. Pemeriksaan dengan CT scan dapat mendeteksi cairan
intraperitoneum. Cedera tersebut juga dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan retrograde
atau CT cystography.
Cedera urethra anterior lebiha jarang terjadi, namun biasanya timbul akibat
straddle injury yang menyebabkan timbulnya hematom di daerah penis dan perineum.
Pasien dengan cedera tersebut bisanya megalami kerusakan berat pada spongiosus
urethra. Eksplorasi bedah dini dindikasikan dengan mobilisasi urethra dan eksisi segmen
cedra dengan reanastomosis.
d. Organ reproduksi

12
Cedera intraabdominal yang mengenai organ jarang terjadi pada pasien yang tidak
hamil dan biasanya ditemukan ketika dilakukan laparotomi akibat yang lain.
e. Pembuluh darah abdomen
Cedera pada pembuluh darah besar abdomen biasanya menyebabkan instabilisasi
hemodinamik dan ditemukan pada saat laparotomi. Pada beberapa kasus perdarahan
dapat berhenti sendiri. Pada pemeriksaan CT scan mungkin ditemukan adanya
pseudoaneurisma. Jika aneurisma terjadi pada pembuluh darah besar, maka merupakan
indikasi perbaikan pembuluh darah yang rusak dengan cara laparotomi. Pada beberapa
kasus perdarahan dapat berenti sendiri. Pada pemeriksaan CT scan mungkin ditemukan
adanya pseudoaneurisma. Jika aneurisma terjadi pada pembuluh darah besar, maka
merupakan indikasi perbaikan pembuluh darah yang rusak dengan cara laparotomi dan
mencegah perdarahan yang terjadi

D. Patofisiologi

Beberapa mekanisme patofisiologi dapat menjelaskan trauma tumpul


abdomen. Secara garis besar trauma tumpul abdomen (non penetrtaing trauma) dibagi
menjadi 3 yaitu :

1. Trauma kompresi
Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dari badan berhenti bergerak,
sedangkan bagian belakang dan bagian dalam tetap bergerak ke depan. Organ-organ
terjepit dari belakang oleh bagian belakang thorakoabdominal dan kolumna vetebralis
dan di depan oleh struktur yang terjepit. Trauma abdomen menggambarkan variasi
khusus mekanisme trauma dan menekankan prinsip yang menyatakan bahwa keadaan
jaringan pada saat pemindahan energi mempengaruhi kerusakan jaringan. Pada
tabrakan, maka penderita akan secara refleks menarik napas dan menahannya dengan
menutup glotis. Kompresi abdominal mengkibatkan peningkatan tekanan
intrabdominal dan dapat menyebabkan ruptur diafragma dan translokasi organ-organ
abdomen ke dalam rongga thorax. Transient hepatic kongestion dengan darah sebagai
akibat tindakan valsava mendadak diikuti kompresi abdomen ini dapat menyebabkan
pecahnya hati. Keadaan serupa dapat terjadi pada usus halus bila ada usus halus yang

13
closed loop terjepit antra tulang belakang dan sabuk pengaman yang salah
memakainya.

2. Trauma sabuk pengaman (seat belt)


Sabuk pengaman tiga titik jika digunakan dengan baik, mengurangi
kematian 65%-70% dan mengurangi trauma berat sampai 10 kali. Bila tidak dipakai
dengan benar, sabuk pengaman dapat menimbulkan trauma. Agar berfungsi dengan
baik, sabuk pengamna harus dipakai di bawah spina iliaka anterior superior, dan di
atas femur, tidak boleh mengendur saat tabrakan dan harus mengikat penumpang
dengan baik. Bila dipakai terlalu tinggi (di atas SIAS) maka hepar, lien, pankreas,
usus halus, diodenum, dan ginjal akan terjepit di antara sabuk pengaman dan tulang
belakang, dan timbul burst injury atau laserasi. Hiperfleksi vetebra lumbalis akibat
sabuk yangterlalu tinggi mengakibatkan fraktur kompresi anterior dan vetebra lumbal.

3. Cedera akselerasi / deselerasi.


Trauma deselerasi terjadi bila bagian yang menstabilasi organ, seperti
pedikel ginjal, ligamentum teres berhenti bergerak, sedangkan organ yang
distabilisasi tetap bergerak. Shear force terjadi bila pergerakan ini terus berlanjut,
contoh pada ginjal dan limpa denga pedikelnya, pada hati terjadi laserasi hati bagian
sentral, terjadi jika deselerasi lobus kanan dan kiri sekitar ligamentum teres.

E. Riwayat trauma

Secara umum, jangan menanyakan riwayat lengkap hingga cidera yang


mengancam nyawa teridentifikasi dan mendapatkan penatalaksanaan yang sesuai.
AMPLE sering digunakan untuk mengingat kunci dari anamnesis, yaitu Allergies,
Medications, Past medical history, Last meal or other intake, Events leading to
presentation.

Riwayat trauma sangat penting untuk menilai penderita yang cedera dalam
tabrakan kendaraan bermotor. Keterangan ini dapat diberikan oleh penderita, penumpang
lain, polisi atau petugas medis gawat darurat di lapangan. Keterangan mengenai tanda-
tanda vital, cedera yang kelihatan, dan respon terhadap perawatan pre-hospital juga harus
diberikan oleh para petugas yang memberikan perawatan pre-hospital. Pada trauma

14
tumpul abdomen terutama yang merupakan akibat dari kecelakaan lalu lintas, petugas
medis harus menanyakan hal-hal sebagai berikut :

- fatalitas dari kejadian ?


- tipe kendaraan dan kecepatan ?
- apakah kendaraan terguling ?
- bagaimana kondisi penumpang lainnya ?
- lokasi pasien dalam kendaraan ?
- tingkat keparahan rusaknya kendaraan ?
- deformitas setir ?
- apakah korban menggunakan sabuk pengaman? Tipe sabuk pengaman?
- apakah airbag di samping dan depan korban berfungsi ketika kejadian?
- apakah ada riwayat pengunaan alkohol dan obat-obatan sebelumnya?

Parahnya cedera pada pejalan kaki bervariasi tergantung pada kecepatan dan
ukuran kendaraan yang menabraknya. Tinggi bemper versus ketinggian penderita
merupakan faktor kritis dalam trauma. Pada orang dewasa dengan posisi berdiri, benturan
awal dengan bemper biasanya mengenai tungkai dan pelvis. Trauma lutut terjadi sama
seringnya dengan seperti trauma pelvis. Anak-anak lebih mungkin terkena truma dada
dan abdomen. Pejalan kaki sering mengalami trias cedera yaitu kaki, batang tubuh, dan
cranium, sebagai akibat dari mekanisme trauma yaitu benturan bemper, benturan kaca
depan dan kap mobil, serta benturan kepala dengan tanah. Cedera pada salah satu bagian
ini memerlukan evaluasi yang lebih segera dibandingkan cedera pada bagian tubuh lain.

Riwayat dan kronologis kejadian memang penting, tapi mekanisme sendiri tidak
bisa menentukan apakah diperlukan laparotomi emergency atau tidak. Mekanisme dan
kronologis kejadian harus disertai dengan data lain seperti vital sign prehospital,
pemeriksaan fisik, tes diagnostik, dan kondisi kesehatan yang mendasari.

F. Evaluasi primer dan penatalaksanaan

Initial resuscitation dan penatalaksanaan pasien trauma berdasarkan pada


protokol Advanced Trauma Life Support. Penilaian awal (Primary survey) mengikuti

15
pola ABCDE, yaitu Airway, Breathing, Circulation, Disability (status neurologis), dan
Exposure.

1. Intial assesment
Trauma tumpul abdomen akan muncul dalam manifestasi yang sangat bervariasi,
mulai dari pasien dengan vital sign normal dan keluhan minor hingga pasien dengan
shock berat. Bisa saja pasien datang dengan gejala awal yang ringan walaupun
sebenarnya terdapat cedera intraabdominal yang parah. Jika didapati bukti cedera
extraabdominal, harus dicurigai adanya cedera intraabdominal, walaupun hemodinamik
pasien stabil dan tidak ada keluhan abdominal. Pada pasien dengan hemodinamik yang
tidak stabil, resusitasi dan penilaian harus dilakukan segera. Pemeriksaan fisik abdomen
harus dilakukan secara teliti dan sistematis, dengan urutan inspeksi, auskultasi, perkusi,
dan palpasi. Penemuannya positif dan negatif harus dicatat dengan teliti dalam rekam
medik.

 Inspeksi
Baju penderita harus dibuka semua untuk memudahkan penilaian. Bila
dipasang pakaian Pneumatic Anti Shock Garment dan hemodinamik penderita stabil,
segmen abdominal dikempeskan sambil tekanan darah penderita dipantau dengan
teliti. Penurunan tekanan darah sistolik lebih adari 5 mmHG adalah tanda untuk
menambah resusitasi cairan sebelum meneruskan pengempesan (deflasi). Perut depan
dan belakang, dan juga bagian bawah dada dan perineum, harus diperiksa apakah ada
goresan, robekan, ekomosis, luka tembus, benda asing yang tertancap, keluarnya
omentum atau usus kecil, dan status hamil. Seat belt sign, dengan tanda konstitusi
atau abrasi pada abdomen bagian bawah, biasanya sangat berhubungan dengan cedera
intraperitoneal. Adanya distensi abdominal, yang biasanya berhubungan dengan
pneumoperitoneum, dilatasi gaster, atau ileus sebagai akibat dari iritasi peritoneal
merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Adanya kebiruan yang melibatkan
region flank, punggung bagian bawah (Grey Turner sign) menandakan adanya
perdarahan retroperitoneal yang melibatkan pankreas, ginjal, atau fraktur pelvis.
Kebiruan di sekitar umbilicus (Cullen sign) menandakan adanya perdarahan
peritoneal biasanya selalu melibatkan perdarahan pankreas, akan tetapi tanda-tanda

16
ini biasanya baru didapati setelah beberapa jam atau hari. Fraktur costa yang
melibatkan dada bagian bawah, biasanya berhubungan dengan cedera lien atau liver.

 Auskultasi
Melalui auskultasi ditentukan apakah bising usus ada atau tidak.
Penurunan suara usus dapat berasal dari adanya peritonitis kimiawi karena perdarahan
atau ruptur organ berongga. Cedera pada struktur berdekatan seperti tulang iga, tulang
belakang atau tulang panggul juga dapat mengakibatkan ileus meskipun tidak ada
cedera intraabdominal, sehingga tidak adanya bunyi usus bukan berarti pasti ada
cedera intrabdominal. Adanya suara usus pada thorax menandakan adanya cedera
pada diafragma.

 Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat
menunjukkan adanya peritonitis yang masih meragukan. Perkusi juga dapat
menunjukkan adanya bunyi timpani di kuadran atas akibat dari dilatasi lambung akut
atau bunyi redup bila ada hemoperitoneum.

 Palpasi
Kecenderungan untuk mengeraskan dinding abdomen (voluntary guarding) dapat
menyulitkan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muskuler (involuntary guarding)
adalah tanda yang andal dari iritasi peritoneum. Tujuan palpasi adalah untuk
mendapatkan apakah didapati nyeri serta menentukan lokasi nyeri tekan superficial, nyeri
tekan dalam, atau nyeri lepas tekan. Nyeri lepas tekan biasanya menandakan adanya
peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi usus. Pada truma tumpul abdomen
perlu juga disertai kecurigaan adanya fraktur pelvis. Untuk menilai stabilitas pelvis, yaitu
dengan cara menekankan tangan pada tulang-tualng iliaka untuk membangkitkan gerakan
abnormal atau nyeri tulang yang menandakan adanya fraktur pelvis.

Walaupun melalui pemeriksaan fisik dapat dideteksi cedera intraperitoneal,


keakuratan pemeriksaan fisik pada pasien dengan trauma tumpul abdomen hanya berkisar
antara 55–65%. Tidak adanya tanda dan gejala yang ditemukan dalam pemeriksaan fisik

17
tidak menyingkirkan adanya cedera yang serius, sehingga diperlukan pemeriksaan yang
lebih spesifik lagi untuk menghindarkan missed injury.

Walaupun tidak ditemukan tanda dan gejala, adanya perubahan sensoris atau
cedera extraabdominal yang disertai nyeri pada pasien trauma tumpul abdomen harus
lebih mengarahkan kepada cedera intrabdominal. Lebih dari 10% pasien dengan cedera
kepala tertutup, disertai dengan cedera intraabdominal, dan 7% pasien trauma tumpul
dengan cedera extraabdominal memiliki cedera intraabdominal, walaupun tanpa disertai
rasa nyeri.

Pada pasien sadar tanpa cedera luar yang terlihat, gejala yang paling terlihat dari
trauma tumpul abdomen adalah nyeri dan peritoneal findings. Pada 90% kasus, pasien
dengan cedera visceral datang dengan nyeri lokal atau nyeri general. Tanda-tanda ini
bukan merupakan tanda yang spesifik, karena dapat pula ditemukan pada isolated
thoracoabdominal wall constitution atau pada fraktur costa bawah. Dan yang paling
penting, tidak adanya nyeri pada pasien sadar dan stabil lebih menandakan tidak adanya
cedera. Meskipun demikian, cedera intrabdominal bisa didapati pada pasien sadar dan
tanpa nyeri.

Hipotensi pada trauma tumpul abdomen sering sebagai akibat dari perdarahan
organ padat abdomen atau cedera vasa abdominal. Walaupun sumber perdarah
extraabdominal (misalnya, laserasi kulit kepala, cedera dada, atau fraktur tulang panjang)
harus segera diatasi, tapi evaluasi cavitas peritoneal juga tidak boleh diabaikan. Pasien
dengan cedera kepala ringan tidak bisa menyebabkan shock, kecuali pada pasien dengan
cedera intracranial, atau pada bayi dengan perdarahan intracranial atau
cephalohematoma.

Pemeriksaan rectal jarang menunjukkan adanya darah atau subcutaneous


emphysema, tapi jika didapati, tanda tersebut berkaitan dengan cedera abdomen. Evaluasi
tonus rectal merupakan bagian yang sangat penting untuk pasien dengan kecurigaan
cedera spinal. Palpasi high-riding prostate mengarahkan indikasi pada cedera uretra.

18
G. Studi Laboratorium
 Blood typing
Pada pasien trauma harus dilakukan pengecekan golongan darah dan cross-match,
sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu diperlukan transfusi, terlebih pada pasien
dengan perdarahan yang mengancam jiwa.

 Hematocrit/Darah lengkap Serial


Hematocrit dapat berguna sebagai dasar penilaian pada pasien trauma abdomen,
terlabih untuk jika diukur secara berkala untuk melihat perdarah yang terus
berlangsung.

 Hitung leukosit
Pada trauma tumpul abdomen akut, hitung leukosit tidak spesifik. Ephinefrin yang
dilepaskan tibuh pada saat trauma dapat menyebabkan demarginasi dan dapat
meningkatkan jumlah leukosit mencapai 12000-20000/mm3 dengan pergeseran ke kir
yang moderat.

 Enzim pankreas
Kadar amilase dan lipase dalam serum tidak terlalu memiliki arti penting untuk
menunjang diagnostik. Kadar amilase dan lipase yang normal dalam serum tidak dapt
menyingkirkan kecurigaan adanay trauma pankreas. Peningkatan mungkin mengarah
pada cedera pankreas, tapi juga mungkin dari cedera abdomen non pankreas. Jika ada
kecurigaan cedera pankreas, masih diperlukan pemeriksaan lebih lanjut, misal CT
scan.

 Tes fungsi hati


Cedera hepar bisa meningkatkan kadar transaminase dalam serum, akan tetapi
peningkatan ini tidak akan terjadi pada konstitusi minor. Pasien denagn komorbid
seperti pada pasien dengan alcohol induced liver disease bisa memiliki kadar
transaminase yang abnormal

 Analisis toksikologi

19
Skrening rutin penyalahgunaan obat dan alkohol belum dilakukan pada
penatalaksanaan trauma tumpul abdomen, terlebih pada pasien dengan status mental
normal.

 Urinalisis
Gross hematuri mengarah pada adanya cedera ginjal serius dan membutuhkan
investigai yang lebih lanjut. Diperlukan juga pemeriksaan terhadap adanya hematuri
mikro yang dapat mengindikasikan cedra serius. Oleh karena itu, penting dialakukan
pemeriksaan mikroskopik atau urinalisis dipstick pada semua pasien trayma tumpul
abdomen. Adanya nyeri abdomen dan hematuri memiliki tingkat sensitifitas 64% dan
94% spesifik untuk cedera intraabdominal yang telah dibuktilkan melalui CT scan.

H. Studi Diagnostik Khusus


1. Radiologi
Tes radiologi dapat menyampaikan informasi penting untuk penatalaksanaan
pasien trauma tumpul abdomen. Pemeriksaan radiologi diindikasikan pada pasien stabil,
jika dari pemeriksaan fisik dan lab tidak bisa disimpulkan diagnosik.

Pasien yang tidak kooperatif, dapat mengganggu hasil tes radiologi dan dapat
beresiko mengalami cedera spinal. Penyebab dari pasien yang tidak koopertatif ini harus
dievaluasi, misalnya karena hipoksia atau cedera otak. Demi kelancaran, pasien tersebut
dapat dipertimbangkan untuk diberi sedatif.

Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, thorax AP, dan pelvis
AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen foto abdomen 3
posisi (telentang, setengah tegak dan lateral dekubitus) berguna untuk melihat adanya
udara bebas di bawah diafragma ataupun udara di luar lumen di retroperitoneum, yang
kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk untuk dilakukannya laparotomi. Hilangnya
bayangan psoas menunjukkan adanya kemungkinan cedera retroperitoneal. Foto polos
abdomen memiliki kegunaan yang terbatas, dan sudah digantikan oleh CT-scan dan USG

2. Computed Tomography ( CT-scan )


CT merupakan prosedur diagnostik yang memerlukan transport penderita ke
scanner, pemberian kontras oral maupun intravena, dan scanning dari abdomen atas

20
bawah dan juga panggul. Proses ini makan waktu dan hanya digunakan pada penderita
dengan hemodinamik normal. CT-scan mampu memberikan informasi yang berhubungan
dengan cedera organ tertentu dan tingkat keparahannya, dan juga dapat mendiagnosis
cedera retroperitoneum dan organ panggul yang sukar diakses melalui pemeriksaan fisik
maupun DPL. Kotraindikasi relatif terhadap penggunaan CT meliputi penundaan karena
menunggu scanner, pendrita yang tidak kooperatif, dan alergi terhdap bahan kontras.

Keuntungan CT-scan :

1. non invasive
2. mendeteksi cedera organ dan potensial untuk penatalaksanaan non operatif cedera
hepar dan lien
3. mendeteksi adanya perdarahan dan mengetahui dimana sumber perdarahan
4. retroperitoneum dan columna vetebra dapat dilihat
5. imaging tambahan dapat dilakukan jika diperlukan
Kelemahan CT-scan

1. kurang sensitif untuk cedera pankreas, diafragma, usus, dan mesenterium


2. diperlukan kontras intra vena
3. mahal
4. tidak bisa dilakukan pada pasien yang tidak stabil

Gambar 1. Blunt abdominal trauma Gambar 2. Blunt abdominal trauma


with splenic injury and with liver laceration
hemoperitoneum

21
3. Ultrasound

Ultrasound digunakan untuk mendeteksi adanya darah intraperitonum setelah


terjadi trauma tumpul. USG difokuskan pada daerah intraperitoneal dimana sering
didapati akumulasi darah, yaitu pada
1. kuadran kanan atas abdomen (Morison's space antara liver ginjal kanan)
2. kuadran kiri ats abdomen (perisplenic dan perirenal kiri)
3. Suprapubic region (area perivesical)
4. Subxyphoid region (pericardiumhepatorenal space)
Daerah anechoic karena adanya darah dapat terlihat paling jelas jika
dibandingkan dengan organ padat di sekitarnya. Banyak penelitian retrospektif
menyatakan manfaat USG pada pasien dengan hemodinamik yang stabil atau tidak stabil
untuk mendeteksi adanya perdarahan intraperitoneal. Beberapa RCT menunjukkan
penggunaan FAST untuk diagnostik akan menghasil pasien dengan hasil perawatan yang
lebih baik.
Keuntungan USG :

1. portabel
2. dapat dilaksanakan dengan cepat
3. tingkat sesitifitas sebesar 65-95% dalam mendeteksi paling sedikit 100 ml cairan
intraperitoneal.
4. spesifik untuk hemoperitoneum
5. tanpa radiasi atau kotras
6. mudah dilakuakn pemeriksaan serial jika diperlukan
7. tekniknya mudah dipelajari
8. non invasif
9. lebih murah dibandingkan CT-scan atau peritoneal lavage
Kelemahan USG

1. cedera parenkim padat, retroperitoneum, atau diafragma tidak bisa dilihat dengan
baik
2. kualitas gambar akan dipengaruhi pada pasien yang tidak kooperatif, obesitas,
adanya gas usus, dan udara subkutan

22
3. darah tidak bisa dibedakan dari ascites
4. tidak sensitif untuk mendeteksi cedera usus.

Gambar 3. Morison pouch normal Gambar 4. Cairan bebas di Morison


(tidak ada cairan bebas) pouch.

Metode pemeriksaan ultrasound pada kasus trauma tumpul abdomen adalah


FAST (Focused Abdominal Sonogram for Trauma). Tujuan primer dari FAST adalah
mengidentifikasi adanyan hemoperitonium pada pasien dengan kecurigaan cidera intra-
abdomen. Indikasi FAST adalah pasien yang secara hemodinamik unstable dengan
kecurigaan cedera abdomen dan pasien-pasien serupa yang juga mengalami cedera
ekstra-abdominal signifikan (ortopedi, spinal, thorax, dll.) yang memerlukan bedah non-
abdomen emergensi.
FAST sebaiknya dilakukan oleh ahli bedah yang hadir pada saat itu di IGD/ ICU
sebagai prosedur bedside sementara resusitasi dapat terus berlangsung. FAST
direkomendasikan menggunakan 3,5 atau 5 MHz ultrasound sector transducer probe dan
gray scale ‘B mode’ ultrasound scanning

23
5. Diagnostic Peritoneal Lavage

Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) memiliki peran besar pada penatalaksanaan


trauma tumpul abdomen. DPL paling berguna pada pasien yang memiliki resiko tinggi
cedera organ berongga, terutama jika dari CT-scan dan USG hanya terdeteksi sedikit
cairan, dan pada pasien dengan demam yang nyata, peritonitis, atau keduanya. Keadaan ini
berlangsung selama 6-12 jam setelah cedera organ berongga.

Indikasi:

 Perubahan sensorium – cedera kepala,intoksikasi alkohol, penggunaan obat


terlarang.
 Perubahan perasaan – cedera jaringan saraf tulang belakang.
 Cedera pada struktur berdekatan – tulang iga bawah, panggul, tulang
belakang dari pinggang bawah (lumbar spine).
 Pemeriksaan fisik yang meragukan.

Secara tradisional, DPL dialakukan melalui 2 tahap, tahap pertama adalah aspirasi
darah bebas intraperitoneal (diagnostic peritoneal tap,DPT). Jika darah yang teraspirasi 10
ml atau lebih, hentikan prosedur karena hal ini menandakan adanya cedera intraperitoneal.
Jika dari DPT tidak didapatkan darah, lakukan peritoneal lavage dengan normal saline dan
kirim segera hasilnya ke lab utuk dievaluasi.

Pasien yang memerlukan laparotomy segera merupakan satu-satunya kontra


indikasi untuk DPL atau DPT. Riwayat operasi abdomen, infeksi abdomen, koagulopati,
obesitas dan hamil trimester 2 atau 3 merupakn kontra indikasi relatif.

Keuntungan DPL/DPT

1. triase pasien trauma multisistem dengan hemodinamik yang tidak stabil, melalui
pengeluaran perdarahan intapertoneal
2. dapat mendeteksi perdarahan minor pada pasien dengan hemodinamik stabil.
Kelemahan dan komplikasi DPL / DPT

1. infeksi lokal atau sistemik ( pada kurang dari 0,3% kasus)


2. cedera intaperitoneal

24
3. positif palsu karena insersi jarum melalui dinding abdomen dengan hematoma atau
pada gangguan hemostasis

Interpertasi DPL

Pada trauma tumpul abdomen, aspirasi darah sebanyak 10 ml atau lebih pada DPT
menunjukkan kecurigaan lebih dari 90% terhadap adanya cedera intaperitoneal. Jika hasil
lavage pasien yang dikirim ke lab menunjukkan RBC lebih dari 100.000/mm3 maka dapat
dikatakan positif untuk cedera intraabdominal. Jika hasil aspirasi positif dan adanya
peningkatan RBC pada lavge menunjukkan adanya cedera, terutama viscera padat dan
struktur vaskular, namun hal ini tidak cukup untuk mengindikasikan laparotomi.

Pada pasien dengan fraktur pelvis, harus diwaspadai adanya positif palsu pada
DPL. Walaupun demikian pada lebih dari 85% kasus, pasien fraktur pelvis dengan aspirasi
positif pada DPT mengindikasikan adanya cedera intraperitoneal. Aspirasi negatif pada
pasien fraktur pelvis dengan hemodinamik yang tidak stabil menunjukkan adanya
perdarahan retroperitoneal, jika demikian perlu dilakukan angiography dengan embolisasi.

Peningkatan WBC baru terjadi setelah 3–6 jam setelah cedera, sehingga tidak
terlalu penting pada interpretasi DPL. Peningkatan amilase juga tidak spesifik dan tidak
sensitif untuk cedra pankreas.

Kriteria untuk trauma abdomen yang positif DPL berikut tumpul

Index Positive Equivocal

Aspirate

Blood >10 mL -

Fluid Enteric contents -

Lavage

Red blood cells >1.000.000 / mm3 >20.000 / mm3

White blood cells >1.000.000 / mm3 >500 / mm3

Enzyme Amylase >20 IU/L and Amilase >20 IU/L or


alkaline phosphatase >3 alkaline phosphatase >3
IU/L IU/L

Bile Confirmed -
biomechanically

25
I. Penatalaksanaan lanjutan

Pasien trauma tumpul abdomen harus dievalusi lanjut apakah diperlukan


perawatan operatif atau tidak. Setelah melakukan resusitasi dan penatalaksanaan awal
berdasarkan protokol ATLS, harus dipertimbangkan indikasi untuk laparotomi melalui
pemeriksaan fisik, ultrasound (USG), computed tomography (CT), dan DPT/DPL

26
Algoritma Prosedur Pemeriksaan pada Trauma Tumpul Abdomen

A. Pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil


Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, penatalaksanaan
bergantung pada ada tidaknya perdarahan intraperitoneal. Pemeriksaan difokuskan pada
USG abdomen atau DPL untuk membuat keputusan.

Walaupun ada banyak penelitian retrospektif dan beberapa penelitian prespektif


mendukung penggunaan USG sebagai alat untuk skrening trauma, beberapa ahli masih
mempertanyakan USG pada penatalaksanaan trauma. Mereka menekankan pada tingkat
sensitifitas dan adanya kemungkinan hasil negatif pada penggunaan USG untuk
mendeteksi cedera intraperitoneal. Walaupun demikian kebanyakan trauma center
memakai Focused Assesment with Sonography for Trauma (FAST) untuk mengevaluasi
pasien yang tidak stabil. FAST dilakukan secepatnya setelah primary survey, atau ketika
kliknisi bekerja secara paralel, biasanya dilakukana bersamaan dengan primary survey,
sebagai bagian dari C (Circulation) pada ABC.

Jika tersedia USG, sangat disarankan penggunaan FAST pada semua pasien dengan
trauma tumpul abdomen. Jika hasil FAST jelek, misalnya kualitas gambar yang tidak
bagus, maka selanjutnya perlu dilakukan DPL. Jika USG dan DPL menunjukkan adanya
hemoperitoneum, maka diperlukan laparotomi emergensi. Hemoperitoneum pada pasien

27
yang tidak stabil secara klinis, tanpa cedera lain yang terlihat, juga mengindikasikan untuk
dilakukan laparotomi. Jika melalui USG dan DPL tidak didapati adanya hemoperitoneum,
harus dilakukan investigasi lebih lanjut terhadap lokasi perdarahan. Pada penatalaksanaan
pasien tidak stabil dengan fraktur pelvis mayor, harus diingat bahwa USG tidak bisa
membedakan hemoperitoneum dan uroperitoneum

X-ray dada harus dilakukan sebagai bagian dari initial evalutiaon karena dapat
menunjukkan adanya perdarah pada cavum thorax. Radiography antero-posterior pelvis
bisa menunjukkan adanya fraktur pelvis yang membutuhkan stabilisasi segera dan
kemungkinan dilakukan angiography untuk mengkontrol perdarahan.

B. Pasien dengan hemodinamik yang stabil

Penilaian klinis pada pasien trauma tumpul abdomen dengan kondisi sadar dan
bebas dari intoksikasi, pemeriksaan abdomen saja biasanya akurat tapi tetap tidak
sempurna. Satu penelitian prospective observational terhadap pasien dengan hemodinamik
stabil, tanpa trauma external dan dengan pemeriksaan abdomen yang normal, ternyata
setelah dibuktikan melalui CT-scan ditemukan sebanyak 7,1% kasus abnormalitas.

USG dan CT sering digunakan untuk mengevaluasi pasien trauma tumpul


abdomen yang stabil. Jika pada USG awal tidak terdetekdi adanya perdarahan
intraperitoneal, maka perlu dilakukan pemeriksaan fisik, USG, dan CT secara serial.
Pemeriksaan fisik serial dilakukan jika hasil pemeriksaan dapat dipercaya, misal pada
pasien dengan sensoris normal, dan cedera yang mengganggu. Penelitian prospective
observational terhadap 547 pasien menunjukkan USG kedua (FAST) yang dilakukan
selama 24 jam dari trauma, meningkatkan sensitifitas terhadap cedra intraabdominal,

Jika USG awal mendeteksi adanya darah di intraperitoneal, maka kemudian


dilakukan CT scan untuk memperoleh gambaran cedera intraabdominal dan menaksir
jumlah hemoperitoneum. Keputusan apakah diperlukan laparotomy segera atau hanya
terapi non operatif tergantung pada cedera yang terdetaksi dan status klinis pasien. CT
abdominal harus dilakukan pada semua pasien dengan hemodinamik stabil, tapi tidak
untuk pasien dengan perubahan sensoris dan status mental karena cedera kepala tertutup,
intoksikasi obat dan alkohol, atau cedera lain yang mengganggu.

28
J. Indikasi Klinis Laparotomi
Laparotomi segera diperlukan setelah terjadinya trauma jika terdapat indikasi
klinis sebagai berikut :

1. kehilangan darah dan hipotensi yang tidak diketahui penyebabnya, dan pada
pasien yang tidak bisa stabil setelah resusitasi, dan jika ada kecurigaan kuat
adanya cedera intrabdominal
2. adanya tanda - tanda iritasi peritoneum
3. bukti radiologi adanya pneumoperitoneum konsisten
4. dengan ruptur viscera
5. bukti adanya ruptur diafragma
6. jika melalui nasogastic drainage atau muntahan didapati adanya GI bleeding
yang persisten dan bermakna.

29
BAB III

PEMBAHASAN KASUS

Pada kasus diatas T. AP yaitu mengalami kecelakaan tunggal ditemukan di tengah


jalan, perut membentur stang motor, pasien dalam keadaan sadar, ditemukan flat, simetris,
massa (-), terdapat jejas di regio hipokondria kiri dan regio illiaka kiri  selang obs 1 jam
nyeri tekan di semua regio. Nyeri tekan (+) di regio hipokondria kiri dan regio illiaka kiri
 selang obs 1 jam nyeri tekan di semua regio (defens muskular) hepar/ lien tak teraba
membesar, pada pemeriksaan penunjang terjadipenurunan hb meski tidak signifikan, pada
pemeriksaan rontgen BNO tidak tampak gambaran cedera organ dalam,seharusnya
pemeriksaan BNO dilakukan 3 posisi, namun pada hasil usg di curigai terdapat trauma
pada ginjal kiri pasien sehingga muncul diagnosis Obs Trauma tumpul abdomen dengan
susp ruptur ginjal dan Multiple vulnus eksoriasi et regio manus dektra dan sinistra,
sehingga dilakukan penatalaksaan pemasangan O2 2-3 liter/menit Inf RL rehidrasi 500 cc
20 tts/menit Pronalgess supp,Inj. ketorolak 1 amp/8 jam/iv, Inj. Ranitidin 1 amp/ 12
jam/iv, Inj. Ceftriaxon 2 gr vial/ 24 jam /iv, Pro kateter dan pantau urine, pasien di rawat di
ICU namun keesokan hari nya kondisi pasieen membaik, perut kembali supel dan nyeri
tekan bekurang, sesak berkurang, pada hari ke dua pasien pulang atas permintaan sendiri
dikarenakan biaya. Dan diberikan obat pulang asam mefenamat tab 3x 500 mg , ranitidin
tab 2x1, asam traneksamat 3 x1 tab, metil predisolon tab 2 x 4 mg, asam folat 2x1 tab.

Pada pasien dengan cedera intraabdominal perlu dilakukan konsultasi segera


dengan ahli bedah. Bila fungsi vital pasien bisa diperbaiki, maka evaluasi dan penanganan
akan bervariasi sesuai dengan cederanya.
Semua pasien trauma tumpul dengan hemodinamik yang tidak stabil harus segera
dinilai kemungkinan perdarahan intraabdominal maupun kontaminasi GI tract dengan
melakukan DPL, ataupun FAST. Pasien peritonitis dengan hemodinamik normal bisa
dinilai dengan CT scan, dengan keputusan operasi didasarkan pada organ yang terkena dan
beratnya trauma.
Indikasi untuk laparotomi ditegakkan melalui pemeriksaan fisik, ultrasound (USG),
computed tomography (CT), dan DPL.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. R. Sjamsuhidajat & Wim de Jong. 2004. Trauma dan Bencana. Buku Ajar Ilmu Bedah.
Edisi I. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta.
2. Udeani. 2008. Abdominal Trauma, Blunt. Department of Emergency Medicine, Charles
Drew University of Medicine and Science, University of California, Los. Available
from : http://emedicine.medscape.com/article/433404-overview. (Accesed 2011, 7
January )
3. Ahmadsyah, Ibrahim. Abdomen Akut. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Ilmu
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo. Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta.
4. Maxey. 2010. Abdominal Trauma Penetrating. Department of Surgery, Indiana
University School of Medicine. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/433554-overview. (Accesed 2011, 7 January)
5. Cheng. 2010. Abdominal Trauma Penetrating. Department of Emergency Medicine,
New York University, Bellevue Medical Center. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/822099-overview. (Accesed 2011, 7 January)
6. Salomone. 2009. Abdominal Trauma, Blunt. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/821995-overview. (Accesed 2011, 7 January)
7. Mansjoer, Suprohaita, W.K. Wardhani, W. Setiowulan. 2000. Trauma Abdomen.
Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III, Jilid II. Penerbit Media Aesculapius, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
8. Feliciano & Rozycki. 2003. Evaluation of Abdominal Trauma. American College of
Surgeons. Available from : http://www.facs.org/trauma/publications/abdominal.pdf
(Accesed 2011, 21 January)
9. Sabiston. 1995. Buku Ajar Bedah. Cetakan II. Penerbit EGC : Jakarta
10. Schwartz. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Penerbit EGC
11. Poletti et al. 2003. Blunt Abdominal Trauma:Should US Be Used to Detect Both Free
Fluid and Organ Injuries? Available from:
http://radiology.rsna.org/content/227/1/95.full.pdf+html (Accesed 2011, 30 January)
12. Carlos et al. 2005. Hemodynamically “Stable” Patients With Peritonitis After
Penetrating Abdominal Trauma. Available from: http://highwire.stanford.edu/cgi
(Accesed 2011, 30 January)
13. American College of Surgeon. 2004. Advanced Trauma Life Support. Terjemahan
IKABI (Ikatan Ahli Bedah Indonesia). First Impression :USA
14. Jong, Wim de. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2 . EGC : Jakarta
15. King, Maurice . 2002. Bedah Primer Trauma. EGC : Jakarta

31

Anda mungkin juga menyukai