Anda di halaman 1dari 19

Pengertian Geostrategi

Geostrategi merupakan strategi dalam memanfaatkan kondisi geografi negara untuk


menentukan tujuan , kebijakan. Geostrategi merupakan pemanfaatan lingkungan untuk
mencapai tujuan politik. Geostrategi juga merupakan metode mewujudkan cita-cita
proklamasi. Geostrategi juga untuk mewujudkan, mempertahankan integrasi bangsa dlm
masyarakat majemuk dan heterogin
Geostrategic adalah strategi dalam memanfaatkan konstelasi geografi Negara Indonesia untuk
menentukan kebijakan, tujuan dan sarana – sarana untuk mencapai tujuan nasional bangsa
Indonesia, serta memberi arahan tentang bagaimana merancang strategi pembangunan guna
mewujudkan masa depan yang lebih baik, aman dan sejahtera. Geostrategi Indonesia
bukanlah merupakan geopolitik untuk kepentingan politik dan perang tetapi untuk
kepentingan kesejahteraan dan keamanan Geostrategi Indonesia dirumuskan dalam wujud
konsepsi ”ketahanan nasional” Ketahanan nasional merupakan kondisi dinamis suatu bangsa,
berisikan keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan
kekuatan nasional, di dalam mengatasi dan menghadapi segala ancaman, gangguan,
hambatan serta tantangan baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung
maupun tidak langsung membahayakan integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara
serta perjuangan mengejartujuan nasional

Fungsi Geostrategi

Fungsi dan sifat Geostrategi Ketahanan Nasional


a). Sebagai daya tangkal dalam kedudukannya sebagai konsepsi penangkalan, geostrategi
Indonesia ditujukan untuk menangkal segala bentuk ancaman, gangguan, hambatan, dan
tantangan (AGHT) terhadap identitas, integritas, eksistensi bangsa, dan Negara Indonesia
dalam aspek ideology, politik, ekonomi, sosial budaya, dan aspek pertahanan keamanan.
b). Sebagai pengarah pengembangan kekuatan bangsa. Untuk mengarahkan dan
mengembangkan potensi kekuatan bangsa dalam yang meliputi bidang ideology, politik,
ekonomi, sosial budaya, dan aspek pertahanan keamanan sehingga tercapai kesejahteraan
rakyat. Dalam hal ini, ketahanan nasional berfungsi menyatukan pola pikir, pola tindak, dan
cara kerja intersekior, dan multidisipliner.

Kasus Perbudakan di Benjina Temui Titik Terang


JAKARTA - Indonesia kembali mendapatkan sorotan dari masyarakat dunia. Sorotan
kali ini terkait dengan adanya kasus dugaan terjadinya perbudakan yang terjadi
Pelabuhan Benjina, Kepulauan Aru, Maluku.

Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, Komjen Pol Budi
Waseso mengatakan, Bareskrim telah mengirimkan tim untuk mengusut tuntas kasus
perbudakan manusia itu.

"Sudah ada tim kita di sana. Tujuh orang yang sudah di sana. Malam ini berangkat
lagi ke sana lima orang lagi," ujar Budi Waseso usai rapat Panja bersama komisi III
DPR RI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (21/4/2015) malam.
Jenderal bintang tiga yang akrab disapa Buwas ini mengatakan telah menemukan titik
terang yang menjadi pokok permasalahan perbudakan yang terjadi di Benjina.

"Ya terus (didalami). Sudah ada (titik terang). Insya Allah, sudah ada tiga bahan
pokok yang dilakukan pendalaman," jelas Buwas.

Namun Buwas enggan menyebut apa saja titik terang dari kasus itu. Ia pun belum mau
berkomentar terkait dengan sudah ditemukannya pelaku utama dalam kasus ini. Ia
meminta masyarakat untuk bersabar, karena timnya akan membuktikan pengusutan
yang kini sedang dilakukannya.

"Nanti kita lihat, kita buktikan ya. Ini belum bisa menetukan dari perusahaan atau
jaringan apa saja," pungkasnya.

Seperti diketahui kasus perbudakan ini pertama kali diungkap oleh media asing
Associated Press (AP) dalam investigasi yang berjudul 'Are slaves Catching the Fish
You Buy?' pada 25 Maret 2015. Kejadian tersebut membuat berang Menteri Susi
Pudjiastuti yang langsung melarang aktivitas PT Pusaka Benjina Resource (PBR).

Kasubdit Perdagangan Manusia Bareskrim Mabes Polri, AKBP Arie Dharmanto


mengatakan, praktik perbudakan tersebut cukup sadis. Bila karyawan meminta gaji,
justru pihak Benjina memasukkan karyawan ke sel. "Mereka tidak digaji, jika minta
gaji langsung disel," jelas Arie.

Atas insiden tersebut, Kedutaan Besar Thailand untuk Indonesia dan Kepolisian
Thailand mengirim utusan ke Benjina untuk memeriksa dugaan praktik perbudakan
ABK Myanmar, Kamboja, dan Thailand itu.

Komjen Buwas: Ada Tiga Bahan Pokok


Pendalaman Kasus Benjina
Jakarta - Pelabuhan Benjina, Kepulauan Aru, Maluku menjadi sorotan terkait berbagai kasus yang
terjadi terutama isu dugaan terjadinya perbudakan. Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim)
Polri Komjen Budi Waseso mengatakan sudah ada titik terang yang menjadi pokok permasalahan.

"Ya terus (didalami). Sudah ada (titik terang). Insya Allah, sudah ada tiga bahan pokok yang
dilakukan pendalaman," kata Komjen Buwas usai rapat panja di Komisi III, komplek parlemen,
Senayan, Jakarta, Selasa (21/4/2015).

Dia pun menambahkan jika pihaknya menambah tim untuk mendalami kasus di Benjina. Misalnya
pada Selasa malam sudah dikirim tim tambahan untuk membantu pengusutan yang dilakukan tim
sebelumnya.

"Oh, sudah, sudah ada tim kita di sana. Tujuh orang yang sudah di sana. Hari ini malam ini berangkat
lagi ke sana lima orang lagi," ujar perwira tinggi bintang tiga itu.

Lantas, apakah titik terang itu sudah mengerucut terhadap pihak sebagai pelaku? Ia menolak
berkomentar. Namun, hal ini akan dibuktikan dalam pengusutan yang dilakukan pihaknya.

"Nanti kita lihat, kita buktikan ya. Ini belum bisa menetukan dari perusahaan atau jaringan apa saja,"
sebutnya.

Kabareskrim: Ada Titik Terang, Kasus


Benjina Didalami
Penyidik Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri terus mendalami dugaan
pembunuhan yang menewaskan Koordinator Pos Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan
Perikanan (SDKP) Kepulauan Aru, Maluku, Yoseph Sairlela. Yoseph adalah saksi penting
dalam penelusuran pencurian ikan serta perbudakan yang terjadi di PT Pusaka Benjina
Resources (PBR) atau kasus Benjina.

Terkait itu, Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Pol Budi Waseso menyebut pihaknya
berjanji akan mendalami kasus tersebut.

"Kita dalami, kan sudah dilakukan autopsi. Bagaimana ya kita ikuti terus itu," kata pria yang
akrab disapa Buwas itu di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (21/4/2015) malam.

Namun dia enggan berspekulasi tewasnya Yoseph disebabkan oleh kekerasan. "Hasil
autopsilah yang akan menjadi penentu dugaan tewasnya Yoseph (saksi kasus Benjina)."

Ia menjelaskan, polisi memang boleh menaruh curiga, tapi tidak boleh menuduh. "Nanti hasil
autopsilah yang menentukan ya, jangan spekulasi," tegas dia.

Temukan Titik Terang

Anak buah Menteri Susi Pudjiastuti itu disebut-sebut menjadi saksi kunci dugaan
terjadinyaillegal fishing dan perbudakan manusia di Laut Benjina, Kepulauan Aru, Maluku.

Buwas menyatakan, pihaknya kini telah mendapat titik terang terhadap dugaan pelanggaran
hukum tersebut.

"Ya, (kasus Benjina) terus (didalami). Sudah ada (titik terang). Insya Allah, sudah ada 3
bahan pokok yang dilakukan pendalaman," kata dia.

Hanya saja jenderal bintang tiga itu menepis kabar, pihaknya menambah tim untuk
mendalami kasus Benjina.

"Oh, sudah, sudah ada tim kita di sana. 7 Orang yang sudah di sana. Hari ini (Selasa 21
April 2015) malam ini berangkat lagi ke sana 5 orang lagi," ujar Buwas.

Saat ditanyakan apakah titik terang yang dimaksud telah mengerucut terhadap pihak-pihak
yang diduga pelaku, Kabareskrim enggan menanggapinya.

"Nanti kita lihat, kita buktikan ya. Ini belum bisa menentukan dari perusahaan atau jaringan
apa saja," tandas Budi Waseso.

Yoseph Sairlela ditemukan tewas pada Sabtu 18 April 2015 di Hotel Treva Cikini, Jakarta.
Kematian Yoseph diduga berkaitan praktik perbudakan ABK asing di Benjina, Kepulauan
Aru, Maluku. Yosef dianggap mengetahui informasi tentang PT Pusaka Benjina Resource
yang terlibat dalam kasus tersebut. (Ans)

Tangani Kasus Perbudakan di Benjina Maluku,


Jokowi Bentuk Tim Gabungan
Selasa, 7 April 2015 | 19:10 WIB

Presiden Joko Widodo memutuskan membentuk tim gabungan untuk menangani


kasus dugaan perbudakan yang terjadi di Benjina, Kabupaten Kepulauan Aru,
Maluku. Tim ini diharapkan membongkar praktek illegal fishinghingga perbudakan
yang terjadi di sana.

"Presiden membentuk tim khusus menangani Benjina dan semua sepakat, presiden
dan wapres, semua sepakat harus menghentikan praktek illegal fishing apalagi
Benjina ini sekarang ada isu perbudakan," ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Susi
Pudjiastuti di Istana Kepresidenan, Selasa (7/4/2015).

Tim gabungan itu terdiri dari Tentara Nasional Indonesia, Bea Cukai, kepolisian, dan
Badan Keamanan Laut (Bakamla). Dia mengatakan, kasus Benjina ini diharapakan
segera selesai karena Indonesia menjadi sorotan dunia karena isu perbudakan itu.
Apalagi,lanjutnya, Indonesia telah meratifikasi konvensi dari International Labor
Organization (ILO).

Menurut Susi, kejadian Benjina yang menimpa ABK Myanmar ternyata juga terjadi
pada ABK asal Indonesia yang bekerja untuk kapal asing di perairan Angola.

"Jadi apa yang terjadi dengan orang Myanmar, sebetulnya pencurian ikan ini
kejahatan yang tidak bisa dianggap enteng. Kejahatan luar biasa kemanusiaan,"
ucap dia.

Dunia internasional tengah menyoroti kasus perbudakan ABK di sebuah tempat


terpencil bernama Benjina, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku. Di wilayah itu, terjadi
perbudakan terhadap ABK asal Myanmar yang diduga dilakukan oleh pemilik kapal
eks asing milik Thailand dan beroperasi di Indonesia.

Kapal itu dimiliki PT Pusaka Benjina Resources (PBR), yang mengolah ikan-ikan
hasil tangkapannya dan disinyalir dilakukan secara ilegal. Produk ikan olahan itu
kemudian didistribusikan ke supermarket-supermarket di negara maju, seperti
Amerika Serikat.

Atas temuan kasus ini, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti langsung
memerintahkan menghentikan sementara pengiriman produk perikanan yang
dihasilkan PBR, termasuk larangan ekspor.

Susi menyebutkan, pemerintah harus bertindak cepat dan tegas karena dugaan
perbudakan itu dapat berdampak besar bagi produk-produk perikanan asal
Indonesia. Hal itu karena Uni Eropa dan Amerika Serikat mengancam akan
memboikot produk-produk perikanan Indonesia yang dihasilkan dari kegiatan
perbudakan. Saat ini, AS telah memboikot produk-produk PBR yang dikirim ke
Thailand untuk diekspor ke AS.

Delegasi Myanmar Usut Dugaan Perbudakan Nelayan


di Pulau Benjina
Setelah Thailand, kini delegasi Pemerintah Myanmar mendatangi Pulau Benjina, Kabupaten
Kepulauan Aru, Maluku, Jumat (10/4/2015). Tim Delegasi Myanmar juga akan mendata nelayan
asal Myanmar sekaligus melakukan investigasi dugaan perbudakan nelayan yang dilakukan PT
Pusaka Benjina Resources (PBR) di Pulau Benjina.

Delegasi Myanmar ini terdiri dari dua orang staf Kedutaan Besar Myanmar untuk Indonesia,
Kyaw dan Phone Myint. Mereka juga didampingi perwakilan organisasi internasional buruh
migran. Tim delegasi Myanmar ini mendatangi tempat penampungan nelayan di Pulau Benjina.
Setidaknya ada 175 nelayan asal Myanmar yang terdata. Hasil wawancara diketahui bahwa para
nelayan asal Myanmar ini direkrut perusahaan Thailand untuk dipekerjakan di PT PBR di Pulau
Benjina. Para nelayan mengaku diperlakukan tidak layak sebagai pekerja di pulau itu.

Tim Delegasi Myanmar kemudian mendatangi PT PBR untuk meminta klarifikasi terkait
perbudakan nelayan Myanmar. Manajer PT PBR, Hermanwir Martino pun membantah dugaan
perbudakan terhadap para nelayan itu. Meski demikian, Hermanwir mengaku ada nelayan asal
Myanmar yang dikurung di ruang isolasi. Menurutnya sejumlah nelayan yang dikurung itu terlibat
perkelahian dan mabuk-mabukan dengan nelayan asing lainnya.

"Saat ini, masih ada 958 nelayan asing di sini. 175 berkebangsaan Myanmar, 746 nelayan
Thailand, dan sisanya nelayan asal Kamboja," kata Manajer PT PBR, Hermanwir Martino di
Kabupaten Kepulauan Aru, Jumat siang.

Sebelumnya, 319 nelayan asal Thailand, Myanmar, Kamboja, dan Laos dievakuasi dari Pulau
Benjina ke Tual, Maluku. Para nelayan itu diduga menjadi korban perbudakan nelayan di Pulau
Benjina. Pemerintah Thailand pun mendatangi Pulau Benjina dan memulangkan para
nelayannya.

Selain nelayan asing, ada puluhan kapal bekas penangkap ikan Thailand yang berlabuh di
Maluku. Kapal-kapal itu diduga menangkap ikan secara ilegal (Illegal Fishing) di Laut Arafura,
Maluku. Sejumlah kapal itu tidak beroperasi lagi setelah terbentur moratorium izin penangkapan
ikan yang dikeluarkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.
TTD

Pertahanan Laut Negara Kepulauan


Rosihan Arsyad ; Laksamana Muda TNI Purnawirawan,
Pemimpin Umum Sinar Harapan
SUMBER : SINAR HARAPAN, 1 Juni 2012

Pengertian pertahanan negara adalah segala usaha untuk menegakkan


kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari
ancaman serta gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara, disusun
dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara
kepulauan.
Undang-undang ini dengan jelas mengamanatkan bahwa pertahanan Negara
bukan saja masalah kedaulatan dan keutuhan negara, tetapi juga
perlindungan dan keselamatan segenap bangsa, di mana pun mereka berada
di muka bumi.

Geopolitik dan geostrategi yang tepat bagi Indonesia sebagai negara


kepulauan yang terbesar di dunia bertumpu pada kekuatan maritim sehingga
TNI AL harus dijadikan titik sentral pertahanan negara. Sudah barang tentu
TNI AL tidak akan berhasil tanpa keunggulan udara melalui TNI AU yang kuat.

Adagium “It takes two if by the sea” telah terbukti ampuh sehingga perlu
dijadikan dasar kebijakan pertahanan di laut. Tentu, bila upaya penangkalan
dan pertahanan berlapis gagal, diperlukan TNI AD yang kuat sebagai
komponen utama sistem pertahananan pulau besar.

Pembangunan kekuatan angkatan laut dan angkatan udara harus segera


dilakukan, bukan saja untuk memenuhi kebutuhan pembangunan kekuatan
pertahanan dan keamanan negara, namun juga untuk memenuhi kewajiban
Indonesia sebagai negara kepulauan yang diatur dalam United Nations
Convention on the Law of the Sea 1982(UNCLOS 1982). UNCLOS 1982 telah
mengakui prinsip kesatuan wilayah bagi negara RI, yaitu bahwa laut di antara
pulau merupakan wilayah kedaulatan RI.

Namun, di samping hak tersebut, Indonesia sebagai negara kepulauan dapat


menetapkan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) serta wajib menjamin
lintas damai kapal asing, termasuk menjaga keamanan dan keselamatannya.

Pembangunan Kekuatan TNI

Pembangunan pangkalan di wilayah perbatasan dan pulau terdepan harus


diikuti penggelaran atau penempatan unsur TNI yang lebih berorientasi keluar
(outward looking) serta untuk dapat menerapkan strategi penangkalan. Paling
tidak, relokasi ini adalah untuk mengantisipasi tugas melindungi keselamatan
segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan
negara. Untuk itu, perlu diterapkan sistem pertahanan berlapis (defence in
depth), mengadang lawan mulai dari medan pertahanan penyangga, paling
tidak mulai dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Ubah Paradigma

Namun sayangnya, belum terlihat langkah nyata untuk memenuhi kebutuhan


pelaksanaan tugas pertahanan keamanan negara, khususnya di laut. Harus
pula dipahami bahwa penegakan hukum di laut juga berarti penegakan
kedaulatan negara, sehingga merupakan bagian dari pertahanan negara.

Dalam kaitan dengan pembangunan kekuatan, ada dua pendekatan yang


dapat dipakai, baik salah satu maupun kedua-duanya, yaitu pendekatan
ancaman dan pendekatan tugas. Ditinjau dari pendekatan ancaman, perlu
dipertimbangkan kembali paradigma “a million friends, zero enemies” yang
menjadi visi politik luar negeri Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Ini
karena pada prinsipnya, hubungan luar negeri adalah proyeksi kepentingan
dalam negeri.

Dengan demikian, dalam hubungan luar negeri kepentingan setiap negara


adalah yang paling utama dengan risiko berbenturan dengan kepentingan dan
politik luar negeri negara lain. Bukankah “tidak ada kawan yang abadi,
melainkan kepentingan yang abadi”? Kita mungkin memang tidak perlu
memandang semua negara lain sebagai musuh (enemy) atau sebagai
pesaing (rival), tetapi kita juga tidak mungkin memandang semua negara lain
sebagai teman (friend).

Dalam konsep SBY itu, Indonesia memandang semua negara sebagai teman.
Persoalannya adalah apakah ini menguntungkan bagi kepentingan nasional
Indonesia atau justru merugikan? Dilihat dari sisi kepentingan keamanan
nasional, konsep ini justru merugikan, karena kita tidak akan dapat secara
realistis mempersepsikan ancaman.

Akibatnya tentu strategi pertahanan kita tanpa arah, yang berujung pada
strategi militer kita (baca: TNI) yang tidak jelas dan tidak akan pernah dapat
digunakan sebagai dasar dalam menentukan postur dan struktur
pembangunan kekuatan, serta tidak dapat digunakan sebagai rules of
engagement bagi komandan di lapangan.

Tugas Pokok AL

Oleh karena tidak dapat menggunakan pendekatan ancaman, setiap


angkatan cenderung menggunakan pendekatan tugas masing-masing, yang
hasilnya tidak akan efektif dalam perpaduan operasi gabungan. Sebagai
contoh, TNI AL menggunakan istilah minimum essential force dalam
pembangunan kekuatannya.

Konsep ini sangat kabur, karena tidak mengacu pada kaidah dasar
penyusunan strategi militer. Banyak definisi tentang strategi, tetapi yang
mungkin paling mudah dipahami adalah definisi: means, ways and ends.
Strategi adalah alat dan cara untuk mencapai tujuan. Liddel Hart menyatakan
secara lebih komprehensif bahwa strategi adalah: the art of distributing and
applying military means to fulfill the ends of policy. Dengan demikian, jelas bila
TNI AL ingin menggunakan pendekatan tugas maka seharusnya menetapkan
strateginya dengan terlebih dahulu menyatakan tugas pokok atau tugas dan
tujuan yang ingin dicapai.

Secara tradisional universal, tugas angkatan laut adalah mengamankan


perdagangan negara sendiri dan pengendalian laut. Namun, globalisasi dan
saling terkaitnya ekonomi berbagai negara di dunia saat ini membuat
pengendalian laut harus memelihara keselamatan dan keamanan pelayaran,
termasuk bagi seluruh negara pengguna laut.

Geoffrey Till menyatakan bahwa tugas angkatan laut secara umum


adalah: sea control, expeditionary operation, good order at sea, the
maintenance of a maritime consensus. Artinya, angkatan laut harus mampu
melakukan tugas pengendalian laut, memproyeksikan kekuatan, menegakkan
hukum di laut, dan memelihara konsensus kemaritiman seperti kerja sama
serta membangun rasa saling percaya.

Untuk mampu melaksanakan tugas-tugas tersebut, TNI AL membutuhkan


kapal utama dengan standar modern (NATO Standard) seperti korvet, kapal
selam, destroyer atau fregat, bahkan kapal induk. Kapal utama jenis ini juga
lebih mencerminkan kemampuan dan niat melakukan penangkalan atau
denial.

Dengan kapal-kapal utama tersebutlah, dibantu dukungan pesawat tempur


TNI AU yang canggih, Indonesia baru mampu menerapkan sistem pertahanan
berlapis, bahkan pertahanan depan atau forward defence seperti yang dianut
banyak negara.

Perkuatan alutsista TNI saat ini sudah mendesak melalui penambahan dan
peremajaan. Modernisasi alutsista yang berteknologi mutakhir didukung
kemampuan peperangan elektronika sudah harus mulai menampakkan
bentuk kekuatannya. TNI harus menjadi kekuatan yang diperhitungkan,
terutama di kawasan.

Minimum Essential Force pun harus diartikan sebagai kemampuan


mengendalikan dan mempertahankan seluruh wilayah kedaulatan RI.
Indonesia seharusnya sudah memiliki pesawat terbang tempur berbagai jenis
didukung oleh sistem radar yang secara terintegrasi mampu mendeteksi
setiap intrusi yang terjadi di wilayah RI. Indonesia sangat memerlukan TNI AU
yang efektif, baik untuk pengendalian udara, maupun untuk melindungi tugas-
tugas TNI AL di laut.

Sangat wajar bila TNI AL memiliki sekitar lebih dari 200 KRI terutama jenis
Corvette atau lebih besar, kapal selam, bahkan kapal induk, yang
diorganisasikan dalam tiga armada kawasan dan dengan pemangkalan di
pulau terdepan selektif untuk mengantisipasi ancaman dan pengendalian
ALKI.

Dukungan logistik dan pemangkalan yang memperhatikan tugas pokok dan


persepsi ancaman merupakan faktor penting. Pada periode ini, industri
strategis dalam negeri harus dikembangkan untuk mampu memasok alutsista
seperti tank, panser, roket, artileri, kapal cepat roket, kapal perusak kawal,
kapal selam, peluru kendali, helikopter, pesawat angkut, dan jet tempur.

Penggunaan Kekuatan TNI Sehari-hari

TNI perlu melaksanakan patroli rutin dan patroli keamanan di laut dengan
kapal perang dan pesawat TNI AU serta peningkatan kemampuan radar laut
dan udara secara terintegrasi. Perlu ditingkatkan kehadiran sehari-hari kapal-
kapal perang RI dan pesawat terbang TNI AU di seluruh perairan Indonesia,
terutama di pulau-pulau terdepan serta patroli penegakan keamanan dan
keselamatan di laut dalam rangka mempertahankan segenap tumpah darah
dan setiap jengkal Tanah Air dari gangguan pihak asing.

Pameran bendera berupa kehadiran TNI juga bertujuan memelihara dan


meningkatkan sekaligus menggugah semangat nasionalisme dan patriotisme
Indonesia, di kalangan masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan, pulau-
pulau terluar dan terpencil.

Tentulah TNI harus tetap melakukan upaya untuk membangun rasa percaya
antara sesama negara tetangga dangan diplomasi militer dan Confidence
Building measure(CBm) dengan melakukan kegiatan yang diperlukan dalam
rangka mengamankan wilayah perbatasan melalui kerja sama bilateral
dengan negara-negara tetangga.

TNI yang kuat bukan saja akan menjadi kekuatan penangkal dan penggentar,
tetapi juga alat diplomasi yang tangguh serta menjadi faktor yang mampu
meningkatkan pengaruh negara Indonesia. Kejayaan TNI diyakini bisa
menjadi faktor penjinak bagi niat jahat negara kawasan terhadap
Indonesia. Sivis pacem, para bellum, kalau ingin damai, siaplah untuk perang!
LPSK Siap Lindungi Saksi Kasus Benjina
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) siap membantu Polri melindungi saksi kasus
dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan ilegal fishing di Benjina.

“Sesuai UU Perlindungan Saksi dan Korban, sudah menjadi tugas LPSK dalam memberikan
dukungan penegakan hukum melalui upaya perlindungan saksi dan korban," kata Wakil Ketua
LPSK, Edwin Partogi Pasaribu, Kamis (23/4/2015).

Perlindungan terhadap saksi dan korban kasus Benjina diharapkan bisa membantu
pengungkapan kasus tersebut. Perusahaan yang diduga melakukan tindak pidana tersebut
diduga dilindungi oknum aparat lintas instansi.

LPSK dan Polri sudah koordinasi untuk bekerjasama dalam memberikan perlindungan. “Masih
ada 30 orang saksi yang diharapkan bisa membantu mengungkap kasus ini, delapan di
antaranya saksi kunci. LPSK siap membantu Polri melindungi saksi," jelasnya.

Edwin memastikan LPSK akan memprioritaskan perlindungan terhadap saksi kasus tersebut
karena TPPO merupakan salah satu tindak pidana prioritas yang saksi dan korbannya diberikan
perlindungan menurut Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.

“Selain Bareskrim, Komnas HAM juga menyampaikan harapan agar saksi kasus Benjina segera
dilindungi,” pungkas Edwin.

PT PBR, sebuah perusahaan perikanan di Benjina, Maluku, diduga melakukan praktik


perbudakan dan ilegal fishing. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mensinyalir PT PBR
dilindungi oknum dari sejumlah instansi.
TRK

KNTI: Tuntaskan Upaya Pemberantasan


Mafia Perikanan
WE Online, Jakarta - Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mendesak pemerintah
segera memperbaiki koordinasi antarlembaga pemerintahan untuk memberantas mafia perikanan
yang dinilai masih merajalela di berbagai daerah. Tuntaskan upaya memberantas mafia perikanan,
kata Ketua Umum KNTI M Riza Damanik di Jakarta, Minggu (26/4/2015).

Menurut Riza, praktik perbudakan, perdagangan manusia, hingga korupsi di sektor perikanan berawal
dari amburadulnya mekanisme perizinan sektor perikanan. Selain itu, ia juga menyoroti kejadian
meninggalnya pegawai KKP Yoseph Sairlela yang merupakan salah satu saksi kasus dugaan
perbudakan di Benjina, Maluku.

Tewasnya Yoseph, saksi kunci kasus Benjina, tidak serta merta memutus rantai pengungkapan
praktek perbudakan dalam dunia maritim Indonesia, ujar Riza Damanik.

Apalagi, menurut dia, temuan dugaan perbudakan nelayan dan awak buah kapal (ABK) disinyalir
terjadi pula dengan kasus yang serupa di tempat lain. Sebelumnya, KNTI menyatakan praktik mafia
perikanan sangat kuat yang terindikasi dengan mencuatnya ke permukaan sejumlah kasus hukum
terkait sektor kelautan dan perikanan di Tanah Air.

KNTI yakin bahwa praktik mafia perikanan sangat kuat. Oleh karena itu aparat penegak hukum
sebaiknya memprioritaskan pengungkapan pelaku utama mafia perikanan, kata Ketum KNTI M Riza
Damanik.

Menurut dia, pengungkapan pelaku utama mafia perikanan harus dilakukan kepada pihak-pihak baik
yang bersembunyi di balik perusahaan nasional/asing, birokrasi, maupun institusi penegakan hukum.

KNTI menilai dari dua kasus illegal fishing teranyar yaitu putusan ringan kapal raksasa ( 4.000
GT/gross tonnage) pengangkut ikan berbendera Panama MV Hai Fa, dan terungkapnya praktik
perbudakan di Benjina, menjelaskan proses penegakan hukum di laut Indonesia kurun 5 bulan
terakhir hanya sedikit memberikan efek jera.

Bahkan, lanjutnya, hal itu juga dinilai belum berhasil menakut-nakuti dari mereka yang belum
terungkap secara tuntas, seperti terjadi di Benjina. Ia juga mengemukakan bahwa hal itu juga
diperparah dengan lemahnya koordinasi dan perbedaan prioritas antarlembaga. (Ant)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menemukan fakta
jika pemerintah melakukan pembiaran terhadap kasus pencurian ikan dan perbudakan yang
dilakukan di pulau-pulau kecil di Indonesia, salah satunya di Benjina, Maluku. Menurut mereka
para pejabat publik yang bergerak di bagian perizinan memiliki andil dalam kasus kali ini.

Ketua KNTI Riza Damanik mengungkapkan ada tiga jabatan yang setidaknya harus ikut
diperiksa oleh penyidik Polri terkat kasus Benjina. Ketiganya adalah Dirjen Perikanan Tangkap,
Direktur Bidang Pelayanan Usaha Perikanan, dan Direktur Peningkatan Usaha Perikanan
(PUPi), ketiganya berada di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan.

"Hulu dari semua ini adalah KKP maka jangan lupa untuk lakukan penyelidikan terhadap mereka
yang terlibat dalam proses perizinan. Tiga di antaranya adalah Dirjen Perikanan Tangkap,
Direktur bidang Pelayanan Usaha Perikanan, dan Direktur Peningkatan Usaha Perikanan," ujar
Riza saat ditemui di Jakarta, Ahad (26/4).

"Setidaknya mereka tahu bahwa perusahaan ini melakukan pelanggaran, salah satunya adalah
menggunakan anak buah kapal asing di kapal berbendera Indonesia," ujarnya melanjutkan.

Riza mengungkapkan PT Pusaka Benjina Resource telah melanggar izin mencari ikan sejak
2009 lalu tapi entah kenapa setiap tahun mereka selalu mendapat perpanjangan izin dari
pemerintah. Mereka, lanjut Riza, diberikan keleluasaan dalam posisi yang tidak memenuhi syarat
tapi mendapatkan izin. (Baca juga: BKPM: Surat Menteri Susi Tak Cukup Untuk Cabut Izin
Benjina)

KNTI pun mendapatkan fakta izin yang dikeluarkan terhadap PT PBR tidaklah mendapat
rekomendari dari Direktur PUPi. Bagian pelayanan mengeluarkan izin tapi tidak ada
rekomendasi sama sekali. Baik bagian pelayanna ataupun Direktur PUPi pasti selaku
berkoordinasi dengan Dirjen Perikanan Tangkap, oleh sebab itu tiga posisi tersebut harus ikut
diperiksa dalam kasus Benjina.

Lebih jauh Riza mengatakan orang yang memiliki andil sejak 2009 hingga sekatang harus
didalami keterkaitannya. Selain itu perlu ada kejelasan apakah kasus Benjina adalah satu-
satunya atau ada kasus lain yang belum terungkap.

"Pelayanan mengeluarkan izin tapi tak ada rekomendasi dari PUPi dan keduanya juga selalu
berkoordinasi dengan dirjen. Maka jika ingin mengetahui dan menuntaskan kasus ini, ingin kasus
pencurian ikan selesai, pengawasan harus ditertibkan dan juga pegawasan terhadap tiga hulu
tadi harus juga ditingkatkan," ujarnya. (Baca juga: LPSK: Delapan Saksi Kunci Benjina Butuh
Perlindungan)

"Apakah ada kasus lain atau ini hanya satu-satunya kasus? Intinya adalah ada kerugian negara
yang terjadi akibat meloloskan anak buah kapal asing bekerja di kapal berbendera Indonesia.
Kita harap kepolisian bisa bertindak tepat dengan harapan ini tidak jadi polemik yang
berkepanjangan," kata Riza menegaskan. (hel)

Geopolitik
Pengertian geopolitik : Kata geopolitik berasal dari kata geo dan politik. “Geo” berarti bumi
dan “Politik” berasal dari bahasa Yunani politeia, berarti kesatuan masyarakat yang berdiri
sendiri (negara) dan teia yang berarti urusan. Sementara dalam bahasa Inggris,politics adalah
suatu rangkaian asas (prinsip), keadaan, cara, danalat yang digunakan untuk mencapai cita-
cita atau tujuan tertentu. Dalam bahasa Indonesia, politik dalam artipolitics mempunyai
makna kepentingan umum warga negara suatu bangsa. Politik merupakan suatu rangkaian
asas, prinsip, keadaan, jalan, cara, dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu
yang kita kehendaki.

Secara umum geopolitik adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri,
lingkungan, yang berwujud Negara kepulauan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

Pentingnya geopolitik bagi Indonesia adalah untuk dapat mempertahankan Negara dan
berperan penting dalam pembinaan kerjasama dan penyelesaian konflik antarnegara yang
mungkin muncul dalam proses pencapaian tujuan.

Tim Khusus untuk Tangani Perbudakan Benjina


Presiden Joko Widodo memutuskan untuk membentuk tim khusus menangani kasus
perbudakan yang melibatkan PT Pusaka Benjina Resources (PBR) di Kepulauan
Aru, Maluku. Hal tersebut sebagai hasil rapat terbatas membahas illegal fishing yang
dipimpin Presiden dan dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Selasa (07/04).

"Semua sepakat, Presiden, Wapres, kita semua sepakat harus sudah saatnya kita
menghentikan praktek illegal fishing apalagi Benjina sekarang ini berkaitan dengan
isu perbudakan sudah menjadi bahan perbincangan internasional," kata Menteri
Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastusi seusai rapat terbatas di kantor Presiden,
Jakarta, Selasa (07/04) seperti dikutip dari laman Sekretariat Kabinet.

Satgas Khusus Penegakan Hukum beranggotakan dari kejaksaan, kepolisian,


panglima dan semua kementerian dan lembaga untuk saling membantu
menyelesaikan kasus tersebut."Nanti kejaksaan, kepolisian, bantu memberikan
orang-orangnya. Jadi mirip Satgas yang ada tapi lebih ke penegakan hukumnya,"
papar Susi.

“Setiap kapal ilegal melakukan kejahatan di Indonesia harus kita tindak, tidak ada
target waktu, orang juga nyurinya datang lagi datang lagi. Yang pasti dengan
mereka ngumpet di negara tetangga kita, mereka akan lebih mudah masuk ke
negara kita. Pasti mereka akan tetap nyuri di perairan kita, jadi tadi Pak Presiden
menegaskan meminta Panglima, Kapolri, Kejaksaan untuk solid mendukung
penenggelaman kapal adalah diskresi sebuah negara yang tidak bisa dipertanyakan,
tidak harus dipikirkan,” jelas Susi.

Adanya Perbudakan

Dugaan pelanggaran usaha perikanan yang melibatkan PT Pusaka Benjina


Resources (PBR) di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku, terus berkembang luas.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendapatkan fakta terbaru bahwa
pelanggaran yang terjadi sudah meluas ke berbagai sektor.

Menurut Ketua Satgas IUU Fishing Mas Achmad Santosa, pelanggaran yang terjadi
tidak hanya mengarah pada ilegal fishing saja, tapi juga praktek suap, kolusi dan
perbudakan. Fakta tersebut didapat setelah tim pencari fakta KKP terjun langsung
ke Benjina.

“Update terkini, disana ada dugaan praktek perbudakan. Kita saat ini terus
melakukan inventarisasi masalah dan mendata berapa jumlah ABK (anak buah
kapal, Red) yang ada disana,” demikian dijelaskan Mas Achmad Santosa yang lebih
akrab dipanggil Ota di Kantor KKP, Jakarta pada Selasa (07/04).

Dugaan praktek perbudakan terjadi, jelas Ota, setelah tim melakukan pengumpulan
data melalui wawancara kepada para ABK secara langsung di Benjina. Hasilnya,
para ABK dengan caranya masing-masing mengungkapkan tindakan tak terpuji
dalam praktek ketenagakerjaan yang dilakukan PT PBR.

Karenanya, setelah mendapatkan keterangan mengejutkan tersebut, KKP


mengambil keputusan untuk memindahkan ABK ke Tual. Namun, saat hendak
dipindahkan, tidak semua ABK mau dan hanya 322 orang saja yang berhasil dibawa
ke Tual dan ditempatkan di tempat yang aman dan nyaman. Dari seluruh ABK yang
dipindahkan tersebut, terdapat ABK dari Myanmar, Kamboja dan Thailand.

“Kita memindahkan mereka, karena tidak ada jaminan begitu tim kembali ke Jakarta,
ABK mendapat perlakuan yang wajar. Kita sebisa mungkin memberikan
perlindungan dini kepada para ABK,” ungkap Ota.

Dari keterangan para ABK, diketahui kalau dalam keseharian bekerja mereka
mendapatkan perlakuan berupa penganiayaan dan praktek kerja paksa. Fakta
tersebut, kata Ota, sangat memprihatinkan karena praktek kerja paksa merupakan
kejahatan kemanusian dan termasuk dalam pelanggaran hak azasi manusia (HAM)
berat.

Selain itu, tim juga menemukan dugaan adanya penggunaan ABK asing tidak sesuai
prosedur dan salah satunya melalui praktek pemalsuan dokumen ABK. Karenanya,
sempat muncul perbedaan jumlah data ABK di dokumen dengan di lapangan
langsung.

Sesuai data, jumlah ABK asing seluruhnya berjumlah 1.185 orang dan seluruhnya
berkewarganegaraan Thailand. Namun, setelah tim Satgas KKP datang langsung ke
Benjina, para ABK diketahui tidak hanya berasal dari Thailand saja dan bahkan ada
juga dari Indonesia.

Fakta tersebut diperkuat dari keterangan Anggota Satgas IUU Fishing KKP,
Harimuddin. Menurutnya, data yang ada di dokumen berbeda jauh dengan di
lapangan. Meski masih belum menemukan data pasti, namun dipastikan jumlahnya
menyusut dari jumlah di dokumen 1.185 orang.”Selain itu, di dokumen disebutkan itu
semua berasal dari Thailand. Padahal, ada juga yang berasal dari Kamboja dan
Myanmar,” ungkap dia.
Selain itu, tim juga mendapatkan fakta bahwa di Benjina ada 77 ABK yang
meninggal dunia dan dimakamkan disana. Namun, Harimuddin tidak berani
memastikan apa penyebab kematian para ABK tersebut.”Penyebabnya beragam.
Ada yang karena sakit, kecelakaan di laut dan ada juga yang ditemukan sudah
meninggal,” jelas dia.

Aktivitas Berhenti Total

Saat ini, KKP memastikan bahwa aktivitas PT PBR sudah berhenti total dan tidak
ada aktivitas pelayaran sama sekali setelah dugaan indikasi perbudakan dan praktek
suap mengemuka. Namun, KKP akan terus memastikan kasus tersebut ditangani
dengan tuntas melalui investigasi menyeluruh.

“Satgas sudah mulai melakukan penelusuran data dan mengkrosceknya supaya


didapat validitasnya. Namun, setelah ditelusuri, praktek yang terjadi di Benjina
diduga kuat meluas ke sektor lainnya. Tidak hanya perbudakan dan suap saja,” ujar
Sekretaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja di Kantor KKP pada kesempatan yang
sama.

Pembentukan Tim Investigasi

Untuk mengusut kasus dugaan praktek perbudakan dalam usaha perikanan di


Benjina, KKP membentuk tim khusus yang bertugas untuk menginvestigasi kasus
tersebut. Menurut Inspektur Jenderal KKP Anda Fauzi Miraza, tim tersebut akan
langsung diterjunkan ke Tual untuk mencari tahu fakta dan data terbaru lebih
lengkap dan akurat.

“Paling lambat Rabu (08/04) sudah ada tim (yang berangkat) ke Tual untuk
menginvestigasi. Hasilnya nanti akan dikonfirmasi dengan pihak ketiga untuk dicari
validitas datanya,” papar Anda di Kantor KKP.

Anda mengatakan, karena kasus tersebut tidak hanya sebatas pada pelanggaran
izin usaha perikanan saja, namun juga meluas pada praktek dugaan suap, kolusi
dan perbudakan, maka pihaknya bekerja sama dengan pihak terkait untuk ikut
menginvestigasi. KKP sudah mengirimkan surat ke Kepolisian RI, Kementerian
Tenaga Kerja, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Sosial dan Komnas HAM.

Terkait keterlibatan pegawai KKP yang diduga ikut menerima suap, Anda
menegaskan pihaknya akan menindak tegas oknum tersebut. Namun, karena belum
ada data dan fakta mutakhir, pihaknya belum memastikana apakah keterlibatan
mereka akan dibawa ke jalur hukum pidana atau hanya terbatas di penegakan
disiplin kepegawaian di lingkungan kerja KKP.

“Untuk pegawai yang menerima aliran dana, akan dicek lebih jauh lagi
keterlibatannya seperti apa. Nantinya, kalau memang oknum tersebut sudah
dihukum, maka dia terancam bisa kehilangan jabatan dan status PNS-nya,” tandas
Anda.

Sebelumnya, Direktur PT PBR Hermanwir Martino mengungkapkan telah menyuap


semua petugas pengawas di Benjina dengan nilai mencapai Rp37 juta. Uang
tersebut digunakan untuk memuluskan izin berlayar bagi perusahaan.

Kunjungi Menko Maritim, Ini Beberapa Usulan HNSI


Posted By: Anwar Iqbalon: February 05,

Jakarta, JMOL – Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) mengharapkan peninjauan ulang
terhadap kebijakan pelarangan alih muatan ikan ditengah laut (transshipment), khususnya bagi
kapal kapal tradisional dan kegiatan di dalam negeri.

Ketua Umum HNSI, Yussuf Solichien, mengharapkan penyusunan petunjuk teknis, petunjuk
pelaksanaan dan sosialisasi kebijakan pengendalian perikanan tangkap dan konservasi
perikanan pemerintah, perlu mengajak para pemangku kepentingan.

“sehingga penerapannya dapat diterima oleh publik secara luas,” ujar Yussuf menyampaikan
usulannya ketika bertemu dengan Menko Kemaritiman, Indroyono Soesilo, Rabu (4/2).

Yussuf mengatakan, secara prinsip HNSI mendukung kebijakan Pemerintah tentang Moratorium
Perijinan Usaha Perikanan Tangkap, tetapi HNSI mengharapkan verifikasi di lapangan terhadap
kapal-kapal penangkap ikan dapat diselesaikan secepatnya, paling lambat pada April 2015,
“sehingga usaha perikanan dapat kembali normal,” ucap Yussuf.

Lebih jauh, HNSI mengharap adanya sosialisasi dan komunikasi dari Pemerintah kepada para
Nelayan berkaitan dengan larangan penangkapan lobster, kepiting dan rajungan serta larangan
penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela dan pukat tarik.

“Kiranya dalam penerapan kebijakan diatas dapat disusun juklak dan juknis yang melibatkan
para pemangku kepentingan serta diberikan waktu untuk perioda transisi bagi para nelayan di
daerah untuk menyesuaikan dengan kebijakan baru dari Pemerintah,” papar Yussuf.

Menerima kunjungan HNSI dikantornya, menko maritim, Indroyono Soesilo, menyambut baik
masukan HNSI. Dalam tanggapannya terkait usulan HNSI, Indroyono menjelaskan berbagai
kebijakan baru Pemerintah berkaitan dengan nelayan, diantaranya upaya pengalihan subsidi
BBM nelayan kepada kegiatan produktif seperti penyediaan alat tangkap, cold storage, dan
mesin kapal nelayan.

“Ini bisa dimanfaatkan oleh para anggota HNSI,” tuturnya.

Menko maritim berjanji, akan mendorong dibangunnya lebih banyak perumahan nelayan serta
permodalan nelayan.

“Dalam waktu dekat Menko Kemaritiman juga akan memfasilitasi pertemuan HNSI dengan pihak
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) guna mendapatkan gambaran tentang jasa jasa keuangan bank
dan non-bank yang dapat dimanfaatkan oleh para nelayan,” pungkas menko.

Menko Maritim: Perkuat Ekonomi Wilayah


Perbatasan!
Posted By: Anwar Iqbalon: February 05, 2015In: Featured, Maritime Update

Jakarta, JMOL – Kementerian Koordinator Kemaritiman menegaskan untuk memperkuat


kedaulatan maritim Tanah Air. Dengan memperkuat kedaulatan maritim, saat yang sama
pemerintah juga harus memperkuat perekonomian wilayah-wilayah perbatasan dan pulau
terluar.

Hal itu disampaikan oleh Menko Kemaritiman, Dwisuryo Indroyono Soesilo. “Wilayah perbatasan
dan pulau terluar harus baik kondisi ekonominya,” ujar Indroyono, saat ditemui Jurnal Maritim di
kediamannya, Jakarta, Selasa (3/2).

Indroyono mengungkapkan, pemerintah menyediakan anggaran sebesar Rp12 triliun untuk


pengembangan daerah pinggiran dan perbatasan. Sayangnya, anggaran tersebut dibagi untuk
22 instansi pemerintah terkait. Karena itu, dia memprediksi, jumlah anggaran tersebut belum
bisa dirasakan langsung efeknya oleh masyarakat wilayah perbatasan.

Dikatakan Indroyono, untuk mengoptimalkan alokasi anggaran tersebut, pihaknya bakal


memfokuskan di empat kementerian saja, di bawah koordinasi kemenko kemaritiman. “Sekarang
hanya dibagi ke empat kementerian saja.”

Program yang akan dijalankan antara lain, pertama, penyediaan listrik di 50 wilayah perbatasan
dan pulau terluar pada 2015. “Saat Perayaan HUT RI tahun ini, semua daerah perbatasan dan
pulau terluar harus ada (sudah tersambung jaringan, red) listrik,” ujarnya.

Kedua, pembangunan 9 bandara di daerah perbatasan yang dimulai pada 2015. Antara lain di
Sebatik, Rote, Nunukan, Miangas, Saumlaki, Enarotali, Tanah Merah, Oksibil, dan Okaba.
Ketiga, memperkuat dan menambah frekuensi pelayaran perintis di daerah terpencil dan pulau-
pulau terluar.
Pada 2014 lalu, pelayaran perintis memiliki anggaran sebesar Rp540 miliar. Sedangkan untuk
tahun ini, ditambah menjadi hampir Rp1 triliun. “Makin banyak kapal berlayar, makin banyak
pesawat terbang ke wilayah-wilayah yang sudah ada bandaranya. Kita dorong ke sana. Yang
ingin kita garap adalah, warga pulau-pulau terluar merasa bagian NKRI,” terang Indroyono.

Menko Maritim Tegaskan Penguatan Kedaulatan


Maritim RI
Posted By: Anwar Iqbalon: February 04, 2015In: Defense, Featured, Maritime Update

Jakarta, JMOL – Salah satu fokus agenda kerja Kementerian Koordinator Kemaritiman adalah
pembangunan kedaulatan maritim. Fokus tersebut mencakup penguatan hukum dan perjanjian
maritim, keamanan dan pertahanan maritim. Termasuk delimitasi zona maritim dan navigasi,
serta keselamatan maritim.

Hal itu diungkapkan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman, Indroyono Soesilo. “Saat ini,
penetapan wilayah maritim Indonesia bersinggungan langsung dengan sepuluh negara tetangga,
yakni Malaysia, Singapura, India, Thailand, Papua Nugini, Australia, Vietnam, dan Filipina, Timor
Leste, dan Palau,” paparnya, Selasa (3/2).

Dari kesepuluh negara tersebut, dikatakan Indroyono, sejumlah batas maritim sudah disepakati
dengan Malaysia, Singapura, India, Thailand, Papua Nugini, Australia, Vietnam, dan Filipina
untuk batas segmen maritim. Kini masih dalam perundingan dengan Malaysia, Vietnam, Palau,
Filipina dan Singapura. Adapun yang belum dirundingkan, di antaranya dengan Timor-Leste,
India, dan Thailand.

“Untuk laut teritorial yang baru selesai perjanjian batas lautnya sebesar 44 persen, Zona
Ekonomi Eksklusif baru 55 persen, dan landas kontinen baru 70 persen,” ungkap Indroyono,
disela-sela Pers Gathering di kediamannya, Jakarta, Selasa (3/2.

Kepada Jurnal Maritim, Indroyono menjelaskan, penyelesaian batas maritim tersebut akan
diprioritaskan penyelesaiannya dalam lima tahun ke depan. Untuk itu, kapal-kapal survei yang
dimiliki Indonesia saat ini bakal dioptimalkan pergerakannya, untuk menghimpun data
oceanografi dan hidrografi. “Agar menlu kita bisa bernegosiasi dengan sepuluh negara tetangga
kita,” tegas Indroyono.[]

Indonesia-Thailand Sepakat Berantas Illegal


Fishing
Presiden Joko Widodo mengadakan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Thailand,
Prayuth Chan-ocha, di sela-sela peringatan 60 tahun Konferensi Asia-Afrika, Jakarta (24/4).
Dalam pertemuan tersebut, Jokowi dan Prayuth sepakat membentuk gugus tugas untuk
memberantas penangkapan ikan ilegal.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Arrmanatha Christiawan Nasir memaparkan bahwa
Presiden Jokowi meminta agar Prayuth memberikan perhatian khusus kepada illegal fishing dan
nasib pelaut Indonesia yang bekerja di Thailand.

"Tentang pemancingan ilegal, kedua pemimpin negara sepakat untuk membentuk gugus tugas
untuk menangani masalah ini. Begitu gugus tugas sudah dibentuk, kita akan berusaha
menghentikan IUU fishing (pemancingan yang ilegal, tidak terdaftar dan tidak teregulasi)," kata
Tata, sapaan akrab Arrmanatha.

Sebelumnya, nelayan di Thailand diketahui telah beberapa kali tertangkap melakukan aksi
penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia. Pemerintah Indonesia akhirnya bertindak tegas
pada Februari lalu dengan membakar salah satu kapal nelayan yang tertangkap.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, yang turut hadir dalam pertemuan tersebut,
mengungkapkan bahwa Thailand menyadari bahwa sejumlah nelayannya terlibat dalam
pemancingan ilegal di perairan Indonesia, dan berkomitmen untuk menyelesaikan masalah ini.

"Ya mereka akan menyelesaikan persoalan illegal fishing dan menghukum perusahaan-
perusahaan mereka yang tidak benar," kata Susi memberikan penjelasan soal pembahasan
pertemuan bilateral yang tertutup bagi media tersebut.

Dalam kesempatan tersebut, Susi juga memaparkan bahwa Thailand berkomimen untuk
memasang vessel monitoring system di 7.000 kapal guna memantau pergerakan kapalnya.
Rencana ini sebelumnya sudah dikemukakan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman
Indroyono Soesilo.

Meskipun demikian, Susi mengakui bahwa hingga saat ini belum ada perjanjian kerja sama atau
MOU untuk memberikan langkah konkret terhadap rencana tersebut.

"Belum ada tapi mereka memang mengakui mau membereskan persoalan itu dan mengakui
kalau ada banyak hal yang tidak betul," kata Susi.

Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla akan menggelar sejumlah pertemuan bilateral
dengan para pemimpin negara yang menghadiri perhelatan peringatan 60 tahun KAA, antara lain
dengan Presiden Iran, Hassan Rouhani.

Konferensi Asia Afrika pertama kali diselenggarakan pada 18-24 April 1955 di Gedung Merdeka,
Bandung. Pertemuan ini diadakan dengan tujuan mempromosikan kerja sama ekonomi dan
kebudayaan Asia-Afrika dan melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni
Soviet, dan negara imperialis lainnya.

Rangkaian acara peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika tahun ini dihelat pada 19-24 April.
Pertemuan tingkat pejabat tinggi diselenggarakan di Jakarta pada 19-23 April. Pada 24 April
seluruh perwakilan negara akan bertolak ke Bandung untuk melakukan prosesi napak tilas
KAA.(stu)

Anda mungkin juga menyukai