Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Kromatografi merupakan suatu metode pemisahan yang dewasa ini telah banyak
digunakan, dibandingkan dengan metode yang lainnya seperti detilasi, kristalisasi,
pengendapan, ekstraksi, dan lain-lain mempunyai keuntungan dalam pelaksanaan yang
lebih sederhana, penggunaan waktu yang sangat singkat terutama mempunyai kepekaan
yang tinggi serta mempunyai kemampuan memisahkan yang tinggi, Metode ini
digunakan, jika dengan metode lain tidak dapat di lakukan misalnya karena jumlah
cuplikan sangat sedikit atau campurannya kompleks. Meskipun dasar kromatografi adalah
suatu proses pemisahan namun banyak diantara cara ini dapat digunakan untuk analisi
kuatitatif.
Jenis-jenis kromatografi yang bermanfaat dalam analisi kualitatif dan analisis
kuantitatif adalah kromatografi kertas, kromatigrafi lapis tipis (KLT), kromatografi
kolom, kromatografi gas, dan kromatografi cair kinerja tinggi. Kromatografi kertas dan
KLT pada umunya lebih bermanfaat untuk tujuan indentifikasi, karena lebih mudah dan
sederhana. Kromatografi kolom memberikan pemilihan fase diam yang lebih luas dan
berguna untuk pemisahan campuran secara kuantitatif. Dalam indutri metode inibanyak
dipakaiuntuk menghilangkan zat-zat yang tidak diinginkandalam hasil, misalnya pada
pemurnian minyak tanah atau minyak goring dan pemurnian hidroksidayang dihasilkan
dari proses elektrolisis. Teknik pemisahan kromatografi dilakukan untuk mendapatkan
pemisahan campuran diantara dua fase. Fase tersebut adalah fase diam dan fase gerak.
Fase diam dapat berupa zat cair dan zat padat, sedangkan fase gerak dapat berupa zat cair
atau gas. Kromatografi planar (kromatografi lapis tipis dan kromatogafi kertas), apabila
komponen yang akan dipisahkan bergerak bersama fase gerak dalam sebuah bidang datar.
Senyawa yang bergerak berupa bentuk noda (spot) yang dapat dikenali dengan bantuan
metode fisika, kimia, maupun biologis. Posisi noda menunjukkan identitas suatu
komponen / senyawa, sedangkan besar atau intensitasnya menunjukkan konsentrasinya.
Pada kromatografi planar beberapa komponen dapat dipisahkan secara bersamaan
maupun dipisahkan dengan dua langkah yang pertama, Cara ini dikenal dengan metode
kromatografi dua dimensi.

1
B. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memahami pengertian kromatografi.
2. Mengetahui dan memahami pembagian kromatografi.
3. Mengetahui dan memahami cara membedakan fase gerak dan fase diam.

C. Manfaat
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian kromatografi.
2. Untuk mengetahui dan memahami pembagian kromatografi.
3. Untuk mengetahui dan memahami cara membedakan fase gerak dan fase diam.

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kromatografi Lapis Tipis


Kromatografi Lapis Tipis Yaitu kromatografi yang menggunakan lempeng
gelas atau alumunium yang dilapisi dengan lapisan tipis alumina, silika gel, atau
bahan serbuk lainnya. Kromatografi lapis tipis pada umumnya dijadikan metode
pilihan pertama pada pemisahan dengan kromatografi.
Kromatografi lapis tipis digunakan untuk pemisahan senyawa secara cepat,
dengan menggunakan zat penjerap berupa serbuk halus yang dipaliskan serta rata
pada lempeng kaca. Lempeng yang dilapis, dapat dianggap sebagai “kolom
kromatografi terbuka” dan pemisahan dapat didasarkan pada penyerapan, pembagian
atau gabungannya, tergantung dari jenis zat penyerap dan cara pembuatan lapisan zat
penyerap dan jenis pelarut. Kromatografi lapis tipis dengan penyerap penukar ion
dapat digunakan untuk pemisahan senyawa polar. Harga Rf yang diperoleh pada
kromatografi lapis tipis tidak tetap, jika dibandingkan dengan yang diperoleh pada
kromatografi kertas. Oleh karena itu pada lempeng yang sama di samping
kromatogram zat yang di uji perlu dibuat kromatogram zat pembanding kimia, lebih
baik dengan kadar yang berbeda-beda (Dirjen POM, 1979, hal. 782).

2.2 Prinsip kerja Kromatografi Lapis Tipis


Prinsip kerjanya memisahkan sampel berdasarkan perbedaan kepolaran antara
sampel dengan pelarut yang digunakan. Teknik ini biasanya menggunakan fase diam
dari bentuk plat silika dan fase geraknya disesuaikan dengan jenis sampel yang ingin
dipisahkan. Larutan atau campuran larutan yang digunakan dinamakan eluen Semakin
dekat kepolaran antara sampel dengan eluen maka sampel akan semakin terbawa oleh
fase gerak tersebut.

2.3 Cara Kerja Kromatografi Lapis Tipis


• Sebuah garis menggunakan pinsil digambar dekat bagian bawah lempengan dan
setetes pelarut dari campuran pewarna ditempatkan pada garis itu.
• Ketika bercak dari campuran itu mengering, lempengan ditempatkan dalam
sebuah gelas kimia bertutup berisi pelarut dalam jumlah yang tidak terlalu

3
banyak. Perlu diperhatikan bahwa batas pelarut berada di bawah garis dimana
posisi bercak berada.
• Menutup gelas kimia untuk meyakinkan bawah kondisi dalam gelas kimia
terjenuhkan oleh uap dari pelarut. Untuk mendapatkan kondisi ini, dalam gelas
kimia biasanya ditempatkan beberapa kertas saring yang terbasahi oleh pelarut.
Kondisi jenuh dalam gelas kimia dengan uap mencegah penguapan pelarut.

2.4 Nilai RF
Jarak antara jalannya pelarut bersifat relatif. Oleh karena itu, diperlukan suatu
perhitungan tertentu untuk memastikan spot yang terbentuk memiliki jarak yang sama
walaupun ukuran jarak plat nya berbeda. Nilai perhitungan tersebut adalah nilai Rf,
nilai ini digunakan sebagai nilai perbandingan relatif antar sampel. Nilai Rf juga
menyatakan derajat retensi suatu komponen dalam fase diam sehingga nilai Rf sering
juga disebut faktor retensi.]Nilai Rf dapat dihitung dengan rumus berikut :
Rf = Jarak yang ditempuh substansi/Jarak yang ditempuh oleh pelarut
Semakin besar nilai Rf dari sampel maka semakin besar pula jarak bergeraknya
senyawa tersebut pada plat kromatografi lapis tipis. Saat membandingkan dua sampel
yang berbeda di bawah kondisi kromatografi yang sama, nilai Rf akan besar bila
senyawa tersebut kurang polar dan berinteraksi dengan adsorbent polar dari plat
kromatografi lapis tipis.
Nilai Rf dapat dijadikan bukti dalam mengidentifikasikan senyawa. Bila
identifikasi nilai Rf memiliki nilai yang sama maka senyawa tersebut dapat dikatakan
memiliki karakteristik yang sama atau mirip. Sedangkan, bila nilai Rfnya berbeda,
senyawa tersebut dapat dikatakan merupakan senyawa yang berbeda.
Kromatografi digunakan untuk memisahkan substansi campuran menjadi
komponen-komponennya. Seluruh bentuk kromatografi berkerja berdasarkan prinsip
ini.Kromatografi adalah teknik pemisahan campuran berdasarkan perbedaan
kecepatanperambatan komponen dalam medium tertentu. Pada kromatografi,
komponen-komponennya akan dipisahkan antara dua buah fase yaitu fase diam dan
fase gerak.Fase diam akan menahan komponen campuran sedangkan fase gerak
akanmelarutkan zat komponen campuran. Komponen yang mudah tertahan pada
fasediam akan tertinggal. Sedangkan komponen yang mudah larut dalam fase gerak
akanbergerak lebih cepat. Semua kromatografi memiliki fase diam (dapat berupa
padatan,atau kombinasi cairan-padatan) dan fase gerak (berupa cairan atau gas). Fase
4
gerak mengalir melalui fase diam dan membawa komponen-komponen yang terdapat
dalamcampuran. Komponen-komponen yang berbeda bergerak pada laju yang
berbeda Proses kromatografi juga digunakan dalam metode pemisahan komponen
gula dari komponen non gula dan abu dalam tetes menjadi fraksi-fraksi terpisah yang
diakibatkanolehperbedaan adsorpsi, difusi dan eksklusi komponen gula dan non gula
tersebut terhadap adsorbent dan eluent yang digunakan.
Pelaksaanan kromatografi lapis tipis menggunakan sebuah lapis tipis silika
atau alumina yang seragam pada sebuah lempeng gelas atau logam atau plastik yang
keras. Jel silica (atau alumina) merupakan fase diam. Fase diam untuk kromatografi
lapis tipis seringkali juga mengandung substansi yang mana dapat berpendar flour
dalam sinar ultra violet.Fase gerak merupakan pelarut atau campuran pelarut yang
sesuai. Fase diamlainnya yang biasa digunakan adalah alumina-aluminium oksida.
Atom aluminium pada permukaan juga memiliki gugus -OH. Apa yang kita sebutkan
tentang jel silica kemudian digunakan serupa untuk alumina.
Dalam kromatografi, eluent adalah fasa gerak yang berperan penting pada
proses elusi bagi larutan umpan (feed) untuk melewati fasa diam (adsorbent).
Interaksi antaraadsorbent dengan eluent sangat menentukan terjadinya pemisahan
komponen. Oleh sebab itu pemisahan komponen gula dalam tetes secara kromatografi
dipengaruhi oleh laju alir eluent dan jumlah umpan. Eluent dapat digolongkan
menurut ukuran kekuatan teradsorpsinya pelarut atau campuran pelarut tersebut pada
adsorben dan dalam hal iniyang banyak digunakan adalah jenis adsorben alumina atau
sebuah lapis tipis silika. Penggolongan ini dikenal sebagai deret eluotropik pelarut.
Suatu pelarut yang bersifat larutan relatif polar, dapat mengusir pelarut yang relatif
tak polar dari ikatannya dengan alumina (jel silika).

2.5 Bahan yang diidentifikasi di KLT


Tanaman sudamala merupakan tanaman obat herbal yang dapat digunakan
untuk mengobati berbagai penyakit dengan cara yang alami. Tanaman ini memiliki
nama ilmiah yaitu Artemisia vulgaris. Pasti berbagai penyebutan akan tumbuhan ini,
dibagian melayu atau cina menyebut tanaman sudamala sebagai baru cina. Orang
jawa barat dimaksudkan sebagai kenang beungkar, berbeda lagi dengan di daerah
jawa tengah yang menyebut tanaman sudamala ini sebagai Suket gajah. Tanaman ini
memang dikenal dihampir seluruh daerah dengan penyebutan yang berbeda beda,

5
begitu juga di Halmera yang disebut sebagai Kolo, dan di Ternate menyebut tanaman
sudamala sebagai goro-goro cina.
Tanaman sudamala ini memiliki beberapa ciri yang dapat digunakan untuk
menghubungkan dengan bagian lain yang ada dengan bentuk bulat, yaitu cabang-
cabang dengan ukuran sedang. Daun sudamala ini berjenis tunggal. Dimana bentuk
tulang daunnya menyirip. Pada daunnya ada bulu-bulu lembut. Panjang daun
sudamala ini tersedia antara 8 hingga 12 cm, sedangkan lebarnya sekitar 6 hingga 8
cm. Yang unik adalah warna daunnya berlainan antara permukaan dan bagian
bawahnya, dimana permukaan berwarna hijau dan permukaan bawah berwarna
keputih-putihan. Daun sudamala kompilasi berbunga memiliki bunga yang majemuk,
yang muncul dibagian ujung tangkai. Warna bunga sudamala adalah warna putih
kekuningan. Dalam tanaman sudamala terkandung beberapa zat dan nutrisi tadi
adalah: minyak atsiri (phellandrene, cadinene, thujone), amirin, fernenol,
dihydromatricaria ester, cineole, 1-a- terpineol, B-kariophilene, 1-quebrachitol, dan
tanin. Akar dan batangnya mengandung inulin (yang mengandung artemose)
Sedangkan cabang kecil mengandung oxytocin, yomogi alcohol, dan ridentin.
Tanaman sudamala dapat dimanfaatkan seluruh bagian tanaman, mulai dari batang,
daun hingga akarnya. Ketika diolah tanaman sudamala ini rasanya memang sedikit
pahit dan pedas. Selain itu ada rasa hangat dan baunya yang aromatic. Pada dasarnya
tanaman ini memiliki 3 tanaman yang memiliki kekerabatan yang sama, diantaranya
adalah Artemisia annua, Artemisia cinna, dan Artemisia vulgaris dimana pada
tanaman sudamala tersebut mengandung ekstrak ataupun minyak atsiri, dimana salah
satu komponennya adalah thujone 70% yang memiliki sifat antioksidan, antimikroba
dan juga antijamur.

2.6. Nama Tanaman

Nama Ilmiahnya: Artemisia vulgaris L.

Nama Lokal : Baru cina (Indonesia, Sumatera), Daun manis, brobos krebo;
Beunghar kucicing, jukut lokot mala, suket gajahan (jawa); Kolo,
goro-goro cina (Maluku), Daun Sudamala, cam cao; Ai ye (China).

6
2.7. Klasifikasi Tanaman
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Aslerales
Suku : Compositae
Marga : Arternisia
Jenis : Artemisia vulgaris L

2.8. Deskripsi Tanaman


Habitus Semak, menahun, tinggi 30-90 cm. Batang Berkayu, bulat, bercabang,
putih kotor. Daun Tunggal, tersebar, berbagi menyirip, berbulu, panjang 8-12 cm,
lebar 6-8 cm, pertulangan menyirip, permukaan daun atas hijau, permukaan bawah
keputih-putihan. Bunga Majemuk, bentuk malai, di ketiak dan di ujung ba-tang, daun
kelopak lima, hijau, benang sari kuning, kepala putik bercabang dua, ungu, coklat.
Buah kotak, bentuk jarum, kecil, coklat. Biji Kecii, coklat. Akar tunggang, kuning
kecoklatan.

BAB III
METODE PENELITIAN
7
Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari komisi etik penelitian Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Airlangga no: 015-KE. Bahan untuk penelitian adalah herba
Artemisia vulgaris L. diperoleh dan dideterminasi di Balai Konservasi Tumbuhan Kebun
Raya Purwodadi Pasuruan.
Herba diambil dari tumbuhan yang berumur kira- kira 24 bulan, tinggi tanaman
sekitar 50 cm, diambil dari ketinggian tempat 800 m di atas permukaan laut, diambil seluruh
bagian tanaman di atas tanah, kemudian dibersihkan dari tumbuhan lain dan kotoran, dicuci,
dikeringkan di udara terbuka tanpa sinar matahari langsung. Bahan yang sudah kering
dihaluskan dengan mesin penggiling dan diayak dengan pengayak serbuk. Serbuk yang
diperoleh disimpan dalam wadah yang tertutuprapat. Pembuatan bentuk serbuk agar pelarut
lebih mudah kontak dengan bahan aktif tanaman sehingga ekstraksi lebih sempurna.
Pembuatan ekstrak dari herba Artemisia vulgaris L dengan cara maserasi yaitu merendam
serbuk Artemisia vulgaris L dalam pelarut n-heksana selama 2 x 24 jam dalam bejana tertutup
dibiarkan pada suhu kamar sambil sering diaduk. Penyaringan menggunakan buchner dan
filtrat yang diperoleh ditampung, ampas dimaserasi lagi dengan pelarut yang baru. Maserasi
dihentikan jika tidak ada warna ungu pada KLT setelah dilakukan orientasi kandungan
terpenoid dengan KLT menggunakan fase gerak (eluen) n-heksana: etil asetat= 1:1 dan
penampak noda anisaldehide asam sulfat. Hasil maserasi dikumpulkan, diuapkan dengan
penguap putar pada tekanan rendah (rotavapor) sampa tidak ada penguapan lagi dan
diperoleh massa ekstrak kental. Sisa pelarut dalam ekstrak kental diuapkan dalam lemari
asam hasilnya disebut ekstrak n-heksana kering.
Identifikasi ekstrak n-heksana Artemisia vulgaris L untuk mengetahui kandungan
senyawa alkaloid, flavonoid, terpenoid, antrakinon dan polifenol secara KLT. Dari ekstrak n-
heksana yang telah teriden- tifikasi mengandung terpenoid dilakukan fraksinasi Arundina,
dkk: Identifikasi Kromatografi Lapis .... menggunakan kromatografi kolom vakum. Fase
diam silika gel 60 (Merck) dimasukkan ke dalam sintered glass dalam keadaan kering.
Pengisian dilakukan sampai setinggi 4-5 cm untuk kolom dengan diameter 2,5-3 cm. Ekstrak
heksana dicampur dengan silika gel dan ditaburkan secara merata di atas permukaan silika
gel dalam sintered glass yang telah dibasahi dengan pelarut. Pemadatan dalam silika gel 60
kemudian dilakukan eluasi menggunakan fase gerak n-heksan – etil asetat dengan
peningkatan kepolaran. Fase gerak yang digunakan ialah n-heksana: etil asetat (10:0, v/v), n-
heksana: etil asetat (9:1, v/v), n-heksana: etil asetat (8:2, v/v), n- heksana: etil asetat (7:3,v/v),
n-heksana: etil asetat (6:4,v/v), n-heksana: etil asetat (5:5,v/v), n-heksana: etil asetat (4:6,v/v),
8
n-heksana: etil asetat (3:7, v/v), n-heksana: etil asetat (2:8,v/v), n-heksana: etil asetat
(1:9,v/v), n-heksana: etil asetat (0:10,v/v). Untuk identifikasi digunakan Kromatografi Lapis
Tipis menggunakan larutan pengembang n-heksana : etil asetat = 1:2 sebagai fase gerak, fase
diam silika gel 60F 254 dan penampak noda anisaldehid – asam sulfat dengan pembanding
Artemisinin (terpenoid) dari sigma.

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 HASIL PENGAMATAN


9
Dari 1 kg serbuk herba sudamala yang diekstraksi dengan cara maserasi
bertahap sebanyak 6 kali menggunakan pelarut n-heksana, diperoleh ekstrak heksana
seberat 88,4 gram. Hasil skrining fitokimia terhadap ekstrak herba sudamala dengan
pelarut n-heksana diperoleh beberapa golongan senyawa yang memberikan hasil
positif yaitu golongan senyawa terpenoid, flavonoid dan alkaloid. Ekstrak heksana
sudamala difraksinasi menggunakan kromatografi kolom vakum dengan fase diam
silika gel dan fase gerak campuran n-heksana: etil asetat bergradien mulai dengan n-
heksana: etil asetat (10:0, v/v), n- heksana: etilasetat (9:1, v/v), n-heksana: etil asetat
(8:2, v/v), n heksana:etil asetat (7:3,v/v), n-heksana: etil asetat(6:4,v/v), n-heksana:
etil asetat (5:5,v/v), n-heksana:etil asetat (4:6,v/v), n-heksana: etil asetat (3:7, v/v),n-
heksana: etil asetat (2:8,v/v), n-heksana: etilasetat (1:9,v/v), n-heksana: etil asetat
(0:10,v/v).Hasil diperoleh 1 fraksi yang telah diuji kemampuan anti kanker secara in
vitro pada carcinoma cell lin erongga mulut.10 Dari hasil uji persentase
hambatansecara in vitro dan analisis probit didapatkan fraksi yang paling poten
sebagai anti kanker ialah fraksi n-heksana: etil asetat (3:7, v/v). Berdasarkan
identifikasi menggunakan KLT menunjukkan pada fraksi n-heksana: etil asetat(3:7,
v/v) ada spot merah keunguan dengan penampak noda anisaldehide – asam sulfat,
sesuai standart Artemisinin yang merupakan senyawa terpenoid. Noda pada fraksi
tersebut yang sejajar dengan pembanding Artemisinin yang merupakan senyawa
golongan terpenoid, mempunyai harga Rf = 0,375. Hal ini menunjukkan bahwa
padafraksi n-heksana: etil asetat (3:7, v/v) mengandung senyawa golongan terpenoid
(Gambar 1).

4.2. PEMBAHASAN
Penelitian mengenai obat tradisional, khususnya yang bahannya berupa
tanaman obat, terus berlangsung bahkan meningkat jumlahnya akhir-akhir ini.
Meskipun demikian hingga kini,belum banyak hasil penelitian tanaman obat yang

10
digunakan sebagai obat dalam pelayanan kesehatan. Obat yang dapat digunakan
dimasyarakat harus memenuhi persyaratan aman, bermanfaat dan sudah
terstandardisasi. Tanaman sudamala sering digunakan di masyarakat sebagai anti
tumor pada organ pencernaan termasuk dirongga mulut, namun belum ada penelitian
ilmiah dan belum ditemukan bahan aktif yang berperansebagai anti kanker di rongga
mulut. Banyak didapatkan spesies dari genus Artemisia sedangkan yang banyak
tumbuh di Indonesia adalah spesies Artemisia vulgaris L. Berdasarkan pendekatan
etnofarmakologi dan kemotaksonomi dapat dibuktikan Artemisia vulgaris L. sebagai
anti kanker. Etnofarmakologi ialah pendekatan teoritik dengan memanfaatkan indikasi
empirik penggunaan bahan tumbuhan sebagai obat, sedangkan kemotaksonomi
dengan mencari tumbuhan lain dari suku yang mengandung zat sejenis yang terbukti
aktif. Pada penelitian ini proses ekstraksi Artemisia vulgaris L menggunakan teknik
maserasi karena pemakaian alat sederhana dan tidak menggunakan panas sehingga
menghindarkan senyawa di dalamnya terdegradasi oleh panas. Ekstraksi
menggunakan n-heksana ditujukan terhadap isolasi senyawa terpenoid yang
terkandung dalam Artemisia vulgaris L yang memiliki aktivitas sebagai anti kanker.
Sifat umum terpenoid yang non polar memerlukan pelarut non polar n-heksana
sehingga diharapkan dapat menarik senyawa terpenoid.
Hasil skrining fitokimia terhadap ekstrak herba sudamala dengan pelarut n-
heksana diperoleh beberapa golongan senyawa yang memberikan hasil positif yaitu
golongan senyawa terpenoid, flavonoid dan alkaloid.Terpenoid merupakan senyawa
kimia yang berasaldari tanaman yang mengandung molekul isoprena(C5) dan yang
kerangka karbonnya dibangun oleh penyambungan 2 atau lebih satuan C5. Terpenoid
berdasar jumlah isoprena, terbagi menjadi senyawa golongan isoprena (C5),
monoterpenoid(C10), seskuiterpenoid (C15), diterpenoid (C20),triterpenoid (C30),
tetraterpenoid (C40) dan poliisoprena (Cn). Terpenoid dapat menyebabkan sel tumor
terpecah menjadi beberapa fragmen. Hal tersebut dapat menjelaskan salah satu
mekanisme senyawa golongan terpenoid dalam menghancurkan sel kanker.
Berdasarkan identifikasi menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
menunjukkan pada fraksi n-heksana: etil asetat (3:7,v/v) seluruh komponen hasil
eluasi yang berasal dari totolan nodafraksi, terlihat merupakan spot merah keunguan
dengan penampak noda anisaldehide–asam sulfat. Hal tersebut dibandingkan dengan
warna merah keunguan sesuai dengan standart Artemisinin yang merupakan senyawa

11
terpenoid. Hal tersebut menunjukkan bahwa seluruh komponen fraksin-heksana: etil
asetat (3:7,v/v) Artemisia vulgaris L merupakan terpenoid. Beberapa senyawa
golongan terpenoid dari genus Artemisia yang sudah diteliti mempunyai khasiat anti
kanker antara lain Artemisinin.Artemisinin termasuk golongan Sesquiterpenelactone
dari Artemisia annua L. yang mampu sel kanker payudara secara in vitro melalui
peningkatan aktivasi P53 wild. Artesunate derivat Artemisinin dari Artemisia annua L.
terbukti mampu menghambat pertumbuhan sel kanker kolon. Ekstrak dari tanaman
Artemisia pada umumnya mempunyai kemampuan sebagai anti inflamasi melalui
hambatan terhadap enzim siklooksigenase . Artemisia vulgaris L. mempunyai efek
anti inflamasi melalui hambatan enzim siklooksigenase. Jaceosidin bahan aktif dari
Artemisia argyi diketahui dapat menghambat 12-o-tetradecanoylphorbol-13-acetate
(TPA) yang merupakan promotor tumor payudara melalui hambatan pada enzim
siklooksigenase 2,MMP 9 dan ERK 1-2.14 Eupatilin bahan aktif dari Artemisia
asiatica diketahui dapat menghambat 12-o-tetradecanoylphorbol-13-acetate (TPA)
yang merupakan promotor tumor payudara melalui hambatan pada enzim
siklooksigenase 2, NFKB dan Ras Jaceosidin mempunyai daya hambat yang lebih
besar daripada eupatilin terhadap 12-o-tetradecanoylphorbol-13-acetate (TPA) yang
merupakan promotor tumor payudara. Jaceosidin juga dapat meningkatkan apoptosis
sel kanker payudara melalui mekanisme peningkatan P53, Bax dan caspase 3.16
Mekanisme anti kanker dari Artemisia vulgaris L. dapat melalui efek hambatan
terhadap enzim siklooksigenase 2 yang berperan mengkatalisis oksidasi dari B(a)P–
7,8-diol membentuk B(a)P–7,8-diol-9,10-oxide yang merupakan mutagenik
karsinogen yang kuat dan reaktif. Benzopirene dapat menimbulkan mutasi p53 dan ras
sehingga menimbulkan kanker kulit pada mencit.

BAB V
KESIMPULAN

Fraksi n-hexane: ethyl acetate (3: 7, v / v) dari Sudamala (Artemisia vulgaris L)


teridentifikasi secara KLT mengandung senyawa terpenoid. Ekstraksi menggunakan n-

12
heksan di tunjukan terhadap isolasi senyawa terpenoid yang terkandung dalam artemisia
vulgaris L yang memiliki aktivitas sebagai anti kanker.

DAFTAR PUSTAKA

Dirjen POM, (1979), Farmakope Indonesia Edisi III, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Rohman, (2009), Kromatografi untuk Analisis Obat, Graha Ilmu, Yogyakarta
Sastrohamidjojo Hardjono, (1985 ), Kromatografi, Edisi kedua, Liberty , Yogyakarta
Stahl Egon, (1985), Analisis Obat secara Kromatografi dan Mikroskopi, ITB, Bandung.
13
14

Anda mungkin juga menyukai