Anda di halaman 1dari 10

TUGAS TUTORIAL PENGANTAR USAHA TANI

“Sejarah Usaha Tani dan Sejarah Komoditas Bawang Merah di


Indonesia”

Oleh :

Kelompok 1

Kelas L

M Kahfi Sangkara 155040201111010


Haidar Ilham Al – Farisy 155040201111049
Nur Hasanah Anwar 155040201111220
Jiehan Nabiela 155040201111295
Muhammad Iqbal Putra 165040200111111
Bagus Fatkul Hamsyah 165040201111208

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
1.1 Sejarah Pertanian di Dunia

Peradaban kuno Mesopotamia melahirkan kebudayaan yang mempengaruhi


kemajuan yang pesat di bidang pertanian kuno. Pengaruh perkembangan pertanian
merembes ke Siria, Mesir, India, dan Cina. Komoditas yang diusahakan ketika itu
antara lain gandum, barlai, kurma, zaitun, dan anggur. Kebudayaan kuno dari
Mesopotamia, Sumeria, Babilonia, Asiria, Chaldea, telah merangsang
perkembangan pertanian yang lebih kompleks dengan penggunaan teras-teras dan
saluran irigasi. Empat ribu tahun yang lalu saluran irigasi dari bata dengan
sambungan beraspal membantu mengairi areal seluas 10.000 mil persegi tetap
ditanami untuk memberi pangan penduduknya. Pada tahun 700 SM sudah dikenal
900 tanaman.
Pada abad pertengahan, runtuhnya kekaisaran Romawi dan invasi negara
Barat mendorong teknologi budidaya merambat ke Timur Dekat dan Timur Jauh.
Berkebun merupakan bagian integral dari kehidupan biara, yang dapat
mendatangkan pangan, anggur, dan obat-obatan. Timbulnya kebudayaan Islam
telah menjadi penguat keberadaan teknologi budidaya pertanian tersebut, yang
kemudian berkembang lebih pesat pada zaman kebangkitan kembali bangsa –
bangsa Eropa.
Perubahan keadaan pertanian pada abad ke 17 dan 18 di Eropa dimulai
dengan runtuhnya sistem feodal yang berbarengan dengan tumbuhnya kota-kota
dan munculnya negara nasionalis yang kuat. Kenaikan populasi dari kota-kota dan
perluasan perdagangan serta sistem keuangan juga telah menarik berkembangnya
ekonomi pedesaan. Industri-industri baru telah menciptakan pasar untuk tanaman-
tanaman industri seperti tebu, rosela, linen, tanaman minyak dan tanaman zat
pewarna.
Perkembangan ilmu pertanian terapan yang pesat di negara maju telah
menyebabkan terjadinya perbedaan yang makin besar dengan negara-negara
sedang berkembang di dalam kemampuan memberi makan penduduknya. Hal ini
disebabkan oleh adanya kesenjangan antara kenaikan efisiensi teknologi pertanian
dengan kenaikan jumlah penduduk. Di Amerika Serikat, pada tahun 1910, setiap
petani mampu menghasilkan untuk dirinya sendiri dan tujuh orang lain.
Kemampuan ini berkembang dengan pesat, yaitu pada tahun 1967 setiap petani
dapat menyongkong 40 orang lainnya. Besarnya peningkatan kemampuan tersebut
disebabkan oleh adanya peningkatan efisiensi tenaga kerja akibat perbaikan
teknologi. Hal ini berujung pada melimpahnya surplus dengan harga relatif
murah. Keadaan ini berlainan dengan keadaan di negara sedang berkembang yang
kecukupan produksi belum tercapai dan masih banyak limbah hasil pertanian
belum dimanfaatkan karena teknologi belum berkembang sepesat negara maju.
Teknologi baru dalam pertanian, yang ada pada awalnya berkembang secara
perlahan, menunjukkan pengaruh nyata sejak tahun 1930-an. Pada tahun 1880 –
1920 peningkatan produksi yang sangat mengesankan di Amerika Serikat terjadi
karena peningkatan pembiayaan (belanja) untuk tanah dan tenaga kerja.
Kemudian tahun-tahun berikutnya pengeluaran bagi kedua aspek tersebut
menurun sangat cepat. Penggantian tenaga hewan oleh tenaga mesin pada tahun
1920-an merupakan langkah utama dalam revolusi teknologi di abad 20. Di
samping itu, penggunaan penemuan-penemuan Mendel di dalam pemuliaan
tanaman menciptakan varietas-varietas unggul baru dengan produktivitas tinggi.
Pada tahun 1940-an, penemuan-penemuan agrokemikalia dalam bentuk herbisida,
fungisida dan insektisida organik, telah memberikan hasil komersial yang
gemilang di bidang pertanian. Penemuan ini telah dapat meningkatkan produksi
per satuan luas, sekaligus meningkatkan efisiensi melalui pengurangan tenaga
kerja. Kemajuan selanjutnya terjadi karena adanya perbaikan sistem irigasi dan
penggunaan pupuk secara ekonomi. Kemudian sejak tahun 1950-an banyak
kemajuan yang dihasilkan sebagai akibat penelitian-penelitian dasar.
Ada tiga tahapan perkembangan pertanian berdasarkan tingkat kemajuan
dan tujuan pengelolaan sektor pertanian tersebut. Tahap pertama adalah pertanian
tradisional yang dicirikan dengan tingkat produktivitas sektor pertanian yang
rendah. Tahap kedua adalah tahapan komersialisasi dari produk pertanian mulai
dilakukan tetapi penggunaan teknologi dan modal relatif masih rendah. Tahap
ketiga adalah tahap seluruh produk pertanian ditujukan untuk melayani keperluan
pasar komersial dengan ciri penggunaan teknologi serta modal yang tinggi dan
mempunyai produktivitas yang tinggi pula.
1.2 Sejarah Usaha Tani di Indonesia
Pertanian di Indonesia diawali dengan sistem ladang berpindah-pindah,
dimana masyarakat menanam apa saja, hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Kemudian sistem bersawah di temukan, orang mulai bermukim ditempat yang
tetap, tanaman padi yang berasal dari daerah padang rumput dan kemudian juga
diusahakan di daerah-daerah hutan dengan cara berladang yang berpindah diatas
tanah kering. Dengan timbulnya persawahan, orang mulai tinggal tetap disuatu
lokasi yang dikenal dengan nama “kampong” walaupun usaha tani persawahan
sudah dimulai, namun usaha tani secara “berladang yang berpindah-pindah”
belum ditinggalkan.
Di Jawa, sejak VOC menguasai di Batavia kebijakan pertanian bukan untuk
tujuan memajukan pertanian di Indonesia, melainkan hanya untuk memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya bagi VOC. Tahun 1830, Van Den Bosch sebagai
gubernur Jendral Hindia Belanda mendapatkan tugas rahasia untuk meningkatkan
ekspor dan muncullah yang disebut tanam paksa. Sebenarnya Undang-undang
Pokok Agraria mengenai pembagian tanah telah muncul sejak 1870, namun
kenyataanya tanam paksa baru berakhir tahun 1921. Setelah Indonesia merdeka,
maka kebijakan pemerintah terhadap pertanian tidak banyak mengalami
perubahan. Pemerintah tetap mencurahkan perhatian khusus pada produksi padi
dengan berbagai peraturan seperti wajib jual padi kepada pemerintah. Namun
masih banyak tanah yang dikuasai oleh penguasa dan pemilik modal besar,
sehingga petani penggarap atau petani bagi hasil tidak dengan mudah menentukan
tanaman yang akan ditanam dan budidaya terhadap tanamannya pun tak
berkembang.
Pada permulaan tahun 1970-an pemerintah Indonesia meluncurkan suatu
program pembangunan pertanian yang dikenal secara luas dengan program
Revolusi Hijau yang dimasyarakat petani dikenal dengan program BIMAS.
Tujuan utama dari program tersebut adalah meningkatkan produktivitas sektor
pertanian. Pada tahun 1998 usaha tani di Indonesia mengalami keterpurukan
karena adanya krisis multi-dimensi. Pada waktu itu telah terjadi perubahan yang
mendadak bahkan kacau balau dalam pertanian kita. Kredit pertanian dicabut,
suku bunga kredit membumbung tinggi sehingga tidak ada kredit yang tersedia ke
pertanian. Keterpurukan pertanian Indonesia akibat krisis moneter membuat
pemerintah dalam hal ini departemen pertanian sebagai stake
holder pembangunan pertanian mengambil suatu keputusan untuk melindungi
sektor agribisnis yaitu “pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya
saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi.
Meskipun kondisi petani pada masing-masing periode berbeda, tetapi
perkembangan pertanian dalam seluruh periode tersebut ditandai oleh perbedaan
dari metode penggalian sumberdaya pertanian Indonesia yang semuanya ditujukan
untuk memberi keuntungan sebesar-besarnya bagi penjajah. Tujuan utama
kebijaksanaan pembangunan pertanian pada zaman kolonial adalah memberikan
pemasukan yang lebih besar kepada kas penjajah di atas pengeluaran bagi biaya
pemerintahan kolonial. Sistem inilah yang diyakini akan mendatangkan uang
paling cepat dan paling banyak bagi kas pemerintah jajahan dibanding dengan
tanam sukarela. Di atas kertas sistem ini dapat dikatakan netral dibanding dengan
kebijaksanaan sewa tanah yang diterapkan oleh Raffles pada periode
pemerintahannya (1811 – 1816).
Dalam masa penjajahan pertanian di Indonesia memiliki beberapa sistem
yang diterapkan, yaitu :
1. Sistem sewa tanah : Pemerintah colonial Belanda bahwa pemilik tanah
yang sebenarnya adalah pemerintah. Pemikiran yang menganggap
pemerintah sebagai pemilik tanah dan petani sebagai penyewa tanah milik,
menyebabkan petani diwajibkan membayar pajak bumi sebesar duaperlima
dari hasil tanah garapannya.
2. Sistem tanam paksa : sejak kekuasaan kolonial kembali ke tangan
Belanda, anggaran pemerintah Belanda semakin memburuk. Sebagai
solusinya, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, untuk menolong
keuangan pemerintah kolonial Belanda tersebut di bawah pemerintahan Van
den Bosch menerapkan sistem tanam paksa yang merupakan pemulihan
eksploitasi seperti halnya penyerahan-penyerahan wajib yang pernah
dilaksanakan oleh VOC. Ketetapan kebijakan tanam paksa yang
mewajibkan seperlima luas tanah pertanian ditanami komoditas ekspor
tersebut, pada kenyataannya banyak petani yang diwajibkan menanam lebih
dari ketentuan yang ada. Mereka juga diwajibkan melakukan kerja wajib
yang pada akhirnya menyebabkan pekerjaan usahatani subsisten mereka
terabaikan. Mengenai pajak tanah yang seharusnya tidak dikenakan, justru
pada periode ini pendapatan pajak pemerintah meningkat.
3. Zaman liberal : di Indonesia dibuka modal swasta dari Belanda, Inggris
dan modal modal swasta lain dari Eropa. Titik tolak undang-undang agraria
adalah pernyataan pemilikan tanah umum oleh warga negara.
1.3 Sejarah Bawang Merah di Indonesia
Tanaman bawang merah diduga berasal dari Asia. Sebagian literature
menyebutkan bahwa tanaman bawang merah berasal dari Asia Tengah, terutama
Palestina dan India. Tetapi, sebagian mempekirakan asalanya dari Asia Tenggara
dan Mediterranean. Nara sumber lain meduga asal usul bawang merah dari Iran
dan pegunungan sebelah Utara Pakistan. Namun, ada juga yang menyebutkan asal
tanaman bawang merah dari Asia Barat dan Mediterranean, yang kemudian
berkembang ke Mesir dan Turki.
Dari berbagai penelusuran dalam literature dan nara sumber, terdapat
kesamaan pandang bahwa bawang merah merupakan tanaman yang tertua dari
silsilah budidaya tanaman oleh manusia. Hal ini antara lain ditunjukkan pada
zaman I dan II Dynasti (3.200-2.700 SM) bangsa Mesir sering melukiskan
bawang merah pada patung dan tugu-tugu mereka. Di Israel, tanaman bawang
merah dikenal tahun 1.500 SM.
Peninggalan Yunani Kuno memperjelas, betapa tuanya umur
pembudidayaan bawang merah, yakni diduga 4000 tahun yang lalu. Di kawasan
Eropa Barat, Eropa Timur dan spanyol, diduga tanaman bawang merah
dibudidayakan 1000 tahun yang lalu yang kemudian menyebar ke Amerika,
terutama Amerika Serikat. Dalam penyebarluasan selanjutnya, bawang merah
berkembang sampai ke Timur Jauh dan Asia Selatan (Rukmana, 1994).
Menurut perkiraan para ahli, bawang merah tumbuh pertama kali di wilayah
Asia Tengah, di sekitar Palestina (Ameriana dan Sutiarso, 1995). Kemudian pada
abad VIII, tanaman ini menyebar ke wilayah Eropa Barat, Eropa Timur, dan
Spanyol. Selanjutnya, dari negara-negara ini, tanaman bawang merah menyebar
luas ke Amerika, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri, sentra
produksi bawang merah yang terkenal adalah Brebes, Cirebon, Tegal, Kuningan,
Wates, Lombok Timur, dan Samosir.
Luas pertanaman bawang merah di Indonesia berfluktuasi dan cenderung
meningkat, disamping itu fluktuasi luas areal pertanaman tersebut diikuti oleh
fluktuasi produksinya. Bawang merah umumnya diperbanyak secara vegetatif
menggunakan umbi yang kebutuhannya mencapai 1.000 kg ha-1. Tanaman hasil
pembiakan vegetatif sangat rentan terhadap patogen sistemik yang dibawa dari
induknya sehingga dapat menekan pertumbuhan dan produktifitas tanaman
(Permadi, 1995). Menurut Hussey sebagai mana dikutip oleh George dan
Sherrington (1984), perbanyakan bawang merah dengan teknik in vitro
memberikan hasil yang sangat memuaskan, di mana setiap eksplan dapat
menghasilkan 60.000 tunas baru dalam waktu satu tahun.
1.4 Sejarah Masuknya Bawang Merah di Sulawesi Tengah
Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang mempunyai
manfaat dan arti penting bagi masyarakat, baik dilihat dari nilai ekonomisnya
yang tinggi, maupun dari kandungan gizinya. Bawang merah berperan sebagai
sebagai komoditas hortikultura yang banyak dikonsumsi. Di Sulawesi Tengah
khususnya lembah Palu yang beriklim kering terdapat jenis bawang merah yang
dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. Jenis bawang merah ini dikenal
dengan nama bawang merah lokal Palu dan sudah diolah menjadi produk olahan
siap saji yang biasa disebut bawang goreng Palu. Bawang merah varietas lembah
palu merupakan salah satu jenis bawang merah lokal yang dibudidayakan secara
tradisional oleh petani terutama di Lembah Palu, Sulawesi Tengah. Di Propinsi
Sulawesi Tengah, khususnya di Lembah Palu komoditas bawang merah unggul
lokal dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku bawang goreng dan dikenal sangat
khas dibandingkan dengan bawang lain yang ada di tanah air.
Secara khusus ada dua jenis bawang lokal Palu dan masyarakat Sulawesi
Tengah (suku kaili) memberikan nama untuk jenis yang pertama adalah bawang
”pepaya” atau bawang “tasima” dan jenis kedua adalah bawang “batu” atau
“tatua” yaitu bawang merah dengan umbi berwarna keputih-putihan jika
dibandingkan dengan jenis bawang lainnya di Indonesia, jenis bawang merah
lokal Palu sangat baik sebagai bahan baku bawang goreng dengan aroma yang
khas, tekstur yang padat, rasanya gurih dan tahan dalam penyimpanan setelah
digoreng. Komoditas bawang merah banyak diusahakan oleh petani di Kabupaten
Donggala terutama Lembah Palu sehingga bawang merah yang dibudidayakan
oleh petani setempat dikenal dengan sebutan bawang merah Palu. Penggunaan
nama ini kemudian diresmikan oleh Gubernur Sulawesi Tengah Pada hari krida
pertanian tahun 2000 di Palu.
Teknik budidaya yang masih tradisional membuat para petani tidak dapat
memenuhi kebutuhan permintaan produksi bawang merah yang semakin
meninggi. Di Sulawesi Tengah, bawang merah mengalami penurunan d luas
panen mencapai 4.400 yang menunjukkan bahwa produksi dan produktifitas
bawang merah varietas lembah palu mengalami penurunan. Pada tahun 2011 luas
lahan panen bawang merah mencapai 1.297 ha dengan produksi mencapai 11.511
ton, hasil per hektar mencapai 88,75 kw/ha, dan pada tahun 2012 produksi
bawang produksi mencapai 7.272 ton, dan hasil per hektar mencapai 41,20 kw/ha.
Akibat rendahnya produktivitas bawang merah varietas lembah palu disebabkan
teknologi budidaya yang belum optimal, tidak menggunakan pupuk organik dan
penggunaan pupuk anorganik yang terus menerus dapat menurunkan sifat fisik
dan tingkat kesuburan tanah sehingga produktivitas tanaman menurun.
Sistem pertanian yang belum sesuai, mendorong para petani di Sulawesi
Tengah untuk mengubah sistem usahataninya menjadi pertanian intensif. Petani di
Sulawesi Tengah mulai memandang semua aspek dengan pertimbangan efisiensi
dari pemilihan tempat budidaya, pemilihan benih/bibit, metode budidaya, sampai
pemasaran produk sehingga dari praktek yang diterapkan dapat mencapai
keuntungan maksimal. Petani yang awalnya banyak menggunakan bahan
anorganik untuk sistem budidayanya, kini dikurangi dan digantikan oleh bahan
organik. Program dan kebijakan yang mengarah pada usaha pertanian sebagai
tersebut dikenal dengan sistem intensifikasi. Selain intensifikasi, dalam
memecahkan masalah yang dihadapi petani di Sulawesi tengah dapat juga
dilakukan dengan program ekstensifikasi melalui perluasan areal pengembangan
budidaya bawang merah.
Pertanian bawang merah yang ada di Sulawesi Tengah dari tahun ke tahun
diupayakan untuk menjadi sistem pertanian industrial yang memperhatikan
lingkungannya. Saat ini, telah dilakukan banyak penyuluhan terhadap petani untuk
menerapkan sitem pertanian berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan, dikenal juga
dengan variasinya seperti pertanian organik yaitu dengan memasukkan aspek
kelestarian daya dukung lahan maupun lingkungan dan pengetahuan lokal sebagai
faktor penting dalam perhitungan efisiensinya. Salah satu cara untuk budidaya
tanaman bawang merah yang berkelanjutan adalah dengan melakukan perbaikan
teknik budidaya tanpa bahan kimia tetapi dengan bahan organik. Pemberian bahan
organik memiliki kelebihan yang nantinya mampu meningkatkan produktivitas
bawang merah tanpa merusak lingkungan. Mengingat pentingnya peranan air
dalam berbagai proses yang berlangsung dalam tubuh tanaman, maka ketersediaan
air dalam jumlah proposial juga merupakan syarat penting dalam keberhasilan
usahatani, termaksud budidaya bawang merah.
DAFTAR PUSTAKA
Ameriana, M. dan Sutiarso, T.A. 1995. Persebaran, Produksi dan Konsumsi
Bawang Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
George, E. F. dan P. D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture.
Exegetics Limited, England.
Kusmiadi, Edi (2014) Pengantar Ilmu Pertanian. In: Pengertian dan Sejarah
Perkembangan Pertanian. Universitas Terbuka, Jakarta
Permadi, A. H. 1995. Pemuliaan Bawang Merah. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Bogor.
Rukmana Rahmat. 1994. Bawang Merah. Yogyakarta : Kanisius
Siemonsma, J. S. dan K. Pileuk. 1994. Vegetables. Prosea 8: 64-71.
Wahyana, E., Anshar, M., dan Ete, A. 2017. Dinamika Tumbuh Tanaman Bawang
Merah (Allium cepa L. Kelompok Agregatum) Varietas Lembah Palu
Dengan Pemberian Pupuk Organik dan Interval Pemberian Air Sistem
Springkle. J. Agroland 24 (1) : 81 – 88.

Anda mungkin juga menyukai