Anda di halaman 1dari 9

A.

KASUS
Ny. Siti M berusia 45 tahun, BB 60 Kg. Keluhan saat MRS pasien suara serak, batuk,
dan perut membsesar. Pasien menderita CHF sejak beberapa tahun yang lalu dan
memiliki riwayat obat digoxin, candesartan, dan spironolactone.
Diagnosa dokter : CHF, DM, CKD, Asites

B. DASAR TEORI
1. Patofisiologi
Gagal jantung yang lebih umum dikenal gagal jantung kongestif adalah
keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu
memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan/atau
kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal.
Gagal jantung tidak berarti jantung berhenti bekerja. “Pompa yang lemah” tidak dapat
memenuhi keperluan terus-menerus dari tubuh akan oksigen dan zat nutrisi. Sebagai
reaksi: dinding jantung merentang untuk menahan darah lebih banyak atau dinding otot
jantung menebal untuk memompa lebih kuat
Ginjal menyebabkan tubuh menahan cairan dan sodium. Ini menambah
jumlah darah yang beredar melalui jantung dan pembuluh darah. Tubuh mencoba untuk
berkompensasi dengan melepaskan hormon yang membuat jantung bekerja lebih keras.
Dengan berlalunya waktu, mekanisme pengganti ini gagal dan gejala-gejala gagal
jantung mulai timbul. Kemampuan jantung untuk merentang dan mengerut kembali
berkurang. Otot jantung terentang berlebihan dan tidak dapat memompa darah secara
efisien.
Darah kembali ke lengan, tungkai, pergelangan kaki, kaki, hati, paru-paru
atau organ-organ lainnya, tubuh menjadi macet. Inilah yang disebut gagal jantung
kongestif. Gagal jantung merupakan proses progresif, bahkan jika tidak ada kerusakan
baru terjadi pada jantung. Istilah Gagal jantung kongestif sering digunakan kalau terjadi
gagal jantung sisi kiri dan kanan.
Penyebab yang mendasari CKD bermacam-macam seperti penyakit
glomerulus baik primer maupun sekunder, penyakit vaskular, infeksi, nefritis
interstisial, obstruksi saluran kemih. Patofisiologi penyakit ginjal kronik melibatkan 2
mekanisme kerusakan : (1) mekanisme pencetus spesifik yang mendasari kerusakan
selanjutnya seperti kompleks imun dan mediator inflamasi pada glomerulo nefritis, atau
pajanan zat toksin pada penyakit tubulus ginjal dan interstitium; (2) mekanisme
kerusakan progresif yang ditandai dengan adanya hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron
yang tersisa.
Ginjal kita memiliki 1 juta nefron, dan masing – masing memiliki kontribusi
terhadap total GFR. Pada saat terjadi renal injury karena etiologi seperti yang telah
dijelaskan di atas, pada awalnya ginjal masih memiliki kemampuan untuk
mempertahankan GFR. Namun pada akhirnya nefron sehat yang tersisa ini akan
mengalami kegagalan dalam mengatur autoregulasi tekanan glomerular, dan akan
menyebabkan hipertensi sistemik dalam glomerulus. Peningkatan tekanan glomerulus
ini akan menyebabkan hipertrofi nefron yang sehat sebagai mekanisme kompensasi.
Pada tahap ini akan terjadi poliuria, yang bisa menyebabkan dehidrasi dan hiponatremia
akibat ekskresi Na melalui urin meningkat. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan
menyebabkan proteinuria. Derajat proteinuria sebanding dengan tingkat progresi dari
gagal ginjal. Reabsorpsi protein pada sel tubuloepitelial dapat menyebabkan kerusakan
langsung terhadap jalur lisosomal intraselular, meningkatkan stres oksidatif,
meningkatkan ekspresi lokal growth faktor, dan melepaskan faktor kemotaktik yang
pada akhirnya akan menyebabkan inflamasi dan fibrosis tubulointerstitiel melalui
pengambilan dan aktivasi makrofag.
Inflamasi kronik pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan sintesis
matriks ektraseluler dan mengurangi degradasinya, dengan akumulasi kolagen
tubulointerstitiel yang berlebihan. Glomerular sklerosis, fibrosis tubulointerstitiel, dan
atropi tubuler akan menyebabkan massa ginjal yang sehat menjadi berkurang dan akan
menghentikan siklus progresi penyakit oleh hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron.
Kerusakan struktur ginjal tersebut akan menyebabkan kerusakan fungsi
ekskretorik maupun non-ekskretorik ginjal. Kerusakan fungsi ekskretorik ginjal antara
lain penurunan ekskresi sisa nitrogen, penurunan reabsorbsi Na pada tubuli, penurunan
ekskresi kalium, penurunan ekskresi fosfat, penurunan ekskresi hidrogen. Kerusakan
fungsi non-ekskretorik ginjal antara lain kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca,
menyebabkan penurunan produksi eritropoetin (EPO), menurunkan fungsi insulin,
meningkatkan produksi lipid, gangguan sistem imun, dan sistem reproduksi.
Angiotensin II memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan
intraglomerular. Angiotensin II diproduksi secara sistemik dan secara lokal di ginjal
dan merupakan vasokonstriktor kuat yang akan mengatur tekanan intraglomerular
dengan cara meningkatkan irama arteriole efferent. Angiotensin II akan memicu stres
oksidatif yang pada akhirnya akan meningkatkan ekspresi sitokin, molekul adesi, dan
kemoaktraktan, sehingga angiotensin II memiliki peran penting dalam patofisiologi
CKD. Penurunan ekskresi Na akan menyebabkan retensi air sehingga pada akhirnya
dapat menyebabkan oedem, hipertensi. Penurunan ekskresi kalium juga terjadi
terutama bila GFR < 25 ml/mnt, terlebih pada CKD stadium 5. Penuruan ekskresi ini
akan menyebabkan hiperkalemia sehingga meningkatkan resiko terjadinya kardiak
arrest pada pasien.
Diabetes tipe 1 akibat gangguan autoimun yang menyebabkan kerusakan
bertahap dari sel beta pankreas, menyebabkan kekurangan insulin absolut. Dalam
kondisi ini serangan sistem kekebalan tubuh dan menghancurkan sel yang
memproduksi insulin beta pankreas.Kondisi autoimun pada patofisiologi diabetes tipe
1 terjadi di mana tubuh menyerang sel pankreas yang sehat menyebabkan infiltrasi
limfositik dan kehancuran pulau pankreas. Kehancuran pankreas memakan waktu dan
bertahap, tetapi timbulnya penyakit ini lebih cepat dan dapat terjadi selama beberapa
hari sampai minggu. Mungkin ada kondisi autoimun lain yang terkait dengan
patofisiologi termasuk vitiligo dan hipotiroidisme. Diabetes tipe 1 selalu membutuhkan
terapi insulin melalui suntikan, dan tubuh tidak akan menanggapi obat oral insulin.
Kondisi akibat kekurangan relatif insulin namun tidak mutlak mendasari
patofisiologi diabetes tipe 2. Kondisi ini memberitahu bahwa tubuh tidak lagi mampu
untuk memproduksi insulin yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
glukosa tubuh. Ada kekurangan sel Beta pankreas yang memasok insulin, dikombinasi
dengan resistensi insulin perifer. Resistensi insulin perifer artinya bahwa meskipun
kadar insulin cukup memadai namun tidak ada hipoglikemia atau gula darah rendah.
Hal ini mungkin karena terjadi perubahan reseptor insulin yang memengaruhi akitifitas
insulin. Obesitas adalah merupakan penyebab resistensi insulin. Dalam kebanyakan
kasus, pasien perlu mengambil suntikan insulin ketika obat oral gagal untuk
merangsang pelepasan insulin yang memadai. Resistensi insulin juga muncul di
jaringan adiposa dan otot rangka. Selain itu, Manifestasi hati meningkatkan resistensi
insulin pada diabetes tipe 2 adalah penyakit penyakit hati berlemak non-alk0hol
(NAFLD – nonalcoh0lic fatty liver disease ) yang didefinisikan sebagai kelebihan
lemak di hati yang tidak disebabkan penggunaan alkohol. NAFLD dapat menyebabkan
peradangan hati dan bahkan sirosis.
Asites adalah pengumpulan cairan di dalam rongga perut. Asites merupakan
peningkatan jumlah cairan intra peritoneal. Penyebab asites terbanyak adalah gangguan
hati kronis tetapi dapat pula disebabkan penyakit lain :
 Asites dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, diantaranya: peningkatan tekanan
hidrostatik:Sirosis, oklusi vena hepatika (sindrom Budd-Chiari), obstruksi vena cava
inferior, perikarditis konstriktif, penyakit jantung kongestif.
 Penurunan tekanan osmotik koloid : Penyakit hati stadium lanjut dengan gangguan
sintesis protein, sindrom nefrotik, malnutrisi, protein lossing enteropathy
 Peningkatan permeabilitas kapiler peritoneal : Peritonitis TB, peritonitis bakteri,
penyakit keganasan pada peritonium.
 Kebocoran cairan di cavum peritoneal:Bile ascites, pancreatic ascites (secondary to a
leaking pseudocyst), chylous ascites, urine ascites.
 Micellanous : Myxedema, ovarian disease (Meigs’ syndrome), chronic hemodialysis.
Menurut International Ascites Club, asites diklasifikasikan sebagai kelas 1, 2 dan 3
berdasarkan keparahannya.
Meskipun manifestasi asites sudah dapat dikenali dengan baik, patogenesis
asites tetap tidak sepenuhnya dipahami dan masih terus berkembang.Ada beberapa teori
yang menerangkan patofisiologi asites transudasi. Teori-teori itu misalnya under-filling,
overflow dan periferal vasodilation. Menurut teori underfilling asites dimulai dari
volume cairan plasma yang menurun akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia.
Hipertensi porta akan meningkatkan tekanan hidrostatik venosa ditambah
hipoalbuminemia akan menyebabkan transudasi, sehingga volume cairan intravaskular
menurun, ginjal akan bereaksi dengan melakukan reabsorpsi air dan garam melalui
mekanisme neurohormonal. Sindrom hepatorenal terjadi bila volume cairan intravaskular
sangat menurun. Teori ini tidak sesuai dengan hasil penelitian selanjutnya yang
menunjukkan bahwa pada pasien sirosis hati terjadi vasodilatasi perifer, vasodilatasi
splanchnic bed, peningkatan volume cairan intravaskular dan curah jantung (Hirlan,
2009).
2. Guideline Terapi
a. Guideline terapi CHF

Gambar 1. Guideline terapi hipertensi pada CHF (AHA Guideline, 2017).

b. Guideline terapi DM

Gambar 2. Guideline Terapi Diabetes Melitus (ADA, 2018)


Gambar 3. Guideline terapi insulin (Cheng and Zinman, 2005)

Gambar 4. Guideline terapi insulin (ADA, 2018)


c. Guideline terapi CKD

Gambar 5. Staging CKD (ACP, 2013)

Gambar 6. Guideline Terapi CKD (Dipiro ed 9, 2015)


d. Guideline terapi Ascites

Gambar 7. Guidline terapi Ascites (Starr & Daniel, 2011)


DAFTAR PUSTAKA

American College of Physicians, 2013, Screening, Monitoring, and Treatment of Stage 1 to 3


Chronic Kidney Disease: A Clinical Practice Guideline From the American College of
Physicians, American College of Physicians.

American Diabetes Association, 2018, Pharmacologic Approaches to Glycemic Treatment:


Standards of Medical Care in Diabetes, Diabetes Care 2018; vol. 41 Supplement 1, 73-
85

American Heart Association, 2017, ACC/AHA/HFSA Focused Update Of The 2013 Accf/Aha
Guideline For The Management Of Heart Failure, Journal Of The American College
Of Cardiology

Cheng AYY, Zinman B, dan Khan CR., 2005, Joslin’s Diabetes Mellitus.Fourth Edition,
Lipincott Williams & Wilkins, Philadelphia.

Dipiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., and Dipiro, C.,V., 2015, Pharmacotherapy
Handbook, Ninth Edition., McGraw-Hill Education Companies, UK.

Hirlan. 2009. Asites. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009: 674-6

Starr, S. P and Daniel R, 2011, American Family Physician, Cirrhosis: Diagnosis,


Management, and Prevention, Louisiana State University Health Sciences Center
School of Medicine at New Orleans, New Orleans, Louisiana, 84(12):1353-1359.

Anda mungkin juga menyukai