Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi dan industri berdampak pula pada kesehatan.


Industri menimbulkan polusi udara baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja
sehingga mempe ngaruhi sistem respirasi. Berbagai kelainan saluran napas dan
paru pada pekerja dapat terjadi akibat pengaruh debu, gas ataupun asap yang
timbul dari proses industri. Pneumokoniosis merupakan salah satu penyakit utama
akibat kerja, terjadi hampir di seluruh dunia dan merupakan masalah yang
mengancam para pekerja. Data World Health Organi zation (WHO) tahun 1999
menunjukkan bahwa terdapat 1,1 juta kematian oleh penyakit akibat kerja di
seluruh dunia, 5% dari angka tersebut adalah pneumokoniosis. Pada survei yang
dilakukan di Inggris secara rutin yaitu surveillance of work related and
occupational respiratory disease (SWORD) menunjukkan pneumokoniosis hampir
selalu menduduki peringkat 3-4 setiap tahun.1

Menurut International Labor Organization (ILO) setiap tahun terjadi 1,1


juta kematian yang disebabkan oleh penyakit atau yang disebabkan oleh
pekerjaan. Sekitar 300.000 kematian terjadi dari 250 juta kecelakaan dan sisanya
adalah kematian karena penyakit akibat kerja dimana diperkirakan terjadi 160 juta
penyakit akibat hubungan pekerjaan baru setiap tahunnya. Dari data ILO tahun
1999, penyebab utama kematian yang berhubungan dengan pekerjaan adalah
kanker 34% dan pneumokoniosis berada pada peringkat kedua yaitu 21%.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
International Labour Organization (ILO) mendefinisikan pneumokoniosis
sebagai suatu kelainan yang terjadi akibat penumpukan debu dalam paru yang
menyebabkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Reaksi utama akibat pajanan
debu di paru adalah fibrosis. Pneumokoniosis digunakan untuk menyatakan
berbagai keadaan berikut:3
1. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika
(silikosis), asbes (asbestosis) dan timah (stannosis)
2. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumokoniosis batubara
3. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti kapas (bisinosis)

Istilah pneumokoniosis seringkali hanya dihubungkan dengan inhalasi debu


anorganik. Definisi pneumoconiosis adalah deposisi debu di dalam paru dan
terjadinya reaksi jaringan paru akibat deposisi debu tersebut. Istilah
pneumokoniosis ini dibatasi pada kelainan reaksi non-neoplasma akibat debu
tanpa memasukkan asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan
pneumonitis hipersensitif walaupun kelainan tersebut dapat terjadi akibat pajanan
debu dalam jangka lama.3

2.2. Epidemiologi

Dalam studi epidemiologi pneumokoniosis, radiografi dari pekerja


yang terpajan harus selalu dibandingkan dengan standar film dari International
Labour Organization (ILO), dan dinilai dari kategori 0 (normal) hingga kategori 3.
Di Inggris, pneumokoniosis pekerja batu bara tradisional di diagnosis kurang dari
100 orang /tahun, yang sebagian besar individu adalah mantan penambang dengan
usia lebih dari 50 tahun. Risiko pneumokoniosis pada penambang batubara
tradisional dan fibrosis masif progresif (PMF) adalah berkaitan dengan debu
batubara pada tambang yang terpapar. Sekitar 5% dari penambang terpapar debu
sebanyak 8 mg/m3 seluruh masa kerja mereka mengalami pneumokoniosis
kategori 2 pekerja batu bara tradisional. Risiko lebih tinggi terjadi pada mereka
yang terpapar batubara jenis sangat mudah terbakar (misalnya antrasit), dan lebih
rendah peringkat batubara uap. Jika debu mengandung lebih dari sekitar 10%
kuarsa, akan cenderung terjadi. Pria dengan PMF (Fibrosis Masif Progresif) dan
yang pekerja batu bara pneumokoniosis tradisional yang relatif dini meningkatkan
risiko kematian dini. Namun, pneumokoniosis pekerja batu bara tradisional tidak
terkait dengan peningkatan risiko kanker paru-paru atau TB. Pekerja batu bara
pneumokoniosis tradisional tidak menyebabkan bronkitis kronis atau obstruksi
saluran napas, tapi ada hubungan yang terpisah antara paparan debu batubara dan
pengembangan sindrom ini, dan banyak pasien memiliki keduanya. Merokok
memiliki efek adiktif dengan obstruksi sehubungan dengan saluran udara. Risiko
centri-asinar emfisema meningkat dengan meningkatkan paparan debu batubara
terespirasi.4

2.3. Jenis Pneumokoniosis

Penamaan pneumokoniosis tergantung pada debu penyebabnya, pajanan


asbes menyebabkan asbestosis, debu silika berhubungan dengan silikosis, debu
batubara menye babkan pneumokoniosis batubara dan lain-lain. Secara ringkas
beberapa yang dikategorikan pneumoconiosis berdasarkan jenis debu
penyebabnya terlihat pada tabel 1
Sumber : Michael E. Hanley,MD, Carolyn H. Welsh,MD. 2003. McGraw-Hill Section IX.
Occupational & Environmental Lung Diseases

2.4. Patogenesis

Faktor utama yang berperan pada patogenesis pneu mokoniosis adalah


partikel debu dan respons tubuh mokoniosis adalah partikel debu dan respons
tubuh khususnya saluran napas terhadap partikel debu tersebut. Komposisi kimia,
sifat fisis, dosis dan lama pajanan menentukan dapat atau mudah tidaknya terjadi
pneumokoniosis. Sitotoksisitas partikel debu terhadap makrofag alveolar
memegang peranan penting dalam patogenesis pneumokoniosis. Debu berbentuk
quartz lebih sitotoksik dibandingkan yang sulit larut. Sifat kimiawi permukaan
partikel debu yaitu aktivitas radikal bebas dan kandunganbesi juga merupakan hal
yang terpenting pada patogenesispneumokoniosis.3
Patogenesis pneumokoniosis dimulai dari respons makrofag alveolar
terhadap debu yang masuk ke unit respirasi paru. Terjadi fagositosis debu oleh
makrofag dan proses selanjutnya sangat tergantung pada sifat toksisitas partikel
debu. Reaksi jaringan terhadap debu bervariasi menurut aktivitas biologi debu.
Jika pajanan terhadap debu anorganik cukup lama maka timbul reaksi inflamasi
awal. Gambaran utama inflamasi ini adalah pengumpulan sel di saluran napas
bawah. Alveolitis dapat melibatkan bronkiolus bahkan saluran napas besar karena
dapat menimbulkan luka dan fibrosis pada unit alveolar yang secara klinis tidak
diketahui. Sebagian debu seperti debu batubara tampak relatif inert dan
menumpuk dalam jumlah relatif banyak di paru dengan reaksi jaringan yang
minimal. Debu inert akan tetap berada di makrofag sampai terjadi kematian oleh
makrofag karena umurnya, selanjutnya debu akan keluar dan difagositosis lagi
oleh makrofag lainnya, makrofag dengan debu di dalamnya dapat bermigrasi ke
jaringan limfoid atau ke bronkiolus dan dikeluarkan melalui saluran napas. Pada
debu yang bersifat sitoktoksik, partikel debu yang difagositosis makrofag akan
menyebabkan kehancuran makrofag tersebut yang diikuti dengan fibrositosis.
Menurut Lipscomb, 2 partikel debu akan merangsang makrofag alveolar untuk
mengeluarkan produk yang merupakan mediator suatu respons peradangan dan
memulai proses blast dan deposisi kolagen. Mediator yang paling banyak
berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah Tumor Necrosis Factor (TNF)-
α, Interleukin (IL)-6, IL-8, platelet derived growth factor dan transforming growth
factor (TGF)-β. Sebagian besar mediator tersebut sangat penting untuk proses
fibrogenesis. Mediator makrofag penting yang bertanggung jawab terhadap
kerusakan jaringan, pengumpulan sel dan stimulasi pertumbuhan fibroblast
adalah:
 Radikal oksigen/spesies oksigen reaktif dan protease.
 Leukotrien LTB4 dan IL-8 yang bersifat kemotaksis terhadap leukosit.
 Sitokin IL-1, TNF-α, fibronektin, PDGF dan IGF-1 yang berperan dalam
fibrogenesis.

Sitokin telah terbukti berperan dalam pathogenesis pneumokoniosis. Pappas2


merangkum sitokin yang dihasilkan oleh makrofag alveolar dalam merespons
partikel debu yang masuk ke paru yang selanjutnya menyebabkan fibrosis pada
jaringan intertisial paru. Sitokin ini terdiri dari atas faktor fibrogenesis seperti
TNF-α, PDGF, IGF-1 dan fibronektin serta faktor proinflamasi seperti LBT4, IL-
8, IL-6, MIP1a. Disamping proses fagositosis debu oleh makrofag alveolar, yang
lebih penting adalah interstisialisasi partikel debu tersebut. Bila partikel debu
telah difagositosis oleh makrofag dan ditransfer ke sistem mukosilier maka proses
pembersihan debu yang masuk dalam saluran napas dikategorikan berhasil.
Hilangnya integritas epitel akibat mediator inflamasi yang dilepaskan makrofag
alveolar merupakan kejadian awal proses fibrogenesis di interstitial paru. Bila
partikel debu telah masuk dalam interstitial maka nasibnya ditentukan oleh
makrofag interstitial, difagositosis untuk kemudian di transfer ke kelenjar getah
bening mediastinum atau terjadi sekresi mediator inflamasi kronik pada
interstitial. Sitokin yang dilepaskan di interstitial seperti PDGF, TGF, TNF, IL-1
menyebabkan proliferasi fibroblas dan terjadilah pneumokoniosis. Sifat toksisitas
debu menentukan reaksi jaringan yang terjadi pada pneumokoniosis. Debu silika
dan asbes mempunyai efek biologis yang sangat kuat. Reaksi parenkim dapat
berupa fibrosis nodular yaitu contoh klasik dari silikosis, fibrosis difus pada
asbestosis dan pembentukan makula dengan emfisema fokal akibat debu batubara.
Gambaran fibrotik campuran dan tidak beraturan terjadi pada pajanan debu
campuran. Empat gambaran respons patologi terlihat pada pneumokoniosis yaitu
fibrosis interstisial, fibrosis nodular, fibrosis nodular dan interstisial serta
emfisemafokal dan pembentukan makula.3

2.5. Diagnosa
Penyakit paru akibat debu industri mempunyai gejala dan tanda yang mirip
dengan penyakit paru lain yang tidak disebabkan oleh debu di lingkungan kerja.
Untuk menegakan diagnosis perlu dilakukan anamnesis yang teliti meliputi
riwayat pekerjaan, dan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan, karena
penyakit biasanya baru timbul setelah paparan yang cukup lama. Anamnesis
mengenai riwayat pekerjaan yang akurat dan rinci sangat diperlukan. Berbagai
faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan lingkungan perlu diketahui secara
rinci. Karena menunjang penegakan diagnosa penyakit paru yang mungkin
diakibatkan oleh pekerjaan/ lingkungan pekerjaan.5
Diagnosis pneumokoniosis tidak dapat ditegakkan hanya dengan gejala
klinis. Ada tiga kriteria mayor yang dapat membantu untuk diagnosis
pneumokoniosis. Pertama, pajanan yang signifikan dengan debu mineral yang
dicurigai dapat menyebabkan pneumokoniosis dan disertai dengan periode laten
yang mendukung. Oleh karena itu, diperlukan anamnesis yang teliti mengenai
kadar debu di lingkungan kerja, lama pajanan dan penggunaan alat pelindung diri
serta kadang diperlukan pemeriksaan kadar debu di lingkungan kerja. Gejala
seringkali timbul sebelum kelainan radiologis seperti batuk produktif yang
menetap dan atau sesak napas saat aktivitas yang mungkin timbul 10-20 tahun
setelah pajanan. Kedua, gambaran spesifik penyakit terutama pada kelainan
radiologi dapat membantu menentukan jenis pneumokoniosis. Gejala dan tanda
gangguan respirasi serta abnormalitas faal paru sering ditemukan pada
pneumokoniosis tetapi tidak spesifik untuk mendiagnosis pneumokoniosis.
Ketiga, tidak dapat dibuktikan ada penyakit lain yang menyerupai
pneumokoniosis. Pneumokoniosis kemungkinan mirip dengan penyakit interstisial
paru difus seperti sarkoidosis, idiophatic pulmonary fibrosis (IPF) atau interstitial
lung disease (ILD) yang berhubungan dengan penyakit kolagen vaskular.4
Beberapa pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu dalam
diagnosis pneumokoniosis yaitu pemeriksaan radiologi, pemeriksaan faal paru dan
analisis debu penyebab.

1. Pemeriksaan Radiologi
 Foto Toraks
Pada pneumokoniosis digunakan klasifikasi standar menurut International Labour
Organization (ILO) untuk interpretasi gambaran radiologi kelainan parenkim difus
yang terjadi. Klasifikasi ini digunakan untuk keperluan epidemiologik penyakit
paru akibat kerja dan mungkin untuk membantu interpretasi klinis. Perselubungan
pada pneumokoniosis dibagi dua golongan yaitu opasitas halus dan kasar.
Klasifikasi standar ILO tersebut dapat dilihat pada tabel berikut
Opasitas Halus (Small Opacities)
Perselubungan ini digolongkan menurut bentuk, ukuran, banyak dan luasnya.
Menurut bentuk dibedakan atas perselubungan halus bentuk lingkar dan bentuk
ireguler. Perselubungan lingkar dibagi berdasarkan diameternya, yaitu: p =
diameter sampai 1,5 mm, q = diameter antara 1,5-3 mm dan r = diameter antara
3-10 mm. Bentuk ireguler dibagi berdasarkan lebarnya, yaitu: s = lebar sampai 1,5
mm, t = lebar antara 1,5-3 mm dan u = lebar antara 3-10 mm6.
Untuk pelaporan bentuk dan ukuran kelainan digunakan dua huruf. Huruf
pertama menunjukkan kelainan yang lebih dominan, contoh p/s. ini berarti
perselubungan lingkar ukuran p lebih banyak, tetapi juga ada perselubungan
ireguler ukuran s tetapi jumlahnya sedikit. Kerapatan (profusion) kelainan
didasarkan pada konsentrasi atau jumlah perselubungan halus persatuan area.
Dibagi atas 4 kategori6, yaitu:
Kategori 0= Tidak ada perselubungan atau kerapatan kurang dari 1.
Kategori 1 = Ada perselubungan tetapi sedikit.
Kategori 2= Perselubungan banyak, tetapi corakan paru masih tampak.
Kategori 3= Perselubungan sangat banyak sehingga corakan paru sebagian
atau seluruhnya menjadi kabur.
Foto toraks pada pneumokoniosis mempunyai 12 kategori, yaitu:
0/-, 0/0, 0/1, 1/0, 1/1, 1/2, 2/1, 2/2, 2/3, 3/2, 3/3, 3/+.
Angka pertama menunjukkan kerapatan yang lebih dominan daripada
angka dibelakangnya. Kerapatan adalah petunjuk penting .untuk menentukan
beratnya penyakit. Luasnya distribusi perselubungan didasarkan atas area yang
terkena. Lapangan paru dibagi atas 6 area, masing-masing belahan paru
mempunyai 3 area yaitu lobus atas, lobus tengah dan lobus bawah6.

Opasitas Kasar (Large Opacities)


Perselubungan kasar dibagi atas 3 kategori yaitu6:
- Kategori A = Satu perselubungan dengan diameter antara 1-5 cm, atau
beberapa perselubungan dengan dimater masing-masing lebih dari 1 cm,
tapi bila diameter semuanya di jumlahkan tidak melebihi 5 cm.
- Kategori B = Satu atau beberapa perselubungan yang lebih besar atau lebih
banyak dari A dengan luas perselubungan tidak melebihi luas lapangan
paru kanan atas.
- Kategori C = Satu atau beberapa perselubungan yang jumlah luasnya
melebihi luas lapangan paru kanan atas atau sepertiga lapangan paru kanan

Pneumokoniosis pada pekerja tambang batu bara;


terdapat nodular kasar.
 Computed Tomography (CT) scan
Computed tomography (CT) scan bukan merupakan bagian dari klasifikasi
pneumokoniosis secara radiologi. Pemeriksaan CT mungkin sangat bermanfaat
secara individual untuk memperkirakan beratnya fibrosis interstisial yang terjadi,
menilai luasnya emfisema dan perubahan pleura atau menilai ada tidaknya
nekrosis atau abses yang bersamaam dengan opasiti yang ada.5 High resolution
CT (HRCT) lebih sensitif dibanding radiologi konvensional untuk evaluasi
abnormalitas parenkim pada asbestosis, silikosis dan pneumokoniosis lainnya.
Gambaran paling sering HRCT pada pneumokoniosis adalah nodular
sentrilobular atau high attenuation pada area percabangan seperti gambaran lesi
bronkiolar. Fibrosis interstisial mungkin bermanifestasi bronkiektasis traksi,
sarang tawon/honey comb atau hyperattenuation. Gambaran HRCT yang khas
pada silikosis,pneumokoniosis batubara dan asbestosis adalah terdapat opasitas
halus (small nodular opacities) yang predominan pada zona paru atas (upper
zone). Gambaran opasitas halus pada HRCT ada 2 karakteristik (1) ill-defined fine
branching lines dan (2) well-defined discrete nodules. Asbestosis menunjukkan
gambaran garis penebalan interlobular dan intralobular, opasitas subpleura atau
curvilinier dan honey comb, predominan terdistribusi pada basal paru. Gambaran
HRCT pada jenis pneumokoniosis lainnya bervariasi dan tidak spesifik, masing-
masing mempunyai karakteristiksendiri.4

2. Pemeriksaan Faal Paru


Pemeriksaan faal paru diperlukan untuk 2 tujuan yaitu studi epidemiologi
pekerja yang terpajan debu dan diagnosis penyakit paru akibat kerja. Pemeriksaan
faal paru memerlukan pemeriksaan volume paru dengan spirometri dan
pemeriksaan kapasitas difusi (DLco),5 namun tidak selalu tersedia. Pemeriksaan
faal paru juga diperlukan untuk menilai hendaya yang telah terjadi.3,5 Pada
pneumokoniosis dapat ditemukan nilai faal paru normal atau bisa juga terjadi
obstruksi, restriksi ataupun campuran.3 Sebagian besar penyakit paru difus yang
disebabkan debu mineral berhubungan dengan kelainan restriksi karena terjadi
fibrosis di parenkim paru. Pada kasus dengan fibrosis interstisial yang luas
7
umumnya terjadi penurunan kapasitas difusi. Inflamasi, fibrosis dan distorsi
pada saluran napas dengan konsekuensi terjadi obstruksi saluran napas dapat
ditemukan pada beberapa kondisi. Karena tingginya prevalensi perokok pada
populasi pekerja industri, sering sulit dibedakan apakah obstruksi yang terjadi
karena efek debu terinhalasi atau efek rokok.6

3. Analisis Debu Penyebab


Pada kondisi tertentu, diperlukan diagnosis pasti pajanan bahan di lingkungan
kerja dengan analisis bahan biologi (sputum, bronchoalveolar lavage/BAL, biopsi
transbronkial atau biopsi paru terbuka) untuk melihat debu mineral atau produk
metabolismenya. Pemeriksaan BAL membantu menegakkan diagnosis. Pada
pemeriksaan BAL dapat terlihat debu di dalam makrofag dan jenis debu
kemungkinan dapat diidentifikasi menggunakan mikroskop electron.7

2.6. Tata Laksana


Pneumokoniosis tidak akan mengalami regresi, menghilang ataupun
berkurang progresivitasnya hanya dengan menjauhi pajanan. Tata laksana medis
umumnya terbatas hanya pengobatan simptomatik. Tidak ada pengobatan yang
efektif yang dapat menginduksi regresi kelainan ataupun menghentikan
progesivitas pneumokoniosis. Pencegahan merupakan tindakan yang paling
penting. Regulasi dalam pekerjaan dan kontrol pajanan debu telah dilakukan sejak
lama terutama di negara industri dan terus dilakukan dengan perbaikan-perbaikan.
Pada bentuk pneumokoniosis subakut dengan manfaat yang didapat untuk efek
jangka panjangnya terutama jika bahan penyebab masih ada di paru. Menjaga
kesehatan dapat dilakukan seperti berhenti merokok, pengobatan adekuat
dilakukan bila dicurigai terdapat penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan
pencegahan infeksi dengan vaksinasi dapat dipertimbangkan.1
BAB III
KESIMPULAN

Pneumokoniosis merupakan keadaan yang disebabkan oleh inhalasi debu ke


dalam paru. Pasien memiliki riwayat pajanan terhadap debu. Berbagai jenis debu
mineral dapat menimbulkan pneumokoniosis. Debu asbes dan silika serta batubara
merupakan penyebab utama pneumokoniosis. Debu mineral lainnya dapat juga
menyebabkan pneumokoniosis. Pneumokoniosis baru tampaksecara klinis dan
radiologis setelah pajanan debu ber langsung 20-30 tahun.
Penamaan pneumokoniosis tergantung pada debu penyebabnya, pajanan
asbes menyebabkan asbestosis, debu silika berhubungan dengan silikosis, debu
batubara menye babkan pneumokoniosis batubara dan lain-lain.
Diagnosis pneumokoniosis tidak dapat ditegakkan hanya dengan gejala klinis.
Tetapi ada beberapa pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu dalam
diagnosis pneumokoniosis yaitu pemeriksaan radiologi, pemeriksaan faal paru dan
analisis debu penyebab.
Pada gambaran radiologis tergantung pada apakah debu bersifat aktif atau
inaktif. Debu aktif misalnya dari debu silica dan batu bara merupakan penyebab
fibrosis paru difus yang poten, pada tahap awal gambaran yang khas berupa nodul
paru berukuran kecil. Debu inaktif misalnya besi oksida, kalsium dan barium pola
nodular halus, akibat deposit partikel debu. Dan debu organic, pajanan terhadap
debu organic juga dapat menyebabkan fibrosis paru misalnya paru pecinta burung,
paru petani;rumput, debu gula tebu, dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Cahya utami, Dian. Pneumokiniosis. Jakarta. Fakultas kedokteran
universitas islam Jakarta.
2. Yulaekah, S. 2007. PAPARAN DEBU TERHIRUP DAN GANGGUAN
FUNGSI PARU PADA PEKERJA INDUSTRI BATU KAPUR.
Universitas Diponegoro. Semarang.
3. Pencegahan pneumoconiosis. http://repository.usu.ac.id. Universitas
sumatera utara.
4. Susanto, DA. 2011. Pneumoconiosis. Journal Indonesia Medical
Association. 61(12): 503-510.
5. Akbar, Reza. Pneumoconiosis. Jakarta. Fakultas kedokteran universitas
Indonesia.
6. International Labour Organization. Guidelines for the use of the ILO
international classification of radiographs of pneumoconiosis. Geneva;
international labour office, 2002.
7. Rinawati, Putri. Coal Workers Pneumoconiosis. Vol.4 nomor 1 Jakarta;
2015.

Anda mungkin juga menyukai