Anda di halaman 1dari 23

Mata kuliah : Etika Profesi

“DINAMIKA PENDIDIKAN NASIONAL”

Dosen Pengampu: Ratna Ekawati, M.Pd.

Tugas/makalah ke : 1

Nama Kelompok :
1. Try Ardilla Virgiani (2283160001)
2. Nadiyah Khoirunisa (2283160026)

JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang,
kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadiratNya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayahNya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Pendapat Seputar Teori Pengetahuan”

Makalah ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Pengelolaan Pendidikan di


Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitan Sultan Ageng Tirtayasa dengan dosen
pengampu Ratna Ekawati, M.Pd.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.

Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.
Serang, 1 Oktober 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB I.........................................................................................................................................1

PENDAHULUAN......................................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah..................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................2

C. Tujuan Masalah...............................................................................................................2

BAB II........................................................................................................................................3

PEMBAHASAN........................................................................................................................3

A. Pengertian........................................................................................................................3

B. Memahami Sistem Pendidikan Nasional Awal Era Kemerdekaan..................................4

C. Menjelaskan Sistem Pendidikan di Era Reformasi Pendidikan Nasional.......................5

D. Memahami Arah Baru Kebijakan Pendidikan.................................................................7

BAB III.....................................................................................................................................11

PENUTUP................................................................................................................................11

A. Kesimpulan....................................................................................................................11

B. Saran..............................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................

iii
BAB I

PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Masalah
Dinamika pendidikan atau perubahan yang terjadi pada pendidikan, tidak
terlepas dari sejarah pendidikan yang telah berlangsung begitu lama, karena setiap
zaman memiliki perbedaan masing-masing dimana akan menimbulakan sebuah
dinamika. Menelaah sejarah pendidikan sebenarnya tidak lain adalah mengkaji
sejarah manusia dalam rentang waktu masa lalu. Pendidikan pada hakikatnya
adalah untuk membangun peradaban bangsa melalui membangun manusia
seutuhnya. Pendidikan merupakan hak setiap orang untuk meningkatkan harkat
dan martabatnya dalam kehidupan sehari - hari. Dalam penyelenggaraan
pendidikan, banyak faktor yang mempengaruhinya, baik yang berasal dari internal
maupun eksternal sebuah sistem pendidikan.
Sejarah suatu bangsa dapat dilihat dari perkembangan pendidikan yang
dienyam oleh rakyatnya. Maju atau tidaknya suatu bangsa juga dapat dilihat dari
maju atau tidaknya pendidikan suatu bangsa. Begitu pula dengan Indonesia yang
memiliki sejarah perkembangan pendidikan dari masa klasik hingga masa
sekarang yang terus selalu berkembang. Sesuai dengan perkembangan zaman,
pendidikan juga selalu berkembang secara dinamis. Namun, tidak ada bangsa
yang berkembang secara dinamis tanpa adanya proses, pergerakan, dan
perkembangan pendidikannya.
Indonesia dalam perjalanan sejarahnya juga bergerak dengan proses,
pergerakan, dan perkembangan pendidikannya. Yang kita ketahui sendiri bahwa
tokoh-tokoh pemimpin bangsa Indonesia juga merupakan lulusan lembaga
pendidikan. Apabila kita lihat perkembangan Indonesia, pendidikan merupakan
salah satu faktor penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pendidikan
adalah kebutuhan mendasar suatu bangsa, begitu pula bangsa Indonesia, untuk
mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta meningkatkan harkat dan
martabat bangsa. Pada masa penjajahan, tanpa disadari oleh pihak penjajah sistem

1
pendidikan yang diberikan dapat menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Pemuda-
pemuda pribumi yang mendapatkan pendidikan dari penjajah justru berbalik
menyusun kekuatan untuk memerdekakan bangsanya. Dan setelah merdeka,
sistem pendidikan penjajah ada yang ditinggalkan dan ada yang masih
dipertahankan.
Pendidikan nasional Indonesia dewasa ini terpaut dengan praktik-praktik
pendidikan pada masa lalu, dan sekaligus mengarah ke masa depan untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional yang telah ditetapkan. Terdapat berbagai
pengetahuan dan nilai sejarah dalam praktik pendidikan bangsa kita di masa lalu,
yang dapat kita ambil hikmahnya demi pembangunan pendidikan di masa
sekarang dan di masa depan, karena hal tersebut sangat penting mempelajari
dinamika dan sejarah pendidikan Indonesia.

b. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem pendidikan nasional era kemerdekaan?
2. Bagaimana sistem pendidikan era reformasi pendidikan nasional?
3. Bagaimana arah baru kebijakan pendidikan?

c. Tujuan Masalah
1. Untuk memahami sistem pendidikan nasional era kemerdekaan.
2. Untuk menjelaskan sistem pendidikan era reformasi pendidikan nasional.
3. Untuk memahami arah baru kebijakan pendidikan nasional.

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Sistem Pendidikan Nasional Era Kemerdekaan
1. Pendidikan Periode 1945 – 1950
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945,
perubahan-perubahan tidak hanya terjadi dalam bidang pemerintahan saja, tetapi
juga dalam bidang pendidikan. Perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan
merupakan perubahan yang bersifat mendasar, yaitu perubahan yang menyangkut
penyesuaian kebijakan pendidikan dengan dasar dan cita-cita suatu bangsa yang
merdeka dan negara yang merdeka. Untuk mengadakan penyesuaian dengan cita-
cita bangsa Indonesia yang medeka itulah, bidang pendidikan mengalami
perubahan, terutama dalam landasan utamanya, tujuan pendidikan, sistem
persekolahan, dan kesempatan belajar yang diberikan kepada rakyat Indonesia
(Syafaruddin, 2008).
Pada masa peralihan antara tahun 1945-1950, bangsa Indonesia mengalami
kesusahan di berbagai bidang, mulai dari sosial, ekonomi, budaya, politik, dan
pendidikan. Namun, tekad bangsa Indonesia sudah bulat dengan adanya
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 untuk menata kehidupan bersama,
berbangsa, mencapai kemakmuran dan kesejahteraan, lepas dari penindasan.
Salah satu sasaran dan caranya adalah dengan memajukan dunia pendidikan
untuk mencerdaskan rakyat Indonesia (Syafaruddin, 2008).
Pada masa awal-awal kemerdekaan Indonesia, situasi politik belum stabil
hingga menyebabkan terjadinya perubahan pada kelembagaan pendidikan
Indonesia. Pada awal kemerdekaan pemerintah Republik Indonesia (RI) telah
membentuk kementerian yang mengurus dunia pendidikan disebut sebagai
“Kementerian Pengajaran.” Pada waktu itu juga nama kementerian diubah
menjadi “Kementerian Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan” atau yang
disingkat menjadi Kementerian PP dan K (Syafaruddin, 2008).

3
Gagasan dan pemikiran Ki Hadjar tentang pendidikan dan kebudayaan
sampai sekarang masih selalu dikaji dan dianggap relevan diimplementasikan
dalam sistem pendidikan nasional. Salah satunya adalah prinsip Tut Wuri
Handayani yang menjadi semboyan resmi dari implementasi sistem pendidikan
nasional (Suryono, 2000).
Dengan demikian hal utama yang harus diingat adalah: pendidikan sekadar
sebagai tuntunan di dalam hidup dan tumbuh kembangnya anak-anak kita. Hal itu
artinya kehidupan anak-anak tersebut berada di luar kemampuan dan kehendak
kita kaum pendidik, anak-anak harus dilihat sebagai manusia yang memiliki
kehendak dan fitrahnya sendiri, hingga biarkanlah mereka untuk tumbuh dan
berkembang sesuai dengan fitrah kehidupannya sendiri (Suryono, 2000).
Menurut Edi Subkhan pendidikan yang digagas oleh Ki Hadjar adalah
pendidikan yang nir-paksaan. Ia menyatakan bahwa istilah opvoeding atau
pedagogiek sebenarnya tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa kita secara
tepat. Istilah yang hampir mendekati adalah momong, among dan ngemong. Di
Taman Siswa kemudian dikenal dengan sistem Among sebagai dasar
pendidikannya. Caranya tidak dengan memaksa, seorang guru baru diharuskan
mengintervensi kehidupan si anak ketika memang si anak tersebut salah. Dalam
sistem Among inilah familiar metode Ing Ngarsa Sung Tuladha (bila berada di
depan harus dapat memberi contoh), Ing Madya Mangun Karsa (bila di tengah-
tengah harus dapat memberi gagasan yang mendorong kemajuan), dan Tut Wuri
Handayani (ketika di belakang harus dapat memberikan dukungan atau
dorongan).
Tata sekolah sesudah Indonesia kemerdekaan yang berdasarkan satu jenis
sekolah untuk tiap tingkatan seperti pada zaman Jepang tetap diteruskan,
sedangkan rencana pelajaran pun pada umumnya sama dan bahasa Indonesia
ditetapkan sebagai bahasa pengantar untuk seluruh sekolah Pada tahun 1945-
1950 juga menghasilkan kurikulum nasional, yaitu pendidikan rendah,
pendidikan guru, pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan teknik, dan
pendidikan tinggi (Koesoemahatmadja, 1979).

4
Berkaitan dengan keperluan bangunan sekolah, tindakan utama adalah
mengatasi bangunan rusak atau hancur lebur akibat revolusi fisik atau bangunan
tersebut dipakai oleh pemerintah. Di samping dilakukannya usaha-usaha
pemerintah dalam mengatasi kekurangan bangunan sekolah tersebut, juga tidak
ketinggalan partisipasi masyarakat yang bergotong royong membangun bangunan
sekolah dengan peralatannya dan yang kemudian disumbangkan kepada
pemerintah (Koesoemahatmadja, 1979).
Pendidikan zaman kemerdekaan ini, dalam kondisi sulit tersebut
hebatnnya mampu menghasilkan produk hukum tentang pendidikan, yaitu
Undang-Undang Pendidikan Nomor 4 Tahun 1950. Itulah produk hukum
pendidikan nasional pertama, terlepas kemudian kita memandang bahwa produk
hukum tersebut kurang terang memberikan definisi tentang konsep dan sistem
pendidikan nasional Selain itu di masa ini guru juga menunjukkan darma
baktinya bagi pendidikan nasional (Koesoemahatmadja, 1979).
Menurut Made, pada masa awal kemerdekaan ini bisa juga di sebut
sebagai masa di mulainya pembangunan di Indonesia, pada masa ini dalam buku
Landasan Pendidikan di jelaskan bahwa”Kebijakan Pendidikan yang di gunakan
adalah Penerapan Link And Match”
Kurikulum pasca kemerdekaan saat itu diberi nama Leer Plan dalam
bahasa Belanda artinya Rentjana Peladjaran, lebih terkenal ketimbang kurikulum
1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem
pendidikan kolonial Belanda dan Jepang. Sehingga hanya meneruskan yang
pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Peladjaran 1947 dikatakan sebagai
pengganti sitem pendidikan kolonial Belanda. Karena saat itu bangsa Indonesia
masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan dan bertujuan untuk
pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar
dengan bangsa lain di muka bumi. Sasaran utama pendidikan bagi anak-anak
yaitu pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran
dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan
pendidikan jasmani (Muhdi, 2007).

5
Jenjang pendidikan sesudah Indonesia merdeka yang berdasarkan satu
jenis sekolah untuk tiga tingkat pendidikan seperti pada zaman Jepang tetap
diteruskan, sedangkan rencana pembelajaran pada umumnya sama dan bahasa
Indonesia ditetapkan sebagai bahasa pengantar untuk sekolah. Buku-buku
pelajaran yang digunakan adalah buku-buku hasil terjemahan dari bahasa
Belanda ke dalam bahsa Indonesia yang sudah dirintis sejak jaman Jepang
(Muhdi, 2007).
2. Jenjang Pendidikan pada Periode tahun 1945-1950
Dalam UU No 4/1950 Bab II, pasal, tujuan pendidikan nasional Indonesia
adalah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah
air. Adapun jenjang pendidikan waktu itu adalah sebagai berikut:
a. Pendidikan Rendah
Pendidikan yang terendah di Indonesia sejak awal kemerdekaan yang
disebut dengan Sekolah Rakyat (SR). Lama pendidikan Sekolah Rakyat
adalah tiga tahun. Maksud pendirian SR ini adalah selain meningkatkan taraf
pendidikan pada masa sebelum kemerdekaan juga dapat menampung hasrat
yang besar dari mereka yang hendak bersekolah. Mengingat kurikulum SR
diatur sesuai dengan putusan Menteri PKK tanggal 19 november 1946 NO
1153/Bhg A yang menetapkan daftar pelajaran SR dimana tekanannya adalah
pelajaran bahasa berhitung. Hal ini dapat telihat bahawa dari 38 jam pelajaran
seminggu, 8 jam adalah untuk bahasa Indonesia, 4 jam untuk bahasa daerah
dan 17 jam berhitung untuk kelas IV< V dan VI. Tercatat sejumlah 24.775
buah SR pada akhir tahun 1949 pada akhir tahun 1949 di seluruh Indonesia.

b. Sekolah Menengah Pertama (SMP)


Pada awalnya SMP merupakan lanjutan dari masa penjajahan Jepang
dan rencana pelajaran yang digunakan pun juga sama, tetapi dengan
keluarnya Surat Keputusan Menteri PPK tahun 1946, maka diadakannya
pembagian A dan B mulai kelas II sehingga terdapat kelas IIA, IIB, IIIA dan
IIIB.

6
Dibagian A diberikan juga sedikit ilmu alam dan ilmu pasti. Tetapi lebih
banayak diberikan pelajaran bahasa dan praktek administrasi. Sementara itu
dibagian B sebaliknya diberikan Ilmu Alam dan Ilmu Pasti.
c. Sekolah Menengah Tinggi (SMT)
Kementerian PPK hnaya mengurus langsung SMT yang ada di pulau
Jawa terutama yang berada di kota-kota sperti: Jakarta, Bandung, Semarang,
Yogyakarta, Surakarta, Surabaya dan Cirebon. SMT di Luar Pulau Jawa
berada di bawah pengawasan pemerintah daerah berhubung sulitnya
perhubungan dengn pusat. SMT merupakan pendidikan tiga tahun setelah
SMP dan setelah lulus dapat melanjutkan ke perguruan tinggi.
Rencana pelajaran pada waktu belum jelas, dan yang diberikan adalah
rencana pelajaran dalam garis besar saja. Pada waktu itu msaih harus
menyesuaikan dengan keadaan zaman yang masih belum stabil. Rencana
pembelajaran yang berlaku yaitu: (1) isinya memenuhi kebutuhan nasional,
(2) bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia, (3) mutunya setingkat
dengan SMT menjelang kemerdekaan. Ujian akhir dapat diselenggarakan
oleh masing-masing sekolah selama belum ada ujian negara, tetapi setelah
tahun 1947 barulah berlaku ujian negara tersebut.
d. Pedidikan Kejuruan
Pendidikan kejuruan pada waktu itu adalah Pendidikan ekonomi dan
pendidikan kewanitaan:
1) Pendidikan ekonomi
Pada awal kemerdekaan pemerintah baru dapat membuka sekolah
dagang yang lama, pendidikannya tiga tahun sesudah Sekolah Rakyat.
Sekolah dagang ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga
administrasi atau pembukuan, sedangkan penyelenggaraan sekolah
dagang tersebut dilaksanakan oleh inspektur sekolah dagang.
2) Pendidikan Kewanitaan
Sesudah kemerdekaan pemerintah membuka Sekolah Kepandaian
Putri (SKP) dan pada tahun 1947 sekolah guru kepandaian putri (SGKP)
yang lama pelajaranya empat tahun setelah SMP atau SKP.

7
e. Pendidikan Tinggi
Dalam periode 1945-1950 kesempatan untuk meneruskan studi
pendidikan tinggi semakin terbuka lebar bagi warga negara tanpa syarat.
Lembaga pendidikan ini berkembang pesat tetapikarena adanya
pelaksanaannya di lakukan perjuangan fisik maka perkuliahan kerap kali di
sela dengan perjuangan garis depan.
Lembaga pendidikan yang ada adalah Universitas Gajah Mada,
beberapa sekolah tinggi dan akademi di Jakarta (daerah kependudukan)
Klaten, Solo dan Yogyakarta. Perkembangan pendidikan tinggi sesudah
proklamasi kendati mengalami berbagai tantangan, tetapi tidak juga dapa
dipisahkan dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan merupakan
salah satu kekuatan dari seluruh kekuatan rakyat Indonesia. Sejak awal
kemerdekaan di Jakarta pada waktu merupakan daerah pendudukan
Belanda, berdiri sekolah Tinggi kedokteran sebagai kelanjutan Ika Daigaku
zaman Jepang. Pada bulan Nopember 1946 dibuka pula Sekolah Tinggi
Hukum serta filsafat dan sastra. Setelah aksi agresi militer I kedua lembaga
pendidikan tinggi terakhir in di tutup oleh belanda sehingga secara resmi
sudah tidak ada lagi, dengan demikian pendidikan tinggi waktu itu terpecah
menjadi dua yaitu pendidikan tinggi republik dan Pendidikan tingkat tinggi
pendudukan Belanda.
Kita bisa menyimpulkan bahwa usaha-usaha nyata yang pernah
dilakukan pemerintah berkaitan dengan pendidikan antara tahun 1945-1950
adalah seputar bangunan sekolah, guru, kurikulum, sistem kerja, serta
biaya.Secara garis besar pendidikan di awal kemerdekaan diupayakan untuk
dapat menyamai dan mendekati sistem pendidikan di negara-negara maju. Pada
masa peralihan antara tahun 1945-1950 bangsa Indonesia merasakan berbagai
kesulitan baik di bidang sosial ekonomi, politik maupun kebudayaan, termasuk
pendidikan. Dari sejumlah anak-anak usia sekolah hanya beberapa persen saja
yang dapat menikmati sekolah, sehingga sisanya 90% penduduk Indonesia masih
buta huruf.

8
Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud interpretasi pasca
kemerdekaan di bawah kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang
bebas terhadap pendidikan. Pemerintahan yang berasaskan sosialisme menjadi
rujukan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dan dijalankan demi
pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang. Pada
prinsipnya konsep sosialisme dalam pendidikan memberikan dasar bahwa
pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas
sosial.
Tujuan pendidikan pada waktu itu dirumuskan untuk mendidik warga
negara yang sejati. Pendidikan ditekankan pada penanaman semangat
patriotisme, karena pada saat itu negara dan bangsa Indonesia sedang mengalami
perjuangan fisik dan sewaktu-waktu pemerintah kolonial Belanda masih mencoba
untuk menjajah kembali negara Indonesia. Selanjutnya pendidikan sudah mulai
ditujukan kepada pembentukan manusia yang diinginkan oleh konsep Manipol
Usdek.

B. Sistem Pendidikan Era Reformasi Pendidikan Nasional


Era reformasi melahirkan keterkejutan budaya, bagaikan orang yang
terkurung dalam penjara selama puluhan tahun kemudian melihat tembok penjara
runttuh. Mereka semua keluar mendapati pemandangan yang sangat berbeda,
kebebasan dan keterbukaan yang nyaris tak terbatas. Suasana psikologis eforia itu
membuat masyarakat tidak bisa berfikir jernih, menuntut hak tapi lupa kewajiban,
mengkritik tetapi tidak mampu menawarkan solusi (Hasbullah, 2006).
Masyarakat pendidikan tersadar bahwa SDM produk dari sistem
pendidikan nasional kita tidak bisa bersaing dalam persaingan global sehingga
kita hanya mampu mengekspor tenaga kerja PRT, sebaliknya tenaga skill pun di
dalam negeri harus bersaing dengan tenaga skill dari luar. Problemnya, output
pendidikan yang bermutu itu baru dapat dinikmati 20-25 tahun kemudian. SDM
kita yag tidak kompetetif hari ini adalah juga produkdari sistem pendidikan sejak
20-30 tahun yang lalu. Untuk mengubah sistem pendidikan secara radikal juga
punya problem, yaitu tenaga guru yang kita miliki adalah produk dari sistem

9
pendidikan yang tidak tidak tepat. Dalam konsep IKIP guru adalah instrument
pendidikan, bukan tokoh yang bisa mentransfer kebudayaan kepada anak
didiknya. Lingkaran setan inilah yang sulit diputus.
Menurut Hasbullah (2006) Sistem Pendidikan Era Reformasi diantaranya adalah :
1. Sistem Politik Kebijakan
Sistem politik berkaitan dengan otoritas, kekuasaan dan pengaruh
(termasuk negoisasi) untuk memecahkan konflik-konflik dan isu-isu pendidikan.
Aspek politik dari reformasi pendidikan amat kompleks. Keberhasilan dalam
mengendalikan aspek politik ini ditunjukkan dengan adanya berbagai kebijakan
dan setiap kebijakan saling melengkapi serta menuju sasaran utama yaitu
meningkatkan kemajuan pendidikan.
Dimensi politik ini tidak sekedar hak-hak politik warga sekolah/institusi
pendidikan, khususnya tenaga pengajar/guru/dosen dan kepala sekolah/rektor,
tetapi mempunyai pengertian yang luas, yakni penekanan pada kebebasan atau
otonomi sekolah, khususnya dalam kaitannya dengan masya-rakat sekitar.
Dengan otonomi tersebut maka keberadaan sekolah/lembaga pendidikan merupa-
kan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat dan tidak terlalu
menggantungkan pada birokrasi di atas.
2. Sistem Teknis Operasional
Sistem teknis berkaitan dengan profesionalisme dan tingkat pengetahuan
pendidik, atau dengan kata lain aspek teknis dipusatkan pada kemauan dan
kemampuan guru/dosen untuk melaksanakan reformasi pada dimensi kelas atau
melaksanakan proses belajar-mengajar sebagaimana dituntut oleh reformasi.
Kemampuan pendidik yang dituntut dalam reformasi pendidikan pada
umumnya adalah kemampuan penguasaan materi kurikulum dan kemampuan
paedogogik. Orientasi kurikulum me-nitikberatkan pada penguasaan konsep-
konsep pokok dan menekankan pada cara bagaimana peserta didik menguasai
konsep dan hubungan untuk dikaitkan dengan realitas kehidupan masyarakat.
Disamping perlu penyempurnaan kurikulum, pendidik harus memahami dan
memiliki motiva-si untuk mempergunakan pendekatan dan cara belajar yang lebih
natural /alami dan menarik. Untuk itu perlu dikembangkan tim kerja yang

10
melibatkan pendidik dan para pakar/ahli agar dapat terjalin komunikasi yang baik
sehingga berdampak positif bagi pendidik itu sendiri dalam me-ngembangkan
kemampuan dan pengetahuannya.

3. Sistem Kontekstual
Pendidikan tidak berproses da-lam suasana vakum dan tertutup, namun
terbuka dan senantiasa berinteraksi dengan aspek-aspek lain diluar pendidikan.
Aspek-aspek lain tersebut dapat berdampak positif maupun negatif bagi
pendidikan. Aspek-aspek tersebut antara lain : kepedulian ma-syarakat terhadap
pendidikan, perkembangan media masa, dan sistem politik pemerintah.
Keberhasilan reformasi pendidik-an ditentukan juga oleh dukung-an
masyarakat, warga masyarakat, khususnya orang tua siswa perlu dilibatkan untuk
berpartisipasi dalam proses pembelajaran secara aktif. Maka untuk itu, orang tua
siswa dan tokoh-tokoh masyarakat perlu diajak memahami visi dan misi institusi
pendidikan tersebut sehingga mereka dapat mengambil peran dalam
melaksanakan misi tersebut sesuai dengan keyakinan dan kemampuannya.

C. Arah Baru Kebijakan Pendidikan


1. Pengertian Kebijakan

Kebijakan (policy) secara etimologi (asal kata) diturunkan dari bahasa


Yunani, yaitu “Polis” yang artinya kota (city). Dalam hal ini, kebijakan
berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola formal
yang sama-sama diterima pemerintah/lembaga sehingga dengan hal itu mereka
berusaha mengejar tujuannya (Monahan dalam Syafaruddin, 2008:75).

Abidin (2006:17) menjelaskan kebijakan adalah keputusan pemerintah


yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat.

Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal


organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur prilaku dengan tujuan untuk
menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan
utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berprilaku (Dunn,
1999). Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda
dengan Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation), kebijakan lebih adaptif dan
interpratatif, meskipun kebijakan juga mengatur “apa yang boleh, dan apa yang

11
tidak boleh”. Kebijakan juga diharapkan dapat bersifat umum tetapi tanpa
menghilangkan ciri lokal yang spesifik. Kebijakan harus memberi peluang
diinterpretasikan sesuai kondisi spesifik yang ada.

Ali Imron dalam bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan menjelaskan


bahwa kebijakan pendidikan adalah salah satu kebijakan Negara. Carter V Good
(1959) memberikan pengertian kebijakan pendidikan (educational policy)
sebagai suatu pertimbangan yang didasarkan atas system nilai dan beberapa
penilaian atas factor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan tersebut
dijadikan sebagai dasar untuk mengopersikan pendidikan yang bersifat
melembaga. Pertimbangan tersebut merupakan perencanaan yang dijadikan
sebagai pedoman untuk mengambil keputusan, agar tujuan yang bersifat
melembaga bisa tercapai. Kebijakan pendidikan sangat erat hubungannya
dengan kebijakan yang ada dalam lingkup kebijakan publik, misalnya kebijakan
ekonomi, politik, luar negeri, keagamaan dan lain-lain. Konsekuensinya
kebijakan pendidikan di Indonesia tidak bisa berdiri sendiri. Ketika ada
perubahan kebijakan publik maka kebijakan pendidikan bisa berubah. Ketika
kebijakan politik dalam dan luar negeri, kebijakan pendidikan biasanya akan
mengikuti alur kebijakan yang lebih luas. Bahkan pergantian menteri dapat pula
mengganti kebijakan yang telah mapan pada jamannya. Bukan hal yang
aneh,ganti menteri berganti kebijakan. Masih ingat dibenak kita ada pelajaran
PSPB yang secara prinsipil tidak jauh berbeda dengan IPS sejarah dan lucunya
materi itu pun di pelajari di PMP (sekarang PKN/PPKN).

2. Fungsi Kebijakan

Faktor yang menentukan perubahan, pengembangan, atau restrukturisasi


organisasi adalah terlaksananya kebijakan organisasi sehingga dapat dirasakan
bahwa kebijakan tersebut benar-benar berfungsi dengan baik. Hakikat kebijakan
ialah berupa keputusan yang substansinya adalah tujuan, prinsip dan aturan-
aturan. Format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan sebagai pedoman oleh
pimpinan, staf, dan personel organisasi, serta interaksinya dengan lingkungan
eksternal.

Kebijakan diperoleh melalui suatu proses pembuatan kebijakan.


Pembuatan kebijakan (policy making) adalah terlihat sebagai sejumlah proses
dari semua bagian dan berhubungan kepada sistem sosial dalam membuat
sasaran sistem. Proses pembuatan keputusan memperhatikan faktor lingkungan
eksternal, input (masukan), proses (transformasi), output (keluaran), dan
feedback (umpan balik) dari lingkungan kepada pembuat kebijakan.

12
Berkaitan dengan masalah ini, kebijakan dipandang sebagai: (1) pedoman
untuk bertindak, (2) pembatas prilaku, dan (3) bantuan bagi pengambil
keputusan (Pongtuluran, 1995:7).

Berdasarkan penegasan di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan dibuat


untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam
organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain,
kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan
pada semua jenjang organisasi.

3. Arah Kebijakan Pendidikan di Indonesia

Kebijakan pendidikan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik


Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diarahkan
untuk mencapai hal-hal sebagai berikut:

a. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh


pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju
terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan
anggaran pendidikan secara berarti;

b. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan


jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik
mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan
watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan
tenaga kependidikan;

c. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan


kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman
peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal
sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan
secara professional;

d. Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah


sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta
meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh
sarana dan prasarana memadai;

e. Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional


berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen;

f. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik


oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem

13
pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;

g. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara


terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan
reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat
berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan
sesuai dengan potensinya;

h. Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu


pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi bangsa sendiri dalam
dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi

4. Karakteristik Kebijakan Pendidikan

Guna meningkatkan Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang


khusus, yakni:

a. Memiliki tujuan pendidikan.

Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus,


bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk
memberikan kontribusi pada pendidikan.

b. Memenuhi aspek legal-formal.

Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya


pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan
itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan
pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hierarki
konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah
dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu
kebijakan pendidikan yang legitimat.

c. Memiliki konsep operasional

Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum,


tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat
diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas
pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan
kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.

d. Dibuat oleh yang berwenang

14
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya
yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan
kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan. Para
administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi
yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal
pembuat kebijakan pendidikan.

e. Dapat dievaluasi

Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang
sesungguhnya untuk ditindak lanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau
dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa
diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat
memungkinkan adanya evaluasi secara mudah dan efektif.

f. Memiliki sistematika

Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem juga, oleh


karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh
aspek yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki
efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi agar kebijakan
pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh
strukturnya akibat serangkaian faktor yang hilang atau saling berbenturan
satu sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar
pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara
internal. Kemudian, secara eksternal pun kebijakan pendidikan harus
bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik; kebijakan moneter;
bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan dibawahnya,
serta daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.

5. Kebijakan Otonomi Pendidikan

Perkataan otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani autos yang
berarti sendiri, dan nomos yang berarti hukum atau aturan (Abdurrahman, 1987 :
9). Dalam konteks etimologis ini, beberapa penulis memberikan pengertian
tentang otonomi. Otonomi diartikan sebagai zelfwetgeving atau “pengundangan
sendiri” (Danuredjo, 1977), “perundangan sendiri” (Koesoemahatmadja, 1979 :
9), “mengatur atau memerintah sendiri” (Riant Nugroho, 2000 : 46).
Koesoemahatmadja (1979), lebih lanjut mengemukakan bahwa menurut
perkembangan sejarahnya di Indonesia, otonomi selain mengandung arti
“perundangan”, juga mengandung pengertian “pemerintahan” (bestuur).

15
Dari beberapa konsep dan batasan di atas, otonomi daerah jelas menunjuk
pada kemandirian daerah, dimana daerah diberikan kewenangan untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri tanpa atau mengupayakan seminimal
mungkin adanya campur tangan atau intervensi pihak lain atau pemerintah pusat
dan pemerintah di atasnya. Dengan adanya otonomi tersebut, daerah bebas untuk
berimprovisasi, mengekspresikan dan mengapresiasikan kemampuan dan potensi
yang dimiliki, mempunyai kebebasan berpikir dan bertindak, sehingga bisa
berkarya sesuai dengan kebebasan yang dimilikinya.

Menurut kebijakan pemerintah yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun


1999 mengenai Otonomi Daerah dan sejalan dengan itu UU No. 25 tahun 1999
mengenai Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan
konsekuensi dari keinginan era reformasi untuk menghidupkan kehidupan
demokrasi. Maka Di era otonomi daerah kebijakan strategis yang diambil
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah : (1) Manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yang memberi
kewenangan pada sekolah untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu
secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasis pada partisipasi komunitas
(community based education) agar terjadi interaksi yang positif antara sekolah
dengan masyarakat, sekolah sebagai community learning centre; dan (3) Dengan
menggunakan paradigma belajar atau learning paradigma yang akan menjadikan
pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. (4) Pemerintah
juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Base Education System
(BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja
membangun keluarga sejahtera. Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan
akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi pemahaman yang luas dan
mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling
memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari
insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup
yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia
akhirat.

Dalam hal pengelolaan mikro pendidikan pun masih terdapat beberapa


masalah. Pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu (sekolah)
menjadi kewenangan kepala sekolah. Demikian pula, penyelenggaraan
pendidikan di kelas memang seluruhnya harus menjadi kewenangan guru.
Berdasarkan kewenangan profesionalnya, guru bertugas merencanakan,
melaksanakan, dan mengukur hasil pembelajaran. Namun, pada SMTP dan
SMTA sebagian kewenangan meluluskan hasil belajar siswa masih menjadi
“proyek pemerintah pusat” dengan alasan sebagai pengendalian mutu lulusan.
Demikian pula pada tingkat SD di kabupaten/kota, ujian akhir masih menjadi

16
kewenangan dinas pendidikan kabupaten/kota, dengan dalih “ikut-ikutan”
pemerintah pusat mengendalikan mutu pendidikan di daerah. Padahal, ditinjau
dari hakikat pengajaran dan sejalan dengan desentralisasi pendidikan, evaluasi
merupakan bagian dari tugas pengajaran seorang guru, sehingga kewenangan itu
jangan “direbut” oleh birokrasi pendidikan. Kenyataan itu menunjukkan bahwa
impelementasi MBS pada tataran mikro yang masih setengah hati diserahkan.

Sehubungan dengan evaluasi kebijakan pendidikan Era Otonomi masih


belum terformat secara jelas maka di lapangan masih timbul bermacam-macam
metode dan cara dalam melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan.
Sampai saat ini hasil dari kebijakan tersebut belum tampak, namun berbagai
improvisasi di daerah telah menunjukkan warna yang lebih baik. Misalnya,
beberapa langkah program yang telah dijalankan di beberapa daerah, berkaitan
dengan kebijakan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu berbasis sekolah
dan peningkatan mutu pendidikan berbasis masyarakat diimplementasikan
sebagai berikut :

1) Telah berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS

2) Telah dibentuknya Komite Sekolah sebagai pengganti BP3.

3) Telah diterapkan muatan lokal dan pelajaran ketrampilan di sekolah SLTP

4) Dihapuskannya sistem Rayonisasi dalam penerimaan murid baru

5) Pemberian insentif kepada guru-guru negeri

6) Bantuan dana operasional sekolah, serta bantuan peralatan praktik sekolah

7) Bantuan peningkatan SDM sebagai contoh pemberian beasiswa pada guru


untuk mengikuti program Pascasarjana.

17
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan demikian kita dapat disimpulkan bahwa Dinamika Pendidikan dimana
pendidikan merupakan suatu konsep ketidak tetapan dari ketidaktahuan menjadi
tahu. Pada hakekatnya Dinamika Pendidikan diartikan sebagai suatu proses yang
berjalan yang secara kontinu dimana dalam menghadapi era yang begitu cepatnya
perkembangan yang sudah tentu akan membawa perubahan, namun disisi lain
dinamika pendidikan juga sering merujuk pada ketidakmampuan seseorang dalam
menerima pengaruh erah globalisasi ini.

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis mengakui masih banyak kekurangan
dari segi penulisan, penyusunan kalimat dan terutama dari segi isi yang perlu
ditambahkan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kepada para pembaca makalah
ini agar memberikan kritik dan saran yang berdifat membangun agar kedepannya
penulis agar menjadi lebih baik lagi.

18
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Made Pirdata,LANDASAN PENDIDIKAN, Stimulus Ilmu Pendidikan
Bercorak Indonesia,PT RINEKA CIPTA,Hal 137

Helius Sjamsuddin. 1993. Sejarah Pendidikan Di Indonesia Zaman


kemerdekaan (1945-1950). Depdikbud. Jakarta.

Moestoko, Somarsono. 1986. Sejarah Pendidikan dari Zaman Ke Zaman.


Jakarta : Balai Pustaka.

Nugroho Noto Susanto, Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, 1983. Standar


Nasional Pendidikan, (Jakarta: Cemerlang, 2005).

Somarsono Moestoko. 1986. Sejarah Pendidikan dari Jaman Ke Jaman. Balai


pustaka. Jakarta.

Syamsuddin, Helius. 1993. Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman


Kemerdekaan (1945-1966). Jakarta : Depdikbud.

Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta PT Serambi


Ilmu Semesta.

Abdurrahman. 1987. Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah. Jakarta :


Media Sarana Press

Abidin, Said Zainal. 2006. Kebijakan Publik. Jakarta. Suara Bebas

Danuredjo. 1977. Otonomi Indonesia Ditinjau dalam Rangka Kedaulatan.


Jakarta : Penerbit Laras

Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Jogjakarta. Gajah


Mada University Press

Hasbullah, 2006. Otonomi Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Imron , Ali. 1995. Kebijakan Pendiikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara


Koesoemahatmadja. 1979. Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan di Daerah di
Indonesia. Bandung : Binacipta

Muhdi, Ali. 2007. Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta. Pustaka


Fahima.

Nugroho, D. Riant. 2000. Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa Revolusi.


Jakarta : PT Elex Media Computindo

Pongtuluran, Aris. 1995. Kebijakan Organisasi dan Pengambilan Keputusan


Manajerial. Jakarta. LPMP

Saleh, Syarif. 1963. Otonomi dan Daerah Otonom. Jakarta : Penerbit Endang

Suryono, Yoyon. 2000. Arah Kebijakan Otonomi Pendidikan Dalam Konteks


Otonomi Daerah. Yogyakarta. FIP UNY

Syafaruddin. 2008. Efektivitas Kebijakan Pendidikan. Jakarta. Rineka Cipta

Wayong J. 1979. Asas dan Tujuan Pemerintahan Daerah.


Jakarta:Penerbit Djambatan

Anda mungkin juga menyukai