Anda di halaman 1dari 8

BAB III

TINJAUAN PUSAKA
3.1. TAFSIR IBNU KATSIR

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka
kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian
sampai dengan kedua mata kaki; dan jika kalian junub, maka mandilah; dan jika kalian sakit atau
dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian
tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah muka kalian
dan tangan kalian dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kalian, tetapi Dia hendak
membersihkan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian, supaya kalian bersyukur."
(Al-maidah (5): 6)

1. Firman-Nya "Apabila kamu hendak mengerjakan shalat."


Banyak ulama salaf yang berpendapat mengani firman diatas bahwa maksudnya adalah
"Sedangkan kalian dalam keadaan berhadats". Sedangkan yang lainnya berpendapat, "(Yaitu)
apabila kalian bangun dari tidur dan hendak mengerjakan shalat".
Kedua pendapat ini berdekatan. Pendapat yang lain lagi mengatakan, "Bahwa maknanya lebih
umum dari itu semua. Ayat ini memerintahkan untuk berwduhu ketika hendak shalat, tetapi hal
tersebut adalah wajib bagi orang yang berhadats dan disukai (sunnah) bagi orang yang suci (dari
hadats). Adapun yang mengatakan bahwa perintah berwudu untuk setiap salat itu hukumnya wajib
pada masa permulaan Islam, namun kemudian hal itu dihapuskan.
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, dari Sulaiman ibnu Buraidah, dari ayahnya yang
menceritakan bahwa dahulu Nabi Saw. selalu wudhu setiap hendak mengerjakan salat. Pada hari
kemenangan atas kota Mekah, beliau melakukan wudhu dan mengusap sepasang khuff-
nya(sepatunya) serta melakukan beberapa salat hanya dengan sekali wudu. Maka Umar berkata
kepadanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau telah melakukan suatu hal yang belum pernah
engkau lakukan sebelumnya." Rasulullah Saw. menjawab: "Wahai Umar, Sesungguhnya aku
melakukannya dengan sengaja".
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahlus Sunan melalui hadis Sufyan AS-
Sauri, dari Alqamah ibnu Marsad. Sedangkan di dalam kitab Sunan Ibnu Majah disebutkan dari
Sufyan ibnu Muharib ibnu Disar sebagai ganti dari Alqamah ibnu Marsad, kedua-duanya dari
Sulaiman ibnu Buraidah dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan
sahih.

2. Firman-Nya "Maka basuhlah mukamu".


Sekelompok ulama telah menjadikan firman Allah tersebut sebagai dalil diwajibkannya niat
dalam wudhu, karena maksud ayat tersebut adalah "Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu." Untuk kepentingan shalat. Sebagaimana bangsa Arab mengatakan " Jika kamu
bertemu seorang Amir (raja), maka berdirilah." Maksudnya adalah berdirilah untuknya.
Terdapat pula sebuah hadits didalam ash-Shahihain, dimana Rasulullah bersabda :

"Semua perbuatan itu tergantung pada niatnya dan sesungguhnya bagi setiap orang adalah apa
yang ia niatkan."
Disunnahkan sebelum membasuk wajah untuk menyebut nama Allah dengan membaca
basmalah terlebih dahulu. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan melalui jalan
sekelompok Sahabat, dimana Rasulullah bersabda:

"Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak membaca basmalah ."
Selanjutnya disunnahkan pula membersihkan kedua telapak tangan sebelum memasukkan
kedalam bejana. Hal itu lebih ditekankan saat bangun tidur. Sebagaimana Rasulullah bersabda: "Jika
salah seorang diantara kalian bangun dari tidurnya, maka janganlah dia memasukkan tangannya
kedalam bejana sebelum ia mencucinya sebanyak tiga kali, karena salah seorang diantara kalian
tidak mengetahui, dimana tangannya berada (ketika ia tidur)!"
Batas (panjang) wajah itu dibatasi dari tempat tumbuhnya rambut, tidak dianggap apabila
terdapat kebotakan dan juga penutup kepala. Sedangkan lebarnya berawal dari telinga satu ke telinga
yang lain. Mengenai ke bagian terbelahnya rambut pada sisi kening dan pada bagian tempat
tumbuhnya rambut-rambut halus.
Masalah membasuh janggut apakah masuk ke hitungan kepala/ wajah. Mujahid mengatakan:
"Janggut itu termasuk bagian dari wajah. Tidakkah engkau mendengar ungkapan bangsa Arab
terntang seorang pemuda, "Jika sudha tumbuh janggutnya, maka mulailah terlihat wajahnya."
Disunahkan pula untuk menyela-nyela janggut saat berwudhu jika janggutnya tebal. Imam
Ahmad mengatakan dari Syaqiq, ia berkata: "Aku pernah melihat Utsman berwudhu, lalu Utsman
menyela-nyela janggutnya sebanyak tiga kali ketika ia membasuh wajahnya. Setelah itu berkata
'Aku juga pernah melihat Rasulullah melakukan apa yang aku lakukan itu, dan kalian telah
melihatku melakukannya.'"
(Hadits diriwayatkan at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dan hadits tersebut juga dihasankan oleh al-
Bukhari)
3. Terdapat riwayat dari Nabi bahwasanya jika beliau berwudhu, beliau senantiasa berkumur
dan beristinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung). Lalu para imam berbeda pendapat. Apakah
kedua hal tersebut merupakan dua hal yang wajib dalam wudhu dan mandi (pendapat madzhab
Ahmad bin Hanbal), ataukah keduanya itu bersifat sunnah (Imam asy-Syafi'i dan Imam Malik). Hal
ini didasarkan pada hadits yang mana Rasulullah berkata pada orang yang shalatnya buruk :
"Berwudhulah seperti yang diperintahkan oleh Allah kepadamu!". Ataukah kedua hal itu bersifat
wajib dalam mandi saja dan tidak wajib dalam wudhu (pendapat madzhab Abu Hanifah). Atau wajib
hanya istinsyaq saja dan bukan berkumur (riwayat dari Imam Ahmad). Hal ini didasarkan pada
hadits al Bukhari bahwa Rasulullah bersabda : " Barangsiapa yang berwudhu, maka hendaklah ia
beristinsyaq!" dan dalam riwayat yang lain disebutkan "Jika salah seorang diantara kalian berwudhu,
maka hendaklah ia memasukkan air kedalam hidungnya, lalu menghirupnya dengan kuat!)

4. Firman "Dan tanganmu sampai dengan siku."


Yakni, termasuk siku. DIsunahkan juga bagi orang yang berwudhu untuk membasuk pangakl
lengan atas berikut dengan kedua lengannya. Hal itu didasarkan pada hadits yang diriwayatnya
Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah bersabda: " Sesungguhnya umatku pada hari
Kiamat kelak, akan diseru dalam keadaan terdapat tanda putih (pada dahi-dahi mereka, kedua lengan
dan kaki mereka dari bekas wudhu. Barangsiapa diantara kalian mampu melebarkan tanda putih
tersebut, maka hendaklah ia melakukannya." dan Abu hurairah berkata, Aku mendengar Rasulullah
bersabda:"Perhiasan seorang mukmin di Surga kelak akan mencapai bagian yang terkena air
wudhunya.

5. Firman "Dan sapulah kepalamu."


Ada perbedaan pendapat mengenai huruf ba' apakah hanya sebagai tambahan taukah menyatan
sebagian kepala. Ada seseorang yang berkata kepada sahabat Rasul yaitu Abdullah bin Zaid bin
'Ashim "Apakah engkau bisa memperlihatkan kepadaku bagaimana Rasulullah berwudhu?""Ya
bisa" jawab Abdullah lalu ia mulai berwudhu dengan menuangkan air pada kedua tangannya,
membasuh kedua tangan dua kali, selanjutnya berkumur dan beristinsyaq sebanyak tiga kali,
membasuh muka tiga kali, membasuh kedua tangan sampai siku dua kali, kemudian mengusap
kepala dengan kedua tangan dari depan ke belakang dan kemudian menariknya dari belakang ke
depan yaitu dimulai dari bagian depan kepala sampai ke tengkuknya kemudian mengembalikan
kedua tangan itu ketempat ia memulai dan membasuh kedua kakinya.

6. Firman
"Dan basuhlah kakimu sampai dengan kedua mata kaki"
Ada ulama yang mewajibkan tertib dalam berwudhu, sebagaimana yang menjadi pendapat
madzhab jumhur ulama. Namun pendapat ini berbeda dengan Abu Hanifah yang tidak mensyaratkan
tertib dalam berwudhu, bahkan menurutnya, jika ada orang yang membasuh kaki terlebih dahulu,
dan kemudian membasuh kedua tangan dan membasuh wajah, maka yang demikian itu juga susdah
cukup sebagai wudhu, karena ayat ini memrintahkan untuk membasuh anggota badan itu sedangkan
huruf "wawu" dalam ayat tersebut tidak menunjukkan kepada adanya tertib wudhu. Dalam
menganggapi hal ini, jumhur ulama telah menempuh beberapa jalan lalu mengatakan bahwa ayat
tersebut menunjukkan hukum wajib membasuh wajah sebgai permulaan langkah mengerjakan
shalatt, karena hal itu diperintahkan melalui fa'ta'qib (Huruf fa berfungsi sebagai ungkapan untuk
menjelaskan berikutnya.) yang menuntut adanya tertib wudhu sebagaimana yang ada dalam ayat
tersebut. Kemudian Rasulullah bersabda "Aku memulai dengan apa yang Allah memulai
dengannya." demikian menurut lafazh Imam Muslim. Sedangkan menurut Imam an-Nasa'i berbunyi:
"Mulailah dengan apa yang Allah memulai dengannya!".
Yang terakhir ini merupakan lafazh perintah dan isnadnya shahih. Hal itu menunjukkan
keharusan memulai dengan sesuatu yang Allah mulai dengannya. Yang demikian itu merupakan
makna kedudukan ayat tersebut yang menunjukkan adanya tertib wudhu menurut syariat. Wallahu
'alam.
Beberapa hadits tentang keharusan mencuci kedua kaki
Rasulullah berwudhu, lalu membasuh kedua kakinya dan bersabda "Ini adalah wudhu yang
mana Allah tidak menerima suatu shalat, kecuali dengannya.". Dalamm ash-Shahihain diriwayatkan
adri Abdullah bin Amr ia mengatakan "Dalam sebuah perjalanan yang kami lakukan, Rasulullah
tertinggal oleh kami kemudian berhasil menyusul dan tibalah waktu shalat Ashar, sedangkan kami
berwudhu dengan cara mengusap kaki kami, maka beliau berseru dengan suara keras :
"Sempurnakanlah wudhu. Celakalah bagi tumit-tumit yang tidak terkena dari api neraka!"
7. Firman-Nya

"Dan jika kamu sakit, atau sedang dalam perjalanan, atau kembali dari tempat buang air, atau
kamu menyentuh wanita, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci), sapulah wajahmu dan tanganmu dengan tanah itu."
Mengenai semuanya itu telah dikemukakan dalam penafsiran surat An-Nisaa' ayat 43. tetapi
mengenai hal ini Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah yang mana berkaitan tentang asbabun
Nuzul ayat Al Maidah ayat 6 ini.
8. Firman-Nya

"Allah tidak hendak menyulitkan kamu. Tetapi Allah hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur."
Maksudnya oleh karena itu Allah memberikan kemudahan dan memperbolehkan kalian
bertayamum ketika sedang sakit dan tidak ada air sebagai kelonggaran sekaligus rahmat bagi kalian.
Allah menjadikan tanah berfungsi seperti air. Dan agar kalian mensyukuri nikmat-nikmat yang
diberikan kepada kalian dalam apa-apa yang telah disyariatkan-Nya kepada kalian.
3.2. TAFSIR AT-THABARI
Ayat di atas menjelaskan, bahwa seseorang yang mau melaksanakan shalat jika dalam keaadaan
berhadas, diwajibkan untuk berwudu. Adapun caranya yaitu, di mulai dengan mencuci muka,
kemudian mencuci dua tangan sampai siku, mengusap kepala, dan membasuh kaki sampai dua mata
kaki.
Sementara itu, para ulama berbeda pendapat tentang hal ini, karena adanya dua versi qira’at
menyangkut hal ini. Ibn kasir hamzah, dan Abu ‘Amr membaca : wa arjulikum. Nafi’, Ibn ‘Amir,
dan al-Kisa’i, membaca wa arjulakum. Sementara ‘Ashim riwayat Syu’bah, membaca wa arjulikum,
sedangkan ‘ashim riwayat Hafsh, membaca wa arjulakum.
Qira’at wa arjulakum menurut maknanya menunjukkan, bahwa kedua kaki ( dalam berwudu ) wajib
dicuci, yang dalam hal ini ma’thuf kepada faghsiluu wujuuhakum. Sementara qiraat wa arjulikum
menurut maknanya menunjukkan, bahwa kedua kaki(dalam berwudu) hanya wajib diusap dengan
air, yang dalam hal ini ma’thuf kepada wamsahuu biru’uusikum.
Jumhur ulama cenderung memilih qira’at wa arjulakum. Dengan demikian, mereka berpendapat,
bahwa dalam berwudu kedua kaki wajib dicuci, dan tidak cukup diusap dengan air.
Di dalam Tafsir at-Thabari diterangkan bahwa, Ahli hura’ berbeda pendapat tentang bacaan
arjulakum, membaca arjulakum dengan harkat fathah karena ‘athaf pada aidiyakum dengan makna
membasuh kedua kaki. Adapun bacaan dengan mengkasrah pada kalimat arjulikum dengan alasan
‘athaf pada biru’usikum, yang mengandung makna hanya mengusap dengan tanpa membasuhnya.
Dalam ayat tersebut Allah SWT membatasi kaki sampai dengan mata kaki, sebagaimana halnya
membatasi tangan sampai dengan siku. Hal ini menunjukkan bahwa dalam berwudu, kedua kaki
wajib dicuci sebagaimana diwajibkannya mencuci kedua tangan.
Para ulama dalam menentukan makna arjulikum atau arjulakum, tidak mencukupkan dengan
hanya dengan pendekatan bahasa, akan tetapi juga didukung oleh beberapa hadis dan riwayat yang
berkaitan atau yang berhubungan dengan hukum makna arjulikum atau arjulakum. Sebagaimana
yang dikutib oleh berbagai mufasir dalam menentukan makna-makna yang berkaitan dengan ahkam
al-Qur’an.
Selanjutnya, at-Thabari menguraikan di dalam tafsirnya perihal memberikan makna arjulakum
yang berarti membasuh didukung oleh beberapa riwayat dan hadis :
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib dan Ibnu Waqi’, dari Ibnu Irdis, ia berkata “Aku telah
memdengar Abi, dari Hammad, dari Ibrahim, berkaitan dengan makna firman Allah, bermakna
seruan supaya membasuh. Ungkapan seperti ini tidak hanya satu, akan tetapi diungkapkan oleh at-
Thabari dengan sangat banyak dari berbagai jalur sanad.
Kemudian ada beberapa hadis menurut para ulama hadis yang berstandar sahih mendukung
makna membasuh kaki di dalam berwudhu :”Sempurnakanlah wudhu kalian, celakalah bagi tumit
yang tidak dibasuh karena akan dibakar oleh neraka”.
Kemudian di dalam mendukung makna mengusap, juga didukung oleh beberapa riwayat dan
hadis.”Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, dari Jabir, dari Isma’il, makna arjulikum
adalah mengusap”.
Dari uraian di atas tampak dengan jelas, bahwa perbedaan qira’at dalam hal ini, dapat
menimbulkan perbedaan istinbath hukum, baik dalam cara istinbath maupun ketentuan hukum yang
diistimbathkan.
Qira’at wa arjulakum dipahami oleh jumhur ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum,
bahwa dalam berwudu diwajibkan mencuci kedua kaki. Sementara qira’at versi lainnya wa
arjulikum dipahami oleh sebagian ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam
berwudu tidak diwajibkan mencuci kedua kaki, akan tetapi hanya diwajibkan mengusapnya (dengan
air).
Dalam hal ini ath-Thabari berpendapat, bahwa apabila seseorang berwudhu dengan tanpa harus
membasuh kaki dalam berwudhu, cukup hanya dengan mengusapnya. Intinya menurut ath-Thabari
membasuh kaki dengan air hanya dihukumi sunah saja tidak wajib
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, “Jami al Bayan fi Ta’wil al-Qur-an”
Ahmad Erwan. 2008. Higeinitas Dalam Perspektif Hadis. Jakarta : Skripsi S1 Program Studi
Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah.
Ibnu Katsir, Tafsir Alqur’an Al Adhim
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah
Mattulada. 1994. Lingkungan Hidup Manusia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Musthofa Al Maraghi. Tafsir al Maraghi
Yuli Elisah. 2016. Ekologi dalam Perspektif Hadis. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai