Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Dermatitis atopik (DA) merupakan suatu penyakit keradangan kulit yang
kronik, ditandai dengan rasa gatal, eritema, edema, vesikel, dan luka pada stadium
akut, pada stadium kronik ditandai dengan penebalan kulit (likenifikasi) dan
distribusi lesi spesifik sesuai fase DA, keadaan ini juga berhubungan dengan
kondisi atopik lain pada penderita ataupun keluarganya (Fauzi N., dkk.,2009).
Penyakit ini dialami sekitar 10-20% anak. Pada 70 % kasus dermatitis
atopik umumnya dimulai saat anak-anak dibawah 5 tahun dan 10% saat remaja /
dewasa (William H.C., 2005). Umumnya episode pertama terjadi sebelum usia
12 bulan dan episode-episode selanjutnya akan hilang timbul hingga anak
melewati masa tertentu. Sebagian besar anak akan sembuh dari eksema sebelum
usia 5 tahun. Sebagian kecil anak akan terus mengalami eksema hingga dewasa.
Diperkirakan angka kejadian di masyarakat adalah sekitar 1-3% dan pada anak <
5 tahun sebesar 3,1% dan prevalensi DA pada anak meningkat 5-10% pada 20-30
tahun terakhir (Judarwanto W., 2009).
Pada penderita DA 30 % akan berkembang menjadi asma, dan 35%
berkembang menjadi rhinitis alergi. Berdasarkan International Study of Ashma,
and Alergies in Children prevalensi gejala dermatitis atopik pada anak usia enam
atau tujuh tahun sejak periode tahun pertama bervariasi yakni kurang dari dua
persen di Iran dan Cina sampai kira-kira 20 persen di Australia, Inggris dan
Skandinavia. Prevalensi yang tinggi juga ditemukan di Amerika. Di Inggris, pada
survei populasi pada 1760 anak-anak yang menderita DA dari usia satu sampai
lima tahun ditemukan kira-kira 84 persen kasus ringan, 14 persen kasus sedang, 2
persen kasus berat (William H.C., 2005). Menurut laporan kunjungan bayi dan
anak di RS di Indonesia, dermatitis atopik berada pada urutan pertama (611 kasus)
dari 10 penyakit kulit yang umum ditemukan pada anak-anak. Di klinik
Dermatovenereologi RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, pada periode bulan Februari
2005 sampai Desember 2007, terdapat 73 kasus dermatitis atopik pada bayi
(Budiastuti M.,dkk., 2007). Sedangkan data di Unit Rawat Jalan Penyakit kulit

1
Anak RSU Dr. Soetomo didapatkan jumlah pasien DA mengalami peningkatan
sebesar 116 pasien (8,14%) pada tahun 2006, tahun 2007 sebesar 148 pasien
(11.05%) sedangkan tahun 2008 sebanyak 230 pasien (11.65%)
(Zulkarnain I., 2009). Prevalensi pada anak laki-laki sekitar 20 %, 12 persen pada
tahun-tahun sebelum studi, dan 19% anak perempuan (11% pada tahun sebelum
tahun 2000) (Tada J., 2002).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Dermatitis atopik (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan
residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan
anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan IgE dalam serum dan
riwayat atopi keluarga atau penderita (DA, rhinitis alergi, dan atau asma
bronchial) (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).
2.2 Bentuk Dermatitis Atopik
Didapatkan dua tipe DA, bentuk alergik yang merupakan bentuk utama
(70-80% pasien) terjadi akibat sensitisasi terhadap alergen lingkungan disertai
dengan peningkatan kadar IgE serum. Bentuk lain adalah bentuk intrinsik
atau non alergik, terdapat pada 20-30% pasien, dengan kadar IgE rendah dan
tanpa sensitisasi terhadap alergen lingkungan. Dapat disimpulkan bahwa
peningkatan kadar IgE bukan merupakan prasyarat pada patogenesis
dermatitis atopik. Terdapat pula konsep bentuk murni (Pure Type), tanpa
berkaitan dengan penyakit saluran nafas dan bentuk campuran (Mixed Type)
yang terkait dengan sensitisasi terhadap alergen hirup atau alergen makanan
disertai dengan peningkatan kadar IgE (Soebaryo R.W., 2009).

2.3 Etiologi
Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti, diduga
disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan (multifaktorial).
Faktor intrinsik berupa predisposisi genetik, kelainan fisiologi dan biokimia
kulit, disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan disregulasi/
ketidakseimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi
bahan yang bersifat iritan dan kontaktan, alergen hirup, makanan,
mikroorganisme, perubahan temperatur, dan trauma (Fauzi N., dkk., 2009).
Faktor psikologis dan psikosomatis dapat menjadi faktor pencetus
(Mansjoer A.,dkk., 2001).
2.3.1 Faktor pencetus lainnya
 Makanan

3
Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge
(DBPCFC), hampir 40% bayi dan anak dengan DA sedang dan berat
mempunyai riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan anak dengan alergi
makanan umumnya disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar IgE
spesifik positif terhadap pelbagai macam makanan. Walaupun demikian uji
kulit positif terhadap suatu makanan tertentu, tidak berarti bahwa penderita
tersebut alergi terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih
diperlukan suatu uji eliminasi dan provokasi terhadap makanan tersebut
untuk menentukan kepastiannya (Judarwanto W., 2009). Prevalensi reaksi
alergi makanan lebih banyak pada anak dengan dermatitis atopik berat.
Makanan yang sering mengakibatkan alergi antara lain susu, telur,
gandum, kacang-kacangan kedelai dan makanan laut (Roesyanto I.D., &
Mahadi., 2009).
 Alergen hirup
Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang dapat
dibuktikan dengan uji tempel, positif pada 30-50% penderita DA, atau lewat
inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat pada alergi tungau debu rumah (TDR)
bulu binatang rumah tangga, jamur atau ragweed di negara-negara dengan 4
musim (Judarwanto W., 2009).
 Infeksi kulit
Mikroorganisme telah diketahui sebagai salah satu faktor ekstrinsik
yang berperan memberi kontribusi sebagai pencetus kambuhnya dermatitis
atopik. Mikroorganisme utamanya adalah Staphylococcus aureus (SA). Pada
penderita DA didapatkan perbedaan yang nyata pada jumlah koloni
Staphylococcus aureus dibandingkan orang tanpa atopik. Adanya kolonisasi
Staphylococcus aureus pada kulit dengan lesi ataupun non lesi pada
penderita dermatitis atopik, merupakan salah satu faktor pencetus yang
penting pada terjadinya eksaserbasi, dan merupakan faktor yang dikatakan
mempengaruhi beratnya penyakit. Faktor lain dari mikroorganisme yang
dapat menimbulkan kekambuhan dari DA adalah adanya toksin yang
dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Enterotoksin yang dihasilkan
Staphylococcus aureus ini dapat menembus fungsi sawar kulit, sehingga

4
dapat mencetuskan terjadinya inflamasi. Enterotoksin tersebut bersifat
sebagai superantigen, yang secara kuat dapat menstimulasi aktifasi sel T dan
makrofag yang selanjutnya melepaskan histamin. Enterotoxin
Staphylococcus aureus menginduksi inflamasi pada dermatitis atopik dan
memprovokasi pengeluaran antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin
Staphylococcus aureus, tetapi menurut penelitian dari Fauzi nurul, dkk,
2009., tidak didapatkan korelasi antara jumlah kolonisasi Staphylococcus
aureus dan kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus.

2.4. Patogenesis
Berbagai faktor turut berperan pada pathogenesis DA, antara lain faktor
genetik terkait dengan kelainan intrinsik sawar kulit, kelainan imunologik,
dan faktor lingkungan (Soebaryo R.W., 2009).
a. Genetik
Genetik Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom
5q31-33, kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25. Juga
melibatkan gen yang independen dari mekanisme alergi. Ada
peningkatan prevalensi HLA-A3 dan HLA-A9. Pada umumnya berjalan
bersama penyakit atopi lainnya, seperti asma dan rhinitis. Risiko seorang
kembar monosigotik yang saudara kembarnya menderita DA adalah 86%
(Judarwanto W., 2009).
Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi
keluarga akan mengalami DA pada masa 3 bulan pertama kehidupan, bila
salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan
mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79%
bila kedua orangtua menderita atopi. Risiko mewarisi DA lebih tinggi
bila ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi bila DA
yang dialami berlanjut hingga masa dewasa maka risiko untuk
mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.

5
b. Sawar kulit
Hilangnya Ceramide dikulit, yang berfungsi sebagai molekul
utama pengikat air diruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap
sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Variasi ph kulit dapat
menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar
mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss, kulit akan
semakin kering dan merupakan port d’entry untuk terjadinya penetrasi
alergen, iritan, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien DA mensekresi
ceramide sehingga menyebabkan kulit makin kering
(Soebaryo R.W., 2009).
Respon imun kulit Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset
CD8+ yang diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari
darah perifer, terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13,
sehingga dengan kondisi ini lifespan dari eosinofil memanjang dan
terjadi induksi pada produksi IgE. Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-
4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5, GM-
CSF, IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinofil
(Judarwanto W., 2009).
Imunopatologi Kulit Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit
adalah CD45RO+. Sel T ini menggunakan CLA maupun reseptor lainnya
untuk mengenali dan menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di
pembuluh darah perifer pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset
CD8+ dari sel T dengan petanda CLA+CD45RO+ dalam status
teraktivasi (CD25+, CD40L+, HLADR+). Sel yang teraktivasi ini
mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang menjadi penyebab apoptosis.
Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan apoptosis karena mereka diproteksi
oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM). Sel-sel T tersebut
mensekresi IFN g yang melakukan upregulation Fas pada keratinocytes
dan menjadikannya peka terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis
keratinosit diinduksi oleh Fas ligand yang diekspresi di permukaan sel-
sel T atau yang berada di microenvironment (Judarwanto W., 2009).

6
c. Lingkungan
Sebagai tambahan selain alergen hirup, alergen makanan,
eksaserbasi pada DA dapat dipicu oleh berbagai macam infeksi, antara
lain jamur, bakteri dan virus, juga pajanan tungau debu rumah dan
binatang peliharaan. Hal tersebut mendukung teori Hygiene Hypothesis
(Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009).
Hygiene Hypothesis menyatakan bahwa berkurangnya stimulasi
sistem imun oleh pajanan antigen mikroba dinegara barat mengakibatkan
meningkatnya kerentanan terhadap penyakit atopik (Sugito T.L., 2009).
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum
semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Rasa gatal dan
rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang
disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang
selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk
diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah
menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi
menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan
secara imunologik dan nonimunologik (Judarwanto W., 2009).
d. Imnopatogenesis DA
Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan
menyebabkan pruritus. Histamin menghambat kemotaksis dan menekan
produksi sel T. Sel mast meningkat pada lesi dermatitis atopik kronis.
Sel ini mempunyai kemampuan melepaskan histamin. Histamin sendiri
tidak dapat menyebabkan lesi ekzematosa. kemungkinan zat tersebut
menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin akibat garukan karena gatal
menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien dermatitis atopik kapasitas
untuk menghasilkan IgE secara berlebihan diturunkan secara genetik.
Demikian pula defisiensi sel T penekan (suppressor). Defisiensi sel ini
menyebabkan produksi berlebih igE (Mansjoer A.,dkk., 2001).
Respon Imun Sistemik Terdapat IFN-g yang menurun.
Interleukin spesifik alergen yang diproduksi sel T pada darah perifer

7
(interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13) meningkat. Juga terjadi Eosinophilia
dan peningkatan IgE (Judarwanto W., 2009).
• Reaksi imunologis DA
Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam
keluarganya seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik.
Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan kadar
IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama yang
moderat dan berat akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika di
kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini memberikan dugaan
bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi.
• Ekspresi sitokin
Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat
berperan pada reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada
lesi yang akut ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi
sedangkan pada DA yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih
rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA
akut.
Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen
lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi
terhadap reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons
terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80%
penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik
(CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T
helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus,
bakteri, dan jamur meningkat.
Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada
pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin,
leukotrien, prostaglandin dan sebagainya, sehingga dapat dipahami
bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering
digunakan, namun hasilnya tidak terlalu menggembirakan dan sampai
saat ini masih banyak silang pendapat para ahli mengenai manfaat
antihistamin pada DA (Soebaryo R.W., 2009). Trauma mekanik (garukan)
akan melepaskan TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya

8
diepidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan
bertambah beratnya eksema (Judarwanto W., 2009).
e. Antigen Presenting Cells
Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang
mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE
lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk
mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori
Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di
dalam sirkulasi (Judarwanto W., 2009).
f. Faktor non imunologis
Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA
antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis).
Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun,
sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan
mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal (Judarwanto W.,
2009).

g. Autoalergen
Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik mengandung
antibody IgE terhadap protein manusia.Autoalergen tersebut merupakan
protein intraseluler,yang dapat dikeluarkan karena kerusakan keratinosit
akibat garukan dan dapat memicu respon IgE atau sel T. pada dermatitis
atopik berat, inflamasi tersebut dapat dipertahankan oleh adanya
antigen endogen manusia sehingga dermatitis atopik dapat digolongkan
sebagai penyakit terkait dengan alergi dan autoimunitas
(Soebaryo R.W., 2009).

9
Gambar 1. Mekanisme Alergi (Endaryanto E., & Harsono A., 2010).

Keterangan: Pada individu yang memiliki predisposisi alergi, paparan


pertama alergen menimbulkan aktivasi sel-sel allergen-specific T helper 2
(TH2) dan sintesis IgE, yang dikenal sebagai sensitisasi alergi. Paparan
allergen selanjutnya akan menimbulkan penarikan sel-sel inflamasi dan
aktivasi serta pelepasan mediator-mediator, yang dapat menimbulkan early
(acute) allergic responses (EARs) dan late allergic responses (LARs). Pada
EAR, dalam beberapa menit 3 kontak dengan alergen, sel mast yang
tersensitisasi IgE mengalami degranulasi, melepaskan mediator pre-formed
dan mediator newly synthesized pada individu sensitif. Mediator-mediator
tersebut meliputi histamin, leukotrien dan sitokin yang meningkatkan
permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Kemokin
yang dilepas sel mast dan sel-sel lain merekrut sel-sel inflamasi yang
menyebabkan LAR, yang ditandai dengan influks eosinofil dan sel-sel TH2.
Pelepasan eosinofil menimbulkan pelepasan mediator pro-inflamasi,
termasuk leukotrien-leukotrien dan protein-protein basic (cationic proteins,
eosinophil peroxidase, major basic protein and eosinophil-derived
neurotoxin), dan mereka merupakan sumber dari interleukin-3 (IL-3), IL-5,
IL-13 dan granulocyte/macrophage colony-stimulating factor.
Neuropeptides juga berkonstribusi pada patofisiologi simptom alergi
(Endaryanto E., & Harsono A., 2010).

10
Gambar 2: Patogenesis DA (Judarwanto W., 2009).

2.5. Manifestasi klinis


Manifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase
perkembangan kehidupan, mulai dari saat bayi hingga dewasa. Pada setiap
anak didapatkan tingkat keparahan yang berbeda, tetapi secara umum mereka
mengalami pola distribusi lesi yang serupa (Zulkarnain I., 2009).
Kulit penderita DA umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid
diepidermis berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat.
Penderita DA cenderung tipe astenik, dengan intelegensia diatas rata-
rata,sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan
(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

11
Subyektif selalu terdapat pruritus.Terdiri atas 3 bentuk, yaitu:
1. Bentuk infantil ( 0 - 2 tahun).
Lesi awal dermatitis atopik muncul pada bulan pertama kelahiran,
biasanya bersifat akut, sub akut, rekuren, simetris dikedua pipi
(Zulkarnain I., 2009). Karena letaknya didaerah pipi yang berkontak
dengan payudara, sering disebut eksema susu. Terdapat eritem berbatas
tegas, dapat disertai papul-papul dan vesikel-vesikel miliar, yang
menjadi erosif, eksudatif, dan berkrusta. Tempat predileksi dikedua
pipi, ekstremitas bagian fleksor, dan ekstensor
(Mansjoer A.,dkk., 2001).
Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak
gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi DA
infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami
infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan walaupun jarang, dapat
terjadi eritroderma. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi.
(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

Gambar 3: Dermatitis Atopik Infantil (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).

12
2. Bentuk anak (2 - 12 tahun)
Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian merupakan
kelanjutan fase bayi. Pada kondisi kronis tampak lesi hiperkeratosis,
hiperpigmentasi, dan likenifikasi. Akibat adanya gatal dan garukan,
akan tampak erosi, eksoriasi linear yang disebut starch marks. Tempat
predileksi tengkuk, fleksor kubital, dan fleksor popliteal. Sangat jarang
diwajah (Mansjoer A.,dkk., 2001). lesi DA pada anak juga bisa terjadi
dipaha dan bokong (Zulkarnain I., 2009).
Eksim pada kelompok ini sering terjadi pada daerah ekstensor
(luar) daerah persendian, (sendi pergelangan tangan, siku, dan lutut),
pada daerah genital juga dapat terjadi (Simpson E.L., & Hanifin J.M.,
2005).

Gambar 4.a

13
Gambar 4.b.

Gambar 4.c.
Gambar 4a, b, c: Dermatitis Atopik pada Anak-anak (Simpson
E.L., & Hanifin J.M., 2005).

3. Bentuk dewasa (> 12 tahun)


Bentuk lesi pada fase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit fase
akhir anak-anak (Zulkarnain I., 2009). Lesi selalu kering dan dapat
disertai likenifikasi dan hiperpigmentasi. Tempat predileksi tengkuk
serta daerah fleksor kubital dan fleksor popliteal.
Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukar berkeringat, gatal-
gatal terutama jika berkeringat. Berbagai kelainan yang dapat
menyertainya ialah xerosis kutis, iktiosis, hiperlinearis Palmaris et
plantaris, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris (berupa papul-papul
miliar, ditengahnya terdapat lekukan), dll. (Mansjoer A.,dkk., 2001).
Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh
apabila mengalami stress, mungkin karena stress menurunkan ambang

14
rangsang gatal. DA remaja cenderung berlangsung lama kemudian
menurun dan membaik (sembuh) satelah usia 30 tahun, jarang sampai
usia pertengahan, hanya sebagian kecil berlangsung sampai tua
(Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

Gambar 5.a.

Gambar 5.b.

Gambar 5.a,b: Dermatitis Atopik Dewasa (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).

15
Gambar 6: tempat predileksi DA bentuk infantil (Judarwanto W., 2009).

Gambar 7: tempat predileksi DA bentuk anak-anak (Judarwanto W., 2009).

2.6. Stigmata pada dermatitis atopik


Terdapat beberapa gambaran klinis dan stigmata yang terjadi pada DA, yaitu:
• ‘White dermatographism’
Goresan pada kulit penderita DA akan menyebabkan kemerahan dalam
waktu 10-15 detik diikuti dengan vasokonstriksi yang menyebabkan
garis berwarna putih dalam waktu 10-15 menit berikutnya.
• Reaksi vaskular paradoksal
Merupakan adaptasi terhadap perubahan suhu pada penderita DA.
Apabila ekstremitas penderita DA mendapat pajanan hawa dingin, akan

16
terjadi percepatan pendinginan dan perlambatan pemanasan
dibandingkan dengan orang normal (Judarwanto W., 2009). hal ini
diduga karena adanya pelebaran kapiler dan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya edema dan warna pucat
dijaringan sekelilinnya (Zulkarnain I., 2009).
• Lipatan telapak tangan (palmar hiperlinearlity of Palms or soles)
• Pada kondisi kronis terdapat pertambahan mencolok lipatan
pada telapak tangan meskipun hal tersebut bukan merupakan
tanda khas untuk DA. (Judarwanto W., 2009).
• Pada umumnya pasien DA sejak lahir memiliki banyak garis
palmar yang lebih dalam dan lebih nyata, menetap sepanjang
hidup. (Zulkarnain I., 2009).
• Garis Morgan atau Dennie
Kelainan ini berupa cekungan yang menyolok dan simetris, namun
dapat ditemukan satu atau dua cekungan dibawah kelopak mata bagian
bawah.keadaan ini pada saat lahir atau segera sesudah itu dan bertahan
sepanjang hidup, Nampak seperti edema dari kelopak mata bawah
namun bukan merupakan atonogmomik DA (Zulkarnain I., 2009).
• Sindrom ‘buffed-nail’
Kuku terlihat mengkilat karena selalu menggaruk akibat rasa sangat
gatal.
• ‘Allergic shiner’
Sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena gosokan dan
garukan berulang jaringan di bawah mata dengan akibat perangsangan
melanosit dan peningkatan timbunan melanin.
• Hiperpigmentasi
Terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan terus menerus.
• Kulit kering
Kulit penderita DA umumnya kering, bersisik, pecah-pecah, dan
berpapul folikular hiperkeratotik yang disebut keratosis pilaris. Jumlah
kelenjar sebasea berkurang sehingga terjadi pengurangan pembentukan
sebum, sel pengeluaran air dan xerosis, terutama pada musim panas.
• ‘Delayed blanch’
Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal menghasilkan keluarnya
keringat dan eritema. Pada penderita atopi akan terjadi eritema ringan
dengan delayed blanch. Hal ini disebabkan oleh vasokonstriksi atau
peningkatan permeabilitas kapiler.
• Keringat berlebihan

17
Penderita DA cenderung berkeringat banyak sehingga pruritus
bertambah.
• Gatal dan garukan berlebihan
Penyuntikan bahan pemacu rasa gatal (tripsin) pada orang normal
menimbulkan gatal selama 5-10 menit, sedangkan pada penderita DA
gatal dapat bertahan selama 45 menit.
• Variasi musim
Mekanisme terjadinya eksaserbasi sesuai dengan perubahan musim
belum difahami secara menyeluruh. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa kelembaban nisbi tinggi musim baik pada kekeringan kulit
penderita DA. Pada daerah dengan kelembaban nisbi tinggi musim
panas berpengaruh buruk, sedangkan lingkungan sejuk dan kering akan
berpengaruh baik pada kulit penderita DA (Judarwanto W., 2009).
• hertoge’s Sign
Didefinisikan sebagai penipisan atau hilangnya bagian lateral alis mata
(Zulkarnain I., 2009).

2.7. DIAGNOSA
Pada awalnya diagnosis dermatitis atopik didasarkan pada temuan klinis yang
tampak menonjol, terutama gejala gatal. Dalam perkembangan selanjutnya untuk
mendiagnosis dermatitis atopik digunakan uji alergi yaitu uji tusuk (skin pricktest)
dan pemeriksaan kadar IgE total sebagai kriteria diagnosis. Pada tahun 1980 Hanifin
dan Rajka mengusulkan suatu kriteria diagnosis dermatitis atopik yaitu terdiri dari 4
kriteria mayor dan 23 kriteria minor. Diagnosis dermatitis atopik harus mempunyai 3
kriteria mayor dan 3 kriteria minor jika menggunakan kriteria Hanifin and Rajka.
Kriteria ini cocok digunakan untuk diagnosis penelitian berbasis rumah sakit dan
eksperimental, namun tidak cocok pada penelitian berbasis populasi. Oleh karena itu
William, dkk pada tahun 1994 memodifikasi dan menyederhanakan kriteria Hanifin
and Rajka menjadi satu pedoman diagnosis dermatitis atopik yang dapat digunakan
untuk diagnosis dengan cepat.

Kriteria William,dkk yaitu:


1. Harus ada : Rasa gatal ( pada anakanak dengan bekas garukan).
2. Ditambah 3 atau lebih:
a. Terkena pada daerah lipatan siku, lutut, di depan mata kaki atau sekitar
leher (termasuk pipi pada anak di bawah 10 tahun).

18
b. Anamnesis ada riwayat atopi seperti asma atau hay fever (ada riwayat
penyakit atopi pada anak-anak).
c. Kulit kering secara menyeluruh pada tahun terakhir.
d. Ekzema pada lipatan (termasuk pipi, kening, badan luar pada anak
e. Awitan dibawah usia 2 tahun.

Kriteria Hanifin dan Rajka sebagaimana tabel berikut :


I. Luasnya lesi kulit
fase anak / dewasa
< 9% luas tubuh =1
9-36% luas tubuh =2
> 36 % luas tubuh =3
fase infantile
< 18% luas tubuh =1
18-54% luas tubuh =2
> 54% luas tubuh =3
II. Perjalanan penyakit
remisi > 3 bulan/ tahun =1
remisi < 3 bulan/ tahun =2
Kambuhan /terus mkenerus = 3
III. Intensitas penyakit
gatal ringan, kadang mengganggu tidur malam hari = + 1
gatal sedang, sering mengganggu tidur ( tidak terus-menerus) = + 2
gatal hebat, gangguan tidur sepanjang malam(terus-menerus) = + 3

Penilaian skor (Zulkarnain I., 2009):


3-4 : ringan
4.5-7.5 : sedang
8-9 : berat

19
20
Gambar 8: Panel atas menunjukkan DA dengan intensitas eritem dan vesikel.
Panel bawah menunjukkan DA kronik dengan likenifikasi dan scaling didepan
mata kaki (William H.C., 2005).

2.7.1. Macam-Macam uji alergi


Ada beberapa cara untuk melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal,
uji tusuk (prick test), sel uji gores (scratch test) dan pacth test (uji tempel).
Uji gores sudah banyak ditinggalkan karena hasilnya kurang akurat.
1. Uji kulit intradermal Sejumlah 0,02 ml ekstrak alergen dalam 1 ml
semprit tuberkulin disuntikkan secara superfisial pada kulit sehingga
timbul 3 mm gelembung. Dimulai dengan konsentrasi terendah yang
menimbulkan reaksi, kemudian ditingkatkan berangsur masing-masing
dengan konsentrasi 10 kali lipat sampai menimbulkan indurasi 5-15 mm.
Uji intradermal ini seringkali digunakan untuk titrasi alergen pada
kulit.Tes alergi pengujian injeksi intradermal tidak direkomendasikan
untuk penggunaan rutin untuk aeroallergens dan makanan, tetapi
mungkin untuk mendeteksi racun dan diagnosis alergi obat. Ini membawa
resiko lebih besar anafilaksis dan harus dilakukan dengan tenaga medis
yang berkompeten melalui pelatihan spesialis.
2. Uji tusuk Uji tusuk dapat dilakukan dalam waktu singkat dan lebih
sesuai untuk anak. Tempat uji kulit yang paling baik adalah pada daerah
volar lengan bawah dengan jarak sedikitnya 2 sentimeter dari lipat siku
dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam gliserin (50%
gliserol) diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit ditusuk
dan dicungkil ke atas memakai lanset atau jarum yang dimodifikasi, atau
dengan menggunakan jarum khusus untuk uji tusuk. Ekstrak alergen yang
digunakan 1.000-10.000 kali lebih pekat daripada yang digunakan untuk
uji intradermal. Dengan menggunakan sekitar 5 ml ekstrak pada kulit,
diharapkan risiko terjadinya reaksi anafilaksis akan sangat rendah. Uji
tusuk mempunyai spesifitas lebih tinggi dibandingkan dengan uji
intradermal, tetapi sensitivitasnya lebih rendah pada konsentrasi dan
potensi yang lebih rendah. Kontrol Untuk kontrol positif digunakan 0,01%
histamin pada uji intradermal dan 1% pada uji tusuk. Kontrol negatif

21
dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan reaksi dermografisme
akibat trauma jarum. Untuk kontrol negatif digunakan pelarut gliserin.
Antihistamin dapat mengurangi reaktivitas kulit. Oleh karena itu, obat
yang mengandung antihistamin harus dihentikan paling sedikit 3 hari
sebelum uji kulit. Pengobatan kortikosteroid sistemik mempunyai
pengaruh yang lebih kecil, cukup dihentikan 1 hari sebelum uji kulit
dilakukan. Obat golongan agonis β juga mempunyai pengaruh, akan tetapi
karena pengaruhnya sangat kecil maka dapat diabaikan. Usia pasien juga
mempengaruhi reaktivitas kulit walaupun pada usia yang sama dapat saja
terjadi reaksi berbeda. Makin muda usia biasanya mempunyai reaktivitas
yang lebih rendah. Uji kulit terhadap alergen yang paling baik adalah
dilakukan setelah usia 3 tahun. Reaksi terhadap histamin dibaca setelah 10
menit dan terhadap alergen dibaca setelah 15 menit. Reaksi dikatakan
positif bila terdapat rasa gatal dan eritema yang dikonfirmasi dengan
adanya indurasi yang khas yang dapat dilihat dan diraba. Diameter terbesar
(D) dan diameter terkecil (d) diukur dan reaksi dinyatakan ukuran
(D+d):2. Pengukuran dapat dilakukan dengan melingkari indurasi dengan
pena dan ditempel pada suatu kertas kemudian diukur diameternya. Kertas
dapat disimpan untuk dokumentasi. Dengan teknik dan interpretasi yang
benar, alergen dengan kualitas yang baik maka uji ini mempunyai
spesifitas dan sensitivitas yang tinggi disamping mudah, cepat, murah,
aman dan tidak menyakitkan. Uji gores kulit (SPT) disarankan sebagai
metode utama untuk diagnosis alergi yang dimediasi IgE dalam sebagian
besar penyakit alergi. Memiliki keuntungan relatif sensitivitas dan
spesifisitas, hasil cepat, fleksibilitas, biaya rendah, baik tolerabilitas, dan
demonstrasi yang jelas kepada pasien alergi mereka. Namun akurasinya
tergantung pelaksana, pengamatan dan interpretasi variabilitas.

22
3. Uji gores kulit (SPT)adalah prosedur yang membawa resiko yang relatif
rendah, namun reaksi alergi sistemik telah dilaporkan. Karena test adalah
perkutan, langkah-langkah pengendalian infeksi sangat penting.
 Pasien harus benar-benar dan tepat mengenai risiko dan manfaat.
 Masing-masing pasien kontraindikasi dan tindakan pencegahan
harus diperhatikan.
 Uji gores kulit harus dilakukan oleh yang terlatih dan
berpengalaman staf medis dan paramedis, di pusat-pusat dengan
fasilitas yang sesuai untuk mengobati reaksi alergi sistemik
(anafilaksis).
 Praktisi medis yang bertanggung jawab harus memesan panel tes
untuk setiap pasien secara individual, dengan mempertimbangkan
karakteristik pasien, sejarah dan temuan pemeriksaan, dan alergi
eksposur termasuk faktor-faktor lokal.
 Staf teknis perawat dapat melakukan pengujian langsung di bawah
pengawasan medis (dokter yang memerintahkan prosedur harus di
lokasi pelatihan yang memadai sangat penting untuk
mengoptimalkan hasil reproduktibilitas.
 Kontrol positif dan negatif sangat penting.
 Praktisi medis yang bertanggung jawab harus mengamati reaksi dan
menginterpretasikan hasil tes dalam terang sejarah pasien dan tanda-
tanda.
 Hasil tes harus dicatat dan dikomunikasikan dalam standar yang jelas
dan bentuk yang dapat dipahami oleh praktisi lain.
 Konseling dan informasi harus diberikan kepada pasien secara
individual, berdasarkan hasil tes dan karakteristik pasien dan
lingkungan setempat.

4. Patch Tes (Tes Tempel).


Tes ini untuk mengetahui alergi kontak terhadap bahan kimia, pada
penyakit dermatitis atau eksim. Tes ini dilakukan di kulit punggung. Hasil

23
tes ini baru dapat dibaca setelah 48 jam. Bila positif terhadap bahan kimia
tertentu, akan timbul bercak kemerahan dan melenting pada kulit.
Syarat tes ini :
1. Dalam 48 jam, pasien tidak boleh melakukan aktivitas yang
berkeringat, mandi, posisi tidur tertelungkup, punggung tidak boleh
bergesekan.
2. 2 hari sebelum tes, tidak boleh minum obat yang mengandung
steroid atau anti bengkak. Daerah pungung harus bebas dari obat
oles, krim atau salep.

5. RAST (Radio Allergo Sorbent Test).


Tes ini untuk mengetahui alergi terhadap alergen hirup dan makanan.
Tes ini memerlukan sampel serum darah sebanyak 2 cc. Lalu serum darah
tersebut diproses dengan mesin komputerisasi khusus, hasilnya dapat
diketahui setelah 4 jam.
Kelebihan tes ini : dapat dilakukan pada usia berapapun, tidak dipengaruhi
oleh obat-obatan.

6. Skin Test (Tes kulit).


Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang
disuntikkan. Dilakukan di kulit lengan bawah dengan cara menyuntikkan obat
yang akan di tes di lapisan bawah kulit. Hasil tes baru dapat dibaca setelah 15
menit. Bila positif akan timbul bentol, merah, gatal.

7. Tes Provokasi.

24
Tes ini digunakan untuk mengetahui alergi terhadap obat yang
diminum, makanan, dapat juga untuk alergen hirup, contohnya debu. Tes
provokasi untuk alergen hirup dinamakan tes provokasi bronkial. Tes ini
digunakan untuk penyakit asma dan pilek alergi. Tes provokasi bronkial dan
makanan sudah jarang dipakai, karena tidak nyaman untuk pasien dan berisiko
tinggi terjadinya serangan asma dan syok. tes provokasi bronkial dan tes
provokasi makanan sudah digantikan oleh Skin Prick Test dan IgE spesifik
metode RAST.
Untuk tes provokasi obat, menggunakan metode DBPC (Double Blind
Placebo Control) atau uji samar ganda. caranya pasien minum obat dengan
dosis dinaikkan secara bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval 15 –
30 menit.
Dalam satu hari hanya boleh satu macam obat yang dites, untuk tes
terhadap bahan/zat lainnya harus menunggu 48 jam kemudian. Tujuannya
untuk mengetahui reaksi alergi tipe lambat.
Ada sedikit macam obat yang sudah dapat dites dengan metode RAST.
Semua tes alergi memiliki keakuratan 100 %, dengan syarat persiapan tes
harus benar, dan cara melakukan tes harus tepat dan benar.

2.8. Diagnosis Banding


Diagnosis banding bentuk infantil ialah dermatitis seboroik, pada
bentuk anak dan dewasa ialah neurodermatitis (Mansjoer A.,dkk., 2001).
Diagnosis Banding lainnya:
 Dermatitis Kontak Alergi
 Dermatophytosis atau dermatophytids
 Sindrom defisiensi imun

 Sindrom Wiskott-Aldrich

 Sindrom Hyper-IgE

 Penyakit Neoplastik

 Langerhans’ cell histiocytosis

25
 Penyakit Hodgkin

 Dermatitis Numularis

 Dermatitis Seborrheic

 Skabies
Pada bayi gejala klinis DA terutama mulai dari pipi dan tidak mengenai
telapak tangan serta kaki. Tanda skabies pada bayi ditandai dengan
papula yang relatif besar (biasanya pada punggung atas), vesikel pada
telapak tangan dan kaki, dan terdapat dennatilis pruritus pada anggota
keluarga. Tungau dan telur dapat dengan mudah ditemukan dari
scraping vesicle. Skabies memberi respons yang baik terhadap
pengobatan dengan γ-benzen heksaklorida.

 Dermatitis seboroik infantil


Penyakit ini dibedakan dari DA dengan: (1) pruritus ringan, (2) onset
invariabel pada daerah pantat halus, tidak bersisik, batas jelas, merah
terang, dan (3) sisik kuning gelap pada pipi, badan dan lengan.
Dermatitis seboroik infantil sering berhubungan dengan dermatitis
atopik. Pada suatu penelitian, 37% bayi dengan dermatitis seboroik
akan menjadi DA 5-13 tahun kemudian.

 Dermatitis kontak
Anak yang lebih tua dengan DA dapat menjadi eksema kronik pada
kaki. Bentuk ini harus dibedakan dengan dermatitis kontak karena
sepatu (Judarwanto W., 2009).

2.9. Terapi
Pengobatan pada bayi dan anak dengan DA harus secara individual dan
didasarkan pada keparahan penyakit. Sebaiknya penatalaksanaan ditekankan
pada kontrol jangka waktu lama (Long-Term Control) bukan hanya untuk
mengatasi kekambuhan.Protab pelayanan profesi untuk pengobatan DA di
SMF kulit & kelamin RSUD dr.Moewardi Surakarta bertujuan untuk

26
menghilangkan ujud kelainan kulit dan rasa gatal, mengobati lesi kulit,
mencari factor pencetus dan mengurangi kekambuhan.secara konvensional
pengobatan DA kronik pada prinsipnya adalah sebagai berikut:
 Menghindari bahan iritan
 Mengeliminasi allergen yang telah terbukti
 Menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi)
 Pemberian pelembab kulit ( Moisturizing)
 Kortikostreroid topikal
 Pemberian antibiotik
 Pemberian antihistamin
 Mengurangi stress
 Dan memberikan edukasi pada penderita maupun keluarga.
(Kariossentono H., 2006).
a. Edukasi:
Menjelaskan bahwa DA merupakan penyakit yang penyebabnya
multifaktorial, cara perawatan kulit yang benar untuk mencegah
bertambahnya kerusakan sawar kulit dan memperbaiki sawar kulit serta
penting juga untuk mencari faktor pencetus serta menghindari atau
menghilangkannya (Sugito T.L., 2009).

1. Mandi dan emolien


Jangan mandi dengan air terlalu panas, karena dapat menambah rasa
gatal, jangan memakai handuk dengan menggosok pada kulit melainkan
menepuk-nepuknya, hindari sabun/ pembersih kulit yang mengandung
antiseptik, karena dapat mempermudah resistensi, kecuali bila ada infeksi
sekunder.
Penggunaan emolien/ pelembab yang adekuat secara teratur sangat
penting untuk mengatasi kekeringan kulit dan memperbaiki integritas
sawar kulit. Bentuk salap dan krim memberi sawar lebih baik dari pada
lotion.

27
2. Mengatasi gatal
Gatal dapat diatasi dengan pemberian emolien, kompres basah, anti
inflamasi topikal (kortikosteroid, inhibitor kalsineurin), dan antihistamin
oral (Sugito T.L., 2009).
Kompres basah bermanfaat dalam menangani eksema yang berat,
sedangkan pembalut yang mengandung obat misalnya pasta zinc dn
iktamol atau zinc oksida dan ter batubara, yang dipakai diatas steroid
topical bermanfaat untuk mengobati eksema pada ekstremitas (Graham
B.R., 2005).
Kortikosteroid topikal dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan
efek samping lokal (atrofi, striae, hipertrikosis, hipopigmentasi,
teleangiektasis, dsb). Maupun sistemik (supresi aksis hipothalamus-
pituitasi- adrenal, gangguan pertumbuhan, sindrom Chusing).
Beberapa faktor perlu dipertimbangkan yakni vehikulum, potensi
kortikosteroid, usia pasien, letak lesi, derajad dan luas lesi serta cara
pemakaian.
Prinsip penggunaan:
i. Gunakan potensi terendah yang dapat mengatasi radang, dapat
dinaikkan bila perlu. Hindari pemakaian dalam jangka waktu lama
ii. Hindari potensi kuat untuk daerah kulit dengan permeabilitas tinggi
(muka, interginosa, bayi).
iii. Potensi kuat diginakan bila gatal sangat berat dan atau peradangan/
likenifikasi berat.
iv. Gunakan potensi kuat hanya dalam jangka waktu pendek (≤ 2
minggu untuk potensi kelas 1). Bila lesi awal sudah teratasi ganti
dengan potensi lebih rendah/ dengan antiinflamasi nonsteroid untuk
terapi pemeliharaan
v. Inhibitor kalsineurin topikal
Obat ini dapat mengatasi kekurangan/ kerugian menggunakan
kortikosteroid topikal, bekerja dengan menghambat transkripsi
sistem inflamasi dalam sel T yang teraktifasi dan sel radang lainnya
sehingga mencegah pelepasan sitokin oleh sel T helper, serta
meghambat proliferasi sel T. Terdapat dua macam yaitu salap

28
takrolimus 0.03% (untuk usia 2-12 tahun) dan 0.1% (untuk usia 3
tahun keatas)

Indikasi Penggunaan Antibiotik pada Dermatitis Atopik.


 AB sistemik dengan tujuan :
 Mencegah eksaserbasi akut karena infeksi di tempat lain
 Dengan indikasi : superinfeksi bakteri, Antibiotik sistemik
Antibiotik sistemik dapat dipertimbangkan untuk mengatasi DA
yang luas dengan infeksi sekunder.
Antibiotik yang dianjurkan adalah eritromisin, sefalosporin,
kloksasilin, dan terkadang ampisilin Infeksi di curigai bila ada
krusta yang luas, folikulits, pioderma dan furunkulosis. S. aureus
yang resisten penisilin merupakan penyebab tersering dari flare
akut. Bila diduga ada resistensi penisilin, dicloxacillin atau
sefalexin dapat digunakan sebagai terapi oral lini pertama. Bila
alergi penisilin, eritromisin adalah terapi pilihan utama, dengan
perhatian pada pasien asma karena bersama eritromisin, teofilin
akan menurunkan metabolismenya. Pilihan lain bila eritomisin
resisten adalah klindamisin.. Dari hasil pembiakan dan uji
kepekaan terhadap Staphylococcus aureus 60% resisten terhadap
penisilin, 20% terhadap eritromisin, 14% terhadap tetrasiklin, dan
tidak ada yang resisten terhadap sefalosporin Imunoterapi dengan
ekstrak inhalan umumnya tidak menolong untuk mengatasi DA
pada anak.

a. Untuk Dermatitis Atopik yang refrakter


i. kortikosteroid sistemik,
Prednisolon lebih dianjurkan karena lebih cepat diekskresi oleh
tubuh.
ii. Fototerapi
Kombinasi UVA dan UVB atau bersama psoralen
(fotokemoterapi) dapat memperbaiki DA dan menyebabkan remisi
panjang, namun berisiko menimbulkan penuaan dini dan keganasan
kulit pada pengobatan jangka panjang.
iii. Obat lainnya

29
Siklosporin, Azatioprin, mofetil mikofenolat, metotreksat,
interferon gamma, lain-lain (antagonis leukotrien, timopentin,
imunoterapi alergen dan probiotik) (Sugito T.L., 2009).

b. Pengobatan sistemik
i. Kortikosteroid
Hanya digunakan untuk mengobati eksaserbasi akut, dalam jangka
pendek, dan dosis rendah, diberikan berselang-seling atau diturunkan
perlahan (tapering), segera ganti dengan kortikostreroid topikal).
ii. Antihistamin
Digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat,
terutama malam hari, karena itu antihistamin yang dipakai
mempunyai efek sedatif misanyal hidroksisin atau difenhidramin.
iii. Anti infeksi
Untuk pengobatan koloni S.aureus yang belum resisten dapat
diberikan eritromisin, asitromisin, atau klaritromisin, sedangkan
untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin atau generasi
pertama sefalosporin.
iv. Interferon
IFN-γ diketahui menekan respon IgE dan menurunkan fungsi dan
proliferasi sel Th2. Pengobatan dengan IFN-γ rekombinan
menghasilkan perbaikan klinis, karena dapat menurunkan jumlah
eosinofil total dalam sirkulasi. (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

c. Mengindari faktor pencetus / presdiposisi


Bila eksudasi berat atau stadium akut beri kompres terbuka. Bila
dingin dapat diberikan krim kortikosteroid ringan sedang. Pada lesi kronis
dan likenifikasi dapat diberikan salep kortikosteroid kuat
(Mansjoer A.,dkk., 2001).
Penderita DA yang disertai infeksi harus diberikan kombinasi
antibiotika terhadap kuman stafilokokus dan steroid topikal
(Fauzi N., Sawitri, Pohan S.S., 2009).

d. Probiotik dan Dertmatitis Atopik


Untuk penggunaan probiotik beberapa randomized controlled trials
dengan jumlah sampel kecil menunjukkan penurunan derajad keparahan DA

30
dan dapat mencegah DA sampai derajat tertentui dkk .menurut penelitian
Isaular CFU Lactobacillus GG yang diberikan selama 2-4 minggu sebelum
lahir sampai 6 bulan sesudah lahir menurunkan kejadian DA sampai 50%
pada bayi-bayi dengan risiko tinggi DA (Sugito T.L., 2009).
Alergi merupakan bentuk “Th2-disease” yang upaya perbaikannya
memerlukan pengembalian penderita pada kondisi “Th1-Th2” yang
seimbang. Perkembangan ilmu dan teknologi memungkinkan perubahan
paradigma pencegahan alergi dari paradigma penghindaran factor resiko
menjadi paradigma induksi aktif toleransi imunologik. Konsep probiotik
pada pencegahan alergi didasari pada induksi aktif respon imunologik
menuju keseimbangan “Th1-Th2”. Pada uji klinik, probiotik dibuktikan
dapat menurunkan gejala alergi yang berhubungan dengan dermatitis atopik
dan alergi makanan. Kelemahan uji klinik adalah ketidakmampuannya
dalam menghasilkan informasi mengenai mekanisme dan hubungan sebab
akibat. Ekstrapolasi dan sintesis atas fakta-fakta ilmiah yang telah
dihasilkan oleh uji klinik dan penelitian mekanisme probiotik pada hewan
coba menunjukkan bahwa probiotik dapat menurunkan reaksi alergi melalui
aktivasi TLR2 dan TLR4. Penelitian probiotik pada ibu hamil menunjukkan
bahwa efek dini probiotik pada sistem imun ibu bukanlah pada supresi Th1
tetapi pada aktivasi Tregulator yang berfungsi menjaga homeostasis Th1-
Th2, sehingga kelangsungan kehamilan tidak terganggu (Endaryanto E., &
Harsono A., 2010).

31
2.10. Komplikasi
 Pada anak penderita DA, 75% akan disertai penyakit alergi lain di
kemudian hari. Penderita DA mempunyai kecenderungan untuk mudah
mendapat infeksi virus maupun bakteri (impetigo, folikulitis, abses,
vaksinia. Molluscum contagiosum dan herpes).
 Infeksi virus umumnya disebabkan oleh Herpes simplex atau vaksinia dan
disebut eksema herpetikum atau eksema vaksinatum. Eksema vaksinatum
ini sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi pada pemberian vaksin varisela,
baik pada keluarga maupun penderita. lnfeksi Herpes simplex terjadi
akibat tertular oleh salah seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel pada
daerah dermatitis, mudah pecah dan membentuk krusta, kemudian terjadi
penyebaran ke daerah kulit normal.
 Penderita DA, mempunyai kecenderungan meningkatnya jumlah koloni
Staphylococcus aureus (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

2.11. Pencegahan
Salah satu faktor perlindungan utama DA adalah ASI. ASI yang
diberikan secara eksklusif selama 6 bulan kehidupan akan memberikan
keuntungan nutrisional dan melindungi anak dari penyakit alergi. ASI
eksklusif selama 6 bulan dimaksudkan untuk menghindarkan bayi dari
pemberian makanan yang dapat menimbulkan dan sebagai faktor presipitasi
alergi. ASI kaya akan immunoglobulin A (IgA) yang dapat membantu
melindungi saluran cerna dengan mengikat protein asing yang berpotensi
sebagai alergen dan menghambat absorbsinya. Kandungan ASI akan
menstimulasi pematangan saluran cerna, sehingga akan lebih siap untuk
menerima antigen, mengatur flora normal saluran cerna dan faktor
imunomodulator. Bayi dengan risiko tinggi atopik yang tidak mendapat ASI
eksklusif mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita dermatitis atopik
(Budiastuti M., 2007).

2.12. Prognosis

32
Sulit meramalkan prognosis DA pada seseorang. Prognosis lebih
buruk bila kedua orangtua menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan
spontan pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja,
sebagian kasus menetap pada usia diatas 30 tahun.

Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik DA, yaitu:


 DA luas pada anak
 Menderita rhinitis alergik dan asma bronchial.
 Riwayat DA pada orangtua atau saudara kandung
 Awitan (onset) DA pada usia muda
 Anak tunggal
 Kadar IgE serum sangat tinggi.

33
BAB III
KESIMPULAN

Perkembangan dermatitis atopik merupakan hasil perpaduan antara faktor


genetik, lingkungan, imunologis, dan farmakologis. Karena semakin hari angka
kejadian dermatitis atopik ini semakin berkembang sejalan dengan kemajuan
teknologi, dan industri yang menghasilkan banyak polutan dan iritan, maka
langkah untuk mencegah dermatitis atopik ini sangat bermanfaat untuk mencegah
kenaikan prevalensi dan diharapkan dengan mengenali lebih dalam tentang
penyakit dermatitis atopik ini diharapkan pula dapat mengurangi angka kesakitan
yang terjadi baik pada masa infantil, anak-anak maupun dewasa.

34
DAFTAR PUSTAKA

Fauzi N., Sawitri, Pohan S.S., 2009. Korelasi antara Jumlah Koloni
Staphylococcus Aureus & IgE spesifik terhadap Enterotoksin
Staphylococcus Aureus pada Dermatitis Atopik. Departemen / SMF
Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR / RSU Dr. Soetomo. Surabaya.
William H.C., 2005. Atopic Dermatitis. N Engl J Med;; 352: 2314-24.
Judarwanto W., 2009. Dermatitis Atopik. Children Allergy Clinic Information;
www.Childrenallergicclinic.wordpress.com.
Budiastuti M., Wandita S., Sumandiono., 2007 . Exclusive breastfeeding and risk
of atopic dermatitis in high risk infant. Berkala Ilmu Kedokteran,
Volume 39, No. 4, Hal. 192-198.
Zulkarnain I., 2009. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik. dalam
Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed).
Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-51
Tada J., 2002. Diagnostic Standard for Atopic Dermatitis. JMAJ. Vol. 45, No. 11.
460-65.
Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005. Dermatitis. dalam Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. (Ed).IV.Jakarta; Balai Penerbit FK UI; Hal.129-47.
Soebaryo R.W., 2009. Imunopatogenesis. Dalam Boediarja S.A., Sugito T.L.,
Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai
Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-51.
Mansjoer A., Kuspuji T., Rakhmi S., Wahyu I.W., Wiwiek S.,(Ed). 2001.
Dermatitis Atopik dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid II.
Jakarta. Penerbit Media Aesculapius FKUI. Hal.
Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009. Peran Alergi Makanan pada Dermatitis Atopik.
dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S.,
(Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal.12-20.
Sugito T.L., 2009. Penatalaksanaan Terbaru Dermatitis Atopik. dalam Boediarja
S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis
Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-55
Endaryanto E., & Harsono A., 2010. Prospek Probiotik dalam pencegahan alergi
melalui induksi aktif toleransi imunologis. Divisi Alergi Imunologi

35
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK-Unair/RSU Dr. Soetomo
Surabaya.
Kariossentono H., 2006. Dermatitis Atopik (Eksema). Cetakan I.LPP UNS dan
UNS Press. Surakarta. Hal.8-12.
Graham B.R., 2005. Dermatologi.Edisi VIII. Erlangga.Jakarta.Hal.73-74.
Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005. Atopic dermatitis. Periodic synopsis. J Am
Acad Dermatol. 53(1): 115-28.
Bhakta I.M.,2006. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. dalam Ari W.S.,
Bambang S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.s (eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. jilid I. Edisi IV. FKUI. Jakarta. Hal: 632-35

36

Anda mungkin juga menyukai