Anda di halaman 1dari 10

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penulisan

D. Manfaat Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

a. Pengertian Namimah

b. Hukum/Ancaman Namimah

c. Sikap Terhadap Perilaku Namimah

d. Cara Melepaskan Diri Dari Perilaku Namimah

e. Ucapan Yang Bukan Termasuk Namimah

BAB III PENUTUP

a. Simpulan

b. Saran
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat menyaksikan disekitar kita ada


sebagian orang yang melakukan amal kebaikan dan sebaliknya ada yang melakukan
amal buruk. Perilaku tercela dalam islam disebut dengan akhlak tercela atau akhlak
syai’yah. Contoh dari akhlak tercela yang dapat kita saksikan antrara lain namimah
(mengadu domba ) dan gibah (mengumpat). Salah satu akhlak tercela yaitu namimah
(adu domba). Kata adu domba identik dengan kebencian dan permusuhan. Sebagian
dari kita yang mengetahui bahaya namimah mungkin akan mengatakan,“Ah, saya
tidak mungkin berbuat demikian…” Tapi jika kita tak benar-benar menjaganya ia bisa
mudah tergelincir. Apalagi ketika rasa benci dan hasad (dengki) telah memenuhi hati.
Atau meski bisa menjaga lisan dari namimah, akan tetapi tidak kita sadari bahwa
terkadang kita terpengaruh oleh namimah yang dilakukan seseorang. Oleh karena itu
kita benar-benar harus mengenal apakah itu namimah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka rumusan masalah yang dapat diambil
yaitu:

1. Apa pengertian namimah ?

2. Bagaimanakah hukum/ancaman namimah ?

3. Bagiamanakah sikap kita terhadap pelaku namimah ?

4. Bagaimana cara melepaskan diri dari perbuatan namimah ?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Namimah

1. Pengertian namimah

Menyampaikan perkataan seseorang atau menceritakan keadaan seseorang


atau mengabarkan pekerjaan seseorang kepada orang lain dengan maksud mengadu
domba antara keduanya atau merusakkan hubungan baik antara mereka, ini
dinamakan namimah. Keadaan ini mengakibatkan timbulnya kejahatan antara
keluarga dan sahabat, menceritakan hubungan orang dan sebenarnya hal ini berarti
memperbanyak jumlah lawan.

Al-Baghawi rahimahullah menjelaskan bahwa namimah adalah mengutip


suatu perkataan dengan tujuan untuk mengadu domba antara seseorang dengan si
pembicara. Adapun Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalaani rahimahullah mengatakan
bahwa namimah tidak khusus itu saja. Namun intinya adalah membeberkan sesuatu
yang tidak suka untuk dibeberkan. Baik yang tidak suka adalah pihak yang dibicarakan
atau pihak yang menerima berita, maupun pihak lainnya. Baik yang disebarkan itu
berupa perkataan maupun perbuatan. Baik berupa aib ataupun bukan. Berkata :
Bagaimana pendapatmu jika memang terdapat pada saudaraku apa-apa yang saya
katakana?” Nabi saw.menjawab:”jika memang ada padanya apa yang kamu katakan
berarti kamu telah mengumpat/ mengunjing. Jika tidak ada berarati kamu telah
membuat kebohongan yang keji terhadap dirinya (fitnah).

Mengumpat adalah menyebut atau memperkatakan seseorang dengan apa


yang dibencinya, ini antara lain disebabkan karena dengki, mencari muka,berolok-
olok, mengada-adakan, dengan maksud ingin mengurangi respect orang yang
diumpat. Mengatakan sesuatu yang tidak kita setujui mengenai kelakuan seseorang,
sebaiknya secara berhadapan muka dengan nasehat dan kata-kata yang baik. Jadi,
janganlah mengumpat, mencari-cari keburukan orang lain sebab ini hanyalah
menanam benih permusuhan belaka serta mengurangi relasi yang baik. Imam nawawi
mendefinisikan makna ghibah sebagaimana dikutip oleh ibnu hajar Artinya: iman
Nawawi berkata dalam kitab Al-Adzkar mengikuti pandangan Al-Ghazali bahwa
ghibah adalah menceritakan tentang seseorang dengan sesuatu yang dibencinya baik
badannya, agamanya, dirinya (fisik), perilakunya, hartanya, orang tuanya, anaknya,
istrinya, pembantunya, raut mukanya yang berseri atau masam, atau yang berkaitan
dengan penyebutan seseorang baik dengan lafad (verbal), tanda, ataupun isyarat.

B. Hukum/Ancaman Namimah

1. Namimah

Namimah hukumnya haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.


Banyak sekali dalil-dalil yang menerangkan haramnya namimah dari Al Qur’an, As
Sunnah dan Ijma’. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, yang artinya, “Dan janganlah
kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina yang banyak mencela, yang
kian kemari menghambur fitnah.” (QS. Al Qalam: 10-11)

Dalam sebuah hadits marfu’ yang diriwayatkan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu


disebutkan, “Tidak akan masuk surga bagi Al Qattat (tukang adu domba).” (HR. Al
Bukhari).

Ibnu Katsir menjelaskan, “Al qattat adalah orang yang menguping (mencuri
dengar pembicaraan) tanpa sepengetahuan mereka, lalu ia membawa pembicaraan
tersebut kepada orang lain dengan tujuan mengadu domba.”

Perkataan “Tidak akan masuk surga…” sebagaimana disebutkan dalam hadist


di atas bukan berarti bahwa pelaku namimah itu kekal di neraka. Maksudnya adalah
ia tidak bisa langsung masuk surga. Inilah madzhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah untuk
tidak mengkafirkan seorang muslim karena dosa besar yang dilakukannya selama ia
tidak menghalalkannya (kecuali jika dosa tersebut berstatus kufur akbar semisal
mempraktekkan sihir.

Pelaku namimah juga diancam dengan azab di dalam kubur. Ibnu Abbas
meriwayatkan: “Suatu hari Rasulullah saw melewati dua kuburan lalu bersabda:
“Sesungguhnya penghuni kedua kubur ini sedang di azab. Dan keduanya bukanlah di
azab karena perkara yang berat untuk ditinggalkan, yang pertama, tidak
membersihkan diri dari air kencingnya. Sedang yang kedua, berjalan kesana kemari
menyebarkan namimah.” (HR. Buhkari)

C. Sikap Terhadap Pelaku Namimah

Imam An-Nawawi berkata, “Dan setiap orang yang disampaikan kepadanya


perkataan namimah, dikatakan kepadanya: “Fulan telah berkata tentangmu begini
begini. Atau melakukan ini dan ini terhadapmu,” maka hendaklah ia melakukan enam
perkara berikut:

1. Tidak membenarkan perkataannya. Karena tukang namimah adalah orang fasik.

2. Mencegahnya dari perbuatan tersebut, menasehatinya dan mencela


perbuatannya.

3. Membencinya karena Allah, karena ia adalah orang yang dibenci di sisi Allah.
Maka wajib membenci orang yang dibenci oleh Allah.

4. Tidak berprasangka buruk kepada saudaranya yang dikomentari negatif oleh


pelaku namimah.

5. Tidak memata-matai atau mencari-cari aib saudaranya dikarenakan namimah


yang didengarnya.

6. Tidak membiarkan dirinya ikut melakukan namimah tersebut, sedangkan dirinya


sendiri melarangnya. Janganlah ia menyebarkan perkataan namimah itu dengan
mengatakan, “Fulan telah menyampaikan padaku begini dan begini.” Dengan
begitu ia telah menjadi tukang namimah karena ia telah melakukan perkara yang
dilarang tersebut.”.

D. Cara Melepaskan Diri dari Perbuatan Namimah

Janganlah rasa tidak suka atau hasad kita pada seseorang menjadikan kita
berlaku jahat dan tidak adil kepadanya, termasuk dalam hal ini adalah namimah.
Karena betapa banyak perbuatan namimah yang terjadi karena timbulnya hasad di
hati. Lebih dari itu, hendaknya kita tidak memendam hasad (kedengkian) kepada
saudara kita sesama muslim. Hasad serta namimah adalah akhlaq tercela yang dibenci
Allah karena dapat menimbulkan permusuhan, sedangkan Islam memerintahkan agar
kaum muslimin bersaudara dan bersatu bagaikan bangunan yang kokoh.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian saling


mendengki, saling membenci, saling bermusuhan, dan janganlah kamu menjual
barang serupa yang sedang ditawarkan saudaramu kepada orang lain, dan jadilah
kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim)

Berusaha dan bersungguh-sungguhlah untuk menjaga lisan dan menahannya


dari perkataan yang tidak berguna, apalagi dari perkataan yang karenanya saudara
kita tersakiti dan terdzalimi. Bukankah mulut seorang mukmin tidak akan berkata
kecuali yang baik.
E. Ucapan yang Bukan Termasuk Namimah

Apakah semua bentuk berita tentang perkataan/perbuatan orang dikatakan


namimah? Jawabannya, tidak. Bukan termasuk namimah seseorang yang mengabari
orang lain tentang apa yang dikatakan tentang dirinya apabila ada unsur maslahat di
dalamnya. Hukumnya bisa sunnat atau bahkan wajib bergantung pada situasi dan
kondisi. Misalnya, melaporkan pada pemerintah tentang orang yang mau berbuat
kerusakan, orang yang mau berbuat aniaya terhadap orang lain, dan lain-lain. An-
Nawawi rahimahullah berkata, “Jika ada kepentingan menyampaikan namimah, maka
tidak ada halangan menyampaikannya. Misalnya jika ia menyampaikan kepada
seseorang bahwa ada orang yang ingin mencelakakannya, atau keluarga atau
hartanya.”

Pada kondisi seperti apa menyebarkan berita menjadi tercela? Yaitu ketika ia
bertujuan untuk merusak. Adapun bila tujuannya adalah untuk memberi nasehat,
mencari kebenaran dan menjauhi/mencegah gangguan maka tidak mengapa. Akan
tetapi terkadang sangat sulit untuk membedakan keduanya. Bahkan, meskipun sudah
berhati-hati, ada kala niat dalam hati berubah ketika kita melakukannya. Sehingga,
bagi yang khawatir adalah lebih baik untuk menahan diri dari menyebarkan berita.

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Seseorang selayaknya memikirkan


apa yang hendak diucapkannya. Dan hendaklah dia membayangkan akibatnya. Jika
tampak baginya bahwa ucapannya akan benar-benar mendatangkan kebaikan tanpa
menimbulkan unsur kerusakan serta tidak menjerumuskan ke dalam larangan, maka
dia boleh mengucapkannya. Jika sebaliknya, maka lebih baik dia diam.”
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Namimah adalah Menyampaikan perkataan seseorang atau menceritakan


keadaan seseorang atau mengabarkan pekerjaan seseorang kepada orang lain
dengan maksud mengadu domba antara keduanya atau merusakkan hubungan baik
antara mereka. Sedangkan Gibah berasal dari bahasa Arab yang artinya mengumpat,
maksudnya yaitu membicarakan orang lain tentang sesuatu yang ada padanya dan
orang itu tidak menyukainya bila dibicarakannya, sementara orang yang dibicarakan
itu tidak ada dihadapannya.

2. Hukum namimah haram sedangkan ghibah di bagi menjadi 3 yaitu , haram, wajib
dan mubah (boleh).

3. Sikap terhadap perilaku namimah:

a. Tidak membenarkan perkataannya.

b. Mencegah, menasehati dan mencela perbuatannya.

c. Membencinya karena Allah

4. Tidak berprasangka buruk kepada saudaranya

5. Tidak memata-matai atau mencari-cari aib saudaranya dikarenakan namimah


yang didengarnya.

6. Tidak membiarkan dirinya ikut melakukan namimah tersebut, sedangkan dirinya


sendiri melarangnya.

4. Berusaha dan bersungguh-sungguhlah untuk menjaga lisan dan menahannya


dari perkataan yang tidak berguna, apalagi dari perkataan yang karenanya saudara
kita tersakiti dan terdzalimi. Bukankah mulut seorang mukmin tidak akan berkata
kecuali yang baik.

5. Bukan termasuk namimah seseorang yang mengabari orang lain tentang apa
yang dikatakan tentang dirinya apabila ada unsur maslahat di dalamnya.

6. Hukumnya bisa sunnat atau bahkan wajib bergantung pada situasi dan kondisi.

7. Ghibah yang dilarang dan diperbolehkan:

a. Ghibah dilarang

Hukum asal gibah adalah haram. Gibah yang haram adalah


ketika anda membicarakan aib seseorang yang dirahasiakan. Baik aib
itu terkait dengan bentuk fisik atau perilaku, terkait dengan agama
atau duniawi.

b. Ghibah yang diperbolehkan;

1. At-Tazhallum

2. Isti’anah

3. Al-Istifa’

4. At-Tahdzir lil Muslimin

5. orang yang menampakkan kefasikan dan perilaku maksiatnya.

6. memberi julukan tertentu pada seseorang apabila seseorang itu


dikenal dengan julukan.

2. Saran

Setelah mempelajari mata kuliah akidah akhlak khususnya pembahasan


tentang sifat tercela terkhusus sifat namiamah dan ghibah dapat kita jadikan sebagai
pedoman hidup untuk tidak melakukan perbuatan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai