PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera merupakan kerusakan fisik akibat kekuatan yang melebihi
ketahanan dan tidak dapat ditoleransi oleh tubuh manusia. Penyebab cedera
terbanyak adalah jatuh (40,9%), kecelakaan sepeda motor (40,6%), terkena
benda tumpul dan tajam (7,3%), kecelakaan alat transportasi darat lain (7,1%),
dan kejatuhan (2,5%). Untuk penyebab yang tidak disebutkan proporsinya
sangat kecil (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013).
Definisi cedera kepala menurut Brain Injury association of America adalah
kerusakan pada kepala yang bukan kongenital atau degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi
atau merubah kesadaran yang menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Sebuah penelitian
pada tahun 2006 menunjukkan bahwa cedera dan luka berada di urutan 6 dari
total kasus yang masuk rumah sakit di seluruh Indonesia dengan jumlah
sekitar 340.000 kasus (Zamzami et al., 2010) dan cedera kepala merupakan
penyebab kematian dari hampir setengah seluruh kasus trauma (Khan &
Nadeem, 2008).
Sekitar 1,2 juta orang meninggal dengan diagnosis cedera kepala akibat
kecelakaan lalu lintas (KLL) setiap tahunnya. Cedera kepala di Indonesia
mempunyai proporsi 0,4% dari seluruh kasus cedera (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, 2013).
Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta tahun 2005 kasus cedera kepala mencapai 434 pasien cedera kepala
ringan, 315, cedera kepala sedang, dengan mortalitas sebanyak 23 kasus.
Sedangkan pada sebuah penelitian di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung,
angka kejadian cedera kepala dari periode 2008-2010 mencapai 2836 kasus
(Zamzami et al., 2010). Pada tahun 2017 terdapat 449 kasus cedera kepala di
Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang dengan angka kematian 51.
1
Fraktur kranium merupakan patahnya satu atau lebih tulang pada tulang
tengkorak. Klasifikasi fraktur kranium dapat dibuat berdasarkan pengamatan
wujud, lokasi, sudut depresi, atau berkenaan langsung dengan sinus,
membrane mukosa, atau kulit. Insidensi fraktur kranium belum diketahui pasti
tetapi fraktur kranium paling sering ditemukan tulang parietal, disusul oleh
tulang temporal, oksipital, dan frontal. (William G. Heegaard, 2017).
Fraktur kranium dapat menyebabkan robeknya duramater dan pada fraktur
basis kranii dapat ditemukan tanda-tanda seperti raccoon eyes, battle’s sign,
rhinorrhea, perdarahan subkonjungtiva, tuli, dan keluarnya cairan
cerebrospinal. (H. Kaye, 2005)
Fraktur linear merupakan fraktur yang paling sering dijumpai disusul
fraktur kompresi, dan fraktur basis cranii dan setiap tahunnya ada sekitar 2.5
juta dari 2.8 juta orang dengan cedera kepala di Amerika Serikat. Sebuah
penelitian pada tahun 2007 menunjukkan bahwa dari 207 kasus cedera kepala,
37% pasien yang mengalami gangguan patologis intracranial mengalami
fraktur kranium linear dan dari 2254 kasus cedera kepala akhibat kekerasan
sekitar 1/3nya mengalami fraktur kranium (William G. Heegaard, 2017)
Epidural hematoma merupakan salah satu dampak dari fraktur kranium.
Epidural hematoma atau perdarahan ekstradural adalah akumulasi darah
diantara lapisan duramater dan tulang tengkorak. Biasanya perdarahan berasal
dari Arteri meningea media (50%), vena meningea (20%), dan laserasi sinus
dural, vena diploica, dan arteri carotis interna (20%) (Zollman, 2011). Sekitar
1% - 5,5% dari total kasus cedera kepala terdapat epidural hematoma. Tingkat
mortalitas pada kasus epidural hematoma mencapai 20%. (Araujo, Aguiar,
Todeschini, Saade, & Veiga, 2012). Menurut Daniel P. Prince, epidural
hematoma ditemukan dalam 1-2% dari seluruh kejadian trauma kepala. Dari
data rekam medis Rumah Sakit Mohammad Hoesin didapatkan 35 kasus
sepanjang tahun 2017.
Mengingat banyaknya kasus cedera kepala disertai epidural hematoma dan
tingginya angka kematian yang diakibatkan, diperlukan penelitian untuk
2
meneliti hubungan epidural hematoma dengan fraktur kranium di Rumah
Sakit Mohammad Hoesin Palembang.
3
BAB II
TINJAUAN PUsSTAKA
2.1.1 Anatomi
1. Skin (Kulit)
Kulit bersifat tebal dan terdapat rambut serta kelenjar keringat (Sebacea)
2. Connective tissue (Jaringan subkutis)
Jaringan subkutis merupakan jaringan ikat lemak yang memiliki septum
dan kaya akan pembuluh darah terutama diatas galea. Pembuluh darah
yang terdapat dalam jaringan subkutis merupakan anastomosis antara arteri
karotis interna dan eksterna, tetapi lebih dominan arteri karotis interna.
3. Aponeurosis
4
Aponeurosis Galea merupakan bagian terkuat berupa fascia yang
melekat pada tiga otot yaitu m. frontalis ke anterior, m. occipitalis ke
posterior, dan m. temporoparietalis ke lateral.
4. Loose Areolar Tissue (Jaringan areolar longgar)
Terdapat vena emissary yang merupakan vena tanpa katup di
dalamnya. Lapisan ini menghubungkan SCALP, vena diploica, dan
sinus vena intracranial. Jika terjadi infeksi pada jaringan ini,
penyebarannya akan lebih mudah menyebar ke intrakranium.
Hematoma yang terbentuk pada lapisan ini disebut subgaleal
hematoma dan hematoma ini merupakan yang paling sering dijumpai
terutama pada anak-anak.
5. Perikranium
Perikranium merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak
dan melekat erat terutama pada sutura karena pada sutura periosteum
akan berhubungan langsung dengan endosteum. Hematoma yang
terbentuk di lapisan ini disebut Cephal hematoma (J, Iskandar, 2004).
5
arachnoid mendapat suplai nutrisi dari cairan serebrospinal dan
jaringan saraf di bawahnya. Terdapat ruang semu potensial diantara
arachnoid dan duramatet yang disebut ruang subdural dan terdapat
banyak trabekula pada sisi dalam yang membentuk struktur yang
disebut ruang subarachnoid (J. Iskandar, 2004).
3. Piamater
Secara embriologi dan histologi sama dengan arachnoid, namun pada
lapisan ini selnya tidak saling tumpang tindih dan terdiri dari dua
lapisan yaitu epipial (luar) dan pia-glia (dalam) (J. Iskandar 2004).
6
Proporsi cedera patah tulang di Indonesia pada tahun 2013
mencapai 5,8%, gegar otak 0,4%, dan cedera mata 0,6% dari seluruh
kasus cedera dengan laki laki lebih banyak daripada perempuan. (Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013)
Penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta pada
tahun 2005 mencatat ada 434 pasien cedera kepala ringan dan 315
cedera kepala sedang dengan mortalitas sebanyak 23 kasus. (Zamzami
et al., 2010). Di Sumatera Selatan, proporsi patah tulang mencapai
6,4%, gegar otak 0,1% dan cedera mata 0,9%. (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, 2013).
7
Menarik anggota tubuh dari rangsangan nyeri = 4
Fleksi abnormal (dekortikasi) = 3
Ektensi abnormal (deserebrasi) = 2
Tidak ada respon = 1
3. Respon verbal (V)
Berbicara dengan orientasi penuh = 5
Bicara bingung = 4
Bicara kacau = 3
Keluar suara tidak lengkap = 2
Tidak ada respon suara = 1
Nilai GCS adalah nilai total dari ketiga komponen dengan skor
minimal 3 dan skor maksimal 15. Nilai 3 berarti pasien tidak
memberikan respon apapun dan nilai 15 berarti pasien sadar penuh.
Pada tahun 1996 Narayan RK dan Vadya AB mengelompokkan cedera
kepala menjadi 3 kelompok yaitu:
1. Cedera kepala ringan yaitu pasien dengan nilai GCS 14-15.
2. Cedera kepala sedang yaitu pasien dengan nilai GCS 9-13
3. Cedera kepala berat yaitu pasien dengan nilai GCS 3-8.
8
Laserasi, jika luka melebihi ketebalan kulit dan dapat mencapai
tulang tanpa disertai pemisahan lapisan SCALP.
Kontusio, merupakan memar pada SCALP dan dapat disertai
hematoma seperti subgaleal hematoma ataupun chepal
hematoma.
Avulsi adalah luka pada SCALP yang disertai dengan
pemisanah lapisan SCALP, biasanya terjadi pada loose areolar
tissue.
2. Fraktur Tulang Tengkorak.
Tulang tengkorak terdiri dari tiga lapisan, yaitu tabula eksterna,
diploe, dan tabula interna. Klasifikasi fraktur tulang tengkorak
terbagi atas gambaran fraktur, lokasi, dan keadaan luka (J. Iskandar,
2004).
Berdasarkan gambaran fraktur:
o Linier
o Diastase
o Comminuted
o Depressed
Berdasarkan lokasi:
o Konveksitas
o Basis cranii
Keadaan luka:
o Terbuka
o Tertutup
3. Cedera Otak.
Cedera otak dibedakan menjadi kerusakan primer dan sekunder.
Kerusakan primer merupakan kerusakan otak yang terjadi akibat
kekuatan mekanik dari luar yang menyebabkan deformasi jaringan,
9
sedangkan kerusakan sekunder merupakan kerusakan akibat
komplikasi dari kerusakan primer. (J. Iskandar, 2004)
Berikut merupakan cedera otak primer:
Epidural Hematoma
Subdural Hematoma
Diffuse Axonal Injury
Subarachnoid Hemorrhage Traumatica
Perdarahan Intraserebral
10
mengurangi kerusakan jaringan otak setelah cedera primer. (Greenberg,
2006)
A. Direct Injury
Direct Injury terjadi ketika kepala terpukul oleh suatu objek
dan pergerakan kepala setelah kontaknya terhenti oleh suatu benda
lainnya. Tingkat kerusakannya dapat dipengaruhi oleh konsistensi,
massa, luas permukaan, dan kecepatan benda yang membentur
kepala. Direct injury juga dapat terjadi dari kompresi terhadap
kepala. Jika gaya yang pada benturan melebihi tahanan tengkorak,
maka patah tulang tengkorak dapat terjadi. Pada kejadian cedera
kontak langsung, tulang tengkorak akan menyerap gelombang
energi hasil benturan dan energi tersebut akan merambat dan
tersalurkan menjauhi situs terjadinya benturan. Gelombang ini
akan mengacaukan isi tengkorak dan tekanan intrakranium. Pada
direct injury akibat kompresi membutuhkan energi yang lebih
besar untuk membuat malformasi pada tengkorak. Malformasi
yang biasa terjadi adalah fraktur, pada direct injury yang memiliki
energi yang besar dan dalam kecepatan tinggi biasanya akan
menimbulkan depressed fracture (William G. Heegaard 2015).
B. Indirect Injury
11
Pada mekanisme ini kepala menerima suatu gaya dan
bergerak namun gaya tersebut tidak berhubungan langsung dengan
kepala. Cedera akibat akselerasi-dekselerasi merupakan contoh
yang paling umum pada mekanisme ini. Tidak ada kontak mekanik
langsung antara kepala dan daya penggerak kepala namun isi dari
tengkorak akan terguncang hebat akibat mekanisme ini. Otak akan
bergerak, dan pembuluh-pembuluh darah akan menengang dan
kaku. Dengan kakunya pembuluh darah, maka perdarahan akan
lebih mudah terjadi dan membentuk hematom pada ruang potensial
(William G. Heegaard 2015).
C. Cedera Akselerasi-Deselerasi
Guncangan terhadap kepala akibat benturan maupun bukan
dapat menyebabkan gerakan yang cepat pada kepala dan cedera
cedera yang terjadi tergantung dari bagaimana gerakan kepala.
Gerakan yang dimanifestasikan sebagai cedera kompresi,
reganangan, dan robekan mengakibatkan kerusakan struktural.
Otak dapat bergerak bebas dalam batasan-batasan tertentu di
dalam rongga tengkorak, pada saat mulai gerakan, otak akan
tertinggal di bagian belakang tengkorak sehingga otak akan relatif
bergeser terhadap tulang tengkorak dan duramater, kemudian
terjadi cedera pada permukaannya dan vena-vena jembatan.
Ketika gerakannya sangat hebat maka dapat menimbulkan kontusi
konterkup (Satyanegara, 2010).
12
konstan karena rongga kranium merupakan rongga yang tidak
dapat mengembang. Peningkatan volume salah salah satu dari
komponen-komponen di dalam kranium seperti volume darah,
cairan cerebrospinal, jaringan otak, dan komponen lain seperti
tumor atau pedarahan dapat mendesak komponen lain yang
berujung pada peningkatan tekanan intrakranium (Valadka, Alex
B 1995).
Menurut Narayan, Tekanan intrakranium gelombang
kardiak atau denyut gelombang LCS disebabkan terutama oleh
kontraksi ventrikel kiri jantung. Tekanan darah arteri perifer
menunjukkan adanya korelasi dengan peningkatan tekanan sistolik
dan penurunan tekanan diastolik. Tekanan intrakranium gelombang
respiratorik dihasilkan oleh fluktuatif tekanan darah arteri dan
drainase vena otak yang berhubungan dengan siklus pernafasan.
Gelombang respiratorik pada tekanan darah arteri disebabkan oleh
tekanan yang berubah-ubah pada rongga paru-paru dan rongga
abdomen pada proses respirasi.
Pada peningkatan TIK dapat berakibat menurunnya tekanan
perfusi serebal atau Cerebral Perfusion Pressure (CPP) yang dapat
menyebkan cedera kepala sekunder yang merupakan kerusakan
tingkat selular yang fatal. Penghitungan nilai CPP dapat
menggunakan rumus berikut:
CPP = MAP – ICP
CPP: Cerebral Perfusion Pressure
MAP: Mean Arterial Pressure
ICP: Intracranial Pressure
Pada orang dewasa, nilai CPP normal adalah lebih dari 50mmHg.
Penurunan CPP kurang dari 70mmHg menyebabkan iskemia otak yang
berujung edema sitotoksik yang bersifat irreversibel. (Basuki, Endro,
2003).
2.1.3 Penyebab Peningkatan Tekanan Intrakranium
13
Cedera kepala merupakan penyebab utama dalam peningkatan tekanan
intrakranium. Peningkatan TIK berhubungan dengan prognosis buruk.
92% pasien cedera kepala dengan peningkatan TIK yang tidak terkontrol
meninggal dunia (Greenberg, 2006).
Permulaan peningkatan tekanan intrakranium dimulai oleh
perubahan volume dari pecahnya pembuluh darah dan peningkatan volume
darah serebral dari reaksi vasomotor. (Mirna, 2005).
Penyebab peningkatan tekanan intrakranium di antaranya oleh:
1. Edema otak.
2. Hiperemia.
3. Trauma yang menghasilkan efek massa (epidural hematoma,
subdural hematoma, intraparenkimal hematoma, benda asing,
dan fraktur depress).
4. Hidrosefalus nonkomunikan.
5. Hipertensi sistemik.
6. Sinus thrombosis.
7. Peningkatan tonus otot dan maneuver valsava akibat agitasi.
8. Kejang otot post trauma.
14
Pada cedera kontak bentur (Direct Injury) terdapat benturan
langsung terhadap kepala oleh suatu objek. Pada objek yang keras
energinya tidak digunakan untuk menggerakkan kepala, namun
cukup untuk menghasilkan deformitas pada area yang terkena.
Objek pembenturnya berukuran sedang, dalam arti luas objek
yang berkontak langsung dengan kepala melebihi lima sentimeter
persegi. Pada umumnya mekanisme terjadinya fraktur linear
dibarengi dengan cedera akselerasi bila dilanjutkan dendan
terjadinya pergerakan kepala setelah benturan.
2.1.4.2 Fraktur Depresi
Pada prinsipnya fraktur depresi mirip dengan fraktur linier,
namun beban tenaganya lebih besar karena permukaan benda
lebih kecil. Fenomena Kontak pada fraktur depresi lebih terfokus
dan padat serta melebihi kapasitas elastisitas tengkorak yang
mengakibatkan terjadinya perforasi.
2.1.4.3 Fraktur Basis Cranii
Benturan pada dasar tulang tengkorak seperti oksiput, mastoid,
dan supra orbital disebut fraktur basis cranii. Transmisi energi
dari benturan pada daerah wajah atau efek remote dari benturan
pada kepala dapat menyebabkan frakutur ini.
15
Gambar 2.2 Diagram koronal EDH dan SDH.
(Traumatic Brain Injury A Clinician’s Guide to Diagnosis, Management, and
Rehabilitation, 2011)
16
2.1.2.1 Distribusi Epidural Hematoma
Regio temporalis merupakan bagian tersering terdapat epidural
hematoma disusul oleh regio frontalis. Mayoritas kasus epidural
hematoma diakibatkan oleh rupturnya arteri meningea media dan cabang-
cabangnya, namun hematoma juga dapat terbentuk dari perdarahan dari
vena-vena ekstradural, sinus sagittal superior, sinus tranversum, dan arteri
meningea posterior. (H. Kaye, 2005)
Gambar 2.3
Arteri Meningea Media
(Gray’s Anatomy for Students, 2009)
17
2.1.2.2 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari epidural hematoma meliputi:
Nyeri kepala
Gejala ini dapat dilihat dari pasien dengan kesadaran yang masih
baik, atau yang sudah membaik. Biasanya nyeri kepala akan
semakin memburuk dan dapat disertai muntah proyektil.
Tanda-tanda fokal neurologis (dilatasi pupil, hemiparesis)
Gejala-gejala fokal neurologis dapat muncul tergantung dari tempat
terjadi hematoma. Umumnya hematoma pada regio temporal
mengakibatkan spastik hemiparesis kontralateral yang progresif
dan dilatasi pupil ipsilateral.
Perubahan tanda vital (tekanan darah dan heart rate)
Perubahan tanda vital merupakan respons cushing akibat
peningkatan tekanan intrakranium. Biasanya pasien akan
mengalami bradikardia diiringi meningkatnya tekanan darah dan
gangguan pernafasan dapat membentuk pola pernafasan Cheyne-
Stokes.
Gangguan kesadaran
Tanda yang sering muncul pada kasus epidural hematoma adalah
lucid interval. Pada fase ini pasien sadar penuh namun seiring
berjalannya waktu akan mengantuk dan biasanya akan tertidur, dan
pada fase ini pula banyak pasien yang meninggal dunia.
Gambaran radiologis
Pemeriksaan CT scan adalah pemeriksaan radiologis yang harus
segera dilakukan jika terdapat kecurigaan terhadap adanya epidural
hematoma.
18
Gambar 2.3 Hasil CT Scan pada epidural hematoma
(Manual of Traumatic Brain Injury Management, 2011)
2.1.2.3 Tatalaksana
Pada keadaan pasien dengan tingkat kesadaran yang
menurun, airway control dan dekompresi kranium harus segera
dilakukan. Pada kasus epidural hematoma, craniotomy harus segera
dilakukan untuk mengevakuasi hematoma yang terbentuk.
Pembuatan burr hole dibuat di atas lokasi hematoma, perdarahan
akibat laserasi arteri meninga media harus dikendalikan, dan
duramater harus menempel dengan tulang kranium untuk
mencegah reakumulasi. (Karp, Seth. J, 2008). Jika pasien dalam
keadaan tidak sadar, harus dilakukan intubasi dan dikondisikan
agar mengalami hiperventilasi untuk berkompensasi menyuplai
oksigen ke otak. Sangat penting untuk segera mengevakuasi
hematoma yang terbentuk dan dianjurkan untuk tidak ditunda
19
mengingat epidural hematoma merupakan kasus gawat darurat dan
dapat berakhir dengan kematian jika tidak dilakukan penanganan
yang cepat dan tepat. (H. Kaye, 2005).
20
2.2 Kerangka Teori
Trauma terhadap
kepala
Fraktur kranium
Hemiparesis
Epidural kontralateral
Hematoma
Kenaikan tekanan
intrakranial
21