Jump 7
Jump 7
Jump 7
Koma Diabetik ini menyebabkan perbedaan dalam tekanan osmotik pada sel yang menyebabkan
kondisi dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit lain.Kondisi ini dapat dipulihkan jika pasien
diobati sebelum terlambat. Pasien dengan gula darah tinggi dapat mengalami kondisi
muntah,dehidrasi sering/atau buang air kecil,mual,mulut alami peningkatan rasa haus.Pasien
dengan gula darah rendah mungkin mengalami kelelahan fisik,peningkatan
kelaparan,peningkatan berkeringat,menggigil tiba-tiba.Kemungkinan pasien juga mengalami
nyeri didaerah perut.
a. Patofisiologi
Pada orang dengan diabetes mellitus, hipertensi berhubungan dengan
resistensi insulin dan abnormalitas pada sistem renin-angiotensin dan konsekuensi
metabolik yang meningkatkan morbiditas. Abnormalitas metabolik berhubungan
dengan peningkatan diabetes mellitus pada kelainan fungsi tubuh/ disfungsi
endotelial. Sel endotelial mensintesis beberapa substansi bioaktif kuat yang mengatur
struktur fungsi pembuluh darah. Substansi ini termasuk nitrit oksida, spesies reaktif
lain, prostaglandin, endothelin, dan angiotensin II.
b. Sasaran
1). Pasien dengan diabetes perlu diperlakukan pada tekanan darah sistolik <130
mmHg.
2). Pasien dengan diabetes perlu diperlakukan pada tekanan darah diastolik <80
mmHg
2. metformin
Metformin merupakan obat antidiabetik oral yang berbeda dari golongan sulfonilurea baik secara
kimiawi maupun dalam cara bekerjanya. Obat ini merupakan suatu biguanida yang tersubsitusi
rangkap yaitu Metformin (dimethylbiguanide) Hydrochloride.
a. Mekanisme kerja
Metformin merupakan zat antihiperglikemik oral golongan biguanid. Mekanisme kerja
Metformin menurunkan kadar gula darah dan tidak meningkatkan sekresi insulin. Metformin
tidak mengalami metabolisme di hati, diekskresikan dalam bentuk yang tidak berubah terutama
dalam air kemih dan sejumlah kecil dalam tinja.
b. Indikasi
Untuk terapi pada pasien diabetes yang tidak tergantung insulin dan kelebihan berat
badan dimana kadar gula tidak bisa dikontrol dengan diet saja.
Dapat dipakai sebagai obat tunggal atau dapat diberikan sebagai obat kombinasi dengan
Sulfonilurea.
Untuk terapi tambahan pada penderita diabetes dengan ketergantungan terhadap insulin
yang simptomnya sulit dikontrol.
c. Kontra Indikasi
c. Efek Samping
Metformin dapat diterima baik oleh pasien dengan hanya sedikit gangguan
gastrointestinal yang biasanya bersifat sementara. Hal ini umumnya dapat dihindari
apabila metformin diberikan bersama makanan atau dengan mengurangi dosis secara
temporer. Biasanya efek samping telah lenyap pada saat diabetes dapat dikontrol.
Bila tampak gejala-gejala intoleransi, penggunaan Metformin tidak perlu langsung
dihentikan, biasanya efek samping demikian tersebut akan hilang pada penggunaan
selanjutnya.
Anoreksia, mual, muntah, diare.
Berkurangnya absorbsi vitamin B12.
d. Interaksi Obat
Kemungkinan terjadi interaksi antara Metformin dan antikoagulan tertentu. Dalam hal ini
mungkin diperlukan penyesuaian dosisi antikoagulan.
Terjadi penurunan kliren ginjal Metformin pada penggunaan bersama dengan simetidin,
maka dosis harus dikurangi.
3. candesartan
Candesartan adalah golongan obat penghambat reseptor angiotensin untuk mengobati penyakit
hipertensi atau tekanan darah tinggi. Dengan turunnya tekanan darah, maka masalah-masalah kesehatan
lain yang terkait dapat dicegah, seperti serangan jantung, stroke, dan kerusakan pembuluh darah. Selain
mengobati hipertensi, candesartan juga dapat digunakan untuk menangani gagal jantung.
Kemungkinan kondisi pasien yang tidak sadar disebabkan oleh hipoglikemia berat yang terjadi akibat
efek samping dari konsumsi obat glibenklamid secara terus-menerus.
Disebut sebagai penghambat reseptor angiotensin karena obat ini mampu menghambat penyempitan
pembuluh darah akibat efek dari suatu zat di dalam tubuh yang disebut angiotensin II. Dengan
melebarnya pembuluh darah, darah bisa mengalir lebih mudah sehingga tekanan darah tubuh pun
menurun.
(a). Mekanisme
Dengan mencegah efek angiotensin II, senyawa antagonis reseptor
angiotensin II ( losartan, kandesartan, irbesartan, valsatran dan erprosartan)
merelaksasi otot polos sehingga mendorong vasodilatasi, meningkatkan ekskresi
garam dan air di ginjal, menurunkan volume plasma, dan mengurangi hipertropi sel
(Oates et al., 2008)
(b). Manfaat
Angiotensin reseptor bloker memproduksi perbaikan lebih besar
dibandingkan dengan beta bloker pada 1,195 pasien dengan diabetes, termasuk
menurunkan 37% mortalitas pada kejadian kardiovaskular. ACE inhibitor dan
angiotensin reseptor bloker mempunyai efek yang baik pada fungsi renal dan
memperbaiki sensitivitas insulin, oleh karena itu ACE Inhibitor dan angiotensin
reseptor bloker adalah pilihan utama dan ideal pada terapi pasien dengan diabetes
dengan hipertensi (Torre et al., 2006)
(c) efek samping
Efek samping candesartan yang ringan dan cukup umum terjadi adalah:
Pilek atau hidung tersumbat, sakit tenggorokan, batuk
Sakit punggung
Nyeri sendi
Sakit perut, diare
Sakit kepala, pusing
Kelelahan
Pada kasus yang jarang terjadi, Candesartan dapat menyebabkan kondisi yang mengakibatkan
kerusakan jaringan otot dan gagal ginjal. Hubungi dokter Anda segera apabila Anda mengalami
nyeri otot, sakit bila disentuh, atau keletihan khususnya apabila ada demam, kelelahan yang tidak
biasa, dan warna urin yang gelap.
4. amlodipine
Amlodipin adalah obat tekanan darah tinggi (hipertensi). Obat ini adalah obat hipertensi yang
paling sering diresepkan di Indonesia setelah captopril. Terdapat banyak golongan obat
antihipertensi. Amlodipin termasuk ke dalam golongan obat penghambat kanal kalsium.
a. indikasi
Selain untuk hipertensi, amlodipin juga diindikasikan untuk penyakit berikut:
b. kontraindikasi
Amlodipin relatif aman dan tidak ada kontraindikasi khusus. Satu-satunya kondisi yang tidak
boleh obat ini diberikan ialah alergi (hipersensitivitas) terhadap amlodipin.
c. Mekanisme
Antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel otot polos
pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium terutama
menimbulkan relaksasi arteriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi. Penurunan
resistensi perifer ini sering diikuti oleh reflek takikardia dan vasokonstriksi, terutama
bila menggunakan golongan dihidropiridin kerja pendek (nifedipin). Sedangkan
diltiazem dan verapamil tidak menimbulkan takikardi karena efek kronotropik
negatif langsung pada jantung (Nafrialdi et al., 2007)
d. Manfaat
Calsium channel bloker digunakan pada diabetes, sebagai bagian kombinasi
terapi untuk mengontrol tekanan darah. Calcium channel bloker menurunkan
kejadian penyakit kardiovaskular pada diabetes dibandingkan plasebo pada beberapa
hasil percobaan klinik (Chobanian et al., 2004)
e. efek samping
Secara umum amlodipin tidak meninmbulkan efek samping yang berbahaya. Beberapa efek
samping yang pernah dilaporkan ialah:
1. Bengkak (1,8-10,8%):
Bengkak terutama ditemukan di sisi kiri-kanan tulang kering kaki. Bengkak adalah efek samping
tersering yang timbul. Sering kali bengkak pada kaki dikuatirkan pasien sebagai tanda gagal
jantung, namun sebenarnnya merupakan efek samping dari amlodipin;
2. Sakit kepala (7,3%);
3. Lemas (4,5%);
4. Pusing berputar (1,1-3,4%);
5. Mual (2,9%);
6. Nyeri perut (1,6%);
7. Mengantuk (1,4%).
Kemungkinan kondisi pasien yang tidak sadar disebabkan oleh hipoglikemia berat yang terjadi akibat
efek samping dari konsumsi obat glibenklamid secara terus-menerus. Beberapa hari terakhir pasien juga
mengalami penurunan nafsu makan bisa diakibatkan karena efek samping obat yang dikonsumsi seperti
glibenklamid dan metformin pada saluran cerna antara lain mual, muntah, diare, sakit perut. Sehingga
nafsu makan pasien menurun.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan pasien mengalami penurunan kesadaran, dengan GCS E1V2M3
menurut tabel dibawah ini didapatkan hasil nilai respon tidak membuka mata, mengeluarkan suara yang
tidak jelas, dan reaksi fleksi. Tekanan darah pasien didapatkan 210/100 mmHg dapat diinterpretasikan
kedalam hipertensi stage 2. Suhu tubuh 36,7oC masih dalam tergolong normal (N: 36,5 oC – 37,5 oC).
Hitung frekuensi pernafasan selama 1 menit dengan inspeksi, palpasi, atau dengan menggunakan
stetoskop. Normalnya frekuensi nafas orang dewasa sekitar 14 – 20 kali per menit dengan pola nafas
yang teratur dan tenang. Laju pernafasan pasien 18x/ menit masih tergolong normal. Jumlah frekuensi
nadi per menit normal pada dewasa 60 – 100 kali/menit. Takikardia bila frekuensi nadi >100 kali/menit
seperti yang didapatkan pada pasien ini dan bradikardia bila <60kali/menit. Keringat dingin disebabkan
karena turunnya kadar glukosa darah atau naiknya konsentrasi insulin dalam darah. Penderita diabetes
yang mengalami komplikasi hipoglikemia juga bisa mengeluarkan keringat dingin pada malam atau siang
hari. Hal ini disebabkan karena tubuh tidak menerima asupan nutrisi yang cukup sehingga kadar gula
dalam darah menjadi sangat sangat rendah. Reflek patologis negative, berarti tidak didapatkan kelainan
neurologis pada pasien. Terdapat trias Whipple yaitu (1) gejala sesuai dengan hipoglikemia, (2) kadar
glukosa darah rendah, dan (3) gejala menghilang jika kadar glukosa darah meningkat.
b. Diabetes Tipe II
DM tipe II dapat terjadi karena ketidakmampuan tubuh dalam merespon kerja insulin
secara efektif (WHO, 2008). Dua masalah utama yang terkait dengan hal ini yaitu,
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Untuk mengatasi resistensi dan
mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah
insulin yang disekresikan. Pada pasien DM, keadaan ini
terjadi karena sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa dalam darah akan
dipertahankan pada tingkat normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel
beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar
glukosa akan meningkat (Brunner & Suddarth, 2001).
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin, yang merupakan ciri khas DM tipe II, namun
masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak
dan badan keton. Karena itu, ketoasidosis metabolic tidak terjadi pada DM tipe II
(Brunner & Suddarth, 2001).
2. gejala
a. Gejala Akut DM
Gejala penyakit DM pada setiap pasien tidak selalu sama. Gejala-gejala di bawah ini
adalah gejala yang timbul dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya variasi gejala
lain, antara lain :
- Pada permulaan, gejala yang ditunjukkan yaitu polifagia, polidipsia, poliuria dan
peningkatan berat badan.
- Bila keadaan tersebut tidak segera ditangani, akan timbul gejala yang disebabkan oleh
kurangnya jumlah insulin yaitu polidipsia dan poliuria dengan beberapa keluhan lainnya
seperti nafsu makan berkurang, banyak minum, banyak berkemih,penurunan berat
badan yang signifikan, mudah lelah, timbul rasa mual dan jika
tidak segera diatasi akan mengakibatkan koma yang disebut dengan istilah
komadiabetes. Koma diabetes adalah koma pada pasien DM akibat kadar gula darah
yang melebihi 600 mg/dl (Tjokroprawiro, 2006).
b. Gejala Kronik DM
Kadang-kadang pasien DM tidak menunjukkan gejala akut, tetapi baru
akan menunjukkan gejala setelah beberapa bulan atau tahun menderita DM. Gejala
kronik yang sering timbul yaitu kesemutan, kulit terasa panas, kram, lelah,mudah
mengantuk, mata mengabur, gigi mudah patah, kemampuan seksual menurun, dan
lain-lain (Tjokroprawiro, 2006).
B. HIPERTENSI
Penderita hipertensi yang tidak terkontrol sewaktu waktu bisa jatuh kedalam keadaan gawat
darurat. Diperkirakan sekitar 1-8% penderita hipertensi berlanjut menjadi “Krisis Hipertensi”,
dan banyak terjadi pada usia sekitar 30-70 tahun. Tetapi krisis hipertensi jarang ditemukan pada
penderita dengan tekanan darah normal tanpa penyebab sebelumnya. Pengobatan yang baik dan
teratur dapat mencegah insiden krisis hipertensi menjadi kurang dari 1 %.
Krisis Hipertensi adalah keadaan yang sangat berbahaya, karena terjadi kenaikan tekanan darah
yang tinggi dan cepat dalam waktu singkat. Biasanya tekanan diastolik lebih atau sama dengan
130 mmHg dan menetap lebih dari 6 jam, disertai dengan gangguan fungsi jantung, ginjal dan
otak serta retinopati tingkat III – IV menurut Keith-Wagner (KW).
Beberapa keadaan yang termasuk keadaan darurat hipertensi atau krisis hipertensi akut adalah :
1. Ensefalopati Hipertensi.
2. Hipertensi Maligna.
3. Hipertensi dengan komplikasi :
a. Gagal jantung kiri akut
b. Perdarahan intra kranial
c. Perdarahan pasca operasi
d. Aortic dessection.
4. Eklamsia.
5. Feokromositoma.
PATOGENESIS
Bentuk manapun dari hipertensi yang menetap, baik primer maupun sekunder, dapat dengan
mendadak mengalami percepatan kenaikan dengan tekanan diastolik meningkat cepat sampai di
atas 130 mmHg dan menetap lebih dari 6 jam.
Hal ini dapat menyebabkan nekrosis arterial yang lama dan tersebar luas, serta hiperplasi intima
arterial interlobuler nefron-nefron. Perubahan patologis jelas terjadi terutama pada retina, otak
dan ginjal.
Pada retina akan timbul perubahan eksudat, perdarahan dan udem papil. Gejala retinopati dapat
mendahului penemuan klinis kelainan ginjal dan merupakan gejala paling terpercaya dari
hipertensi maligna.
Otak mempunyai suatu mekanisme otoregulasi terhadap kenaikan ataupun penurunan tekanan
darah. Batas perubahan pada orang normal adalah sekitar 60-160 mmHg. Apabila tekanan darah
melampaui tonus pembuluh darah sehingga tidak mampu lagi menahan kenaikan tekanan darah
maka akan terjadi udem otak. Tekanan diastolik yang sangat tinggi memungkinkan pecahnya
pembuluh darah otak yang dapat mengakibatkan kerusakan otak yang irreversible.
Pada jantung kenaikan tekanan darah yang cepat dan tinggi akan menyebabkan kenaikan after
load, sehingga terjadi payah jantung. Sedangkan pada hipertensi kronis hal ini akan terjadi lebih
lambat karena ada mekanisme adaptasi.
Penderita feokromositoma dengan krisis hipertensi akan terjadi pengeluaran norefinefrin yang
menetap atau berkala.
DIABETES MELITUS
A. KOMPLIKASI AKUT
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan glukosa
darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma dengan kejang. Tanda
hipoglikemi mulai timbul bila glukosa darah kurang dari 50 mg/dl, meskipun reaksi hipoglikemi
bisa didapatkan pada kadar glukosa darah yang lebih tinggi.( FKUI.2005 :161).
Merupakan gejala yang timbul akibat tubuh kekurangan glukosa , kadar gula darah turun
drastic sehingga kurang dari 60 mg/ 100 ml. ini bisa disebabkan oleh konsumsi obat antidiabetes
dalam dosis tinggi baik dalm bentuk tablet maupun dengan suntikan insulin (overdosis obat
antidiabetes) , makan terlalu sedikit(asupan kalori tidak memadai),atau terlambat makan, olahraga
atau latihan fisik yang berlebihan.(Atun .2010:16).
Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita merasa pusing, lemas,
gemetar, pandangan berkunang-kunang, pitam (pandangan menjadi gelap), keluar keringat dingin,
detak jantung meningkat, sampai hilang kesadaran. Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma
penderita kurang dari 50 mg/dl walaupun ada orang-orang tertentu yang sudah menunjukkan gejala
hipoglikemia pada kadar glukosa plasma diatas 50 mg/dl. Kadar glukosa darah yang terlalu rendah
menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energy sehingga tidak dapat berfungsi, bahkan
dapat rusak.(Saraswati, silvia.2009:57).
Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar glukosa darah di bawah 60mg/dl, yang
merupakan komplikasi potensial terapi insulin atau oabt hipoglikemik oral. (Baradero, Mery Dkk.
2009: 107)
2. Ketoasidodis diabetik
Adalah komplikasi akut diabetes mellitus yang serius dan harus segera ditangani. Pada diabetes
dengan kadar gula darah yang terlalu tinggi dan kadar hormone insulin yang rendah, tubuh tidak
dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energy. Sebagai gantinya tubuh akan memecah lemak
untuk sumber energy. Pemecahan lemak tersebut kemudian menghasilkan benda-benda keton
dalam darah (ketosis). Ketosis inilah yang menyebabkan derajat keasaman (PH) darah menurun
(asidosis). Kedua hal tersebut lantas disebut ketoasidosis (Nabyl.2009:51).
Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan defisiensi insulin berat dan akut dari suatu perjalanan
penyakit diabetes mellitus 1,2,3,4. Timbulnya KAD merupakan ancaman kematian bagi
penyandang DM ( FKUI.2005 :164).
Diabetic ketoasidosis (DKA) dikenal sebagai asidosis diabetes dan koma diabetic. Ini terjadi
karena kadar gula darah terlalu tinggi, biasanya > 600 mg/dl, dan kurangnya hormone insulin
sehingga tubuh tidak bisa menggunakan glukosa sebagai energy lalu memobilisasi lemak dalam
simpanan, dan hasil sampingnya berupa keton dalam darah dan urin (Atun.2010:18).
3. Hiperglikemik Non-ketotik (HNK)
HNK ditandai dengan hiperglikemia berat non ketotik atau ketotik dan asidosis ringan.
Pada keadaan lanjut dapat mengalami koma. Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik
merupakan suatu sindrom yang ditandai hiperglikemik berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa
ketoasidosis disertai menurunnya kesadaran (FKUI.2009:168).
B. KOMPLIKASI KRONIS
1. Makrovaskular
Makrovaskular, disebut makropati, adalah penyakit pada pembuluh darah besar dan sedang
yang menyerang: pembuluh darah otak (penyakit stroke), pembuluh darah jantung (penyakit
jantung koroner), tungkai kaki (thrombus/ gangrene) (Atun.2010:20).
Jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita diabetes adalah
penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak (terjadi karena aterosklerosis pembuluh-
pembuluh otak dan hipertensi yang menyebabkan pembuluh menjadi lemah dan akhirnya pecah),
dan penyakit pembuluh darah perifer (terjadi akibat aterosklerosis yang berat, berperan
menyebabkan amputasi dan disfungsi ereksi yang sering dialami oleh pengidap diabetes ksonis)
(Nabyl.2009:54).
a) Penyakit jantung koroner
Penyulit makrovaskular ini bermanifestasi sebagai aterosklerosis dini yang dapat mengenai
organ organ vital (jantung dan otak). Aterosklerosis pada pasien DM ini bersifat multifaktorial,
melibatkan interaksi kompleks dari berbagai keadaan (alwi shahab.2006).
Terdapat kelainan pada pembuluh darah jantung. Terhentinya aliran darah yang menuju
jantung akan menyebabkan serangan jantung akut dan bisa mengakibatkan kematian mendadak
(Nabyl.2009:49).
b) Penyakit pembuluh darah otak (stroke)
Terdapat kelainan pada pembuluh darah otak sehingga aliran darah yang akan menuju otak
terhenti yang dapat menimbulkan kematian sebagian jaringan otak secara mendadak
(Nabyl.2009:49).
Pada penderita diabetes terjadi penghalangan pada arteri , penghalangan ini mengakibatkan
oksigen dan glukosa tidak bisa masuk ke otak dan membuat sel-ssel otak menjadi mati (Tjahjadi,
Vicynthia.2002:66).
c) Penyakit pembuluh darah perifer
Peningkatan kadar gula darah memang bisa merusak pembuluh darah, saraf dan struktur
internal lainnya. Karena terbentuknya zat kompleks yang terdiri dari gula di dalam dinding
pembuluh darah, maka pembuluh darah akan menebal dan mengalami kebocoran. Akibatnya,
aliran darah menjadi berkurang, teerutama yang menuju ke kulit dan saraf (Nabyl.2009:47).
2. Mikrovaskular
Mikrovaskular, disebut mikroangipati adalah penyakit yang terjadi pada pembuluh darah kecil
(Atun.2010:22).
Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes tipe 1. Hiperglikemia yang
persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan dinding
pembuluh darah menjadi semakin lemah dan rapuh serta terjadi penyumbatan pada pembuluh-
pembuluh darah kecil (Saraswati, Sylvia.2009:60).
a) Kaki diabetik
Penderita diabetes mellitus perlu memberi perhatian lebih terhadap kesehatan kaki, karena
diabetes dapat menimbulkan komplikasi yang dikenal dengan istilah kaki diabetik. Terjadinya
kaki diabetik disebabkan oleh beberapa faktor, faktor utama yang berperan timbulnya kaki diabetik
adalah angiopati, neuropati, dan infeksi.
Neuropati merupakan faktor penting terjadinya kaki diabetik. Adanya neuropati perifer akan
menyebabkan terjadinya gangguan sensorik maupun motorik. Gangguan sensorik akan
menyebabkan hilang atau menurunnya sensasi nyeri pada kaki, sehingga akan mengalami trauma
tanpa terasa yang mengakibatkan terjadinya ulkus pada kaki. Gangguan motorik juga akan
mengakibatkan terjadinya atrofi otot kaki, sehingga merubah titik tumpu yang menyebabkan
ulsetrasi pada kaki pasien.
Angiopati akan menyebabkan terganggunya aliran darah ke kaki. Apabila sumbatan darah
terjadi pada pembuluh darah yang lebih besar maka penderita akan merasa sakit tungkainya
sesudah ia berjalan pada jarak tertentu. Manifestasi gangguan pembuluh darah yang lain dapat
berupa: ujung kaki terasa dingin, nyeri kaki dimalam hari, denyut arteri hilang, kaki menjadi pucat
bila dinaikkan. Adanya angiopati tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan asupan nutrisi,
oksigen(zat asam) serta antibiotika sehingga menyebabkan luka sulit sembuh.
Infeksi sering merupakan komplikasi yang menyertai kaki diabetik akibat berkurangnya aliran
darah atau neuropati, sehingga faktor aangiopati dan infeksi berpengaruh terhadap penyembuhan
atau pengobatan kaki diabetik (Nabyl.2009:55-59).
b) Retinopati diabetik
Kerusakan pada retina karena tidak mendapatkan oksigen. Retina adalah jaringan yang sangat
aktif bermetabolisme dan pada hipoksia kronis akan mengalami kerusakan progresif dalam
struktur kapilernya, membentuk mikroaneurisma, dan memperlihatkan bercak-bercak perdarahan.
Terbentuk daerah-daerah infark yang diikuti neovaskularisasi (pembentukan pembuluh baru),
bertunasnya pembuluh-pembuluh lama. Sayangnya pembuluh-pembuluh baru dan tunas-tunas dari
pembuluh lama berdinding tipis dan sering hemoragik, menyebabkan aktivasi sistem inflamasi dan
pembentukan jaringan parut diretina. Edema interstisial terjadi dan tekanan intraokulus meningkat,
yang menyebabkan kolapsnya kapiler dan saraf yang tersisa sehingga terjadi kebutaan
(Corwin,Elizabeth J.2009:636).
c) Nefropati diabetik
Kerusakan pada ginjal, bagian yang paling parah mengalami kerusakan adalah kapiler
glomerulus akibat hipertensi dan glukosa plasma yang tinggi menyebabkan penebalan membran
basal dan pelebaran glomerulus. Lesi-lesi sklerotik nodular, yang disebut nodul kimmelstiel-
Wilson, terbentuk di glomerulus sehingga semakin menghambat aliran darah dan akibatnya
merusak nefron.
Dengan melebarnya glomerulus, pasien dengan DM terutama tipe 1, mulai mengalami
kebocoran protein ke urin. Meskipun jumlah protein yang hilang bersama urin dalam jumlah
sedikit (mikroproteinuria), kerusakan terus berlanjut, dan siklus umpan balik terus terjadi:
kebocoran protein menembus glomerulus selanjutnya akan merusak nefron, akibatnya lebih
banyak protein yang keluar bersama urin. Pada akhirnya, proteinuria yang bermakna terjadi.
Proteinuria dikaitkan dengan dugaan penurunan fungsi ginjal dan angka harapan hidup.
Hilangnya protein plasma kedalam urin juga menyebabkan penurunan tekanan osmotik yang
mengakibatkan penurunan penyerapan cairan dari ruang interstisial. Terjadinya filtrasi netto
plasma ke dalam ruang interstisial menyebabkan edema generalisata, yang disebut anasarka.
Kondisi ini menyebabkan penekanan pada kapiler kecil dan saraf yang semakin memperberat
hipoksia jaringan dan kerusakan saraf di seluruh tubuh, termasuk ginjal. Ginjal mulai mengalami
perburukan yang cepat sehingga terjadi kelebihan beban cairan dan hipertensi. Dengan
memburuknya fungsi ginjal, kemampuan mensekresi ion hidrogen ke dalam urin menurun.
Penurunan pembentukan vit D oleh ginjal menyebabkan penguraian tulang, dan penurunan
pembentukan eritropoeitin sehingga menyebabkan defisiensi sel darah merah dan anemia. Filtrasi
glomerulus menurun drastis dan dapat terjadi gagal ginjal (Corwin,Elizabeth J.2009:637).
d) Neuropati diabetik
Neuropati disebabkan hipoksia kronis sel-sel saraf yang kronis serta efek dari hiperglikemia,
termasuk hiperglikosilasi protein yang melibatkan fungsi saraf. Sel-sel penunjang saraf, terutama
sel schwann, mulai menggunakan metode alternatif untuk mengatasi beban peningkatan glukosa
kronis, yang akhirnya menyebabkan demielinisasi segmental saraf perifer.
Demielinisasi menyebabkan perlambatan hantaran saraf dan berkurangnya sensitivitas.
Hilangnya sensasi suhu dan nyeri meningkatkan kemungkinan pasien mengalami cidera yang
parah dan tidak disadari.
Kerusakan pada saraf otonom perifer dapat menyebabkan hipotensi postural, perubahan fungsi
gasrointestinal, gangguan pengosongan kandung kemih, disertai infeksi saluran kemih, dan pada
pria disfungsi ereksi impotensi (Corwin,Elizabeth J.2009:637,638).
e) Impotensi
Komplikasi tertinggi pada kasus diabetes adalah penurunan kemampuan seksual. Keadaan ini
dapat disebabkan oleh terjadinya gangguan pada pembuluh darah maupun persarafan serta
perubahan pada otot polos penis (Nabyl.2009:70).
Pada pembuluh darah alat kelamin terjadi penyempitan dan dapat mengganggu ereksi pada
laki-laki. Bila ditambah dengan adanya persarafan alat kelamin, rangsangan erotik juga tidak akan
sampai pada alat kelamin, sehingga kemampuan ereksi juga semakin berkurang (Nabyl.2009:49).
HIPERTENSI
Hipertensi jika berkelanjutan dapat meningkatkan risiko stroke, gagal ginjal, dan gagal jantung.
Risiko komplikasi akan meningkat dengan adanya faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh
darah lainnya seperti kadar kolesterol dan kadar gula darah yang tinggi (diabetes). Beberapa
kondisi memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian hipertensi, di antaranya adalah
tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi rendah, kelebihan berat badan, obesitas, gangguan
emosi yang tinggi, kadar kolesterol, dan gula dalam darah.
1. Stroke akibat hipertensi
Stroke merupakan kematian jaringan otak yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan
oksigen ke otak. Tekanan darah yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh
darah di otak. Biasanya kasus ini terjadi secara mendadak dan menyebabkan kerusakan otak
dalam dalam beberapa menit.
2. Gagal jantung akibat hipertensi
Gagal ginjal dapat terjadi akibat tekanan darah yang terlalu tinggi memaksa otot jantung bekerja
lebih berat untuk memompa darah dan meyebabkan pembesaran otot jantung kiri sehingga
jantung mengalami gagal fungsi. Pembesaran otot jantung kiri disebabkan kerja keras jantung
untuk memompa darah.
3. Gagal ginjal akibat hipertensi
Tingginya tekanan darah mengakibat pembuluh darah dalam ginjal tertekan dan mengakibatkan
pembuluh rusak. Hipertensi menghambat proses penyaringan dalam ginjal bekerja dengan baik.
Kondisi ini merusak ginjal dengan menekan pembuluh darah kecil dalam organ tersebut.
Akibatnya fungsi ginjal menurun hingga mengalami gagal ginjal. Gangguan fungsi ginjal akibat
hipertensi bisa berupa penyakit ginjal akut, ginjal kronis dan gagal ginjal dimana ginjal sudah
tidak dapat lagi menjalankan sebagian atau seluruh fungsinya. Hipertensi merupakan salah satu
faktor risiko meningkatnya kematian pada pada pasien hemodialisis.
4. Demensia akibat hipertensi
Demensia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kumpulan gejala atau sindrom
terjadinya penurunan fungsi kognitif yang biasanya bersifat kronis atau progresif. Oleh karena
itu, demensia menjadi salah satu penyebab utama ketergantungan lansia terhadap keluarga atau
pengasuhnya (WHO, 2012). Peningkatan angka kejadian demensia terjadi seiring bertambahnya
usia. Demensia terbagi atas dua jenis yakni: Demensia Alzheimer, yaitu demensia yang
disebabkan oleh proses degeneratif di otak yang progresif. Demensia Vaskular, yakni demensia
yang disebabkan oleh masalah vaskular (pembuluh darah), misalnya stroke. Prevalensi demensia
meningkat dua kali setiap pertambahan usia 5 tahun setelah melewati usia 60 tahun. Faktor risiko
kejadian demensia selain dari segi usia adalah hipertensi (Gorelick, 2014). Hipertensi yang lama
dapat menyebabkan aterosklerosis dan gangguan autoregulasi serebrovaskular, yang pada
gilirannya diduga berkorelasi dengan demensia (Kennelly, 2009). Lansia yang menderita
hipertensi dapat menderita demensia karena hipertensi berperan mempercepat arteriosklerosis
pembuluh darah otak sehingga mengganggu perfusi (penyerapan) dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infark. Infark di daerah hippocampus dan amigdala mengakibatkan
demensia. Hipertensi juga mengakibatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga
terjadi ekstravasasi protein ke dalam parenkim otak. Protein ini akan membentuk plak yang
menyebabkan kematian neuron sehingga terjadi defisit neurotransmiter asetilkolin yang
mengakibatkan demensia. Orang yang menderita hipertensi memiliki kemungkinan 2,7 kali
untuk menderita demensia dibandingkan orang yang tidak menderita tekanan darah tinggi.
Sumber: Disarikan dari makalah 10th Scientific Meeting of Indonesian Society of Hypertension
12-14 Februari 2016 di Jakarta. Sebuah pertemuan ilmiah tahunan yang diselenggarakan oleh
Indonesian Society of Hipertensi (InaSH).
d. Penatalaksanaan
terapi KAD adalah dengan mengatasi dehidrasi, hiperglikemia, dan
ketidakseimbangan elektrolit, serta mengatasi penyakit penyerta yang ada.
Pengawasan ketat, KU jelek masuk HCU/ICU.
Fase I/Gawat :
a. Rehidrasi
1) Berikan cairan isotonik NaCl 0,9% atau RL 2L loading dalam 2 jam pertama,
lalu 80 tpm selama 4 jam, lalu 30-50 tpm selama 18 jam (4-6L/24jam)
2) Atasi syok (cairan 20 ml/kg BB/jam)
3) Bila syok teratasi berikan cairan sesuai tingkat dehidrasi
4) Rehidrasi dilakukan bertahap untuk menghindari herniasi batang otak (24 –
48 jam).
5) Bila Gula darah < 200 mg/dl, ganti infus dengan D5%
6) Koreksi hipokalemia (kecepatan max 0,5mEq/kgBB/jam)
7) Monitor keseimbangan cairan
b. Insulin
1) Bolus insulin kerja cepat (RI) 0,1 iu/kgBB (iv/im/sc)
2) Berikan insulin kerja cepat (RI) 0,1/kgBB dalam cairan isotonic
3) Monitor Gula darah tiap jam pada 4 jam pertama, selanjutnya tiap 4 jam
sekali
4) Pemberian insulin parenteral diubah ke SC bila : AGD < 15 mEq/L
³250mg%, Perbaikan hidrasi, Kadar HCO3
5) Infus K (tidak boleh bolus)
a) Bila K+ < 3mEq/L, beri 75mEq/L
b) Bila K+ 3-3.5mEq/L, beri 50 mEq/L
c) Bila K+ 3.5 -4mEq/L, beri 25mEq/L
d) Masukkan dalam NaCl 500cc/24 jam
c. Infus Bicarbonat : bila pH 7,1, tidak diberikan
d. Antibiotik dosis tinggi
Batas fase I dan fase II sekitar GDR 250 mg/dl atau reduksi.
Fase II/Maintenance:
a. Cairan maintenance
1) Nacl 0.9% atau D5 atau maltose 10% bergantian
2) Sebelum maltose, berikan insulin reguler 4IU
b. Kalium : Perenteral bila K+ 240 mg/dL atau badan terasa tidak enak.
c. Saat sakit, makan sesuai pengaturan makan sebelumnya.
d. Minum yang cukup untuk mencegah dehidrasi.
e. Komplikasi
A. Nefropati Diabetik
Bila penderita mengalami nefropati diabetik, di dalam urinnya sudah terdapat
protein. Dengan menurunnya fungsi ginjal akan disertai naiknya tekanan
darah. Pada kurun waktu yang lama, penderita nefropati diabetik akan
berakhir dengan gagal ginjal (Carpenito dan Juall, 2007).
B. Retinopati Diabetik
Gejalanya adalah penglihatan menjadi kabur dan dapat berakhir dengan
kebutaan (Carpenito dan Juall, 2007)
C. Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik adalah akibat kerusakan pada saraf. penderita terkadang
tidak bisa merasa anggota tubuhnya dengan baik. Dengan demikian luka kecil
bisa cepat menjadi besar dan tidak jarang harus berakhir dengan amputasi
(Carpenito dan Juall, 2007)
D. Kelainan Jantung
Terganggunya kadar lemak darah adalah salah satu faktor timbulnya
aterosklerosis pada pembuluh darah jantung. Selain itu, terganggunya sistem
saraf otonom yang tidak berfungsi, sewaktu istirahat dapat menyebabkan
jantung berdebar cepat. Selain itu dapat dirasakan pula sesak dan cepat lelah
(Carpenito dan Juall, 2007).
f. Prognosis
Prognosis dari ketoasidosis diabetik biasanya buruk, tetapi sebenarnya kematian
pada pasien ini bukan disebabkan oleh sindom hiperosmolarnya sendiri tetapi oleh
penyakit yang mendasar atau menyertainya. Angka kematian masih berkisar 30-50%. Di
negara maju dapat dikatakan penyebab utama kematian adalah infeksi, usia lanjut dan
osmolaritas darah yang sangat tinggi. Di negara maju angka kematian dapat ditekan
menjadi sekitar 12%.
Ketoasidosis diabetik sebesar 14% dari seluruh rumah sakit penerimaan pasien dengan
diabetes dan 16% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan diabetes. Angka kematian
keseluruhan adalah 2% atau kurang saat ini. Pada anak-anak muda dari 10 tahun,
ketoasidosis diabetikum menyebabkan 70% kematian terkait diabetes (Carpenito and
Lynda Juall, 2000).
2. Krisis Hipertensi
Krisis hipertensi adalah keadaan dimana tekanan darah diastolik sangat meningkat
sampai 120-130 mmHg, kedaan ini merupakan suatu kedaruratan medik dan memerlukan
pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita (Gifford, 1991).
a. klasifikasi
Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan perioritas
pengobatan, sebagai berikut :
1. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai
kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau lebih penyakit/kondisi
akut (tabel I). Keterlambatan pengobatan akanmenyebebabkan timbulnya sequele atau
kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam.
Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau (ICU).
2. Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa
kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24 jam
sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral. (tabel II).
Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :
1. Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD > 200/110 mmHg,
walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan
kepatuhan pasien.
2. Hipetensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai dengan kelainan
funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.
3. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik > 120 – 130
mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema, peniggian tekanan
intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila
penderita tidak mendapat pengobatan. Hipertensi maligna, biasanya pada penderita
dengan riwayat hipertensi essensial ataupun sekunder dan jarang terjadi pada penderita
yang sebelumnya mempunyai TD normal.
4. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit
kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversible bila
TD diturunkan.
b. penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pada keadaan darurat hipertensi ialah menurunkan tekanan
darah secepat dan seaman mungkin yang disesuaikan dengan keadaan klinis penderita.
Pengobatan biasanya diberikan secara parenteral dan memerlukan pemantauan yang ketat
terhadap penurunan tekanan darah untuk menghindari keadaan yang merugikan atau
munculnya masalah baru. Obat yang ideal untuk keadaan ini adalah obat yang mempunyai
sifat bekerja cepat, mempunyai jangka waktu kerja yang pendek, menurunkan tekanan
darah dengan cara yang dapat diperhitungkan sebelumnya, mempunyai efek yang tidak
tergantung kepada sikap tubuh dan efek samping minimal.
1. Diazoxide
Adalah derivat benzotiadiazin, obat ini menurunkan tekanan darah secara kuat dan
cepat dengan mempengaruhi secara langsung pada otot polos arterial, sehingga terjadi
penurunan tekanan perifer tanpa mengurangi curah jantung atau aliran darah ke ginjal.
Tetapi menurut beberapa penulis, diazoxide juga menaikkan isi sekuncup, isi semenit
dan denyut jantung permenit, sehingga tidak dianjurkan pada krisis hipertensi yang
disertai aorta diseksi atau kelainan coroner. Efek samping dari diazoxide adalah :
hipoglikemi, hiperurikemi dan dapat menembus plasenta sehingga mempengaruhi
metabolisme janin sehingga tidak direkomendasikan untuk krisis hipertensi pada
kasus eklamsia.
Diazoxide diberikan dengan intravena 75-300 mg selama 10-30 detik, penurunan
tekanan darah akan tampak dalam waktu 1-2 menit, pengaruh puncak dicapai antara
2-3 menit, dan bertahan 4-12 jam. Untuk penderita dengan perdaraham otak,
dianjurkan pemberian intra vena sebesar 500-1.000 mg. Pemberian dapat diulang
setiap 10-15 menit sampai didapat tekanan diastolik 100-105 mmHg.
2. Sodium Nitropusid
Sodium nitropusid merupakan vasodilator pada arteri dan vena. Obat ini dapat
menurunkan isi sekuncup dan isi semenit jantung. Untuk menghindari hipotensi,
pengawasan ketat harus dilakukan pada pemberian obat ini. Dosis : 0,3-0,6
ug/kgBB/menit, dinaikkan pelan-pelan sampai tercapai penurunan tekanan darah yang
cukup. Penurunan tekanan darah terjadi dalam beberapa detik dan puncak tercapai
dalam 1-2 menit, hanya berlangsung 3-5 menit. Efek samping : takikardi dan sakit
kepala.
3. Trimetapan (Artonad)
Merupakan penghambat ganglion, bekerja dengan cara menurunkan isi sekuncup
jantung dan isi semenit jantung. Obat ini baik digunakan pada kasus krisis hipertensi
dengan payah jantung atau diseksi aorta anerisma. Dosis : 500 mg/500 cc Dextrosa
5% dengan kecepatan 0,25 mg%/menit, kemudian dinaikkan perlahan sampai dicapai
penurunan tekanan yang dikehendaki, yaitu tekanan diastolik 110 mmHg dalam waktu
1 jam. Jangka waktu kerja 5-15 menit. Infus diberikan dengan posisi duduk, untuk
menghindari efek hipotensi yang berlebihan.
4. Hidralazin (Apresolin)
Obat ini bekerja langsung pada otot polos arterial dan menimbulkan vasodilatasi
perifer, tanpa menurunkan aliran darah ke ginjal. Tetapi hidralazin menaikkan denyut
jantung permenit, isi sekuncup dan isi semenit jantung. Hidralazin direkomendasikan
untuk diberikan pada toksemia gravidarum dan krisis hipertensi dengan ensefalopati
Dosis : 5-20 mg diberikan intramuskular setiap 2-4 jam, atau ecara intra vena (1 ampul
dari 20 mg/ml dilarutkan dalam 300 cc NaCl 0,9%) dengan kecepatan 10-60
tetes/menit. Penurunan tekanan darah terjadi dalam 10-20 menit, berlangsung sampai
1 jam. Apabila selama 30 menit tidak berhasil, dapat diulang tiap 3-6 jam.
5. Klonidin (Catapres)
Merupakan derivat imidazolin, yang merangsang reseptor alfa adrenergik pada
batang otak, mengakibatkan penurunan discharge symphatis, sehingga menurunkan
tekanan vaskular sistemik, juga menekan pengeluaran renin oleh ginjal. Klonidin
diberikan intravena 1 ampul (150 ug) diencerkan dalam 10 ml NaCl 0,9% dalam waktu
10 menit. Efek penurunan tekanan terjadi dalam waktu 5-10 menit. Pemberian
intramuskular, 1-2 ampul dan dulang dalam 3-4 jam, terjadi penurunan tekanan dalam
waktu 10-15 menit. Pemberian IM dinilai lebih aman dan terkontrol, tetapi kurang
dalam kekuatan dan kecepatan dibanding dengan Diazoxide, Sodium Nitroprusid dan
Trimetapan. Efek samping yang muncul biasanya adalah mulut kering dan kantuk
yang hebat. Obat ini direkomendasikan dipakai untuk krisis hipertensi dengan
eklamsia dan aorta anerisma.
6. Kaptopril (Kapoten)
Obat ini cukup memberikan harapan karena menaikkan kecepatan filtrasi glomeruli
dengan menhambat pembentukan vaso konstriktor yang sangat kuat (angiotensin II)
dan juga menghambat perusakan vasodilator yang kuat (bradikinin). Dosis awal 12,5
mg, dinaikkan pelan-pelan sampai dosis optimal. Diuretik dapat memberikan efek
potensiasi.
7. Pentolamin dan Penoxi Benzamin
Kedua obat merupakan penghambat alfa adrenergik, diberikan terutama untuk
feokromositoma atau karena hambatan MAO (mono amino oksidase). Dosis : 5-15 mg
IV, akan menurunkan tekanan darah dalam 10-15 menit.
8. Antagonis Kalsium (Nifedipin)
Antagonis kalsium (Nifedipin, Diltiazem dan Verapamil) bekerja dengan
menghambat pemasukan ion kalsium ke dalam sel dan merupakan vaso dilatator kuat
yang mempunyai daya aksi jangka panjang. Nifedipin mempunyai harapan dalam
pengobatan darurat dengan cara menurunkan tahanan perifer dengan melemaskan otot
polos pembuluh darah, tidak menimbulkan depresi pada miokard dan tidak
mempunyai sifat antiaritmia. Dosis : 1-2 tablet (10-20mg) dosis tunggal. Pemberian
sublingual dapat memberikan efek yang lebih cepat, yaitu beraksi dalam 3 menit
setelah pemberian. Apabila penderita tidak sadar dapat diberikan lewat pipa lambung
(Sya’bani dan Sucitro, 1982)
Doengoes and Marilyn (1989). Nursing Care Plans Second Edition. Philadelphia:
FA Davis.
Fauci AS, Kasper AL, Longo D L, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, and
Loscalzo JL (2008). Diabetes Mellitus. In: Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th
Edition. USA: The McGraw-Hill Co.
Gklinis (2004). Menu Sehat Untuk Pengidap Diabetes Mellitus .Dalam :
Republika Online.
Carpenito M, Lynda J. 2007. Buku saku diagnosis keperawatan edisi 10. EGC : Jakarta
Casqueiro J, Casqueiro Ja, Alves C. 2012. Infections in patients with diabetes mellitus: A review
of pathogenesis. Indian Journal of Endocrinology and Metabolism; 16,7, Pg. 27-26.
Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ . Acute hyperglycemic crisis in elderly. Med
Cli N Am 88: 1063-1084, 2004.
Gifford R.W, 1991 : Mamagement of Hypertensivi Crisis, JAMA SEA,266; 39-45
Isselbacher, Braunwald. 1995. Harison edisi ke 13 vol 5. EGC: Jakarta
Katzung BG. (2010). Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC.
Masharani U. Diabetic ketoacidosis. In: McPhee SJ, Papadakis MA, editors. Lange
current medical diagnosis and treatment. 49th ed. New York: Lange;
2010.p.1111-5.
Nafrialdi ; Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
Price, Sylvia A. dan Lorraine M.Wilson. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Roema, Jose. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Krisis Hipertensi. Jakarta: Interna
Publishing.
Soewondo, Pradana. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Ketoasidosis Diabetik. Jakarta:
Interna Publishing.
Sya’bani, Sucitro. 1982. Tatalakasana Penanganan Krisis Hipertensi, Naskah Simposium
Hipertensi.
Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabachi AE. Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic
hyperosmolar syndrome. Diabetes Spectrum 2002;15(1):28-35.