Jump 7

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 33

1. apa saja penyebab gangguan kesadaran?

Pemantauan status kesadaran menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale). Skala


tersebut menggambarkan fungsi neurologis seseorang. GCS mengambarkan kerusakan di
sistem saraf pusat, bukan saraf perifer.
Penyebab gangguan di SSP yang non traumatologi adalah sebagai berikut:
a. Pecahnya pembuluh darah di otak karena hipertensi atau thrombus,
sehingga terjadi peningkatan TIK.
b. Saturasi O2 yang menurun. Hal ini dapat diakibatkan oleh
obstruksi jalan nafas, keracunan inhalasi CO sehingga menyebabkan otak
kekurangan O2, kemudian penurunan fungsi otak dan akhirnya tidak sadar.
c. Kelainan keseimbangan asam basa. Peningkatan maupun
penurunan pH mengganggu metabolisme dari tubuh. Hal ini dapat menyebabkan
keadaan sebagai berikut.
1) Asidosis respiratorik,
Asidosis Respiratorik adalah keasaman darah yang berlebihan karena
penumpukan karbondioksida dalam darah sebagai akibat dari fungsi paru-paru
yang buruk atau pernafasan yang lambat. Keadaan ini timbul akibat
ketidakmampuan paru untuk mengeluarkan CO2 hasil metabolisme (keadaan
hipoventilasi). Hal ini menyebabkan peningkatan H2CO3 dan konsentrasi ion
hidrogen sehingga menghasilkan asidosis.
Gejala yang ditimbulkan biasanya adalah meningkatnya nadi dan tingkat
pernapasan, pernapasan dangkal, dyspnea, pusing, convulsi, letargi, kelemahan dan
sakit kepala.
2) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik adalah keasaman darah yang berlebihan,yang ditandai
dengan rendahnya kadar bikarbonat dalam darah. Asidosis metabolik dapat
disebabkan oleh beberapa penyebab umum seperti :
a) Kegagalan ginjal untuk mengekresikan asam metabolik yang normalnya
dibentuk di tubuh.
b) Pembentukan asam metabolik yang berlebihan dalam tubuh.
c) Penambahan asam metabolik kedalam tubuh melalui makanan
d) Kehilangan basa dari cairan tubuh (faal)
Gejala yang dialami pada keadaan ini adalah napas berbau, napas kussmaul
(dalam dan cepat), letargi, sakit kepala, kelemahan dan disorientasi.
Pada penderita diabetes melitus, penderita mengalami kegagalan sekresi
insulin oleh pankreas yang menghambat penggunaan glukosa dalam metabolisme.
Oleh karena itu, terjadi pemecahan lemak menjadi asam asetoasetat dan asam ini di
metabolisme oleh jaringan untuk menghasilkan energi, menggantikan glukosa.
Pada DM yang berat kadar asetoasetat dalam darah meningkat sangat tinggi
sehingga menyebabkan asidosis metabolik yang berat.
3) Alkalosis respiratorik
Alkalosis Respiratorik adalah suatu keadaan dimana darah menjadi basa
karena pernafasan yang cepat dan dalam, sehingga menyebabkan kadar
karbondioksida dalam darah menjadi rendah. Penyebabnya adalah pernafasan yang
cepat dan dalam disebut hiperventilasi, yang menyebabkan terlalu banyaknya
jumlah karbondioksida yang dikeluarkan dari aliran darah.
Penyebab hiperventilasi yang paling sering ditemukan adalah kecemasan.
4) Alkalosis metabolik
Alkalosis Metabolik adalah suatu keadaan dimana darah dalam keadaan
basa karena tingginya kadar bikarbonat. Alkalosis metabolik terjadi jika tubuh
kehilangan terlalu banyak asam. Sebagai contoh adalah kehilangan sejumlah asam
lambung selama periode muntah yang berkepanjangan atau bila asam lambung
disedot dengan selang lambung (seperti yang kadang-kadang dilakukan di rumah
sakit, terutama setelah pembedahan perut).
Pada kasus yang jarang, alkalosis metabolik terjadi pada seseorang yang
mengkonsumsi terlalu banyak basa dari bahan-bahan seperti soda bikarbonat.
Selain itu, alkalosis metabolik dapat terjadi bila kehilangan natrium atau kalium
dalam jumlah yang banyak mempengaruhi kemampuan ginjal dalam
mengendalikan keseimbangan asam basa darah.
Penyebab utama akalosis metabolik:
a) Penggunaan diuretik (tiazid, furosemid, asam etakrinat)
b) Kehilangan asam karena muntah atau pengosongan
lambung
c) Kelenjar adrenal yang terlalu aktif (sindroma Cushing atau
akibat penggunaan kortikosteroid).
Keempat keadaan di atas dapat membuat pasien menjadi tidak sadar.
d. Sepsis
(Sustrani L et al., 2004).

2. mengapa pasien tidak sadar ketika dibangunkan di pagi


hari?
Koma Diabetik adalah suatu kondisi medis dimana penderita diabetes kehilangan kesadarannya
sebagai akibat dari ketidakseimbangan dalam Kadar Gula Darah.seorang pasien yang menderita
gula darah sangat rendah (hipoglikemia berat) atau sangat tinggi (Hiperglikemia yang parah)
dapat masuk kekondisi koma.Koma juga bisa disebabkan kelelahan fisik dan mengalami
dehidrasi bersama dengan hiperglikemia yang parah. Dalam semua kasus,pasien kehilangan
kesadaran (koma) adalah efek hiperglikemia/hipoglikemia pada sel-sel otak.Glukosa adalah salah
satu elemen yang paling penting bagi tubuh manusia yang membantu dalam menjaga
metabolisme dalam kondisi yang tepat.Jika glukosa dalam darah turun melampaui normal
(hipoglikemia) atau lebih tinggi dari tingkat glukosa maksimum yang bisa ditoleransi tubuh kita
(hiperglikemia),maka hal ini akan menghalangi metabolisme normal tubuh dan sel otak mulai
rusak.

Koma Diabetik ini menyebabkan perbedaan dalam tekanan osmotik pada sel yang menyebabkan
kondisi dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit lain.Kondisi ini dapat dipulihkan jika pasien
diobati sebelum terlambat. Pasien dengan gula darah tinggi dapat mengalami kondisi
muntah,dehidrasi sering/atau buang air kecil,mual,mulut alami peningkatan rasa haus.Pasien
dengan gula darah rendah mungkin mengalami kelelahan fisik,peningkatan
kelaparan,peningkatan berkeringat,menggigil tiba-tiba.Kemungkinan pasien juga mengalami
nyeri didaerah perut.

3. bagaimana hubungan penyakit diabetes mellitus dan


hipertensi?
Hubungan antara hipertensi dengan diabetes mellitus sangat kuat karena
beberapa kriteria yang sering ada pada pasien hipertensi yaitu peningkatan tekanan
darah, obesitas, dislipidemia dan peningkatan glukosa darah (Saseen and Carter,
2005). Hipertensi adalah suatu faktor resiko yang utama untuk penyakit
kardiovaskular dan komplikasi mikrovaskular seperti nefropati dan retinopati
Prevalensi populasi hipertensi pada diabetes adalah 1,5-3 kali lebih
tinggi daripada kelompok pada non diabetes. Diagnosis dan terapi hipertensi sangat
penting untuk mencegah penyakit kardiovaskular pada individu dengan diabetes
Pada diabetes tipe 1, adanya hipertensi sering diindikasikan adanya
diabetes nefropati. Pada kelompok ini, penurunan tekanan darah dan angiotensin
converting enzym menghambat kemunduran pada fungsi ginjal (Thomas, 2003). Pada
diabetes tipe 2, hipertensi disajikan sebagai sindrom metabolit (yaitu obesitas,
hiperglikemia, dyslipidemia) yang disertai oleh tingginya angka penyakit
kardiovaskular.

a. Patofisiologi
Pada orang dengan diabetes mellitus, hipertensi berhubungan dengan
resistensi insulin dan abnormalitas pada sistem renin-angiotensin dan konsekuensi
metabolik yang meningkatkan morbiditas. Abnormalitas metabolik berhubungan
dengan peningkatan diabetes mellitus pada kelainan fungsi tubuh/ disfungsi
endotelial. Sel endotelial mensintesis beberapa substansi bioaktif kuat yang mengatur
struktur fungsi pembuluh darah. Substansi ini termasuk nitrit oksida, spesies reaktif
lain, prostaglandin, endothelin, dan angiotensin II.

Pada individu tanpa diabetes, nitrit oksida membantu menghambat


atherogenesis dan melindungi pembuluh darah. Namun bioavailabilitas pada
endothelium yang diperoleh dari nitrit oksida diturunkan pada individu dengan
diabetes mellitus.

Hiperglikemia menghambat produksi endothelium, mesintesis aktivasi dan


meningkatkan produksi superoksid anion yaitu sebuah spesies oksigen reaktif yang
merusak formasi nitrit oksida. Produksi nitrit oksida dihambat lebih lanjut oleh
resistensi insulin, yang menyebabkan pelepasan asam lemak berlebih dari jaringan
adipose. Asam lemak bebas, aktivasi protein kinase C, menghambat
phosphatidylinositol-3 dan meningkatkan produksi spesies oksigen reaktif.
Semua mekanisme ini secara langsung mengurangi bioavailabilitas (Rodbard,
2007)

b. Sasaran
1). Pasien dengan diabetes perlu diperlakukan pada tekanan darah sistolik <130
mmHg.
2). Pasien dengan diabetes perlu diperlakukan pada tekanan darah diastolik <80
mmHg

c. Terapi hipertensi dengan diabetes mellitus


1). Terapi non-farmakologis
Pengobatan non farmakologis berupa pengurangan asupan garam, penurunan
berat badan bagi pasien gemuk dan olahraga (Bakri, 2003)
2). Terapi farmakologis
Menurut JNC VII, pengobatan dengan diuretik, ACE inhibitor, beta blocker,
angiotensin reseptor bloker, dan calcium antagonist mempunyai manfaat pada terapi
hipertensi pada diabetes tipe 1 dan tipe 2 (Chobanian et al., 2004). Obat
antihipertensi yang ideal untuk penyandang diabetes mellitus sebaiknya memenuhi
syarat-syarat:
a). Efektif menurunkan tekanan darah
b). Tidak menganggu toleransi glukosa atau menganggu respons terhadap
hipohiperglikemia
c). Tidak mempengaruhi fraksi lipid
d). Tidak menyebabkan hipotensi postural, tidak mengurangi aliran darah tungkai,
tidak meningkatkan risiko impotensi
e). Bersifat kardio-protektif dan reno-protektif (Bakri, 2003)

4. apakah terdapat hubungan riwayat pengobatan dengan


kondisi pasien saat ini?
1. Glibenklamid
Glibenklamid merupakan antidiabetik golongan kedua sulfonilurea.Obat golongan
ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas.Glibenklamid memiliki durasi aksi yang panjang dan cukup diberikan sekali
sehari (Soegondo S, 2004).
a. Farmakodinamik :
Memiliki efek hipoglikemik yang poten (200 kali lebih kuat daripada Tolbutamida)
sehingga pasien perlu diingatkan untuk melakukan jadwal makan yang
ketat.Glibenklamid efektif dengan pemberian dosis tunggal.
b. Farmakokinetik :
Absorpsi OHO sulfonilurea melalui usus baik sehingga dapat diberikan per
oral.Setelah diabsorbsi, obat ini tersebar ke seluruh cairan ekstra sel. Dalam plasma
sebagian besar pada protein plasma terutama albumin (70-99%).pada protein plasma
terutama albumin (70-99%).Studi menggunakan glibenklamid yang dilabel radioaktif
menunjukkan bahwa, glibenklamid diserap sangat baik (84 ± 9%).libenklamid diserap
sangat baik (84 ± 9%).Mula kerja (onset) glibenklamid: kadar insulin serum mulai
meningkat 15-60 menit setelah pemberian dosis tunggal. Kadar puncak dalam darah
tercapai setelah 2-4 jam. Setelah itu kadar mulai menurun, 24 jam setelah pemberian
kadardalam plasma hanya tinggal sekitar 5%.Metabolisme glibenklamid sebagian besar
berlangsung dengan jalan hidroksilasi gugus sikloheksil pada glibenklamid,
menghasilkan satu metabolit dengan aktivitas sedang dan beberapa metabolit
inaktif.Metabolit utama (M1) merupakan hasil hidroksilasi pada posisi 4-trans, metabolit
kedua (M2) merupakan hasil hidroksilasi 3-cis, sedangkan metabolit lainnya belum
teridentifikasi.Semua metabolit tidak ada yang diakumulasi.Hanya 25-50 % metabolit
diekskresi melalui ginjal, sebagian besar diekskresi melalui empedu dan dikeluarkan
bersama tinja.Waktu paruh eliminasi sekitar 15-16 jam, dapat bertambah panjang apabila
terdapat kerusakan hati atau ginjal.Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih keluar
dari serum setelah 36 jam.Glibenklamid tidak diakumulasi di dalam tubuh, walaupun
dalam pemberian berulang (Soegondo S, 2004).
c. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap glibenklamid atau senyawa OHO golongan sulfonilurea
lainnya.Porfiria.Ketoasidosis diabetik dengan atau tanpa koma.Penggunaan OHO
golongan sulfonilurea pada penderita gangguan fungsi hati dan ginjal merupakan
kontraindikasi, namun glibenklamid dalam batas-batas tertentu masih dapat diberikan
pada beberapa pasien dengan kelainan fungsi hati dan ginjal ringan.Diperkirakan
mempunyai efek terhadap agregasi trombosit.
c. Efek Samping
Efek samping OHO golongan sulfonilurea umumnya ringan dan frekuensinya
rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf pusat. Gangguan
saluran cerna berupa mual, diare, sakit perut, dan hipersekresi asam lambung.Gangguan
susunan syaraf pusat berupa sakit kepala, vertigo, bingung, ataksia dan lain
sebagainya.Gejala hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia, agranulositosis
dan anemia aplastik dapat terjadi walau jarang sekali.Hipoglikemia dapat terjadi apabila
dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal atau
pada lansia.Hipoglikemia sering diakibatkan oleh obat-obat antidiabetik oral dengan
masa kerja panjang.Golongan sulfonilurea cenderung meningkatkan berat badan
(Soegondo S, 2004).

2. metformin
Metformin merupakan obat antidiabetik oral yang berbeda dari golongan sulfonilurea baik secara
kimiawi maupun dalam cara bekerjanya. Obat ini merupakan suatu biguanida yang tersubsitusi
rangkap yaitu Metformin (dimethylbiguanide) Hydrochloride.
a. Mekanisme kerja
Metformin merupakan zat antihiperglikemik oral golongan biguanid. Mekanisme kerja
Metformin menurunkan kadar gula darah dan tidak meningkatkan sekresi insulin. Metformin
tidak mengalami metabolisme di hati, diekskresikan dalam bentuk yang tidak berubah terutama
dalam air kemih dan sejumlah kecil dalam tinja.
b. Indikasi

 Untuk terapi pada pasien diabetes yang tidak tergantung insulin dan kelebihan berat
badan dimana kadar gula tidak bisa dikontrol dengan diet saja.
 Dapat dipakai sebagai obat tunggal atau dapat diberikan sebagai obat kombinasi dengan
Sulfonilurea.
 Untuk terapi tambahan pada penderita diabetes dengan ketergantungan terhadap insulin
yang simptomnya sulit dikontrol.

c. Kontra Indikasi

 Koma diabetik dan ketoasidosis.


 Gangguan fungsi ginjal yang serius, karena semua obat-obatan terutama dieksresi melalui
ginjal.
 Penyakit hati kronis, kegagalan jantung, miokardial infark, alkoholisme, keadaan
penyakit kronik atau akut yang berkaitan dengan hipoksia jaringan. Keadaan yang
berhubungan dengan laktat asidosis seperti syok, insufisiensi pulmonal, riwayat laktat
asidosis, dan keadaan yang ditandai dengan hipoksemia.
 Hipersensitif tehadap obat ini.
 Kehamilan dan menyusui.

c. Efek Samping
 Metformin dapat diterima baik oleh pasien dengan hanya sedikit gangguan
gastrointestinal yang biasanya bersifat sementara. Hal ini umumnya dapat dihindari
apabila metformin diberikan bersama makanan atau dengan mengurangi dosis secara
temporer. Biasanya efek samping telah lenyap pada saat diabetes dapat dikontrol.
 Bila tampak gejala-gejala intoleransi, penggunaan Metformin tidak perlu langsung
dihentikan, biasanya efek samping demikian tersebut akan hilang pada penggunaan
selanjutnya.
 Anoreksia, mual, muntah, diare.
 Berkurangnya absorbsi vitamin B12.

d. Interaksi Obat

 Kemungkinan terjadi interaksi antara Metformin dan antikoagulan tertentu. Dalam hal ini
mungkin diperlukan penyesuaian dosisi antikoagulan.
 Terjadi penurunan kliren ginjal Metformin pada penggunaan bersama dengan simetidin,
maka dosis harus dikurangi.

3. candesartan

Candesartan adalah golongan obat penghambat reseptor angiotensin untuk mengobati penyakit
hipertensi atau tekanan darah tinggi. Dengan turunnya tekanan darah, maka masalah-masalah kesehatan
lain yang terkait dapat dicegah, seperti serangan jantung, stroke, dan kerusakan pembuluh darah. Selain
mengobati hipertensi, candesartan juga dapat digunakan untuk menangani gagal jantung.
Kemungkinan kondisi pasien yang tidak sadar disebabkan oleh hipoglikemia berat yang terjadi akibat
efek samping dari konsumsi obat glibenklamid secara terus-menerus.
Disebut sebagai penghambat reseptor angiotensin karena obat ini mampu menghambat penyempitan
pembuluh darah akibat efek dari suatu zat di dalam tubuh yang disebut angiotensin II. Dengan
melebarnya pembuluh darah, darah bisa mengalir lebih mudah sehingga tekanan darah tubuh pun
menurun.
(a). Mekanisme
Dengan mencegah efek angiotensin II, senyawa antagonis reseptor
angiotensin II ( losartan, kandesartan, irbesartan, valsatran dan erprosartan)
merelaksasi otot polos sehingga mendorong vasodilatasi, meningkatkan ekskresi
garam dan air di ginjal, menurunkan volume plasma, dan mengurangi hipertropi sel
(Oates et al., 2008)
(b). Manfaat
Angiotensin reseptor bloker memproduksi perbaikan lebih besar
dibandingkan dengan beta bloker pada 1,195 pasien dengan diabetes, termasuk
menurunkan 37% mortalitas pada kejadian kardiovaskular. ACE inhibitor dan
angiotensin reseptor bloker mempunyai efek yang baik pada fungsi renal dan
memperbaiki sensitivitas insulin, oleh karena itu ACE Inhibitor dan angiotensin
reseptor bloker adalah pilihan utama dan ideal pada terapi pasien dengan diabetes
dengan hipertensi (Torre et al., 2006)
(c) efek samping

Efek samping candesartan yang ringan dan cukup umum terjadi adalah:
 Pilek atau hidung tersumbat, sakit tenggorokan, batuk
 Sakit punggung
 Nyeri sendi
 Sakit perut, diare
 Sakit kepala, pusing
 Kelelahan

Pada kasus yang jarang terjadi, Candesartan dapat menyebabkan kondisi yang mengakibatkan
kerusakan jaringan otot dan gagal ginjal. Hubungi dokter Anda segera apabila Anda mengalami
nyeri otot, sakit bila disentuh, atau keletihan khususnya apabila ada demam, kelelahan yang tidak
biasa, dan warna urin yang gelap.

4. amlodipine

Amlodipin adalah obat tekanan darah tinggi (hipertensi). Obat ini adalah obat hipertensi yang
paling sering diresepkan di Indonesia setelah captopril. Terdapat banyak golongan obat
antihipertensi. Amlodipin termasuk ke dalam golongan obat penghambat kanal kalsium.
a. indikasi
Selain untuk hipertensi, amlodipin juga diindikasikan untuk penyakit berikut:

1. Penyakit jantung koroner, dan


2. Nyeri dada (angina)

b. kontraindikasi
Amlodipin relatif aman dan tidak ada kontraindikasi khusus. Satu-satunya kondisi yang tidak
boleh obat ini diberikan ialah alergi (hipersensitivitas) terhadap amlodipin.

c. Mekanisme
Antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel otot polos
pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium terutama
menimbulkan relaksasi arteriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi. Penurunan
resistensi perifer ini sering diikuti oleh reflek takikardia dan vasokonstriksi, terutama
bila menggunakan golongan dihidropiridin kerja pendek (nifedipin). Sedangkan
diltiazem dan verapamil tidak menimbulkan takikardi karena efek kronotropik
negatif langsung pada jantung (Nafrialdi et al., 2007)
d. Manfaat
Calsium channel bloker digunakan pada diabetes, sebagai bagian kombinasi
terapi untuk mengontrol tekanan darah. Calcium channel bloker menurunkan
kejadian penyakit kardiovaskular pada diabetes dibandingkan plasebo pada beberapa
hasil percobaan klinik (Chobanian et al., 2004)

e. efek samping

Secara umum amlodipin tidak meninmbulkan efek samping yang berbahaya. Beberapa efek
samping yang pernah dilaporkan ialah:
1. Bengkak (1,8-10,8%):
Bengkak terutama ditemukan di sisi kiri-kanan tulang kering kaki. Bengkak adalah efek samping
tersering yang timbul. Sering kali bengkak pada kaki dikuatirkan pasien sebagai tanda gagal
jantung, namun sebenarnnya merupakan efek samping dari amlodipin;
2. Sakit kepala (7,3%);
3. Lemas (4,5%);
4. Pusing berputar (1,1-3,4%);
5. Mual (2,9%);
6. Nyeri perut (1,6%);
7. Mengantuk (1,4%).

Kemungkinan kondisi pasien yang tidak sadar disebabkan oleh hipoglikemia berat yang terjadi akibat
efek samping dari konsumsi obat glibenklamid secara terus-menerus. Beberapa hari terakhir pasien juga
mengalami penurunan nafsu makan bisa diakibatkan karena efek samping obat yang dikonsumsi seperti
glibenklamid dan metformin pada saluran cerna antara lain mual, muntah, diare, sakit perut. Sehingga
nafsu makan pasien menurun.

5. bagaimana interaksi antar obat pada skenario?


- berdasarkan journal of pharmacy mengenai kajian interaksi obat penderita DM, pada tabel hasil
menunjukkan bahwa amlodipin dpt meningkatkan absorpsi metformin. Selain itu dosis
pemberian metformin juga 3x sehari. artinya yg diabsorpsi oleh tubuh menjadi lebih banyak,
padahal metformin merupakan terapi DM yg bekerja menurunkan kadar glukosa. Hal ini
dimungkinkan menjadi penyebab pasien mengalami hipoglikemia, di samping menurunnya nafsu
makan (intake makanan).
- glibenklamid :
adalah antidiabetik poten generasi kedua dari golongan sulfonilurea yang memiliki efek
predominan yaitu mempengaruhi pada sekresi insulin. mekanisme kerja glibenklamid adalah
membentuk ikatan dari molekul obat dengan reseptor pada sel beta. ikatan yang terbentuk dapat
merangsang keluarnya hormon insulin dari granul-granul sel beta pulau Langerhans pada
pankreas. Oleh karena itu, syarat pemakaian glibenklamid pada penderita DM adalah jika
pankreas penderita DM masih dapat memproduksi insulin (Katzung, 2010).
6. bagaimana interpretasi vital sign dan pemeriksaan fisik?

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan pasien mengalami penurunan kesadaran, dengan GCS E1V2M3
menurut tabel dibawah ini didapatkan hasil nilai respon tidak membuka mata, mengeluarkan suara yang
tidak jelas, dan reaksi fleksi. Tekanan darah pasien didapatkan 210/100 mmHg dapat diinterpretasikan
kedalam hipertensi stage 2. Suhu tubuh 36,7oC masih dalam tergolong normal (N: 36,5 oC – 37,5 oC).
Hitung frekuensi pernafasan selama 1 menit dengan inspeksi, palpasi, atau dengan menggunakan
stetoskop. Normalnya frekuensi nafas orang dewasa sekitar 14 – 20 kali per menit dengan pola nafas
yang teratur dan tenang. Laju pernafasan pasien 18x/ menit masih tergolong normal. Jumlah frekuensi
nadi per menit normal pada dewasa 60 – 100 kali/menit. Takikardia bila frekuensi nadi >100 kali/menit
seperti yang didapatkan pada pasien ini dan bradikardia bila <60kali/menit. Keringat dingin disebabkan
karena turunnya kadar glukosa darah atau naiknya konsentrasi insulin dalam darah. Penderita diabetes
yang mengalami komplikasi hipoglikemia juga bisa mengeluarkan keringat dingin pada malam atau siang
hari. Hal ini disebabkan karena tubuh tidak menerima asupan nutrisi yang cukup sehingga kadar gula
dalam darah menjadi sangat sangat rendah. Reflek patologis negative, berarti tidak didapatkan kelainan
neurologis pada pasien. Terdapat trias Whipple yaitu (1) gejala sesuai dengan hipoglikemia, (2) kadar
glukosa darah rendah, dan (3) gejala menghilang jika kadar glukosa darah meningkat.

7. bagaimana mekanisme kegawadaruratan pada pasien


diabetes mellitus dan hipertensi?
A. DIABETES MELITUS
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang terjadi ketika
pankreas tidak dapat lagi memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau dapat
juga disebabkan oleh berkurangnya kemampuan tubuh untuk meresponkerja insulin
secara efektif. Insulin adalah hormon yang berfungsi untukmeregulasi kadar gula darah.
Peningkatan kadar gula dalam darah atau hiperglikemia merupakan gejala umum yang
terjadi pada diabetes dan seringkali
mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang cukup serius pada tubuh, terutama pada sel
saraf dan pembuluh darah (WHO, 2008)
1. Jenis
a. Diabetes Melitus Tipe I
DM tipe I merupakan penyakit yang disebabkan oleh proses autoimun
yang menyebabkan kerusakan pada sel-sel beta pankreas. Keadaan
ini akanmengakibatkan pankreas tidak dapat menghasilkan insulin yang dibutuhkan
tubuhuntuk meregulasi kadar gula darah (Brunner & Suddarth, 2001). Defisiensi insulin
yang terjadi akan mengakibatkan peningkatan kadar gula dalam darah atau
hiperglikemia.
Hiperglikemia yang terjadi ditandai dengan terdapatnya sejumlah
glukosa dalam urin (glukosuria). Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal untuk
menyerap kembali glukosa yang tersaring keluar (Steele, 2008)
Ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai
pengeluaran sejumlah cairan dan elektrolit (diuresis osmotik).
Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien DM tipe I akan
mengalami peningkatan frekuensi berkemih (poliuria) dan timbul rasa haus yang cukup
sering (polidipsia). Defisiensi insulin juga akan mengganggu metabolism protein dan
lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Penurunan berat badan ini akan
mengakibatkan berkurangnya jumlah simpanan kalori sehingga
akan menambah selera makan (polifagia) (Brunner & Suddarth, 2001).

b. Diabetes Tipe II
DM tipe II dapat terjadi karena ketidakmampuan tubuh dalam merespon kerja insulin
secara efektif (WHO, 2008). Dua masalah utama yang terkait dengan hal ini yaitu,
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Untuk mengatasi resistensi dan
mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah
insulin yang disekresikan. Pada pasien DM, keadaan ini
terjadi karena sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa dalam darah akan
dipertahankan pada tingkat normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel
beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar
glukosa akan meningkat (Brunner & Suddarth, 2001).
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin, yang merupakan ciri khas DM tipe II, namun
masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak
dan badan keton. Karena itu, ketoasidosis metabolic tidak terjadi pada DM tipe II
(Brunner & Suddarth, 2001).

2. gejala
a. Gejala Akut DM
Gejala penyakit DM pada setiap pasien tidak selalu sama. Gejala-gejala di bawah ini
adalah gejala yang timbul dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya variasi gejala
lain, antara lain :
- Pada permulaan, gejala yang ditunjukkan yaitu polifagia, polidipsia, poliuria dan
peningkatan berat badan.
- Bila keadaan tersebut tidak segera ditangani, akan timbul gejala yang disebabkan oleh
kurangnya jumlah insulin yaitu polidipsia dan poliuria dengan beberapa keluhan lainnya
seperti nafsu makan berkurang, banyak minum, banyak berkemih,penurunan berat
badan yang signifikan, mudah lelah, timbul rasa mual dan jika
tidak segera diatasi akan mengakibatkan koma yang disebut dengan istilah
komadiabetes. Koma diabetes adalah koma pada pasien DM akibat kadar gula darah
yang melebihi 600 mg/dl (Tjokroprawiro, 2006).

b. Gejala Kronik DM
Kadang-kadang pasien DM tidak menunjukkan gejala akut, tetapi baru
akan menunjukkan gejala setelah beberapa bulan atau tahun menderita DM. Gejala
kronik yang sering timbul yaitu kesemutan, kulit terasa panas, kram, lelah,mudah
mengantuk, mata mengabur, gigi mudah patah, kemampuan seksual menurun, dan
lain-lain (Tjokroprawiro, 2006).

B. HIPERTENSI
Penderita hipertensi yang tidak terkontrol sewaktu waktu bisa jatuh kedalam keadaan gawat
darurat. Diperkirakan sekitar 1-8% penderita hipertensi berlanjut menjadi “Krisis Hipertensi”,
dan banyak terjadi pada usia sekitar 30-70 tahun. Tetapi krisis hipertensi jarang ditemukan pada
penderita dengan tekanan darah normal tanpa penyebab sebelumnya. Pengobatan yang baik dan
teratur dapat mencegah insiden krisis hipertensi menjadi kurang dari 1 %.

Krisis Hipertensi adalah keadaan yang sangat berbahaya, karena terjadi kenaikan tekanan darah
yang tinggi dan cepat dalam waktu singkat. Biasanya tekanan diastolik lebih atau sama dengan
130 mmHg dan menetap lebih dari 6 jam, disertai dengan gangguan fungsi jantung, ginjal dan
otak serta retinopati tingkat III – IV menurut Keith-Wagner (KW).

Beberapa keadaan yang termasuk keadaan darurat hipertensi atau krisis hipertensi akut adalah :

1. Ensefalopati Hipertensi.
2. Hipertensi Maligna.
3. Hipertensi dengan komplikasi :
a. Gagal jantung kiri akut
b. Perdarahan intra kranial
c. Perdarahan pasca operasi
d. Aortic dessection.
4. Eklamsia.
5. Feokromositoma.

PATOGENESIS

Bentuk manapun dari hipertensi yang menetap, baik primer maupun sekunder, dapat dengan
mendadak mengalami percepatan kenaikan dengan tekanan diastolik meningkat cepat sampai di
atas 130 mmHg dan menetap lebih dari 6 jam.
Hal ini dapat menyebabkan nekrosis arterial yang lama dan tersebar luas, serta hiperplasi intima
arterial interlobuler nefron-nefron. Perubahan patologis jelas terjadi terutama pada retina, otak
dan ginjal.

Pada retina akan timbul perubahan eksudat, perdarahan dan udem papil. Gejala retinopati dapat
mendahului penemuan klinis kelainan ginjal dan merupakan gejala paling terpercaya dari
hipertensi maligna.

Otak mempunyai suatu mekanisme otoregulasi terhadap kenaikan ataupun penurunan tekanan
darah. Batas perubahan pada orang normal adalah sekitar 60-160 mmHg. Apabila tekanan darah
melampaui tonus pembuluh darah sehingga tidak mampu lagi menahan kenaikan tekanan darah
maka akan terjadi udem otak. Tekanan diastolik yang sangat tinggi memungkinkan pecahnya
pembuluh darah otak yang dapat mengakibatkan kerusakan otak yang irreversible.

Pada jantung kenaikan tekanan darah yang cepat dan tinggi akan menyebabkan kenaikan after
load, sehingga terjadi payah jantung. Sedangkan pada hipertensi kronis hal ini akan terjadi lebih
lambat karena ada mekanisme adaptasi.

Penderita feokromositoma dengan krisis hipertensi akan terjadi pengeluaran norefinefrin yang
menetap atau berkala.

8. bagaimana komplikasi dan prognosis dari diabetes mellitus


dan hipertensi?

DIABETES MELITUS
A. KOMPLIKASI AKUT
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan glukosa
darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma dengan kejang. Tanda
hipoglikemi mulai timbul bila glukosa darah kurang dari 50 mg/dl, meskipun reaksi hipoglikemi
bisa didapatkan pada kadar glukosa darah yang lebih tinggi.( FKUI.2005 :161).

Merupakan gejala yang timbul akibat tubuh kekurangan glukosa , kadar gula darah turun
drastic sehingga kurang dari 60 mg/ 100 ml. ini bisa disebabkan oleh konsumsi obat antidiabetes
dalam dosis tinggi baik dalm bentuk tablet maupun dengan suntikan insulin (overdosis obat
antidiabetes) , makan terlalu sedikit(asupan kalori tidak memadai),atau terlambat makan, olahraga
atau latihan fisik yang berlebihan.(Atun .2010:16).
Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita merasa pusing, lemas,
gemetar, pandangan berkunang-kunang, pitam (pandangan menjadi gelap), keluar keringat dingin,
detak jantung meningkat, sampai hilang kesadaran. Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma
penderita kurang dari 50 mg/dl walaupun ada orang-orang tertentu yang sudah menunjukkan gejala
hipoglikemia pada kadar glukosa plasma diatas 50 mg/dl. Kadar glukosa darah yang terlalu rendah
menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energy sehingga tidak dapat berfungsi, bahkan
dapat rusak.(Saraswati, silvia.2009:57).
Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar glukosa darah di bawah 60mg/dl, yang
merupakan komplikasi potensial terapi insulin atau oabt hipoglikemik oral. (Baradero, Mery Dkk.
2009: 107)
2. Ketoasidodis diabetik
Adalah komplikasi akut diabetes mellitus yang serius dan harus segera ditangani. Pada diabetes
dengan kadar gula darah yang terlalu tinggi dan kadar hormone insulin yang rendah, tubuh tidak
dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energy. Sebagai gantinya tubuh akan memecah lemak
untuk sumber energy. Pemecahan lemak tersebut kemudian menghasilkan benda-benda keton
dalam darah (ketosis). Ketosis inilah yang menyebabkan derajat keasaman (PH) darah menurun
(asidosis). Kedua hal tersebut lantas disebut ketoasidosis (Nabyl.2009:51).
Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan defisiensi insulin berat dan akut dari suatu perjalanan
penyakit diabetes mellitus 1,2,3,4. Timbulnya KAD merupakan ancaman kematian bagi
penyandang DM ( FKUI.2005 :164).
Diabetic ketoasidosis (DKA) dikenal sebagai asidosis diabetes dan koma diabetic. Ini terjadi
karena kadar gula darah terlalu tinggi, biasanya > 600 mg/dl, dan kurangnya hormone insulin
sehingga tubuh tidak bisa menggunakan glukosa sebagai energy lalu memobilisasi lemak dalam
simpanan, dan hasil sampingnya berupa keton dalam darah dan urin (Atun.2010:18).
3. Hiperglikemik Non-ketotik (HNK)
HNK ditandai dengan hiperglikemia berat non ketotik atau ketotik dan asidosis ringan.
Pada keadaan lanjut dapat mengalami koma. Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik
merupakan suatu sindrom yang ditandai hiperglikemik berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa
ketoasidosis disertai menurunnya kesadaran (FKUI.2009:168).

B. KOMPLIKASI KRONIS
1. Makrovaskular
Makrovaskular, disebut makropati, adalah penyakit pada pembuluh darah besar dan sedang
yang menyerang: pembuluh darah otak (penyakit stroke), pembuluh darah jantung (penyakit
jantung koroner), tungkai kaki (thrombus/ gangrene) (Atun.2010:20).
Jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita diabetes adalah
penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak (terjadi karena aterosklerosis pembuluh-
pembuluh otak dan hipertensi yang menyebabkan pembuluh menjadi lemah dan akhirnya pecah),
dan penyakit pembuluh darah perifer (terjadi akibat aterosklerosis yang berat, berperan
menyebabkan amputasi dan disfungsi ereksi yang sering dialami oleh pengidap diabetes ksonis)
(Nabyl.2009:54).
a) Penyakit jantung koroner
Penyulit makrovaskular ini bermanifestasi sebagai aterosklerosis dini yang dapat mengenai
organ organ vital (jantung dan otak). Aterosklerosis pada pasien DM ini bersifat multifaktorial,
melibatkan interaksi kompleks dari berbagai keadaan (alwi shahab.2006).
Terdapat kelainan pada pembuluh darah jantung. Terhentinya aliran darah yang menuju
jantung akan menyebabkan serangan jantung akut dan bisa mengakibatkan kematian mendadak
(Nabyl.2009:49).
b) Penyakit pembuluh darah otak (stroke)
Terdapat kelainan pada pembuluh darah otak sehingga aliran darah yang akan menuju otak
terhenti yang dapat menimbulkan kematian sebagian jaringan otak secara mendadak
(Nabyl.2009:49).
Pada penderita diabetes terjadi penghalangan pada arteri , penghalangan ini mengakibatkan
oksigen dan glukosa tidak bisa masuk ke otak dan membuat sel-ssel otak menjadi mati (Tjahjadi,
Vicynthia.2002:66).
c) Penyakit pembuluh darah perifer
Peningkatan kadar gula darah memang bisa merusak pembuluh darah, saraf dan struktur
internal lainnya. Karena terbentuknya zat kompleks yang terdiri dari gula di dalam dinding
pembuluh darah, maka pembuluh darah akan menebal dan mengalami kebocoran. Akibatnya,
aliran darah menjadi berkurang, teerutama yang menuju ke kulit dan saraf (Nabyl.2009:47).

2. Mikrovaskular
Mikrovaskular, disebut mikroangipati adalah penyakit yang terjadi pada pembuluh darah kecil
(Atun.2010:22).
Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes tipe 1. Hiperglikemia yang
persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan dinding
pembuluh darah menjadi semakin lemah dan rapuh serta terjadi penyumbatan pada pembuluh-
pembuluh darah kecil (Saraswati, Sylvia.2009:60).
a) Kaki diabetik
Penderita diabetes mellitus perlu memberi perhatian lebih terhadap kesehatan kaki, karena
diabetes dapat menimbulkan komplikasi yang dikenal dengan istilah kaki diabetik. Terjadinya
kaki diabetik disebabkan oleh beberapa faktor, faktor utama yang berperan timbulnya kaki diabetik
adalah angiopati, neuropati, dan infeksi.
Neuropati merupakan faktor penting terjadinya kaki diabetik. Adanya neuropati perifer akan
menyebabkan terjadinya gangguan sensorik maupun motorik. Gangguan sensorik akan
menyebabkan hilang atau menurunnya sensasi nyeri pada kaki, sehingga akan mengalami trauma
tanpa terasa yang mengakibatkan terjadinya ulkus pada kaki. Gangguan motorik juga akan
mengakibatkan terjadinya atrofi otot kaki, sehingga merubah titik tumpu yang menyebabkan
ulsetrasi pada kaki pasien.
Angiopati akan menyebabkan terganggunya aliran darah ke kaki. Apabila sumbatan darah
terjadi pada pembuluh darah yang lebih besar maka penderita akan merasa sakit tungkainya
sesudah ia berjalan pada jarak tertentu. Manifestasi gangguan pembuluh darah yang lain dapat
berupa: ujung kaki terasa dingin, nyeri kaki dimalam hari, denyut arteri hilang, kaki menjadi pucat
bila dinaikkan. Adanya angiopati tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan asupan nutrisi,
oksigen(zat asam) serta antibiotika sehingga menyebabkan luka sulit sembuh.
Infeksi sering merupakan komplikasi yang menyertai kaki diabetik akibat berkurangnya aliran
darah atau neuropati, sehingga faktor aangiopati dan infeksi berpengaruh terhadap penyembuhan
atau pengobatan kaki diabetik (Nabyl.2009:55-59).
b) Retinopati diabetik
Kerusakan pada retina karena tidak mendapatkan oksigen. Retina adalah jaringan yang sangat
aktif bermetabolisme dan pada hipoksia kronis akan mengalami kerusakan progresif dalam
struktur kapilernya, membentuk mikroaneurisma, dan memperlihatkan bercak-bercak perdarahan.
Terbentuk daerah-daerah infark yang diikuti neovaskularisasi (pembentukan pembuluh baru),
bertunasnya pembuluh-pembuluh lama. Sayangnya pembuluh-pembuluh baru dan tunas-tunas dari
pembuluh lama berdinding tipis dan sering hemoragik, menyebabkan aktivasi sistem inflamasi dan
pembentukan jaringan parut diretina. Edema interstisial terjadi dan tekanan intraokulus meningkat,
yang menyebabkan kolapsnya kapiler dan saraf yang tersisa sehingga terjadi kebutaan
(Corwin,Elizabeth J.2009:636).
c) Nefropati diabetik
Kerusakan pada ginjal, bagian yang paling parah mengalami kerusakan adalah kapiler
glomerulus akibat hipertensi dan glukosa plasma yang tinggi menyebabkan penebalan membran
basal dan pelebaran glomerulus. Lesi-lesi sklerotik nodular, yang disebut nodul kimmelstiel-
Wilson, terbentuk di glomerulus sehingga semakin menghambat aliran darah dan akibatnya
merusak nefron.
Dengan melebarnya glomerulus, pasien dengan DM terutama tipe 1, mulai mengalami
kebocoran protein ke urin. Meskipun jumlah protein yang hilang bersama urin dalam jumlah
sedikit (mikroproteinuria), kerusakan terus berlanjut, dan siklus umpan balik terus terjadi:
kebocoran protein menembus glomerulus selanjutnya akan merusak nefron, akibatnya lebih
banyak protein yang keluar bersama urin. Pada akhirnya, proteinuria yang bermakna terjadi.
Proteinuria dikaitkan dengan dugaan penurunan fungsi ginjal dan angka harapan hidup.
Hilangnya protein plasma kedalam urin juga menyebabkan penurunan tekanan osmotik yang
mengakibatkan penurunan penyerapan cairan dari ruang interstisial. Terjadinya filtrasi netto
plasma ke dalam ruang interstisial menyebabkan edema generalisata, yang disebut anasarka.
Kondisi ini menyebabkan penekanan pada kapiler kecil dan saraf yang semakin memperberat
hipoksia jaringan dan kerusakan saraf di seluruh tubuh, termasuk ginjal. Ginjal mulai mengalami
perburukan yang cepat sehingga terjadi kelebihan beban cairan dan hipertensi. Dengan
memburuknya fungsi ginjal, kemampuan mensekresi ion hidrogen ke dalam urin menurun.
Penurunan pembentukan vit D oleh ginjal menyebabkan penguraian tulang, dan penurunan
pembentukan eritropoeitin sehingga menyebabkan defisiensi sel darah merah dan anemia. Filtrasi
glomerulus menurun drastis dan dapat terjadi gagal ginjal (Corwin,Elizabeth J.2009:637).
d) Neuropati diabetik
Neuropati disebabkan hipoksia kronis sel-sel saraf yang kronis serta efek dari hiperglikemia,
termasuk hiperglikosilasi protein yang melibatkan fungsi saraf. Sel-sel penunjang saraf, terutama
sel schwann, mulai menggunakan metode alternatif untuk mengatasi beban peningkatan glukosa
kronis, yang akhirnya menyebabkan demielinisasi segmental saraf perifer.
Demielinisasi menyebabkan perlambatan hantaran saraf dan berkurangnya sensitivitas.
Hilangnya sensasi suhu dan nyeri meningkatkan kemungkinan pasien mengalami cidera yang
parah dan tidak disadari.
Kerusakan pada saraf otonom perifer dapat menyebabkan hipotensi postural, perubahan fungsi
gasrointestinal, gangguan pengosongan kandung kemih, disertai infeksi saluran kemih, dan pada
pria disfungsi ereksi impotensi (Corwin,Elizabeth J.2009:637,638).
e) Impotensi
Komplikasi tertinggi pada kasus diabetes adalah penurunan kemampuan seksual. Keadaan ini
dapat disebabkan oleh terjadinya gangguan pada pembuluh darah maupun persarafan serta
perubahan pada otot polos penis (Nabyl.2009:70).
Pada pembuluh darah alat kelamin terjadi penyempitan dan dapat mengganggu ereksi pada
laki-laki. Bila ditambah dengan adanya persarafan alat kelamin, rangsangan erotik juga tidak akan
sampai pada alat kelamin, sehingga kemampuan ereksi juga semakin berkurang (Nabyl.2009:49).

HIPERTENSI
Hipertensi jika berkelanjutan dapat meningkatkan risiko stroke, gagal ginjal, dan gagal jantung.
Risiko komplikasi akan meningkat dengan adanya faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh
darah lainnya seperti kadar kolesterol dan kadar gula darah yang tinggi (diabetes). Beberapa
kondisi memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian hipertensi, di antaranya adalah
tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi rendah, kelebihan berat badan, obesitas, gangguan
emosi yang tinggi, kadar kolesterol, dan gula dalam darah.
1. Stroke akibat hipertensi
Stroke merupakan kematian jaringan otak yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan
oksigen ke otak. Tekanan darah yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh
darah di otak. Biasanya kasus ini terjadi secara mendadak dan menyebabkan kerusakan otak
dalam dalam beberapa menit.
2. Gagal jantung akibat hipertensi
Gagal ginjal dapat terjadi akibat tekanan darah yang terlalu tinggi memaksa otot jantung bekerja
lebih berat untuk memompa darah dan meyebabkan pembesaran otot jantung kiri sehingga
jantung mengalami gagal fungsi. Pembesaran otot jantung kiri disebabkan kerja keras jantung
untuk memompa darah.
3. Gagal ginjal akibat hipertensi
Tingginya tekanan darah mengakibat pembuluh darah dalam ginjal tertekan dan mengakibatkan
pembuluh rusak. Hipertensi menghambat proses penyaringan dalam ginjal bekerja dengan baik.
Kondisi ini merusak ginjal dengan menekan pembuluh darah kecil dalam organ tersebut.
Akibatnya fungsi ginjal menurun hingga mengalami gagal ginjal. Gangguan fungsi ginjal akibat
hipertensi bisa berupa penyakit ginjal akut, ginjal kronis dan gagal ginjal dimana ginjal sudah
tidak dapat lagi menjalankan sebagian atau seluruh fungsinya. Hipertensi merupakan salah satu
faktor risiko meningkatnya kematian pada pada pasien hemodialisis.
4. Demensia akibat hipertensi
Demensia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kumpulan gejala atau sindrom
terjadinya penurunan fungsi kognitif yang biasanya bersifat kronis atau progresif. Oleh karena
itu, demensia menjadi salah satu penyebab utama ketergantungan lansia terhadap keluarga atau
pengasuhnya (WHO, 2012). Peningkatan angka kejadian demensia terjadi seiring bertambahnya
usia. Demensia terbagi atas dua jenis yakni: Demensia Alzheimer, yaitu demensia yang
disebabkan oleh proses degeneratif di otak yang progresif. Demensia Vaskular, yakni demensia
yang disebabkan oleh masalah vaskular (pembuluh darah), misalnya stroke. Prevalensi demensia
meningkat dua kali setiap pertambahan usia 5 tahun setelah melewati usia 60 tahun. Faktor risiko
kejadian demensia selain dari segi usia adalah hipertensi (Gorelick, 2014). Hipertensi yang lama
dapat menyebabkan aterosklerosis dan gangguan autoregulasi serebrovaskular, yang pada
gilirannya diduga berkorelasi dengan demensia (Kennelly, 2009). Lansia yang menderita
hipertensi dapat menderita demensia karena hipertensi berperan mempercepat arteriosklerosis
pembuluh darah otak sehingga mengganggu perfusi (penyerapan) dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infark. Infark di daerah hippocampus dan amigdala mengakibatkan
demensia. Hipertensi juga mengakibatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga
terjadi ekstravasasi protein ke dalam parenkim otak. Protein ini akan membentuk plak yang
menyebabkan kematian neuron sehingga terjadi defisit neurotransmiter asetilkolin yang
mengakibatkan demensia. Orang yang menderita hipertensi memiliki kemungkinan 2,7 kali
untuk menderita demensia dibandingkan orang yang tidak menderita tekanan darah tinggi.

Sumber: Disarikan dari makalah 10th Scientific Meeting of Indonesian Society of Hypertension
12-14 Februari 2016 di Jakarta. Sebuah pertemuan ilmiah tahunan yang diselenggarakan oleh
Indonesian Society of Hipertensi (InaSH).

9. bagaimana gejala klinis dan tanda pada pasien hipoglikemi


dan hiperglikemi?
10. apa saja faktor resiko dan etiologi dari hipoglikemi,
hiperglikemi dan hipertensi?
11. bagaimana tatalaksana awal yang diberikan dokter di IGD?
Pasien Masih Sadar
Pasien dengan reaksi hipoglikemia sedang dan masih sadar, dapat diatasi dengan glukosa sebanyak
15 - 20 gram. Jika dalam 20 menit kemudian KG-darah tidak meningkat paling sedikit 1 mmol/L,
berikan 20 gram glukosa berikutnya.
Pasien Tidak Sadar (Koma)
Hipoglikemia berat yang disertai kehilangan kesadaran segera berikan glukosa sebanyak 10 — 25
gram. Jika tersedia berikan 1 mg glukagon subkutan atau intramuskuler.
Protokol Tetap Pengelolaan Hipoglikemia Berat di Rumah Sakit
(1) Ambil darah untuk data dasar: KG-darah, elektrolit
(2) Pasang lini infus bebas kalori
(3) Ukur semua urine yang dikeluarkan akan adanya acetone
(4) Ukur KG-darah kapiler dengan reflektan setiap 4 jam sampai mencapai nilai —60 mg/dL; ferekuensi
pemantauan setiap jam jika mencapai <49 mg/dL, chek ulang KG-plasma ke laboratorium; pantau gejala
neuroglikopenia.

12. apa saja diagnosis banding dari kasus skenario?


Diferensial Diagnosis dan Penatalaksanaan yang Tepat untuk Pasien
1. Ketoasidosis Diabetikum
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik
yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan Hiperosmolar Hyperglycemia State (HHS)
adalah 2 komplikasi akut metabolik diabetes mellitus yang paling serius dan mengancam
nyawa. Kedua keadaan tersebut dapat terjadi pada Diabetes Mellitus (DM) tipe 1 dan 2,
meskipun KAD lebih sering dijumpai pada DM tipe 1. KAD mungkin merupakan
manifestasi awal dari DM tipe 1 atau mungkin merupakan akibat dari peningkatan
kebutuhan insulin pada DM tipe 1 pada keadaan infeksi, trauma, infark miokard, atau
kelainan lainnya (Masharani, 2010).
a. Patofisiologi
KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan peningkatan
konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi. Ketoasidosis merupakan akibat dari
kekurangan atau inefektiÞ tas insulin yang terjadi bersamaan dengan peningkatan
hormon kontraregulator (glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormon). Kedua
hal tersebut mengakibatkan perubahan produksi dan pengeluaran glukosa dan
meningkatkan lipolisis dan produksi benda keton. Hiperglikemia terjadi akibat
peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal (glukoneogenesis dan glikogenolisis)
dan penurunan utilisasi glukosa pada jaringan perifer. Peningkatan glukoneogenesis
akibat dari tingginya kadar substrat nonkarbohidrat (alanin, laktat, dan gliserol pada
hepar, dan glutamin pada ginjal) dan dari peningkatan aktivitas enzim glukoneogenik
(fosfoenol piruvat karboksilase/ PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat, dan piruvat
karboksilase). Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkan patogenesis utama
yang bertanggung jawab terhadap keadaan hiperglikemia pada pasien dengan KAD.
Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi menyebabkan diuresis
osmotik yang akan mengakibatkan hipovolemia dan penurunan glomerular filtration
rate. Keadaan yang terakhir akan memperburuk hiperglikemia. Mekanisme yang
mendasari peningkatan produksi benda keton telah dipelajari selama ini. Kombinasi
defisiensi insulindan peningkatan konsentrasi hormon kontraregulator menyebabkan
aktivasi hormon lipase yang sensitif pada jaringan lemak. Peningkatan aktivitas ini
akan memecah trigliserid menjadi gliserol dan asam lemak bebas (free fatty acid/FFA).
Diketahui bahwa gliserol merupakan substrat penting untuk glukoneogenesis pada
hepar, sedangkan pengeluaran asam lemak bebas yang berlebihan diasumsikan sebagai
prekursor utama dari ketoasid.
Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang prosesnya
distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi glukagon menurunkan
kadar malonyl coenzyme A (CoA) dengan cara menghambat konversi piruvat menjadi
acetyl Co A melalui inhibisi acetyl Co A carboxylase, enzim pertama yang dihambat
pada sintesis asam lemak bebas. Malonyl Co A menghambat camitine palmitoyl-
transferase I (CPT I), enzim untuk transesterifi kasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty
acyl camitine, yang mengakibatkan oksidasi asam lemak menjadi benda keton. CPT I
diperlukan untuk perpindahan asam lemak bebas ke mitokondria tempat dimana asam
lemak teroksidasi. Peningkatan aktivitas fatty acyl CoA dan CPT I pada KAD
mengakibatkan peningkatan ketogenesis (Umpierrez et al., 2002).
b. Etiologi
Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama
kali. Pada pasien yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat dikenali adanya
faktor pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini penting dalam pengobatan dan
pencegahan ketoasidosis berulang. Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya
KAD adalah pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid serta menghentikan
atau mengurangi dosis insulin. tidak adanya insulin atau tidak cukupnya insulin yang
nyata, dapat disebabkan oleh :
- Insulin tidak diberikan atau diberikan dengan dosis yang dikurangi
- Keadaan sakit atau infeksi
- Manifestasi pertama pada penyakit diabetes yang tidak terdiagnosis dan tidak
diobati (Carpenito dan Juall, 2007).
c. Manifestasi klinis
Beberapa manifestasi klinis dari KAD adalah : hiperglikemi, poliuri damn
polidipsia, penglihatan terasa kabur, kelemahan, sakit kepala, pasien dengan
penurunan volume intravaskuler yang nyata mungkin akan menderirta hipotensi
ortostatik, penurunan volume dapat menimbulkan hipotensi yang nyata disertai
denyut nadi yang lemah dan cepat, anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen,
pernapasan Kusmaull (hal ini menggambarkan upaya tubuh untuk mengurangi
asidosis guna melawan efek dari pembentukan badan keton), mengantuk, koma,
glukosuria berat, asidosis metabolik, diuresis osmotik dengan akhir dehidrasi dan
penurunan elektrolit, hipotensi, syok (Price dan Sylvia, 2008).

d. Penatalaksanaan
terapi KAD adalah dengan mengatasi dehidrasi, hiperglikemia, dan
ketidakseimbangan elektrolit, serta mengatasi penyakit penyerta yang ada.
Pengawasan ketat, KU jelek masuk HCU/ICU.

Fase I/Gawat :
a. Rehidrasi
1) Berikan cairan isotonik NaCl 0,9% atau RL 2L loading dalam 2 jam pertama,
lalu 80 tpm selama 4 jam, lalu 30-50 tpm selama 18 jam (4-6L/24jam)
2) Atasi syok (cairan 20 ml/kg BB/jam)
3) Bila syok teratasi berikan cairan sesuai tingkat dehidrasi
4) Rehidrasi dilakukan bertahap untuk menghindari herniasi batang otak (24 –
48 jam).
5) Bila Gula darah < 200 mg/dl, ganti infus dengan D5%
6) Koreksi hipokalemia (kecepatan max 0,5mEq/kgBB/jam)
7) Monitor keseimbangan cairan
b. Insulin
1) Bolus insulin kerja cepat (RI) 0,1 iu/kgBB (iv/im/sc)
2) Berikan insulin kerja cepat (RI) 0,1/kgBB dalam cairan isotonic
3) Monitor Gula darah tiap jam pada 4 jam pertama, selanjutnya tiap 4 jam
sekali
4) Pemberian insulin parenteral diubah ke SC bila : AGD < 15 mEq/L
³250mg%, Perbaikan hidrasi, Kadar HCO3
5) Infus K (tidak boleh bolus)
a) Bila K+ < 3mEq/L, beri 75mEq/L
b) Bila K+ 3-3.5mEq/L, beri 50 mEq/L
c) Bila K+ 3.5 -4mEq/L, beri 25mEq/L
d) Masukkan dalam NaCl 500cc/24 jam
c. Infus Bicarbonat : bila pH 7,1, tidak diberikan
d. Antibiotik dosis tinggi
Batas fase I dan fase II sekitar GDR 250 mg/dl atau reduksi.
Fase II/Maintenance:
a. Cairan maintenance
1) Nacl 0.9% atau D5 atau maltose 10% bergantian
2) Sebelum maltose, berikan insulin reguler 4IU
b. Kalium : Perenteral bila K+ 240 mg/dL atau badan terasa tidak enak.
c. Saat sakit, makan sesuai pengaturan makan sebelumnya.
d. Minum yang cukup untuk mencegah dehidrasi.

e. Komplikasi
A. Nefropati Diabetik
Bila penderita mengalami nefropati diabetik, di dalam urinnya sudah terdapat
protein. Dengan menurunnya fungsi ginjal akan disertai naiknya tekanan
darah. Pada kurun waktu yang lama, penderita nefropati diabetik akan
berakhir dengan gagal ginjal (Carpenito dan Juall, 2007).
B. Retinopati Diabetik
Gejalanya adalah penglihatan menjadi kabur dan dapat berakhir dengan
kebutaan (Carpenito dan Juall, 2007)
C. Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik adalah akibat kerusakan pada saraf. penderita terkadang
tidak bisa merasa anggota tubuhnya dengan baik. Dengan demikian luka kecil
bisa cepat menjadi besar dan tidak jarang harus berakhir dengan amputasi
(Carpenito dan Juall, 2007)
D. Kelainan Jantung
Terganggunya kadar lemak darah adalah salah satu faktor timbulnya
aterosklerosis pada pembuluh darah jantung. Selain itu, terganggunya sistem
saraf otonom yang tidak berfungsi, sewaktu istirahat dapat menyebabkan
jantung berdebar cepat. Selain itu dapat dirasakan pula sesak dan cepat lelah
(Carpenito dan Juall, 2007).

f. Prognosis
Prognosis dari ketoasidosis diabetik biasanya buruk, tetapi sebenarnya kematian
pada pasien ini bukan disebabkan oleh sindom hiperosmolarnya sendiri tetapi oleh
penyakit yang mendasar atau menyertainya. Angka kematian masih berkisar 30-50%. Di
negara maju dapat dikatakan penyebab utama kematian adalah infeksi, usia lanjut dan
osmolaritas darah yang sangat tinggi. Di negara maju angka kematian dapat ditekan
menjadi sekitar 12%.
Ketoasidosis diabetik sebesar 14% dari seluruh rumah sakit penerimaan pasien dengan
diabetes dan 16% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan diabetes. Angka kematian
keseluruhan adalah 2% atau kurang saat ini. Pada anak-anak muda dari 10 tahun,
ketoasidosis diabetikum menyebabkan 70% kematian terkait diabetes (Carpenito and
Lynda Juall, 2000).

2. Krisis Hipertensi
Krisis hipertensi adalah keadaan dimana tekanan darah diastolik sangat meningkat
sampai 120-130 mmHg, kedaan ini merupakan suatu kedaruratan medik dan memerlukan
pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita (Gifford, 1991).
a. klasifikasi
Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan perioritas
pengobatan, sebagai berikut :
1. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai
kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau lebih penyakit/kondisi
akut (tabel I). Keterlambatan pengobatan akanmenyebebabkan timbulnya sequele atau
kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam.
Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau (ICU).
2. Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa
kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24 jam
sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral. (tabel II).
Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :
1. Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD > 200/110 mmHg,
walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan
kepatuhan pasien.
2. Hipetensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai dengan kelainan
funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.
3. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik > 120 – 130
mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema, peniggian tekanan
intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila
penderita tidak mendapat pengobatan. Hipertensi maligna, biasanya pada penderita
dengan riwayat hipertensi essensial ataupun sekunder dan jarang terjadi pada penderita
yang sebelumnya mempunyai TD normal.
4. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit
kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversible bila
TD diturunkan.
b. penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pada keadaan darurat hipertensi ialah menurunkan tekanan
darah secepat dan seaman mungkin yang disesuaikan dengan keadaan klinis penderita.
Pengobatan biasanya diberikan secara parenteral dan memerlukan pemantauan yang ketat
terhadap penurunan tekanan darah untuk menghindari keadaan yang merugikan atau
munculnya masalah baru. Obat yang ideal untuk keadaan ini adalah obat yang mempunyai
sifat bekerja cepat, mempunyai jangka waktu kerja yang pendek, menurunkan tekanan
darah dengan cara yang dapat diperhitungkan sebelumnya, mempunyai efek yang tidak
tergantung kepada sikap tubuh dan efek samping minimal.
1. Diazoxide
Adalah derivat benzotiadiazin, obat ini menurunkan tekanan darah secara kuat dan
cepat dengan mempengaruhi secara langsung pada otot polos arterial, sehingga terjadi
penurunan tekanan perifer tanpa mengurangi curah jantung atau aliran darah ke ginjal.
Tetapi menurut beberapa penulis, diazoxide juga menaikkan isi sekuncup, isi semenit
dan denyut jantung permenit, sehingga tidak dianjurkan pada krisis hipertensi yang
disertai aorta diseksi atau kelainan coroner. Efek samping dari diazoxide adalah :
hipoglikemi, hiperurikemi dan dapat menembus plasenta sehingga mempengaruhi
metabolisme janin sehingga tidak direkomendasikan untuk krisis hipertensi pada
kasus eklamsia.
Diazoxide diberikan dengan intravena 75-300 mg selama 10-30 detik, penurunan
tekanan darah akan tampak dalam waktu 1-2 menit, pengaruh puncak dicapai antara
2-3 menit, dan bertahan 4-12 jam. Untuk penderita dengan perdaraham otak,
dianjurkan pemberian intra vena sebesar 500-1.000 mg. Pemberian dapat diulang
setiap 10-15 menit sampai didapat tekanan diastolik 100-105 mmHg.
2. Sodium Nitropusid
Sodium nitropusid merupakan vasodilator pada arteri dan vena. Obat ini dapat
menurunkan isi sekuncup dan isi semenit jantung. Untuk menghindari hipotensi,
pengawasan ketat harus dilakukan pada pemberian obat ini. Dosis : 0,3-0,6
ug/kgBB/menit, dinaikkan pelan-pelan sampai tercapai penurunan tekanan darah yang
cukup. Penurunan tekanan darah terjadi dalam beberapa detik dan puncak tercapai
dalam 1-2 menit, hanya berlangsung 3-5 menit. Efek samping : takikardi dan sakit
kepala.
3. Trimetapan (Artonad)
Merupakan penghambat ganglion, bekerja dengan cara menurunkan isi sekuncup
jantung dan isi semenit jantung. Obat ini baik digunakan pada kasus krisis hipertensi
dengan payah jantung atau diseksi aorta anerisma. Dosis : 500 mg/500 cc Dextrosa
5% dengan kecepatan 0,25 mg%/menit, kemudian dinaikkan perlahan sampai dicapai
penurunan tekanan yang dikehendaki, yaitu tekanan diastolik 110 mmHg dalam waktu
1 jam. Jangka waktu kerja 5-15 menit. Infus diberikan dengan posisi duduk, untuk
menghindari efek hipotensi yang berlebihan.
4. Hidralazin (Apresolin)
Obat ini bekerja langsung pada otot polos arterial dan menimbulkan vasodilatasi
perifer, tanpa menurunkan aliran darah ke ginjal. Tetapi hidralazin menaikkan denyut
jantung permenit, isi sekuncup dan isi semenit jantung. Hidralazin direkomendasikan
untuk diberikan pada toksemia gravidarum dan krisis hipertensi dengan ensefalopati
Dosis : 5-20 mg diberikan intramuskular setiap 2-4 jam, atau ecara intra vena (1 ampul
dari 20 mg/ml dilarutkan dalam 300 cc NaCl 0,9%) dengan kecepatan 10-60
tetes/menit. Penurunan tekanan darah terjadi dalam 10-20 menit, berlangsung sampai
1 jam. Apabila selama 30 menit tidak berhasil, dapat diulang tiap 3-6 jam.
5. Klonidin (Catapres)
Merupakan derivat imidazolin, yang merangsang reseptor alfa adrenergik pada
batang otak, mengakibatkan penurunan discharge symphatis, sehingga menurunkan
tekanan vaskular sistemik, juga menekan pengeluaran renin oleh ginjal. Klonidin
diberikan intravena 1 ampul (150 ug) diencerkan dalam 10 ml NaCl 0,9% dalam waktu
10 menit. Efek penurunan tekanan terjadi dalam waktu 5-10 menit. Pemberian
intramuskular, 1-2 ampul dan dulang dalam 3-4 jam, terjadi penurunan tekanan dalam
waktu 10-15 menit. Pemberian IM dinilai lebih aman dan terkontrol, tetapi kurang
dalam kekuatan dan kecepatan dibanding dengan Diazoxide, Sodium Nitroprusid dan
Trimetapan. Efek samping yang muncul biasanya adalah mulut kering dan kantuk
yang hebat. Obat ini direkomendasikan dipakai untuk krisis hipertensi dengan
eklamsia dan aorta anerisma.
6. Kaptopril (Kapoten)
Obat ini cukup memberikan harapan karena menaikkan kecepatan filtrasi glomeruli
dengan menhambat pembentukan vaso konstriktor yang sangat kuat (angiotensin II)
dan juga menghambat perusakan vasodilator yang kuat (bradikinin). Dosis awal 12,5
mg, dinaikkan pelan-pelan sampai dosis optimal. Diuretik dapat memberikan efek
potensiasi.
7. Pentolamin dan Penoxi Benzamin
Kedua obat merupakan penghambat alfa adrenergik, diberikan terutama untuk
feokromositoma atau karena hambatan MAO (mono amino oksidase). Dosis : 5-15 mg
IV, akan menurunkan tekanan darah dalam 10-15 menit.
8. Antagonis Kalsium (Nifedipin)
Antagonis kalsium (Nifedipin, Diltiazem dan Verapamil) bekerja dengan
menghambat pemasukan ion kalsium ke dalam sel dan merupakan vaso dilatator kuat
yang mempunyai daya aksi jangka panjang. Nifedipin mempunyai harapan dalam
pengobatan darurat dengan cara menurunkan tahanan perifer dengan melemaskan otot
polos pembuluh darah, tidak menimbulkan depresi pada miokard dan tidak
mempunyai sifat antiaritmia. Dosis : 1-2 tablet (10-20mg) dosis tunggal. Pemberian
sublingual dapat memberikan efek yang lebih cepat, yaitu beraksi dalam 3 menit
setelah pemberian. Apabila penderita tidak sadar dapat diberikan lewat pipa lambung
(Sya’bani dan Sucitro, 1982)

3. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik


Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik adalah suatu komplikasi akut dari
diabetes melitus di mana penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan
kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma. Ini terjadi pada
penderita diabetes tipe II. Hyperglikemia Hiperosmolar Non Ketogenik adalah sindrom
berkaitan dengan kekurangan insulin secara relative, paling sering terjadi pada panderita
NIDDM. Secara klinik diperlihatkan dengan hiperglikemia berat yang mengakibatkan
hiperosmolar dan dehidrasi, tidak ada ketosis/ada tapi ringan dan gangguan neurologis
Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketosis adalah keadaan koma akibat dari komplikasi
diabetes melitus di mana terjadi gangguan metabolisme yang menyebabkan: kadar gula
darahsangat tinggi, meningkatkan dehidrasi hipertonik dan tanpa disertai ketosis serum,
biasa terjadi pada DM tipe II. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik NonKetotik ialah suatu
sindrom yang ditandai dengan hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa
ketoasidosis, disertai penurunan kesadaran (Mansjoer, 2000).Menurut Hudak dan Gallo
(edisi VI) koma hiperosmolar adalah komplikasi daridiabetes yang ditandai dengan :1.
Hiperosmolaritas dan kehilangan cairan yang hebat, 2. Asidosis ringan, 3. Sering terjadi
koma dan kejang lokal.4. Kejadian terutama pada lansia.5. Angka kematian yang tinggi
(Isselbacher, 1995)
Beberapa etiologi hiperglikemia hiperosmolar non ketotik adalah insufisiensi
insulin (DM, pankreatitis, pankreatomi), tindakan terapeutik (dialisis peritonial), obat-obatan
(diuretik, steroid, imunosupresan) (Isselbacher, 1995).
Pasien datang dengan hiperglikemi berat, hiperosmolalitas dan pengurangan volum
disertai tanda SSP mulai dari kesadaran berkabut hingga koma. Aktivitas kejang kadang tipe
Jackson dan dapat terlihat hemiplegi sesaat. Infeksi terutama pneumonia dan sepsis gram
negatif umumnya dan menunjukkan prognosis jelek. Pneumonia sering disebabkan kuman
gram negatif. Pada anamnesa biasanya pada keluarga tentang riwayat diabetesnya, serta
kontrol dan penggunaan insulin yang telah dilakukannya. Apakah ada riwayat gagal ginjal
yang telah dihemodialisa. Sering masuk rumah sakit dan mendapat perawatan invasif.
Riwayat penggunaan obat seperti diuretik, phenitoin, thiazid, manitol, urea, steroid, obat
imunosupresif. Pemeriksaan dengan melihat keadaan umum pasien, memeriksa
kesadarannya, dan melakukan pemeriksaan darah lengkap serta analisis gas darah
(Isselbacher, 1995).
Tindakan paling penting adalah pemberian cairan intravena dalam jumlah besar untuk
memulihkan sirkulasi dan aliran urin. Defisit cairan rata-rata adalah 10-11 L. Terapi awal
harus berupa alarutan garam isotonik, 2-3 L harus diberikan dalam 1 sampai 2 jam pertama.
Kemudian salin separuh kekuatan dapat digunakan. Begitu kadar glukosa mencapai normal,
dapat diberikan dekstrose 5%. Jika koma hiperosmoler dapat dipulihkan dengan cairan saja,
insulin harus diberikan untuk mengendalikan hiperglikemia lebih cepat. Garam kalium
biasanya diperlukan lebih awaldalam terapi HHNK dibandingkan KAD karena pergeseran
K+ plasma intraseluler selama peningkatan terapi tanpa asidosis. Jika terdapat asidosis laktat,
natrium bikarbonat harus diberikan sampai perfusi jaringan dapat dipulihkan. Antibiotik
diperlukan jika infeksi merupakan penyulit. (Isselbacher, 1995).

13. bagaimana tindakan pencegahan kegawadaruratan pada


pasien diabetes mellitus dan hipertensi?
DAFTAR PUSTAKA

Kitabchi AE, Management of Diabetic Ketoacidosis, Diabetic Care Update,


American Family Physician, Vol. 60. Number 2, 1999. Murray, Robert K. Harpers
biochemistry, Ed. 25, Appleton and Lange, 2000:603-609.
Allan Graw, et.al, Clinical Biochemistry, Churchill Livingstone, Toronto,
1999; 56-63.
Wall 8M, et.al., Hyperglycemic Crises in Patient With Diabetes Mellitus, Clinical
Diabetes, Spring 2001.
Carpenito and Lynda Juall (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8.
Jakarta: EGC.

Departemen Kesehatan RI(2010). Pedoman Penyelenggaraan High Care Unit


(HCU) di Rumah Sakit .Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
834/Menkes/SK/VII/2010.

Doengoes and Marilyn (1989). Nursing Care Plans Second Edition. Philadelphia:
FA Davis.

Fauci AS, Kasper AL, Longo D L, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, and
Loscalzo JL (2008). Diabetes Mellitus. In: Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th
Edition. USA: The McGraw-Hill Co.
Gklinis (2004). Menu Sehat Untuk Pengidap Diabetes Mellitus .Dalam :
Republika Online.

Gustaviani R (2007). Diagnosis Dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam: Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jilid 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Handoko and Suharto (2004).Insulin, Glukagon dan Antidiabetik Oral. Dalam:


Farmakologi dan Terapi edisi 4.Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Price and Sylvia (1995). Patofisiologi dan Konsep Dasar Penyakit .Jakarta: EGC.
Risky Perdana (PERKENI) (2008). Petunjuk Praktis Terapi Insulin Pada Pasien
Diabetes Melitus. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Soegondo S (2004). Prinsip Pengobatan Diabetes, Insulin dan Obat Hipoglikemik
Oral. Dalam: Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Soewandono P (2007). Ketoasidosis Diabetik. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid 3 Edisi IV. Jakarta: UI Press. pp. 1874 – 1877.
Soewandono P (2007). Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik. In: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi IV. Jakarta: UI Press. p. 1878.
Sustrani L et al. (2004). Diabetes. Jakarta :Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.

Waspadji S (2007). Komplikasi Kronik Diabetes. Dalam: Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Edisi 6. Jilid 3. Jakarta: Balai penerbit FKUI.

Carpenito M, Lynda J. 2007. Buku saku diagnosis keperawatan edisi 10. EGC : Jakarta
Casqueiro J, Casqueiro Ja, Alves C. 2012. Infections in patients with diabetes mellitus: A review
of pathogenesis. Indian Journal of Endocrinology and Metabolism; 16,7, Pg. 27-26.
Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ . Acute hyperglycemic crisis in elderly. Med
Cli N Am 88: 1063-1084, 2004.
Gifford R.W, 1991 : Mamagement of Hypertensivi Crisis, JAMA SEA,266; 39-45
Isselbacher, Braunwald. 1995. Harison edisi ke 13 vol 5. EGC: Jakarta
Katzung BG. (2010). Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC.
Masharani U. Diabetic ketoacidosis. In: McPhee SJ, Papadakis MA, editors. Lange
current medical diagnosis and treatment. 49th ed. New York: Lange;
2010.p.1111-5.

Nafrialdi ; Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
Price, Sylvia A. dan Lorraine M.Wilson. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC.

Roema, Jose. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Krisis Hipertensi. Jakarta: Interna
Publishing.
Soewondo, Pradana. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Ketoasidosis Diabetik. Jakarta:
Interna Publishing.
Sya’bani, Sucitro. 1982. Tatalakasana Penanganan Krisis Hipertensi, Naskah Simposium
Hipertensi.
Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabachi AE. Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic
hyperosmolar syndrome. Diabetes Spectrum 2002;15(1):28-35.

Anda mungkin juga menyukai