Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan hikmat

dan kekuatan-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penugasan ini. Penugasan

ini akan membahas mengenai definisi, etiopatofisiologi, manifestasi klinis,

diagnosis serta penatalaksanaan dari cor pulmonale acute.

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang

telah memberikan bantuan, bimbingan serta dukungan sehingga kamu dapat

menyelesaikan penugasan ini tepat pada waktunya. Harapan kami semoga

makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca. Kami sadar sepenuhnya bahwa

makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, kami sangat

mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi tercapainya kesempurnaan

penugasan ini.

Mataram, 6 November 2017

PENULIS

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................ 1

DAFTAR ISI ........................................................ 2

BAB I

A. PENDAHULUAN ........................................................ 3

B. TUJUAN ........................................................ 3

BAB II: ISI

A. Definisi ........................................................ 5
B. Etiologi ........................................................ 5
C. Epidemiologi ........................................................ 6
D. Patofisiologi ........................................................ 6
E. Gambaran Klinis ........................................................ 9
F. Diagnosis ........................................................ 9
G. Tata Laksana ........................................................ 10
H. Komplikasi dan prognosis.............................................. 13

BAB III: PENUTUP

KESIMPULAN ........................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA ........................................................ 16

2
BAB I

A. PENDAHULUAN

Cor pulmonal merupakan keadaan dimana terjadi hipertofi atau dilatasi


ventrikel kanan jantung diakibatkan karena hipertensi pulmonal, hal ini
diakibatkan karena adanya kerusakan parenkim paru dan atau kerusakan
pembuluh darah pulmonal yang tidak berhubungan dengan jantung kiri.1

Pada Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) dilaporkan akan berisiko


terkena cor pulmonal ini sebanyak 80-90% kasus. Hal ini bisa terjadi karena
jaringan parenkim paru telah mengalami kerusakan pada pasien PPOK sehingga
terjadi hipertensi pulmonal, dan selanjutnya akan menyebabkan terjadinya
hipertrofi ventrikel kanan.1 Prevalensi PPOK di Amerika Serikat dilapokan
mencapai 15 juta pasien. Hal ini tentu bisa mempengaruhi jumlah kejadian cor
pulmonal yang diakibatkan karena kejadian PPOK ini.2

Cor pulmonal ini menurut onset terjadinya dibagi menjadi dua yaitu cor
pulmonal akut dan cor pulmonal kronis. Cor pulmonal akut adalah peregangan
atau pembebanan akibat hipertensi pulmonal akut, sering terjadi emboli paru yang
masif. Pada cor pulmonal akut ini lah yang sifatnya lebih emergensi. Cor
pulmonal akut ini dilaporkan sebanyak 164 pasien dari total pasien yang ada yaitu
752 pasien, lalu dilaporkan 22% pasien dengan kor pulmonal akut mempunyai
prognosis yang buruk karena terkena cor pulmonal akut berat.1,3

Oleh karena itu pada penugasan ini akan lebih dibahas mengenai cor
pulmonal akut, mulai dari definisi hingga penatalaksanaan dan bagaimana pula
prognosis serta komplikasi yang mungkin akan timnbul akibat cor pulmonal akut.

B. TUJUAN

Dalam penulisan ini memiliki tujuan sebagai berikut:

 Untuk mengetahui dari etiologi, epidemiologi, patofisiologi, gambaran


klinis, penegakan diagnosis, tatalaksana, prognosis, serta komplikasi dari
cor pulmonal akut.

3
 Untuk media pembelajaran dan menjadi bekal ilmu untuk kelak menjadi
dokter.
 Sebagai bahan penilaian penugasan kelompok di blok 20 (emergensi).

4
BAB II
ISI

A. Definisi
Cor pulmonale adalah pembesaran ventrikel kanan sekunder terhadap
penyakit paru, toraks atau sirkulasi paru. Kadang-kadang disertai dengan gagal
ventrikel kanan. Tipe cor pulmonale disebut akut jika dilatasi belahan jantung
kanan setelah embolisasi akut paru, tipe kronis ditentukan lamanya gangguan
pulmoner yang membawa ke pembesaran jantung. Berapa lama dan sampai tahap
apa jantung tetap membesar akan bergantung pada fluktuasi-fluktuasi pada
ketinggian tekanan arterial pulmoner.4

B. Etiologi

Penyebab penyakit cor pulmonale antara lain:4

1. Penyakit paru menahun dengan hipoksia

- penyakit paru obstruktif kronik


- fibrosis paru
- penyakit fibrokistik
- cyrptogenik fibrosing alveolitis
- penyakit paru lain yang berhubungan dengan hipoksia
2. Kelainan dinding dada

- Kifoskoliosis, torakoplasti, fibrosis pleura


- Penyakit neuro muskuler
3. Gangguan mekanisme kontrol pernafasan

- Obesitas, hipoventilasi idiopatik


- Penyakit serebrovaskular
4. Obstruksi saluran nafas atas pada anak

- hipertrofi tonsil dan adenoid

5
5. Kelainan primer pembuluh darah

- hipertensi pulmonal primer, emboli paru berulang, vaskulitis


pembuluh darah paru.

C. Epidemiologi

Insidens diperkirakan 6-7% dari semua penyakit jantung pada orang


dewasa disebabkan oleh PPOK. Umumnya pada daerah dengan polusi udara yang
tinggi dan kebiasaan merokok yang tinggi dengan prevalensi bronchitis kronik
dan emfisema didapatkan peningkatan kekerapan cor pulmonale. Lebih banyak
disebabkan exposure daripada predisposisi dan pria lebih sering terkena daripada
wanita.4

D. Patofisiologi

Emboli paru massif merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan


terjadiya cor pulmonal akut, dimana penyumbatan pada sirkulasi pulmonal terjadi
di daerah proksimal. Penyebab paling sering kedua adalah acute respiratoru
distress syndrome (ARDS) yang berat, dimana obstruksi terjadi lebih distal.5
Emboli paru paling sering timbul dari pembuluh darah vena pada ekstremitas
bawah dan pelvis. Trombus lepas dari vena tersebut dan menyebabkan emboli
pada arteri pulmonal, dimana hal tersebut menyebabkan gangguan hemodinamik
dan pertukaran gas. Respon hemodinamik terhadap emboli paru ditentukan dari
ukuran embolus, status kardiopulmonari yang mendasari pada pasien tersebut dan
adaptasi kompensasi neurohormonal.Selain terjadiya obstruksi , emboli paru akut
juga mengarah pada pelepasan vasokonstriktor arteri pulmonalis dan hipoksemia,
yang selanjutnya menyebabkan terjadinya peningkatan pada resistensi pembuluh
darah pulomonal dan afterload ventrikel kanan. Peningkatan mendadak pada
afterload ventrikel kanan dapat menyebabkan dilatasi pada ventrikel kanan dan
hipokinesis, regurgitasi trikuspid dan akhirnya menyebakan kegagalan pada
ventrikel kanan. Pasien dengan kegagalan pada ventrikel kanan dapat dengan
cepat menyebakan hipotensi arteri sistemik dan serangan jantung. Tekanan
ventrikel kanan yang berlebihan juga dapat menyebabkan pendataran dari septum

6
interventrikular dan deviasi menuju ke ventrikel kiri pada saat diastolik, sehingga
mengganggu pengsisan ventrikel kiri. Manifestasi yang terjadi pada
interventrikular juga dapat menyebabkan terjadinya perubahan aliran transmitral
normal dengan kontraksi atrium kiri. Tekanan ventrikel kanan yang berlebihan
juga dapat meningkatkan tegangan dinding dan menyebabkan iskemia melalui
peningkatan kebutuhan oksigen miokardium pada kondisi suplai yang terbatas.
Mekanisme yang menyababkan gangguan pertukaran gas termasuk
ketidakseimbangan ventilasi terhadap perfusi meningkatkan total dead space dan
shunting kanan ke kiri. Hipoksemia arterial dan peningkatan gradien oksigen
alveolar arterial adalah 2 hal yang paling sering menyebabakan gangguan
pertukaran gas.6

Gambar 1. Patofisiologi Emboli Paru menyebabkan Cor Pulmonal Akut gas.6

Acute respiratory distress syndrome (ARDS) ditandai oleh hipoksemia


sekunder akibat edema paru kaya protein yang berhubungan dengan inflamasi
akut dan kehilangan volume paru aerasi. ARDS juga melibatkan injuri pada
sirkulasi pulmonal yang dikaitkan dengan hipertensi pulmonal dan peningkatan
dead space pulmonal. Dampak terhadap sirkulasi pulmonal berbeda tergantung
pada derajat ARDS dengan progresi dari manifestasi klinisnya. Pertama, injuri

7
pada mikorsirkulasi paru menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah paru yang menginisiasi terjadinya edema paru. Kedua, mikrotrombus
intravascular dapat berkembang dari ketidakseimbangan antara prokoagulan dan
aktivitas fibrinolitik dengan adanya infalamasi akut dan injuri endote. Ketiga,
penurunan kapasitas residual fungsional dapat meningkatkan resistensi pembuluh
darah paru. Keempat, tekanan petilasi positif dapat menyebabkan volume paru
tinggi di beberapa daerah paru dan menekan pembuluh alveolar yang
menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah paru. Hasil kapasitas
residual fungsional residual yang lebih tinggi juga dapar menyebabkan
peningkatan resistensi pembuluh darah paru. Kelim, vasokonstriksi pulmonal bisa
berlanjut menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah pulmonal, Semua
mekanisme tersebut dapat berkontribusi pada peningkatan resistensi pembuluh
darah pulmonal yang dapat terjadi 49 jam setelah onset ARDS. Peningkatan
resistensi pembuluh darah pulmonal juga dapat diperburuk dengan adana
hiperkapnia dan asidosis. Pada kondisi normal, ventrikel kanan memompa darag
melawan resistensi pembuluh darah pulmonal yang rendag, teteapi dalam kondisi
peningkatan resistensi yang akut hal tersesbut dapat menyebabkan penigkatan
afterload. Ventrikel kanan mencoba untuk mengimbangi dengan meningkatkan
end ssiolik dan volume end diastolic. Jika kenaikan afterload terjadi secara terus
menerus, terjadi penurunan fungsi sistolik ventrikel kanan dan gerakan septum
interventrikuler yang menyabkan berkurangnya curah jantung dan terjadinya cor
pulmonal akut dengan syok dan gagal jantung kanan.7

Gambar 2. Patofisiologi ARDS menyebabkan Cor Pulmonal Akut.7

8
E. Gambaran Klinis

Gambaran klinis dari kor pulmonale diawali dari PPOK kemudian disertai
dengan hipertensi pulmonal dan terakhir dengan gagal jantung kanan. Pada PPOK
ditemukan tanda-tanda seperti asidosis, hiperkapnia, hipoksia, polisitemia dan
hiperviskositas darah, hipertensi pulmonal, hipertrofi atau dilatasi ventrikel kanan
serta gagal jantung kanan. Hipertensi pulmonal tanda-tandanya ditemukan pada
pemeriksaan klinis. Kemudian pada pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan P
pulmonal mengalami deviasi aksis ke kanan dan hipertrofi ventrikel kanan.
Pemeriksaan foto thoraks terlihat adanya pelebaran daerah cabang paru di hilus.
Pemeriksaan ekokardiografi ditemukan hipertrofi ventrikel kanan. Selain itu,
pemeriksaan foto thoraks, elektrokardiografi, ekokardiografi, CT scan, MRI dapat
digunakan untuk melihat adanya hipertrofi dan dilatasi dari ventrikel kanan. Gagal
jantung kanan tandanya didapatkan dari pemeriksaan klinis berupa peningkatan
vena jugularis, hepatomegali, asites, serta edema tungkai.1

F. Diagnosis

Untuk diagnosis kor pulmonale terutama didasarkan pada dua kriteria yakni
adanya penyakit pernapasan disertai dengan hipertensi pulmonal, dan bukti
adanya hipertrofi ventrikel kanan. Kemudian adanya hipoksemia yang menetap,
hiperkapnia, asidosis, atau terjadi pembesaran dari ventrikel kanan pada
pemeriksaan radiogram dapat menunjukkan kemungkinan penyakit paru yang
mendasari. Gambaran diagnosis kor pulmonale cenderung mengabur dikarenakan
adanya emfisema, selain itu akibat dari gejala emfisema ini timbul dispnea.
Dispnea yang mengalami perburukan mendadak atau kelelahan, pingsan saat
bekerja, perasaan tidak enak angina pada substernal dapat menunjukkan adanya
keterlibatan jantung.8

Pada pasien dengan gagal ventrikel kanan terdapat irama gallop (suara
jantung S3 dan S4), distensi vena jugularis dengan gelombang A menonjol,
hepatomegali, serta edema perifer. Kemudian, untuk tanda-tanda fisik hipertensi
pulmonal antara lain kuat angkat sistolik pada area parasternal, mengerasnya

9
bunyi pulmonik kedua, serta adanya bising akibat insufisiensi katup trikuspidalis
dan pulmonalis.8

G. Tatalaksana1

Pengobatan kor pulmonale ditujukan untuk memperbaiki hipoksia alveolar


dan vasokontriksi paru dengan pemberian oksigen. Pada kor pulmonale akut
terjadi pembebanan akibat hipertensi pulmonal akut yang seringkali disebabkan
oleh emboli paru masif sehingga tatalaksana utama pada kor pulmonal adalah
mentatalaksanai emboli paru. Selain itu mengatasi hipertensi pulmonal yang
terjadi.

1. Tindakan untuk memperbaiki keadaan umum pasien


- Terapi oksigen
Oksigen akan mengurangi vasokontriksi dan menurunkan resistensi
vaskular paru yang kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrkel
kanan selain itu terapi oksigen akan meningkatkan hantaran oksigen ke
jantung dan organ vital lainnya.
Pemakaian oksigen dapat dilakukan selama 12 jam atau 24 jam
(National Institute of Healt) atau 15 jam (Britis Medical Clinic
Counsil) dengan kecepatan 1-3 liter/menit. Indikasi terapi oksigen
dirumah adalah jika terdapat beberapa keadaan dibawah ini :
(1) PaO2 ≤ 55mmHg atau SaO2 ≤ 88%.
(2) PaO2 55- 59 mmHg disertai salah satu dari keadaan edema yang
diakibatkan akibat gagal jantung kanan atau adanya P pulmonal
pada EKG atau eritrosit hematokrit >56%.
- Memberikan cairan infus untuk mempertahankan kestabilan keluaran
ventrikel kanan dan aliran darah pulmonal.
2. Pengobatan utama terhadap emboli paru
- Pengobatan dengan antikoagulan untuk mengambat pertumbuhan
tromboemboli dengan heparin dan warfarin.

10
a. Heparin
Pemberian heparin dapat dilakukan dengan berbagai cara menurut
keadaan pasien yaitu (1) drip heparin dengan infus intravena (2)
suntikan intravena intermiten dan (3) suntikan subkutan. Pemberian
drip heparin lewat infus kontinu intravena lebih disukai dibandingkan
pemberian intravena intermiten karena efek samping perdarahan yang
lebih jarang terjadi. Dosis heparin adalah bolus 3000- 5000 unit
intravena diikuti sebanyak 30.000- 35.000 unit/ hari dalam infus
glukosa 5% atau NaCl 0,9% atau disesusaikan sampai dicapai hasil
pengobatan heparin yaitu pemeriksaan PTT (partial thrombloplastin
time) mencapai 1,5- 2 kali nilai normal. Lama pengobatan diberikan 7-
10 hari selanjutnya obat antikoagulan oral. Pada emboli paru masif,
dosis heparin ditingkatkan menjadi 10.000 unit tiap 4 jam.
Pemberian heparin subkutan lebih menguntungkan karena
pemberiannya lebih mudah dan mobilisasinya lebih cepat sehingga
bisa diberikan pada pasien rawat jalan. Dosis mulai dengan suntikan
bolus intravena 3.000- 5.000 unit bersama subkutan pertama kemudian
suntikan subkutan diberikan 5.000 unit per 4 jam atau 10.000 unit per
8jam atau 15.000- 20.000 unit tiap 12 jam sampai dicapai PTT 1,5- 2,5
kali nilai normak. Heparin tidak boleh diberikan secara intamuskular
karena dapat menimbulkan hematom pada tempat sutikan.
b. Warfarin
Obat ini bekerja dengan menghambat aktivitas vitamin K
yaitu dengan mempengaruhi sintesis prokoagulan primer (faktor II,
VII dan X). Pada awal warfarin memiliki waktu kerja yang lembat
sehingga pemberian warfarin dilakukan setelah heparin. Warfarin
diberkan pada pasien dengan emboli paru berulang. Dosis yang
diberikan 10-15 mg/kgBB dengan target sampai terjadi
pemanjangan lebih dari 15- 25% dari nilai normal waktu
protrombin yang maksimum. Pemberiannya melalui oral dan
diberukan selama 3 bulan terus menerus.

11
- Pengobatan trombolitik
Pengobatan ini merupakan pengobatan definitif karena bertujuan
untuk menghilangkan sumbatan mekanik karena tromboemboli. Cara
obat ini adalah mengadakan trombolisis. Obat yang tersedia adalah
streptokinase dan urokinase. Keduanya bekerja dengan cara
memperkuat aktivitas plasmin. Plasmin dapat langsung melisiskan dan
mempunyai edek sekunder sebagai antikoagulan. Terapi trombolitik
selain mempercepat resolusi emboli paru juga dapat menurunkan
tekanan di arteri pulmonalis dan jantung kanan serta memperbaiki
fungsi ventrikel kanan dan kiri. Terapi trombolitik sering diindikasikan
untuk pasien emboli paru masif akut, emboli paru dengan gangguan
hemodinaik dan terdapat penyakit jantung dan tidak membaik setelah
pemberian heparin. Selama pemberian trombolitik, pasien tidak boleh
disuntik secara intravena, intraarteri dan intramuskular selain itu juga
tidak boleh diberikan obat antikoagulan dan antiplatelet bersama.
Dosis awal streptokinase 250.000 unit dalam larutan garam fisiologis
atau glukosa 5% diberikan intravena selama 30 menit. Dosis
pemeliharaannya adalah 10.000 unit/jam diberikan selama 24- 72 jam.
Dosis awal urokinase asalah 4.400 unit/kgBB dalam larutan garam
fisiologis atau glukosa 5% diberikan secara intravena selama 15- 39
menit. Dosis pemeliharananya 4.400 unit/kgBB/jam selama 12-24 jam.
Keberhasilan terapi dapat dilihat dalam waktu 12 jam untuk urokinase
dan 24 jam untuk streptokinase. Evaluasi terapi dilakukan sebelum,
selama dan sesudah terapi dan parameter yang diukur adalah waktu
trombin, PTT, waktu protrombin dan FDP (fibrin degeneration
product).
3. Pengobatan lainnya
Pengobatan pembedahan pada emboli paru diperuntukan bagi
pasien yang tidak adekuat atau tidak dapat diberikan terapi heparin.
Tindakan pembedahan ini dapat dilakukan dengan (1) venous intterupttion
dengan tujuan mencegaj emboli ulang dari trombus vena dalam tungkai

12
bawah. (2) tindakan embolektomi dulunya dilakukan jika terdapat
kontraindikasi terhadap pemakaian antikoagulan. Karena risiko kematian
cukup besar maka tindakan ini sekarang ditinggalkan.
4. Vasodilator
Nitrat, hidralaxin, antagonis kalsium, agonisalfa adrenergik,
inhibitor ACE dan prostaglandin sampai saat ini belum direkomendasikan
pemakaiannya secara rutin. Terdapat beberapa pedoman untuk
menggunakan vasodilator yaitu bila didapatkan 4 respons hemodinamik
sebagai berkut (1) resistensi vaskular paru diturunkan minimal 20% (2)
curah jantung meningkat atau tidak berubah (3) tekanan arteri pulmonal
menurun atau tidak berubah (4) tekanan darah sistemik tidak berubah
secara signifikan.
5. Diuretik
Diuretik hanya diberikan bila ada gagal jantung kanan. Pemberian
diuretik yang berlebihan dapat menimbulkan alkalosis metabolik dan dapat
menyebabkan kekurangan cairan yang menyebabkan preload ventrikel
kana dan curah jantung menurun.

H. Komplikasi dan Prognosis9

Komplikasi yang dapat timbul dari cor pulmonal antara lain gagal jantung
kronik, gagal nafas, gagal ginjal akut, hemoptosis, deep vein thrombosis.

Prognosis cor pulmonale bervariasi tergantung pada patologi yang


mendasarinya. Perkembangan cor pulmonale akibat penyakit paru primer
biasanya menyebabkan prognosis yang buruk. Misalnya, pasien dengan penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK) yang mengalami cor pulmonale memiliki
kemungkinan 30% bertahan 5 tahun. Namun, apakah cor pulmonale mengandung
nilai prognostik independen atau hanya mencerminkan tingkat keparahan COPD
atau penyakit paru lainnya yang mendasarinya tidak jelas.

Prognosis pada keadaan akut karena emboli paru yang berat atau sindrom
gangguan pernafasan akut (ARDS) sebelumnya tidak terbukti tergantung pada ada

13
tidaknya cor pulmonale. Namun, sebuah penelitian kohort prospektif multicenter
oleh Volschan dkk, menunjukkan bahwa pada kasus emboli paru, cor pulmonale
dapat menjadi prediktor kematian di rumah sakit. Para penulis mengumpulkan
data demografi, komorbiditas, dan manifestasi klinis pada 582 pasien yang
dirawat di unit perawatan darurat atau intensif dan didiagnosis dengan emboli
paru. Menilai informasi menggunakan analisis regresi logistik, para peneliti
membangun sebuah model prediksi. Hasil mereka menunjukkan bahwa pada
pasien hemodinamik stabil dengan emboli paru, faktor berikut mungkin
merupakan prediktor independen terhadap angka kematian di rumah sakit:

 Usia > 65 tahun


 Bed rest lebih dari 72 jam
 Cor pulmonale kronik
 Sinus takikardi
 Takipneu

Prognosis juga bergantung pada pengobatan dan manajemen penyakit paru


yang mendasarinya daripada cor pulmonale itu sendiri, dan individu dengan cor
pulmonale berkaitan dengan PPOK memiliki tingkat survival 50% dalam 5 tahun.
Jika cor pulmonale berhubungan dengan gagal jantung kanan, prognosisnya tidak
bagus. Pada sebuah studi dari 90 pasien rawat inap dengan gagal jantung kanan,
cor pulmonale terhitung sebesar 56%. Keseluruhan kematian saat di rumah sakit
adalah 14%, tapi 45-50% pasien yang membutuhkan pengobatan inotropik atau
masuk di ICU, meninggal. Tingkat kematian post-hospital sebesar 13% dalam 3
bulan, 26% dalam 6 bulan, dan 35% dalam 12 bulan. Tingkat survival untuk 10
tahun atau lebih memungkinkan terjadi.

14
BAB III
KESIMPULAN

Cor pulmonale adalah pembesaran ventrikel kanan sekunder terhadap penyakit


paru, toraks atau sirkulasi paru. Kadang-kadang disertai dengan gagal ventrikel
kanan. Penyebab cor pulmonale dari berbagai aspek antara lain penyakit paru
menahun dengan hipoksia, kelainan dinding dada, gangguan mekanisme kontrol
pernapasan, obstruksi saluran napas pada anak dan kelainan primer pembuluh
darah. Untuk mendiagnosis cor pulmonale didasarkan pada dua kriteria yakni
adanya penyakit pernapasan disertai dengan hipertensi pulmonal, dan bukti
adanya hipertrofi ventrikel kanan. Pada cor pulmonale akut terjadi pembebanan
akibat hipertensi pulmonal akut yang seringkali disebabkan oleh emboli paru
masif sehingga tatalaksana utama pada cor pulmonal adalah mentatalaksanai
emboli paru dan mengatasi hipertensi pulmonal yang terjadi. Prognosis cor
pulmonale tergantung pada patologi yang mendasari terjadinya penyakit dan
kesuksesan pada pengobatannya.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati, et al., 2014., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I., Edisi VI.,
Jakarta: Interna Publishing.
2. Leong D. 2016. Cor Pulmonale Overview of Cor Pulmonale Management.
Available at: https://emedicine.medscape.com/article/ . (Accessed on 4
November 2017).
3. Dessap M. 2016. Acute Cor Pulmonale During Protective Ventilation for
Acute Respiratory Distress Syndrome: Prevalence, Predictors, and Clinical
Impact. Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/ (Accessed
on 4 November 2017).
4. Kurt J. Isselbacher, Eugene Braunwald, Jean D. Wilson, Joseph & Martin,
Anthony S Fauci, Dennis L Kasper, edis bahasa Indonesia; Ahmad H.
Asdie Prof. dr. Sp.PD,. 2002. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam
Harrison. Edisi 15, Vol 3 p1222-1226.
5. Repesse. X. et al., 2015. Acute Cor Pulmonale in ARDS Rationale for
Protecting the Right Ventricle. Contemporary Reviews in Critical Care
Medicine Vol 7 No 1 p259-265.
6. Piazza, G. and Goldhaber, S. Z. 2007. Acute Pulmonary Embolism.
Circulation American Heart Association Vol 114 p28-32.
7. Guerin, C and Matthay, M.A. 2016. Acute Cor Pulmonale and the Acute
Respiratory Distress Syndrome. Intensive Care Med Vol 42 p934-936
8. Price. S.A. dan Wilson. L.M., 2014., Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit Volume 1. Edisi 6., Jakarta: EGC.
9. MDGuidelines, 2017. Cor Pulmonale, Acute and Chronic. MDGuidelines.
Available: https://www.mdguidelines.com/cor-pulmonale-acute-and-
chronic

16

Anda mungkin juga menyukai