Anda di halaman 1dari 9

Mekanisme aksi langsung: Kerusakan jaringan  Mekanisme dan respon pada toksisitas

selular  Hepatotoksisitas  Karsinogenisitas  Kerusakan gi

Toksikologi adalah studi mengenai efek-efek yang tidak diinginkan dari zat-zat kimia
terhadap organisme hidup. Toksikologi juga membahas tentang penilaian secara kuantitatif
tentang organ-organ tubuh yang sering terpajang serta efek yang di timbulkannya. Toksikologi
adalah ilmu yang menetapkan batas aman dari bahan kimia, definisi ini mengandung makna
bahwa di dalam tubuh, dalam kondisi tertentu zat kimia dapat berinteraksi dengan jaringan
tubuh, sehingga mengakibatkan timbulnya efek berbahaya atau toksik dengan wujud dan sifat
tertentu. Bila demikian halnya, dengan memahami kondisi, mekanisme, wujud, dan sifat efek
sesuatu zat kimia, dan sifat efek toksik suatu zat kimia, kita dapat mengevaluasi keberbahayaan
zat kimia itu, yang selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan atau memperkirakan batas
keamanan bila memejani manusia. Dan hal yang terakhir inilah merupakan arti penting
toksikologi. Selanjutnya, berdasarkan atas kondisi pemejanannya dan luas cakupan pokok
kajiannya, ruang lingkup toksikologi dapat dibedakan menjadi toksikologi lingkungan, ekonomi,
dan kehakiman.
Efek toksik atau efek yang tidak diinginkan dalam sistem biologis tidak akan dihasilkan
oleh bahan kimia kecuali bahan kimia tersebut atau produk biotransformasinya mencapai tempat
yang sesuai di dalam tubuh pada konsentrasi dan lama waktu yang cukup untuk menghasilkan
manifestasi toksik. Faktor utama yang mempengaruhi toksisitas yang berhubungan dengan
situasi pemaparan (pemajanan) terhadap bahan kimia tertentu adalah jalur masuk ke dalam
tubuh, jangka waktu dan frekuensi pemaparan.
Pemaparan bahan-bahan kimia terhadap binatang percobaan biasanya dibagi dalam empat
kategori: akut, subakut, subkronik, dan kronik. Untuk manusia pemaparan akut biasanya terjadi
karena suatu kecelakaan atau disengaja, dan pemaparan kronik dialami oleh para pekerja
terutama di lingkungan industri-industri kimia.
Interaksi bahan kimia dapat terjadi melalui sejumlah mekanisme dan efek dari dua atau
lebih bahan kimia yang diberikan secara bersamaan akan menghasilkan suatu respons yang
mungkin bersifat aditif, sinergis, potensiasi, dan antagonistik. Karakteristik pemaparan
membentuk spektrum efek secara bersamaan membentuk hubungan korelasi yang dikenal
dengan hubungan dosis-respons.
2.2 Asas Umum Toksikologi
Timbulnya efek toksik suatu zat kimia terjadi melalui beberapa proses. Menurut Donatus
(2001), awalnya makhluk hidup terpapar oleh toksikan. Kemudian setelah diabsorpsi dari tempat
paparannya maka toksikan atau metabolitnya akan terdistribusi ke tempat aksi (sel sasaran atau
reseptor) tertentu yang ada di dalam diri makhluk hidup. Interaksi antara toksikan atau
metabolitnya dengan sel sasaran atau reseptor di tempat aksi inilah yang menimbulkan pengaruh
berbahaya atau efek toksik dengan wujud serta sifat tertentu. Efek toksik sangat bervariasi dalam
sifat, organ sasaran, maupun mekanisme kerjanya. Pemahaman lebih mendalam mengenai ciri
efek toksik bermanfaat untuk menilai bahayanya bagi kesehatan dan untuk mengembangkan
upaya pencegahan dan terapi (Lu, 1995).
Berdasar alur peristiwa timbulnya efek toksik, ada empat asas umum yang perlu dipelajari
dan dipahami dalam toksikologi. Empat asas tersebut adalah kondisi pemejanan dan kondisi
makhluk hidup, mekanisme aksi, wujud dan sifat efek toksik atau pengaruh berbahaya racun
(Donatus, 2001).
Pemahaman atas empat asas umum tosikologi ini dapat dipergunakan untuk evaluasi
keberbahayaan suatu zat. Evaluasi ini menentukan atau memperkirakan batas keamanan suatu zat
bila mengenai atau digunakan pada manusia serta cara-cara menggunakannya supaya tidak
menimbulkan efek toksik (Priyanto, 2009). emudian bermanfaat untuk

2.3 Kondisi Efek Toksik


Menurut Loomis (1978), kondisi efek toksik suatu senyawa adalah berbagai keadaan atau faktor
yang dapat mempengaruhi efektivitas absorbsi, distribusi, dan eliminasi senyawa tersebut di
dalam tubuh makhluk hidup yang pada gilirannya akan menentukan keberadaan zat kimia
tersebut secara utuh atau metabolitnya dalam sel sasaran atau efektivitas antaraksinya dengan sel
sasaran. Jumlah zat kimia ataupun metabolitnya di sel sasaran akan mempengaruhi efek
toksiknya (Priyanto, 2009). Kondisi efek toksik meliputi kondisi pemejanan (kondisi paparan zat
kimia) dan kondisi makhluk hidup (Donatus, 2001).
Kondisi pemejanan yang mempengaruhi efek toksik adalah jenis, jalur, lama, kekerapan, saat,
dan takaran pemejanan. Jenis pemejanan dibedakan menjadi dua, yaitu akut dan kronis.
Keduanya dibedakan berdasarkan lama dan kekerapan pemejanan sebagai batas kurun waktu
pemejanan terhadap makhluk hidup (Donatus, 2001).
Pemejanan akut adalah pemejanan yang dilakukan kurang dari 24 jam. Akan tetapi pada
toksikologi klinis, pemejanan dalam kurun waktu 72 jam masih dianggap sebagai pemejanan
akut. Pemejanan kronis didefinisikan sebagai pemejanan yang dilakukan secara
berkesinambungan atau berulang dalam suatu periode waktu pemejanan tertentu yang lebih lama
dari pada periode waktu pemejanan akut (Donatus, 2001).
Kondisi makhluk hidup adalah keadaan fisiologi dan patologi yang dapat mempengaruhi
ketersediaan racun di sel sasaran dan keefektifan antaraksi kedua ubahan tersebut. Termasuk
dalam kondisi fisiologis makhluk hidup yang berpengaruh terhadap efek toksik adalah berat
badan, usia, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan aliran darah, status gizi,
kehamilan, jenis kelamin, irama sikardian, dan irama diurnal. Keadaan patologis meliputi
sejumlah penyakit diantaranya penyakit saluran cerna, kardiovaskuler, hati, dan ginjal (Donatus,
2001). Keadaan patologis merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam
pelaksanaan uji toksikologi, terutama berkaitan dengan pemilihan dan penentuan hewan uji
(Donatus, 2001).
Dimaksud dengan efek toksik adalah berbagai keadaan atau factor yang dapat
mempengaruhi keefektifan absorbs, distribusi, dan eliminasi zat beracun di dalam tubuh,
sehingga akan menentukan keberadaan zat kimia utuh atau metabolitnya dalam sel sasaran serta
toksisitasnya. Termasuk dalam kondisi efek toksik ialah kondisi pemejanan yang meliputi jenis
pemejanan (akut atau kronis) jalur pemejanan (intra vascular atau ekstra vascular), lama dan
kekerapan pemejanan, saat pemejanan, dan takaran atau dosis pemejanan. Selain itu, termasuk
pula dalam kondisi efek toksik ialah kondisi subyek atau makhluk hidup, meliputi keadaan
fisiologi (misalnya: berat badan, umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan
alir darah, status gizi, kehamilan, genetika, jenis kelamin, ritme sirkadian, ritme diurnal) dan
keadaan patologi (misalnya: penyakit saluran cerna, kardiovaskular, hati, dan ginjal).
Berbaga macam kondisi itu, akan mempengaruhi ketersediaan zat beracun atau
metabolitnya didalam sel sasaran, atau keefektifan interaksinya dengan sel sasaran. Dengan cara
demikian, akan menentuikan toksisitas suatu zat beracun.

2.4 Mekanisme Efek Toksik


Mekanisme aksi toksik suatu zat beracun berguna untuk mengetahui penyebab timbulnya
keracunan yang berkaitan dengan wujud dan sifat efek toksik yang terjadi. Mekanisme aksi
toksik racun dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu berdasarkan sifat dan tempat kejadian, sifat
antaraksi antara racun dan tempat aksinya, serta risiko penumpukan racun di dalam gudang
penyimpanan tubuh (Donatus, 2001).
Mekanisme aksi berdasar sifat dan tempat kejadian, secara patologi dapat dibagi menjadi
dua yaitu mekanisme luka intrasel dan ekstrasel. Mekanisme luka intrasel adalah luka yang
diawali oleh aksi racun pada tempat aksinya di dalam sel, sehingga mekanisme ini sering disebut
mekanisme langsung atau primer. Tempat aksinya meliputi membran sel (lipid, protein, reseptor),
inti sel (DNA), sitosol (enzim), mitokondria (produk energi), dan retikulum endoplasmik
(sintesis protein). Luka ekstrasel terjadi secara tidak langsung karena racun beraksi di lingkungan
luar sel. Mekanisme ini disebut juga mekanisme tak langsung atau sekunder (Donatus, 2001).
Lingkungan luar berpengaruh terhadap kelangsungan hidup sel. Keberadaan zat kimia di
lingkungan sel dapat menggangu aktivitas yang dapat menimbulkan perubahan struktur dan
fungsi sel.
Pada dasarnya setelah zat beracun masuk ke dalam tubuh, suatu ketika dapat berdistribusi
sampai ke cairan estrasel atau intrasel karena itu, berdasarkan atas sifat dan tempat kejadiannya,
mekanisme aksi toksik zat kimia dibagi menjadi dua yakni mekanisme luka intrasel dan
mekanisme ekstrasel. Mekanisme luka intrasel adalah luka sel yang diawali oleh aksi langsung
zat beracun atau metabolitnya pada tempat aksi tertentu di dalam sel sasaran. Karena itu,
mekanisme jenis ini sering kali dikenal sebagai mekanisme yan g sifatnya langsung atau primer.
Sebaliknya mekanisme ekstrasel terjadi secara tidak langsung artinya, zat beracun pada awalnya
beraksi dilungkungan luar sel dengan akibat terjadinya luka di dapam sel. Karenanya,
mekanisme ini juga disebut mekanisme tak langsung atau sekunder.
a. Mekanisme luka intraseluler
Di dalam tubuh, zat beracun mungkin berada dalam bentuk zat kimia induk atau dalam bentuk
metabolit yang relatif (misalnya: ion karbonium, epoksida, radikal bebas), sebelum berada di sel
sasaran. Setelah masuk ke dalam sel sasaran, kemungkinan akan berinteraksi dengan suatu
sasaran molekuler yang khas atau tak khas, melalui salah satu dari beberapa mekanisme reaksi
kimia yang mungkin (reaksi pendesakan, ikatan kovalen, substitusi, peroksidasi, dan lain
sebagainya). Sebelum terjadi efek yang tidak diinginkan sebagai akibat interaksi tadi, pertama
kali tubuh memberikan responnya, yang berupa aksi perbaikan atau adaptasi. Namun, bila
mekanisme pertahanan tubuh ini tidak lagi mampu menanggulanginya maka terjadilah respon
toksik yang pada dasarnya berwujud sebagai perubahan atau kekacauan biokimia, fungsional,
atau struktural, yang sifatnya mungkin terbalikan atau metabolit reaktif zat beracun, akan
bereaksi langsung dengan komponen-komponen molekular sel (sasaran molekular), melalui
serangkaian reaksi kimia tertentu, sasaran molekular ini meliputi membran sel (lipid)
b. Mekanisme luka ekstrasel
Kelangsungan hidup sel bergantung pada aneka ragam faktor lingkungan ekstrasel, yang pada
dasarnya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik basal dan pengaturan aktifitas sel.
Oleh karena itu, bila zat beracun yang berada di lungkungan ekstrasel mampu mengganggu atau
mengacaukan kedua sistem tersebut, mungkin dapat menimbulkan perubahan struktur atau
fungsi sel. Pada dasarnya, untuk kepentingan metabolik dasar bagi kepentingan hidup sel,
dibutuhkan pasokan oksigen dan unsur hara, serta lingkungan cairan ekstraseluler yang optimal
berkaitan dengan komposisi elektrolit atau asam basa. Pasokan oksigen diperlukan untuk
produksi energi. Kecukupan pasokan oksigen ini bergantung pada fungsi alat pernafasan, difusi
oksigen dari alfeoli ke dalam darah, jumlah eritrosit yang berfungsi, dan sistem kardio faskular
untuk transport eritrosit teroksigenkan ke sel. Semua tempat ini, dapat menjadi sasaran serangan
kimia zat beracun. Misalnya, nitrit dapat merubah hemoglobin menjadi methemoglobin yang
tidak sanggup membawa oksigen. Akibatnya terjadi kekurangan oksigen dalam sirkulasi darah
(hipoksia). Bila berlanjut, keadaan ini akan berkembang menjadi anoksia. Dengan cara demikian,
produksi energi sel akan terganggu. Akibatnya dapat terjadi degenerasi atau kematian sel.
Pasokan unsur hara diperlukan oleh semua sel agar berbagai reaksi metabolik dapat
berlangsung dengan normal, sehingga produksi energi sel selalu mencukupi. Selain itu, unsur
hara juga diperlukan untuk proses pertumbuhan dan fungsi sel. Kecukupan unsur hara ini
tentunya bergantung pada keefektifan ingesti, digesti, absorbsi, dan distribusinya dari darah ke
lingkungan luar sel. Dengan demikian, zat beracun apapun yang dapat menghambat berbagai
proses perpindahan unsur hara dari tempat masuknya sampai akhirnya ke sel, tentu saja akan
menimbulkan gangguan terhadap produksi energi atau pertumbuhan sel.
Cairan dan keseimbangan elektrolit serta eliminasi produk buangan metabolisme sel,
merupakan sasaran potensial aneka ragam zat beracun. Pada umumnya, pengaruhnya berupa
retensi cairan ( edema) atau dehidrasi. Keadaan hal ini mungkin menyebabkan perubahan
struktur sekunder pada ginjal karena penekanan sodium, potasium, dan air tubuh. Sistem
pengaturan aktifitas sel mengatur dan mengintegrasikan kebutuhan aktifitas sel untuk memenuhi
persyaratan yang diperlukan bagi kelangsungan hidup sel. Untuk itu, di dalam tubuh terdapat
beberapa sistem pengaturan yang saling berkaitan, yakni sistem saraf, endokrin (hormon), dan
kekebalan (imun).
Sistem saraf merupakan sistem pengantaran aktifitas sel yang paling penting dan sekaligus
kritis sebagai sasaran zat beracun. Baik secara langsung atau tak langsung, sistem ini
mempengaruhi semua jenis sel. Karena itu, bila disrupsi atau kerusakan sistem ini, maka dapat
menimbulkan kematian. Aneka ragam efek utama yang mungkin nampak ialah efek yang
berkaitan dengan kendali neural kontraksi otot atau sekresi kelenjar. Golongan pestisida tertentu
misalnya, dapat merusak saraf skiatik pada kaki. Otot yang dipasok oleh saraf ini, tidak akan
terangsang untuk berkontraksi lebih lama akibat pemejannan pestisida itu. Kelumpuhan mungkin
dapat terjadi. Contoh lainnya, atropina mempengaruhi saraf otonom, sehingga dapat
menghambat saraf sekresi kelenjar ludah. Akibatnya, mulut dapat terasa kering.
Sistem endokrin pada umumnya mengatur aktifitas pertumbuhan dan keseimbangan cairan
serta elektrolit sel. Selain itu, sistem ini secara khas mengendalikan sistem reproduksi. Misalnya
senyawa nirsteroid metalibur, dapat menekan sekresi gonadotropin, sehingga dapat menghambat
spermatogenesis dan atropiperlengkapan kelenjar kelamin. Keadaan ini terjadi karena fungsi
testis terutama diatur oleh gonadotropin LH dan FSH.
Sistem kekebalan tubuh mengatur molekul-molekulasi yang masuk ke dalam tubuh dan molekul-
molekul asing yang dihasilkan di dalam tubuh. Namun, hal ini tidak berarti semua molekul di
anggap asing oleh tubuh. Molekul yang dianggap asing oleh sistem kekebalan disebut antigen.
Pada umumnya, molekul antigen yang dijumpai ada kaitannya dengan bakteri, virus, protein, dan
zat kimia asing. Dalam keadaan normal, antigen-antigen ini dapat dinetralkan oleh sistem
kekebalan dan dieliminasi tanpa menyebabkan efek yang membahayakan tubuh inangnya, yang
berkisar dari efek lokal yang ringan seperti ruam sampai ke reaksi yang parah dan fatal seperti
syok. Reaksi yang membahayakan ini biasanya diacu sebagai reaksi alergi, yang sangat penting
dalam kaitannya dengan mekanisme ketoksikan zat kimia apapun.

2.5 Wujud Efek Toksik


Wujud efek toksik suatu racun dapat berwujud perubahan biokimia, fisiologi (fungsional),
dan struktural. Perubahan ini memiliki sifat yang khas, yaitu terbalikkan dan tak terbalikkan
(Donatus, 2001).
Respon perubahan biokimia merupakan perubahan atau kekacauan biokimia terhadap luka
sel akibat antaraksi antara racun dan tempat aksi yang terbalikkan. Respon perubahan fungsional
berkaitan dengan antaraksi racun dengan reseptor aktif enzim yang terbalikkan, sehingga
mempengaruhi fungsi homeostasis tertentu (Donatus, 2001).
Termasuk dalam wujud efek toksik biokimia antara lain penghambatan respirasi seluler,
perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, serta gangguan pasokan energi. Termasuk dalam
wujud efek toksik fungsional antara lain anoksia, gangguan pernapasan, gangguan sistem saraf
pusat, hiper atau hipotensi, hiper atau hipoglikemia, perubahan keseimbangan cairan dan
elektrolit, perubahan kontraksi atau relaksasi otot, serta hiper atau hipotermi (Priyanto, 2009).
Perubahan fungsional atau biokimia seringkali merupakan tahap awal dari terjadinya
perubahan struktural (Priyanto, 2009). Respon perubahan struktural meliputi degenerasi,
proliferasi, dan inflamasi. Perubahan degenerasi meliputi atropi, akumulasi intrasel (yang paling
sering dijumpai adalah penumpukan air dan lemak), serta nekrosis. Wujud efek toksik yang sama
dapat memperantai timbulnya gejala klinis ketoksikan yang berbeda pada tiap individu.
Wujud efek toksik zat beracun, pada dasaranya merupakan perubahan biokimia,
fungsional, dan struktural. Namun, tidak berarti bahwa efek toksik zat beracun sepenuhnya dapat
terpisah dengan tegas ke dapam tiga jenis wujud dasar efek toksik itu. Melainkan, sering kali
merupakan campuran, karena ketiganya merupakan proses yang saling berkaitan. Perubahan
struktural misalnya, kebanyakan merupakan wujud akhir dari perubahan fungsional dan atau
biokimia.
Jenis efek toksik berdasarkan perubahan biokimia, meliputi jenis wujud efek toksik yang
berkaitan denggan respons dan perubahan atau kekacauan biokimia terhadap luka sel, akibat
interaksi antara zat beracun dan tempat aksi tertentu, yang sifatnya berbalikan. Termasuk dalam
jenis wujud efek toksik itu, diantaranya menghambat respirasi sel, perubahan keseimbangan
cairan dan elektrolit, dan gangguan pasokan energi. Misalnya sianida mampu menghambat rantai
transport elektron.
Jenis efek toksik berdasarkan perubahan fungsional meliputi jenis wujud efek toksik yang
berkaitan dengan interaksi zat beracun dengan reseptor atau tempat akhir enzim yang sifatnya
berbalikan, sehingga dapat mempengaruhi fungsi homeostatis tertentu. Termasuk dalam jenis
wujud efek toksik ini diantaranya anoksia, gangguan pernafasan, gangguan sistem saraf pusat,
hiper atau hipotensi, hiper atau hopo glikemik, perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit,
perubahan kontraksi atau rileksasi otot, dan hipo atau hipertermi. Insektisida organofosfat
melation misalnya, dapat menyebabkan kematian karena penyekatan otot-otot pernafasan sebagai
akibat penumpukan asetil kolin yang berlebihan. Hal ini terjadi karena hambatan enzim yang
secara normal bertanggung jawab terhadap penawar racun neurotransmiter.
Efek toksik berdasarkan perubahan struktural, meliputi jenis wujud efek toksik yang
berkaitan dengan perubahan morfologi sel yang akhirnya berwujud sebagai kekacauan struktural,
terdapat respon histopatologi dasar sebagai tanggapan terhadap adanya luka sel, yakni degenerasi
proliferasi, dan inflamasi atau perbaikan. Degenerasi dan poliferasi merupakan respon ekstrasel.
Berbagai respon histopatologi itu, mendasari aneka ragam perubahan morfologi atau struktural
dalam berbagai wujud atau bentuknya seperti degenerasi melemak, nekrosis, mutagenesis,
karsinogenesis, dan lain sebagainya. Tetrasiklin merupakan contoh obat yang dapat
menimbulkan perlemakan hati, sedang racun pangan aflatoksin dapat menimbulkan nekrosis hati.
Pada umumnya, perubahan struktural ini bersifat terbalikkan. Meskipun demikian, adapula yang
bersifat terbalikkan, misalnya degenerasi lemak.

2.6 Sifat Efek Toksik


Terdapat dua jenis sifat efek toksik zat beracun, yakni terbalikkan atau tak terbalikan. Ciri khas
dari wujud efek toksik yang terbaikkan meliputi:
a. Bila kadar racun yang ada dalam tempat aksi atau reseptor tertentu telah habis, maka reseptor
tersebut akan kembali kesemula.
b. Efek toksik yang ditimbulkan akan cepat kembali normal.
c. Ketoksikkan racun bergantung pada takaran serta kecepatan absorbsi, distribusi, dan eliminasi
racunnya.
Sedang cirikhas dari wujud efek toksik yang bersifat tak terbalikkan meliputi:
a. Kerusakan yang terjadi sifatnya menetap
b. Pemejanan berikutnya dengan racun akan menimbulkan kerusakan yang sifatnya sama sehingga
memungkinkan terjadinya penumpukan efek toksik
c. Pemejanan dengan takaran yang sangat kecil dalam jangka panjang akan menimbulkan efek
toksik yang seefektif dengan yang ditimbulkan oleh pemejanan racun dengan toksikan besar
dalam jangka panjang.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan:
a. Toksikologi adalah studi mengenai efek-efek yang tidak diinginkan dari zat-zat kimia terhadap
organisme hidup.
b. Asas umum toksikologi adalah kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi,
wujud dan sifat efek toksik atau pengaruh berbahaya racun.
c. Kondisi efek toksik meliputi kondisi pemejanan (kondisi paparan zat kimia) dan kondisi
makhluk hidup.
d. Mekanisme aksi berdasar sifat dan tempat kejadian, secara patologi dapat dibagi menjadi dua
yaitu mekanisme luka intrasel dan ekstrasel.
e. Wujud efek toksik suatu racun dapat berwujud perubahan biokimia, fisiologi (fungsional), dan
struktural.
f. Terdapat dua jenis sifat efek toksik zat beracun, yakni terbalikkan atau tak terbalikan.

3.2 Saran
a. Sebelum mengetahui ilmu toksikologi lebih lanjut, harus terlebih dahulu mengetahui dasar yaitu
mengenai kondisi, mekanisme, wujud, dan sifat

Anda mungkin juga menyukai