PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia
karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi.
Penelitian yang dilakukan di Inggris pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2010
oleh Mc. Pherson et al. (2013) menyatakan bahwa 1 dari 20 kematian yang
terjadi di Inggris diakibatkan oleh sepsis, dengan prevalensi kejadian sebesar
5,5% untuk wanita dan 4,8% untuk pria. Angka kejadian sepsis yang dilaporkan
di Amerika tercatat 750.000 setiap tahunnya dan kematian sekitar 2% kasus
terkait dengan kejadian severe sepsis (Angus & Poll, 2013).
Penelitian yang dilakukan di Indonesia mengenai sepsis diantaranya yang
dilakukan di Rumah Sakit (RS) Dr. Soetomo pada tahun 2012 mengenai profil
penderita sepsis akibat bakteri penghasil extended-spectrum beta lactamase
(ESBL) mencatat bahwa kematian akibat sepsis karena bakteri penghasil ESBL
adalah sebesar 16,7% dengan rerata kejadian sebesar 47,27 kasus per tahunnya.
Penelitian tersebut melaporkan bahwa 27,08% kasus adalah sepsis berat, 14,58%
syok sepsis dan 53,33% kasus adalah kasus sepsis (Irawan et al., 2012).
Sepsis diawali dengan adanya kejadian systemic inflammatory response
syndrome (SIRS) yang disertai dengan infeksi.Walaupun kejadian sepsis ditandai
dengan adanya infeksi namun tidak selamanya terdapat bakteremia.Kejadian
tersebut dimungkinkan karena adanya endotoksin maupun eksotoksin di dalam
darah sedangkan bakterinya berada di dalam jaringan (Guntur, 2008).
Sepsis dapat disebabkan oleh bakteri gram positif yang menghasilkan
eksotoksin, bakteri gram negatif yang menghasilkan endotoksin, virus maupun
jamur.Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa penyebab sepsis terbesar
adalah bakteri gram negatif. Sebuah studi epidemiologi melaporkan bahwa dari
14.000 pasien sepsis yang dirawat di intensive care unit (ICU) di 75 negara
disebutkan bahwa severe sepsis yang disebabkan karena gram negatif sebesar
1
62% kasus, gram positif sebesar 47% kasus dan 19% kasus disebabkan karena
jamur (Vincent et al., 2009).
Lipopolisakarida (LPS) yang dihasilkan oleh gram negatif akan
membentuk ikatan dengan lipo binding protein (LBP). Terjadi aktivasi sistem
imun seluler dan humoral sehingga membentuk LPS antibody (LPSab) yang akan
berikatan dengan reseptor cluster of differentiation (CD) 14 untuk
mengekspresikan produksi imunomodulator. Sepsis yang disebabkan oleh gram
positif terjadi karena eksotoksin berperan sebagai superantigen yang akan
difagosit oleh antigen presenting cell (APC) yang akhirnya akan menyebabkan
produksi berlebihan sitokin proinflamasi (Guntur, 2006).
Kejadian sepsis disertai dengan adanya proses inflamasi. Inflamasi
merupakan suatu reaksi lokal jaringan yang melibatkan lebih banyak mediator
dibandingkan respons imun yang didapat.Sel-sel pada sistem imun nonspesifik
yang berperan diantaranya adalah neutrofil, sel mast, basofil, eosinofil, makrofag
jaringan. Makrofag jaringan yang aktif pada suatu proses inflamasi akan
melepaskan mediator sitokin berupa interleukin 1 (IL) 1, IL-6 dan tumor necrosis
3 factor alpha (TNF-α) yang akan menginduksi perubahan lokal dan sistemik
pada host (Baratawidjaja & Renggaris, 2012).
Sitokin seperti IL-1 dan TNF-α akan memacu makrofag dan sel endotel
untuk memproduksi kemokin untuk meningkatkan ekspresi molekul adhesi.
Sitokin proinflamasi yang dilepaskan selama terjadinya sepsis memberikan
peranan yang cukup besar dalam perjalanan patogenesis sepsis, severe sepsis
maupun syok sepsis.Interleukin 1 dan TNF-α yang dilepaskan selama sepsis
merupakan mediator kunci sedangkan mediator yang lainnya merupakan
mediator suplementasi (Guntur, 2006).
Interleukin 1 merupakan sitokin yang berperan pada inflamasi akut
maupun kronik.Gene family IL-1 terdiri atas IL-1α, IL-1β, dan IL-1 receptor
antagonist (IL-1Ra).Interleukin 1α dan IL-1β bersifat proinflamasi sedangkan IL-
1Ra bersifat antiinflamasi.Interleukin 1 beta merupakan suatu imunoregulator
yang berperan penting pada sepsis. Sitokin ini akanmeningkatkan produksi
2
protein fase akut, perangsangan sel endotel untuk memproduksi prostaglandin
(PG), katabolisme jaringan, ekspresi adhesions molecule dan aktivasi jalur
koagulasi (Dinarello, 2011).
Sepsis dapat menyebabkan peningkatan sintesis hormon akibat adanya
stres. Sepsis meningkatkan produksi sitokin yang akan menyebabkan
perangsangan glukokortikoid dari korteks adrenal yang diperantarai
adenocorticotropic hormone (ACTH). Kortisol merupakan hormon yang
diproduksi oleh korteks adrenal pada zona fasiculata dan retikularis.Sekresi
kortisol dipengaruhi oleh rangsangan hormon corticotropin releasing hormone 4
(CRH).Hormon ini merupakan suatu hormon stres yang kadarnya dapat
meningkat pada keadaan inflamasi akut. Sitokin proinflamasi dan kortisol akan
bekerja dengan sistem feedback negatif. Peningkatan kadar sitokin akan
menyebabkan pengeluaran kortisol. Kortisol berperan dalam menjaga tonus
vaskuler dan hal ini terkait dengan kejadian syok pada sepsis. Kortisol juga
berperan untuk menghambat sintesis sitokin proinflamasi melalui aktivitas
nuclear factor kappa beta (NF-κB) (Polito et al., 2011).
Penelitian yang ada sebelumnya menyebutkan adanya kaitan antara
kortisol dan IL- 6 pada pasien sepsis dan penelitian yang lainnya mengkaitkan
antara kadar kortisol dengan kejadian severe sepsis. Penelitian ini dilaksanakan
karena belum ada penelitian yang mengkaitkan antara IL-1β dan kortisol bebas
sebagai marker prognostik
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sepsis ?.
2. Apa etiologi dari sepsis ?
3. Apa manifestasi kinis sepsis ?
4. Bagaimana patofisiologi sepsis ?
5. Apa pathway dari sepsis ?
6. Apa komplikasi pada sepsis ?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang sepsis ?
8. Apa penatalaksanaan dari sepsis ?
3
9. Bagaimana asuhan keperawatan sepsis ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun beberapa tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
Setelah dilakukan pembahasan tentang Sepsis diharapkan dapat memahami
tentang:
a) Pengertian Sepsis
b) Etiologi
c) Manifestasi Klinis
d) Patofisiologi
e) Pathway
f) Komplikasi
g) Pemeriksaan penunjang
h) Penatalaksanaan medis dan keperawatan
a) Pengkajian
b) Diagnosa keperawatan
c) Intervensi keperawatan
4
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Sepsis adalah suatu keadaan ketika mikroorganisme menginvasi tubuh dan
menyebabkan respon inflamasi sitemik. Respon yang ditimbulkan sering
menyebabkan penurunan perfusi organ dan disfungsi organ. Jika disertai dengan
hipotensi maka dinamakan Syok sepsis. ( Linda D.U, 2006).
Sepsis adalah sindrom yang dikarakteristikan oleh tanda-tanda klinis dan
gejala-gejala infeksi yang parah yang dapat berkembang ke arah septisemia dan
syok septik. (Doenges, Marylyn E. 2000).
Sepsis adalah infeksi berat dengan gejala sistemik dan terdapat bakteri dalam
darah. (Surasmi, Asrining. 2003).Sepsis adalah mikrooganisme patogen atau
toksinnya didalam darah. (Dorland, 2010).
Dari definisi di atas penyusun menyimpulkan bahwa sepsis adalah infeksi
bakteri generalisata dalam darah yang biasanya terjadi pada bulan pertama
kehidupan dengan tanda dan gejala sistemik
B. Etiologi
Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus syok
septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat hingga 70%
5
isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram positif atau gram negatif saja;
sisanya ditumbuhi fungus atau mikroorganisme campuran lainnya. Kultur lain
seperti sputum, urin, cairan serebrospinal, atau cairan pleura dapat
mengungkapkan etiologi spesifik, tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses
tersebut mungkin tidak dapat diakses oleh kultur.
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah
infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih,
perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:
C. Patofisiologi
Sepsis disebabkan oleh bakteri gram negatif (70%), bakteri gram positip (20-
40%), jamur dan virus (2-3%), protozoa (Iskandar, 2002).Produk bakteri yang
berperan penting pada sepsis adalah lipopolisakarida (LPS) yang merupakan
6
komponen utama membran terluar bakteri gram negatip dan berperan terhadap
timbulnya syok sepsis (Guntur, 2008; Cirioni et al., 2006).
Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis, masih
banyak faktor lain (nonsitokin) yang sangat berperan dalam menentukan
perjalanan penyakit. Respon tubuh terhadap patogen melibatkan berbagai
komponen sistem imun dan sitokin, baik yang bersifat proinflamasi maupun
antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah tumor necrosis factor(TNF),
interleukin-1(IL-1), dan interferon-γ (IFN-γ) yang bekerja membantu sel untuk
menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin
antiinflamasi adalah interleukin-1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, dan IL-10
yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang
berlebihan. Sedangkan IL-6 dapat bersifat sebagai sitokin pro- dan anti-inflamasi
sekaligus.
Penyebab sepsis paling banyak berasal dari stimulasi toksin, baik dari
endotoksin gram (-) maupun eksotoksin gram (+). Komponen endotoksin utama
yaitu lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin glikoprotein kompleks dapat secara
langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, bersama dengan antibodi
dalam serum darah penderita membentuk lipopolisakarida antibodi (LPSab).
LPSab yang berada dalam darah penderita dengan perantaraan reseptor CD14+
akan bereaksi dengan makrofag yang kemudian mengekspresikan
imunomudulator.
7
Pada sepsis akibat kuman gram (+), eksotoksin berperan sebagai super-
antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai
antigen processing celldan kemudian ditampilkan sebagai antigen presenting cell
(APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari major
histocompatibility complex (MHC), kemudian berikatan dengan CD42+(limposit
Th1 dan Th2) dengan perantaraan T cell receptor(TCR).
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limposit T akan
mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai imunomodulator yaitu:
IFN-γ, IL-2, dan macrophage colony stimulating factor (M-CSF0. Limposit Th2
akan mengeluarkan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN-γ meransang makrofag
mengeluarkan IL-1ß dan TNF-α. Pada sepsis IL-2 dan TNF-α dapatmerusak
endotel pembuluh darah. IL-1ß juga berperandalam pembentukan prostaglandin
E2 (PG-E) dan meransang ekspresi intercellular adhesion molecule-1(ICAM-1).
ICAM-1 berperan pada proses adhesi neutrofil dengan endotel.Neutrofil yang
beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding
endotel lisis. Neutrofil juga membawa superoksidan radikal bebas yang akan
mempengaruhi oksigenasi mitokondria. Akibat proses tersebut terjadi kerusakan
endotel pembuluh darah. Kerusakan endotel akan menyebabkan gangguan
vaskuler sehingga terjadi kerusakan organ multipel.
8
antiinflamasi yang memadai. Ketidakseimbangan antara proinflamasi dan
antiinflamasi ini kemudian akan menimbulkan keadaan hiperinflamasi sel endotel
yang selanjutnya akan menyebabkan rangkaian kerusakan hingga kegagalan organ
yang merugikan (Guntur, 2008).
Sel-sel imun yang paling terlihat mengalami disregulasi apoptosis ini adalah
limfosit (Wesche-Soldato et al., 2007). Apoptosis limfosit ini terjadi pada semua
organ limfoid seperti lien dan timus (Hotchkiss et al., 2005). Apoptosis limfosit
juga berperan penting terhadap terjadinya patofisiologi sepsis (Chang et al., 2007).
Apoptosis limfosit dapat menjadi penyebab berkurangnya fungsi limfosit pada
pasien sepsis (Remick, 2007).
9
D. Pathway
10
E. Manifestasi Klinis
F. Klasifikasi
1. Sepsis onset dini
- Merupakan sepsis yang berhubungan dengan komplikasi obstertik.
- Terjadi mulai dalam uterus dan muncul pada hari-hari pertama kehidupan
( 20 jam pertama kehidupan)
- Sering terjadi pada bayi prematur, lahir ketuban pecah dini, demam
impratu maternal dan coricomnionitis.
2. Sepsis onset lambat
- Terjadi setelah minggu pertama sampai minggu krtiga kelahiran
- Ditemukan pada bayi cukup bulan
- Infeksi bersifat lambat, ringan dan cenderung bersifat local
G. Komplikasi
1. Dehidrasi
Kekurangan cairan terjadi dikarenakan asupan cairan pada bayi yang
kurang, tidak mau menyusu, dan terjadinya hipertermia.
2. Hiperbilirubinemia dan anemia
Hiperbilirubinemia berhubungan dengan penumpukan bilirubin yang
berlebihan pada jaringan. Bilirubin dibuat ketika tubuh melepaskan sel-sel
darah merah yang sudah tua, ini merupakan proses normal. Bilirubin
merupakan zat hasil pemecahan hemoglobin (protein sel darah merah yang
memungkinkan darah mengakut oksigen).Hemoglobin terdapat pada sel darah
merah yang dalam waktu tertentu selalu mengalami destruksi (pemecahan).
11
Namun pada bayi yang mengalami sepsis terdapat infeksi oleh bakteri dalam
darah di seluruh tubuh, sehingga terjadi kerusakan sel darah merah bukanlah
hal yang tidak mungkin, bayi akan kekurangan darah akibat dari hal ini
(anemia) yang disertai hiperbilirubinemia karena seringnya destruksi
hemoglobin sering terjadi.
3. Meningitis
Infeksi sepsis dapat menyebar ke meningies (selaput-selaput otak)
melalui aliran darah.
4. Disseminated Intravaskuler Coagulation (DIC)
Kelainan perdarahan ini terjadi karena dipicu oleh bakteri gram negatif
yang mengeluarkan endotoksin ataupun bakteri gram postif yang
mengeluarkan mukopoliskarida pada sepsis. Inilah yang akan memicu
pelepasan faktor pembekuan darah dari sel-sel mononuklear dan endotel. Sel
yang teraktivasi ini akan memicu terjadinya koagulasi yang berpotensi trombi
dan emboli pada mikrovaskular.
5. Aasidosis
6. Gagal ginjal
7. Disfungsi miokard
8. Perdarahan intra cranial
9. Icterus
10. Gagal hati
11. Disfungsi system saraf pusat
12. Kematian
13. Sindrom distress pernapasan dewasa (ARDS)
H. Pemeriksaan Penunjang
Pengobatan terbaru syok sepsis mencakup mengidentifikasi dan
mengeliminasi penyebab infeksi yaitu dengan cara pemeriksaan- pemeriksaan
yang antara lain:
12
1. Kultur (luka, sputum, urin, darah) yaitu untuk mengidentifikasi organisme
penyebab sepsis. Sensitifitas menentukan pilihan obat yang paling efektif.
2. SDP : Ht Mungkin meningkat pada status hipovolemik karena
hemokonsentrasi. Leucopenia (penurunan SDB) terjadi sebalumnya, diikuti
oleh pengulangan leukositosis (1500-30000) d4engan peningkatan pita
(berpindah kekiri) yang mengindikasikan produksi SDP tak matur dalam
jumlah besar.
3. Elektrolit serum: Berbagai ketidakseimbangan mungkin terjadi dan
menyebabkan asidosis, perpindahan cairan dan perubahan fungsi ginjal.
4. Trombosit : penurunan kadar dapat terjadi karena agegrasi trombosit
5. PT/PTT : mungkin memanjang mengindikasikan koagulopati
yangdiasosiasikan dengan hati/ sirkulasi toksin/ status syok.
6. Laktat serum : Meningkat dalam asidosis metabolik, disfungsi hati, syok
7. Glukosa Serum : hiperglikenmio yang terjadi menunjukkan glikoneogenesis
dan glikonolisis di dalam hati sebagai respon dari puasa/ perubahan seluler
dalam metabolisme
8. BUN/Kreatinin : peningkatan kadar diasosiasikan dengan dehidrasi,
ketidakseimbangan atau kegagalan ginjal, dan disfungsi atau kegagalan hati.
9. GDA : Alkalosis respiratosi dan hipoksemia dapat terjadi sebelumnya. Dalam
tahap lanjut hipoksemia, asidosis respiratorik dan asidosis metabolik terjadi
karena kegagalan mekanisme kompensasi
10. EKG : dapat menunjukkan segmen ST dan gelombang T dan distritmia
menyerupai infark miokard
I. Penatalaksanaan
13
organ, gangguan koagulasi dan terapi imunologi bila terjadi respons imun
maladaptif host terhadap infeksi.
1. Resusitasi
Mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C) dengan
oksigenasi, terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik,
dan transfusi bila diperlukan. Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat
atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah CVP 8-12
mmHg, MAP >65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan saturasi oksigen >70%.
Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% dengan
resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC
untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin (sampai
maksimal 20 μg/kg/menit).
2. Eliminasi sumber infeksi
Tujuan: menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada
umumnya tidak mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang
mengalami obstruksi dan implan prostesis yang terinfeksi. Tindakan ini
dilakukan secepat mungkin mengikuti resusitasi yang adekuat.
3. Terapi antimikroba
Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis.
Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak
diketahui sepsis berat, setelah kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau
lebih obat yang memiliki aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur dan
dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis. Oleh karena pada sepsis
umumnya disebabkan oleh gram negatif, penggunaan antibiotik yang dapat
mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem memiliki keuntungan,
terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat
pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal multi organ
Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam
berdasarkan data mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab
14
teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa terapi kombinasi lebih baik daripada
monoterapi.
4. Terapi suportif
a. Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan
penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik
segera dilakukan.
b. Terapi cairan
- Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9%
atau ringer laktat) maupun koloid.
- Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik
melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
- Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila
kadar Hb rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard
dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih
kontroversi antara 8-10 g/dL.
c. Vasopresor dan inotropik
Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan
pemberian cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor
diberikan mulai dosis rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP
60 mmHg atau tekanan darah sistolik 90mmHg. Dapat dipakai dopamin
>8μg/kg.menit,norepinefrin 0.03-1.5μg/kg.menit, phenylepherine 0.5-
8μg/kg/menit atau epinefrin 0.1-0.5μg/kg/menit. Inotropik dapat
digunakan: dobutamine 2-28 μg/kg/menit, dopamine 3-8 μg/kg/menit,
epinefrin 0.1-0.5 μg/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan
milrinone).
d. Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum
bikarbonat <9 mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan
hemodinamik.
15
e. Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi,
segera diperbaiki dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan
inotropik bila diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3 μg/kg/menit)
seringkali diberikan untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis,
namun secara evidence based belum terbukti. Sebagai terapi pengganti
gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun hemofiltrasi
kontinu.
f. Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis,
glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan
produksi dan penumpukan laktat dan kecenderungan hiperglikemia akibat
resistensi insulin. Selain itu terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia dan
proses katabolisme protein. Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori (asam
amino), asam lemak, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin
g. Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat
penurunan mortalitas sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien yang
diberikan insulin untuk mencapai kadar gula darah antara 80-110 mg/dL
dibandingkan pada kelompok dimana insulin baru diberikan bila kadar
gula darah >115 mg/dL. Namun apakah pengontrolan gula darah tersebut
dapat diaplikasikan dalam praktek ICU, masih perlu dievaluasi, karena ada
risiko hipoglikemia.
h. Gangguan koagulasi
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan
koagulasi dan DIC (konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan
mikrotrombus di sirkulasi). Pada sepsis berat dan renjatan, terjadi
penurunan aktivitas antikoagulan dan supresi proses fibrinolisis sehingga
mikrotrombus menumpuk di sirkulasi mengakibatkan kegagalan organ.
Terapi antikoagulan, berupa heparin, antitrombin dan substitusi faktor
16
pembekuan bila diperlukan dapat diberikan, tetapi tidak terbukti
menurunkan mortalitas.
i. Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison
dengan dosis 50 mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan
renjatan septik menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan kontrol.
Keadaan tanpa syok, kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi
sepsis.
17
BAB III
A. Pengkajian
a) Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, pendidikan, suku bangsa, pekerjaan, agam, alamat,
status perkawinan, ruang rawat, nomor medical record, diagnosa medik,
yang mengirim, cara masuk, alasan masuk, keadaan umum tanda vital.
B. Riwayat Kesehatan
a) Keluhan utama : Keluhan yang menjadi alasan klien datang ke rumah
sakit, biasanya demam, menggigil, lelah ,malaise, dan gelisah
b) Riwayat penyakit sekarang: Meliputi keluhan atau yang berhubungan
dengan gangguan atau penyakit dirasakan saat ini
c) Riwayat penyakit dahulu : Meliputi penyakit yang lain yang dapat
mempengaruhi penyakit sekarang, maksudnya apakah pasien pernah
mengalami penyakit yang sama
d) Riwayat penyakit keluarga: Meliputi penyakit yang diderita pasien dan
apakah keluarga pasien ada juga mempunyai riwayat hepar atau darah
18
- Obyektif : Tekanan darah bisa normal atau meningkat (terjadinya
hipoksemia), hipotensi terjadi pada stadium lanjut (shock)
- Heart rate : takikardi biasa terjadi
- Bunyi jantung : normal pada fase awal, S2 (komponen pulmonic)
dapat terjadi disritmia dapat terjadi, tetapi ECG sering menunjukkan
normal
- Kulit dan membran mukosa : mungkin pucat, dingin. Cyanosis biasa
terjadi (stadium lanjut)
b) Integritas Ego
- Subyektif : Keprihatinan/ketakutan, perasaan dekat dengan kematian
- Obyektif : Restlessness, agitasi, gemetar, iritabel, perubahan mental.
c) Neurosensori
- Subyektif atau Obyektif : Gejala truma kepala, kelambatan mental,
disfungsi motoric
d) Respirasi
- Subyektif : Riwayat aspirasi, merokok/inhalasi gas, infeksi pulmolal
diffuse, kesulitan bernafas akut atau khronis, “air hunger”
- Obyektif : Respirasi : rapid, swallow, grunting
e) Rasa Aman
- Subyektif : Adanya riwayat trauma tulang/fraktur, sepsis, transfusi
darah, episode anaplastic
f) Seksualitas
- Subyektif atau obyektif : Riwayat kehamilan dengan komplikasi
eklampsia
19
E. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakefektifan ventilasi,
edema pulmonal.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan terganggunya sistem pencernaan
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan cardiac
output yang tidak mencukupi
F. Intervensi Keperawatan
1. Dx: Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakefektifan
ventilasi, edema pulmonal.
Tujuan : Fungsi pertukaran gas dapat maksimal setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama × 24 jam dengan kriteria hasil:
- Tidak terjadi sianosis
- Tidak sesak
- RR normal (16-20 × / menit)
Intervensi :
20
d. Berikan terapi oksigenasi
Rasional : Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan
memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya
hipoksia
e. Observasi tanda – tanda vital
Rasional : Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan
nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia
dan capilary refill time yang memanjang/lama.
f. Kolaborasi dengan tim medis dalam memberikan pengobatan
Rasional : Pengobatan yang diberikan berdasar indikasi sangat membantu
dalam proses terapi keperawatan
2. Dx: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan terganggunya sistem pencernaan
Intervensi :
21
d. Monitor intake cairan dan nutrisi
Rasional : Kekurangan cairan dapat menyebabkan dehidrasi dan hiper
termi. Kekurangan nutrisi dapat menyebabkan terjadinya penurunan
berat badan
e. Anjurkan klien untuk mengkonsumsi makanan yang berprotein dan
vitamin C
Rasional : Protein dan vitamin C berperan penting dalam
penyembuhan yang berkaitan dengan infeksi
f. Yakinkan diet yang dimakan juga mengandung tinggi serat
Rasional : Kekurangan serat dapat menyebabkan konstipasi
g. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kaloriyang
dibutuhkan pasien
Rasional : Mengidentifikasi masalah nutrisi dalam terapi
perawatannya
3. Dx: Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan cardiac
output yang tidak mencukupi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24 jam
diharapkan klien
- Tekanan sisitole dan diastole dalam rentang normal
- Menunjukkan tingkat kesadaran yang baik\
Intervensi :
22
Rasional : Untuk mengetahui bahwa pasien mengalami alergi
terhadap situasi atau cuaca tertentu
d. Kolaborasi obat antihipertensi
Rasional : Untuk mengurangi penyakit
23
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN SEPSIS PADA BAYI
A. Pengkajian
a) Biodata / identitas
1. Nama
Diisi nama klien
2. Umur
Biasanya menyerang pada usia neonatal 0 hari – 28 hari Infeksi
nasokomial pada bayi berat badan lahir sangat rendah (<1500gr) rentan
sekali menderita sepsis neonatal.
3. Alamat
Tempat tinggal keluarga tempat tinggalnya padat dan tidak higienis
B. Riwayat Kesehatan
e) Keluhan utama : Klien datang dengan tubuh berwarna kuning, letargi,
kejang, tak mau menghisap, lemah
f) Riwayat penyakit sekarang: cara lahir (normal), hilangnya reflek rooting,
kekakuan pada leher, tonus otot meningkat serta asfiksia atau
hipoksia.apgar score, jam lahir, kesadaran
g) Riwayat penyakit dahulu : Ibu klien mempunyai kelainan hepar atau
kerusakan hepar karena obstruksi.
h) Riwayat kehamilan: demam pada ibu (<37,9ºc), riwayat sepsis GBS pada
bayi sebelumnya, infeksi pada masa kehamilan
i) Riwayat prenatal: Anamnesis mengenai riwayat inkompatibilitas darah,
riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya, kehamilan
dengan komplikasi, obat yang diberikanpd ibu selama hamil / persalinan,
persalinan dgntindakan / komplikasi, rupture selaput ketuban yang lama
(>18 jam), persalinan premature(<37 minggu.
j) Riwayat neonatal : Secara klinis ikterus pada neonatal dapat dilihatsegera
setelah lahir atau beberapa hari kemudian. Ikterus yang tampakpun ssngat
tergantung kepada penyebeb ikterus itu sendiri. Bayi menderita sindrom
24
gawat nafas, sindrom crigler-najjar, hepatitis neonatal, stenosis pilorus,
hiperparatiroidisme, infeksi pasca natal dan lain-lain.
k) Riwayat penyakit keluarga: Orang tua atau keluarga mempunyai riwayat
penyakit yang berhubungan dengan hepar atau dengan darah.
l) Riwayat imunisasi : Ditanyakan apakah sudah pernah imunisasi DPT / DT
atau TT dan kapan terakhir.
C. Aktivitas Sehari-hari
1. Nutrisi : Bayi tidak mau menetek
2. Eliminasi : BAB 1x/hari
3. Aktifitas latihan : Kekauan otot, lemah, sering menangis
4. Istirahat tidur : Pola tidur bayi yang normalnya 18 – 20 jam/hari, saat
sakit berkurang
5. Personal hygiene : Biasanya pada bayi yang terkena Infeksi
neonatorum, melalui plasenta dari aliran darah maternal atau selama
persalinan karena ingesti atau aspirasi cairan amnion yang terinfeksi.
6. Psikososial : Bayi rewel
D. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum: lemah, sulit menelan, kejang
b. Kesadaran: Compos Mentis
c. Tanda-Tanda Vital :
a. Nadi : normal (110-120 x/menit)
b. Suhu : meningkat (36,5ºC– 37ºC)
c. Pernafasan : meningkat > 40 x/menit (bayi) normal 30-60x/menit)
d. Kepala dan leher:
1. Inspeksi: Simetris, dahi mengkerut
e. Kepala: Bentuk kepala mikro atau makrosepali, trauma persalinan,
adanya caput, kenaikan tekanan intrakarnial, yaitu ubun-ubun besar
cembung.
25
f. Rambut : Lurus/keriting, distribusi merata/tidak, warna
g. Mata : Agak tertutup / tertutup,
h. Mulut : Mecucu seperti mulut ikan
i. Hidung : Pernafasan cuping hidung, sianosis
j. Telinga : Kebersihan
2. Palpasi: Tidak ada pembesaran kelenjar thyroid dan limfe, terdapat
kaku kuduk pada leher
k. Dada
- Inspeksi : Simetris, terdapat tarikan otot bantu pernafasan
- Palpasi : Denyutan jantung teraba cepat, badan terasa panas
- Perkusi : Jantung : Dullness
l. Paru : Sonor
- Auskultasi : terdengar suara wheezing
m. Abdomen
- Inspeksi : Flat / datar, terdapat tanda – tanda infeksi pada tali pusat
(jika infeksi melalui tali pusat), keadaan tali pusat dan jumlah
pembuluh darah (2 arteri dan 1 vena)
- Palpasi : Teraba keras, kaku seperti papan
- Perkusi : Pekak
- Auskultasi : Terdengar bising usus
n. Kulit : Turgor kurang, pucat, kebiruan
o. Genetalia : Tidak kelainan bentuk dan oedema, Apakah terdapat
hipospandia, epispadia, testis BAK pertama kali.
p. Ekstremitas
Suhu pada daerah akral panas, Apakah ada cacat bawaan, kelainan
bentuk, Fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai, hipertoni sehingga
bayi dapat diangkat bagai sepotong kayu.
E. Pemeriksaan Spefisik
1. Apgar score
2. Frekuensi kardiovaskuler: apakah ada takikardi, brakikardi, normal
26
3. Sistem neurologis
4. Reflek moro: tidak ada, asimetris/hiperaktif
5. Reflek menghisap: kuat, lemah
6. Reflek menjejak: baik, buruk
7. Koordinasi reflek menghisap dan menelan
F. Pemeriksaan laboatorium
1. Sampel darah tali pusat
2. Fenil ketonuria
3. Hematokrit
G. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidak efektifan pola napas berhubungan dengan apnea
2. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan Intoleran terhadap
makanan/minuman
27
INTERVENSI RASIONAL
28
2. Risiko Infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
Kriteria hasil:
- Suhu dalam batas normal
- Perkembangan status klien membaik selama masa terapi
INTERVENSI RASIONAL
Isolasi/pembatasan
pengunjung dibutuhkan
1. Berikan isolasi atau pantau untuk melindungi pasien
pengunjung sesuai indikasi imunosupresi dan
mengurangi risiki
kemungkinan infeksi
29
5. Lakukan inspeksi terhadap Mencatat tanda-tanda
luka/ sisi alat invasif setiap hari inflamasi atau infeksi
lokal, perubahan pada
karakter drainase luka atau
sputum dan urine.
Mencegah infeksi yang
berkelanjutan
30
–
Dapat menunjukkan
9. Memantau tanda-tanda
ketidaktepatan atau
penyimpangan kondisi atau
ketiakadekuatan terapi
kegagalan untuk membaik selama
antibiotik atau
masa terapi
perumbuhan berlebih ari
organisme resisten
31
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan Intoleran
terhaap makanan/minuman
Kriteria hasil:
INTERVENSI RASIONAL
Anoreksia ataupun intoleran
terhadap makanan atau
1. Monitor adanya penurunan minuman dapat
berat badan menyebabkan terjadinya
penurunan berat badan
32
terjadinya penurunan berat
badan
Protein dan vitamin C
5. Anjurkan klien untuk
berperan penting dalam
mengkonsumsi makanan yang
penyembuhan yang berkaitan
berprotein dan vitamin C
dengan infeksi
6. Yakinkan diet yang
Kekurangan serat dapat
dimakan juga mengandung
menyebabkan konstipasi
tinggi serat
7. Kolaborasi dengan ahli Mengidentifikasi masalah
gizi untuk menentukan jumlah nutrisi dalam terapi
kaloriyang dibutuhkan pasien perawatannya
33
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya
respon tubuh yang berlebihan terhadap rangsangan produk
mikroorganisme. Ditandai dengan panas, takikardia, takipnea, hipotensi
dan disfungsi organ berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah.
B. Saran
Dengan disusunnya makalah ini mengharapkan kepada semua
pembaca agar dapat menelaah dan memahami serta menanggapi apa yang
telah penulis susun untuk kemajuan penulisan makalah selanjutnya dan
umumnya untuk lebih dalam asuhan keperawatan dalam kasus sepsis pada
dewasa dan bayi
34
DAFTAR PUSTAKA
Surasmi, Asrining. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Penerbit Buku Kedokteran
EGC: Jakarta
35