Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH TENTANG HUTANG PIUTANG

Pendidikan Agama Islam

Nama Dosen : Agus Salim Rasyid,S.H.I,M.Pd.I

DISUSUN OLEH :
TIKA MUNIKA SARI
M.2618 0128
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI ATMA BHAKTI
SURAKARTA
Tahun 2017
DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................ i
Daftar isi........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 2
A. Pengertian Hutang Piutang atau Qardh ................................................... 2
B. Landasan Hukum Qardh dan Hikmahnya ………………................................ 3
C. Rukun dan Syarat Qardh ……………………………........................................... 4
D. Hukum Qardh dalam Malkiyah ……………………………………………………………... 4
E. Adab – adab Islami dalam Qardh…………………………………………………………… 5

BAB III KESIMPULAN................................................................................. 5

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 7
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam mengatur hubungan yang kuat antara akhlak, akidah, ibadah, dan muamalah. Aspek
muamalah merupakan aturan main bagi manusia dalam menjalankan kehidupan sosial,
sekaligus merupakan dasar untuk membangun sistem perekonomian yang sesuai dengan nilai-
nilai Islam. Ajaran muamalah akan menahan manusia dari menghalalkan segala cara untuk
mencari rezeki. Muamalah mengajarkan manusia memperoleh rezeki dengan cara yang halal
dan baik. Permasalahan tentang hutang sangat banyak, bahkan hutang bisa memutus
hubungan silaturahim bahkan persengketaan diantara manusia, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam membaca doa: "(Artinya = Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari bahaya hutang
bahaya musuh dan kemenangan para musuh)" begitu kawatirnya Rasulullah tentang hutang
dari pada musuh dan kemenangan para musuh. Makalah ini akan membahas tentang hutang,
yang bersumber dari hadits-hadits nabi Muhammad SAW. Dalam makalah ini kita akan
mendapat jawaban dari pertanyaan itu semua, semoga makalah ini sesuai dengan yang kita
harapkan dan menambah pahala bagi penulis dan juga para membaca untuk
mengamalkannya.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Utang Piutang (Qardh)
2. Landasan Hukum Qardh dan Hikmahnya
3. Syarat dan Rukun Qardh
4. Adab-adab Islami dalam Qardh

PEMBAHASAN
A.) Pengertian Utang Piutang Di dalam fiqih Islam
Hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh
secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Diartikan demikian karena
orang yang memberikan utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada yang
menerima utang. Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah
menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan
memanfaatkannya dan akan dikembalikan berdasarkan kesepakatan yang telah disepakati.
Meberikan utang merupakan kebajikan yang membawa kemudahan kepada muslim yang
mengalami kesulitan dan membantunya dalam memenuhi kebutuhan.
B.) Hukum Utang Piutang dan Hikmahnya Hukum Hutang piutang
Pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang atau
pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan
dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil disyari’atkannya
Qardh adalah sebagai berikut:
1. Surah Al-Baqarah ayat 245: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman
yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
2. Surah Al-Hadid ayat 11: “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang
baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan
memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 11)
3. Surah Al-Taghabun ayat 17: “Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik,
niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah
Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Taghabun: 17)
Ayat-ayat diatas berisi anjuran untuk melakukan Qardh atau meberikan utang kepada orang
lain, dan imbalannya adalah akan dilipatgandakan oleh Allah SWT. Nabi SAW juga bersabda :
“Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti
orang yang bersedekah satu kali.” (Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-
ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389)). Berdasarkan hadist diataspun jelas sekali
bahwa memberikan utang sangat dianjurkan, dan akan diberi imbalan oleh Allah SWT.
Adapun hikmah disyari’atkannya qardh ditinjau dari sisi sang penerima qardh adalah dapat
membantu mengatasi kesulitan yang sedang dialaminya. Sedangkan ditinjau dari sang pemberi
qardh adalah dapat menumbuhkan rasa kasih sayang dan tolong menolong sesama
saudaranya dan peka terhadap kesulitan yang dialami oleh saudara, teman, ataupun
tetangganya. Dari pembahasan di atas, kita telah mengetahui dan memahami bahwa hukum
berhutang atau meminta pinjaman adalah diperbolehkan, dan bukanlah sesuatu yang dicela
atau dibenci, karena Nabi SAW pernah berhutang. Namun meskipun demikian, hanya saja
Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia mampu
membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang,
menurut Rasulullah SAW, merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di
siang hari. Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan
berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari). Rasulullah SAW pernah menolak menshalatkan
jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta
untuk membayarnya. Rasulullah SAW bersabda: “Akan diampuni orang yang mati syahid
semua dosanya, kecuali hutangnya.” (HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin
Ash R.A). Dan dari Ibnu Umar R.A bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa meninggal
dunia dalam keadaan menanggung hutang satu Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah
(dengan diambilkan) dari kebaikannya; karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak (pula)
Dirham.” (HR. Ibnu Majah II/807 no: 2414. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani)
C.) Rukun dan Syarat Utang Piutang Adapun yang menjadi rukun qardh adalah:
1. Muqridh (yang memberikan pinjaman).
2. Muqtaridh (peminjam).
3. Qardh (barang yang dipinjamkan)
4. Ijab qabul
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad qardh adalah:
1. Orang yang melakukan akad harus baligh, dan berakal
2. Qardh harus berupa harta yang menurut syara’ boleh digunakan/dikonsumsi
3. Ijab qabul harus dilakukan dengan jelas.

D.) Hukum Qardh Menurut Malikiyah,


Qardh hukumnya sama dengan hibah, shadaqah dan ‘ariyah, berlaku dan mengikat dengan
telah terjadinya akad walaupun muqtaridh belum menrima barangnya. Muqtaridh boleh
mengembalikan persamaan dari barang yang dipinjamnya, dan boleh pula mengembalikan jenis
barangnya, baik barang tersebut mitslii atau ghair mitslii, apabila barang tersebut belum
berubah dengan tambah atau kurang. Apabila barang telah berubah, maka muqtaridh wajib
mengembalikan barang yang sama. Menurut pendapat yang sahih dari Syafi’iyah dan Hanabilah,
kepemilikan dalam qardh berlaku apabila barang telah diterima. Muqtaridh mengembalikan
barang yang sama kalau barangnya maal mitslii. Menurut Syafi’iyah, apabila barangnya maal
qiimii maka ia mengembalikannya dengan barang yang nilainya sama dengan barang yang
dipinjamnya. Menurut Hanabilah, dalam barang-barang yang ditaksir (makilat) dan ditimbang
(mauzunat), sesuai dengan kesepakatan fuqahaa, dikembalikan dengan barang yang sama.
Sedangkan dalam barang yang bukan makilat dan mauzunat, ada dua pendapat. Pertama,
dikembalikan dengan harganya yang berlaku pada saat utang. Kedua, dikembalikan dengan
barang yang sama yang sifat-sifatnya mendekati dengan barang yang diutang atau dipinjam
E.) Adab-adab Islam Tentang Qardh

1. Qardh harus dituliskan dan dipersaksikan Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana
Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang
itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang
lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun
besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan
di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-
menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282) Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir
rahimahullah berkata, “ini merupakan petunjuk dari-Nya untuk para hamba-Nya yang mukmin.
Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga
jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat: “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat
persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”

2. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang
yang berhutang. Kaidah fiqih berbunyi: “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka
hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan
penambahan. Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat
apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu
meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang
memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah
mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau
keuntungan. Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank
maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah
dan Rasul-Nya. sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah
SWT.

3. Melunasi hutang dengan cara yang baik Hal ini sebagaimana hadis Nabi SAW: Dari Abu
Hurairah R.A, ia berkata: “Nabi SAW mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta
dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan
kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak
menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan
kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah
SWT membalas dengan setimpal”. Maka Nabi SAW bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang
yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”. (HR. Bukhari, II/843, bab Husnul Qadha’ no.
2263.) Termasuk cara yang baik dalam melunasi hutang adalah melunasinya tepat pada waktu
pelunasan yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak (pemberi dan
penerima hutang), melunasi hutang di rumah atau tempat tinggal pemberi hutang, dan
semisalnya

4. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya Jika seseorang berhutang dengan tujuan
buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa.
Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka
digunakan istilah hutang agar mau memberi.
d). Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya.

5. Berupaya untuk berhutang dari orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang
halal. Sehingga dengan meminjam harta atau uang dari orang sholih dapat menenangkan jiwa
dan menjauhkannnya dari hal-hal yang kotor dan haram. Sehingga harta pinjaman tersebut
ketika kita gunakan untuk suatu hajat menjadi berkah dan mendatangkan ridho Allah.
Sedangkan orang yang jahat atau buruk tidak dapat menjamin penghasilannya bersih dan
bebas dari hal-hal yang haram.

6. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang
memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman. Karena hal ini termasuk bagian
dari menunaikan hak yang menghutangkan. Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi
pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai
wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.

7. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman


merupakan amanah yang harus dia kembalikan.

8. Bersegera melunasi hutang

9. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi
hutangnya setelah jatuh tempo.

KESIMPULAN
Qardh (hutang piutang) pada intinya adalah perbuatan atau aktifitas yang mempunyai tujuan
untuk membantu orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan berupa materi, dan
sangat dianjurkan karena memberikan hikmah dan manfaat bagi pemberi utang maupun bagi
penerima utang. Qardh diperbolehkan selama tidak ada unsur-unsur yang merugikan salah
satu pihak dan Hutang Piutang atau Qardh adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak
milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai
perjanjian dengan jumlah yang sama
Bahkan Islam sebenarnya mewajibkan setiap anggota masyarakatnya memiliki ilmu. Dalam
satu hadist disebutkan” menuntut ilmu itu adalah wajib ke atas setiap orang Muslim. Dengan
demikian, untuk menjadi seorang Muslim yang sempurna kita mestilah memenuhi syarat yang
ditetapkan oleh Islam itu sendiri, yaitu berilmu.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari ajaran agama islam selalu menganjurkan untuk selalu
berbuat baik dalam kondisi apapun.
Daftar Pustaka
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008. Muslich, Ahmad
Wardi. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah, 2010. Al-Fauzan, shaleh. Fiqih Sehari-hari. Jakarta:
Gema Insani Press, 2005. Miftahul Huda. Buletin Cahaya, Nomor 22 Tahun Ke-14 22 Jumadil
Akhir 1431 H / 4 Juni 2010

NAMA : TIKA MUNIKA SARI


NIM : M.2618 0128
KEJURUAN : MANAJEMEN
MATA KULIAH : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
NAMA DOSEN : Agus Salim Rasyid ,S.H.I,M.Pd.I

Anda mungkin juga menyukai