Anda di halaman 1dari 47

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keselamatan pasien merupakan prioritas utama dalam meningkatkan

kualitas pelayanan Rumah Sakit dan menjadi tuntutan kebutuhan dalam

pelayanan kesehatan. Salah satu aspek Standar Komisi Akreditasi Rumah

Sakit (KARS) atau standar Joint Commision International (JCI) yang

diterapkan untuk mendapatkan kualitas pelayanan Rumah Sakit yang baik

adalah dengan memperhatikan keselamatan pasien.[1] World Health

Organization (WHO) Collaborating Center for Patient Safety Solutions

bekerjasama dengan Joint Commision International (JCI) memasukan isu

keselamatan pasien dengan menerbitkan enam program kegiatan keselamatan

pasien dan sembilan solusi keselamatan pasien di rumah sakit pada tanggal 2

Mei 2007.[2]

Tahun 2011, Joint Commission International (JCI)

mengimplementasikan program International Patient Safety Goals (IPSG)

untuk membantu akreditasi organisasi pada area spesifik yang menjadi pusat

perhatian dalam hal keselamatan pasien. Tujuan dari IPSG adalah untuk

mempromosikan perbaikan khusus di bidang keselamatan pasien,

memperhatikan masalah bidang kesehatan, dan menemukan solusi mengatasi

permasalahan berdasarkan bukti dan para ahli. IPSG terdiri dari 6 sasaran,

salah satunya adalah meningkatkan komunikasi efektif.[3]


3

Program tersebut dijadikan sebagai pedoman kementerian kesehatan

yang tertuang dalam PMK No. 1691/MENKES/PER/VIII/2011 yang

bertujuan untuk perbaikan keselamatan pasien. Begitu juga Perhimpunan

Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) mengajak semua rumah sakit untuk

memperhatikan keselamatan pasien dengan membentuk Komite Keselamatan

Pasien Rumah Sakit (KKPRS) pada Juni 2005, dengan menyusun panduan

tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit. [4]

KARS tahun 2012 pada poin Peningkatan Mutu dan Keselamatan

Pasien (PMKP) menerangkan bahwa komunikasi yang efektif merupakan

standar dalam peningkatan keselamatan pasien yang dapat terwujud dengan

adanya komunikasi yang efektif antar sesama tenaga medis kesehatan. [1] Data

WHO dan JCI sebanyak 25.000-30.000 kecacatan yang permanen pada pasien

di Australia 11% disebabkan karena komunikasi yang kurang efektif. pada

tahun 2012, Institute of Medicine, Amerika Serikat dalam “TO ERR IS

HUMAN, Building a Safer Health System” melaporkan bahwa dalam

pelayanan pasien rawat inap di rumah sakit ada sekitar 3-16% Kejadian Tidak

Diharapkan (KTD) memerlukan perpanjangan lama rawat, dan menimbulkan

kecacatan pasien paska perawatan. Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit

(KKPRS) pada tahun 2013 insiden keselamatan pasien berdasarkan provinsi

di Indonesia telah menemukan 145 insiden yang dilaporkan, kasus tersebut

terjadi diwilayah Jakarta 37,9%, Jawa Tengah 15,9%, Yogyakarta 13,8%,

Jawa Timur 11,7%, Sumatra Selatan 6,5%, Jawa Barat 2,8%, Bali 1,4%,

Sulawesi Selatan 0,69% dan Aceh 0,68%.


4

Komunikasi SBAR (Situation, Background, Assassement,

Recomendation) adalah metode komunikasi yang diterapkan oleh anggota tim

medis kesehatan ketika melaporkan kondisi pasien.[5] SBAR adalah metode

komunikasi yang terstruktur untuk melaporkan kondisi pasien yang dapat

meningkatkan keselamatan pasien.[6] Menurut penelitian yang telah dilakukan

menyebutkan bahwa dengan penerapan komunikasi SBAR antar tenaga

kesehatan dapat meningkatkan keselamatan pasien.[7] Penerapan komunikasi

SBAR merupakan metode komunikasi yang sangat efektif apabila digunakan

antar tenaga kesehatan saat melaporkan kondisi pasien. Hal ini dikarenakan

komunikasi SBAR sudah mencakup komponen yang dibutuhkan saat

pelaporan kondisi pasien. Komponen yang dibutuhkan saat pelaporan seperti

Situation, Background, Assassement, Recomendation dari pasien. Komunikasi

yang tidak efektif dapat menimbulkan kesalahpahaman pelaporan kondisi

pasien yang berdampak pada keselamatan pasien saat diberikan tindakan.

Tindakan Komunikasi SBAR dapat diterapkan saat kegiatan hand over

pasien.

Kemampuan dan pengetahuan tenaga kesehatan yang harus dimiliki

salah satunya adalah komunikasi efektif seperti SBAR. Komunikasi SBAR

harus dilakukan dengan adanya SOP agar dapat terdokumentasi dengan

optimal. Komunikasi SBAR saat hand over pasien ini diterapkan oleh tenaga

medis kesehatan yang salah satunya adalah perawat. Hal ini sesuai dengan

salah satu fungsi perawat adalah sebagai pemberi asuhan keperawatan.


5

Perawat memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan pelaporan kondisi

pasien yang diberikan saat pasien baru datang dari bangsal lain.

Komunikasi SBAR sangat diperlukan saat perawat melakukan hand

over pasien. Hal ini dikarenakan saat hand over pasien muncul beberapa

hambatan yang sering terjadi seperti komunikasi yang buruk, catatan medis

yang kurang lengkap. Hambatan saat hand over pasien dapat berrdampak

pada keselamatan pasien maka perlu diperhatikan komunikasi yang efektif

dengan menggunakan komunikasi SBAR. [6]

Penggunaan komunikasi SBAR sangat membantu dalam pelaporan

kondisi pasien saat hand over sehingga dapat meningkatkan angka

keselamatan pasien. Hal ini didukung penelitian yang telah dilakukan

menyebutkan dengan dilakukan komunikasi saat hand over dapat membantu

dalam meningkatkan keselamatan pasien. [9] Penelitian yang telah dilakukan

lainnya menyebutkan bahwa komunikasi menggunakan SBAR dapat

meningkatkan keselamatan pasien saat hand over pasien terjadi. [10]

Timbang terima atau hand over didefinisikan oleh Friesen merupakan

suatu transfer informasi (termasuk tanggung jawab dan tanggung gugat)

selama perpindahan perawatan yang berkelanjutan yang mencakup tentang

pertanyaan, klarifikasi dan konfirmasi tentang pasien.[11] Perry dan Potter

menyatakan hand over adalah proses transfer atau perpindahan informasi

penting untuk asuhan keperawatan pasien secara holistik dan aman yang

bertujuan agar pelayanan yang diberikan oleh setiap perawat saling

berkesinambungan.[12] Timbang terima yang dilaksanakan dengan baik dapat


6

membantu mengidentifikasi kesalahan serta memfasilitasi kesinambungan

perawatan pasien. Smith, dkk menyatakan dengan adanya timbang terima

yang sesuai dengan prosedur maka akan tepat sesuai sasaran yang diharapkan.
[13]

Penelitian yang dilakukan oleh Meibner, dkk dari studi mengenai

persepsi perawat terhadap timbang terima menyebutkan sebesar 22% perawat

di Inggris dan sebesar 61% perawat di Perancis menyatakan ketidakpuasan

mereka terhadap kegiatan timbang terima yang dilakukan. [14] Keakuratan data

dalam timbang terima dipengaruhi oleh pengkajian pasien, komunikasi

asertif, kesinambungan perawatan dan kerja tim. Hasil penelitiannya juga

mendeskripsikan sebesar 82% perawat menyatakan perlu adanya standar

prosedur hand over pasien sebesar 94% menyatakan perlu dilakukan

pemahaman komunikasi karena setiap perawat melakukan pelaporan dengan

cara berbeda, hanya sebesar 32% yang menyatakan memperoleh informasi

yang dibutuhkan untuk perawatan pasien pada timbang terima, sebesar 62%

perawat menyatakan penggunaan tools atau alat dalam komunikasi sebagai

standar pelaporan yaitu metode SBAR (Situation, Background, Assessment,

Recommendation) membantu perawat dalam mengkomunikasikan informasi.


[15]

Berdasarkan study pendahuluan di Rumah Sakit Nasional Diponegoro

Semarang merupakan Rumah Sakit pemerintah dengan kapasitas rawat inap

300 tempat tidur yang sementara ini baru melayani 107 tempat tidur karena

keterbatasan tenaga kerja. jumlah perawat saat ini sebanyak 138 perawat,
7

dengan perawat DIII sebanyak 108 perawat dan S1 sebanyak 30 perawat.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap kepala ruang lavender mengatakan

bahwa Komunikasi SBAR pada pelaksannaan hand over pasien rawat inap di

Rumah Sakit Nasional Diponegoro Semarang baru diaplikasikan setelah

adanya kebijakan dari direktur utama RSND mengenai komunikasi efektif,

namun belum pernah dilakukan evaluasi.

Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul "Hubungan penggunaan komunikasi SBAR dengan

pelaksanaan hand over di Rumah Sakit Nasional Diponegoro Semarang".

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah: "Adakah Hubungan penggunaan komunikasi

SBAR dengan pelaksanaan hand over di Rumah Sakit Nasional Diponegoro

Semarang?"

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan penggunaan komunikasi SBAR dengan

pelaksanaan hand over di Rumah Sakit Nasional Diponegoro Semarang


8

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengidentifikasi penggunaan komunikasi SBAR di Rumah

Sakit Nasional Diponegoro Semarang

b. Untuk mengidentifikasi pelaksanaan hand over di Rumah Sakit

Nasional Diponegoro Semarang

c. Untuk menganalisa hubungan penggunaan komunikasi SBAR dengan

pelaksanaan hand over di Rumah Sakit Nasional Diponegoro

Semarang

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Rumah Sakit

Dapat menjadi bahan acuan evaluasi penggunaan teknik komunikasi

SBAR dan dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan

kebijakan penggunaan teknik komunikasi SBAR.

2. Bagi Institusi Pendidikan

dapat menambah referensi dan informasi dalam bidang komunikasi antar

perawat, serta dapat dijadikan tambahan untuk perpustakaan dalam

pengembangan penelitian selanjutnya.

3. Manfaat bagi Profesi Perawat

menjadi evaluasi bagi perawat dalam menggunakan komunikasi yang

efektif saat hand over dan dengan komunikasi yang efektif dapat

mencegah kesalahan informasi yang dilakukan perawat.


9

E. Orginalitas Penelitian

No Nama Peneliti dan Metode Hasil Penelitian Perbedaan


judul Penelitian
Mursidah Dewi Penelitian Hasil penelelitian Perbedaan dengan
Pengaruh kuantitatif pre menunjukkan adanya penelitian
Pelatihan Timbang experimental peningkatan sebelumnya pada
Terima pasien desing. keselamatan pasien variabel
terhadap sebesar 9.77 (8.14%) independen,
Keselamatan sesudah perawat penelitian
Pasien oleh pelaksana sebelumnya
Perawat Pelaksana mendapatkan pelatihan keselamatan pasien
di RSUD Raden timbang terima pasien sedangkan
Mattaher Jambi. menjadi 108.21 (90.17 penelitian sekarang
%). pada pelaksanaan
hand over
Quiteria Manopo, Penelitian Hasil penelitian Perbedaan dengan
Frangky R.R. kuantitatif menunjukkkan kategori penelitian
Maramis, Jehosua dengan kurang baik mengenai sebelumnya pada
Sam Ratulangi pendekatan penerapan timbang variabel
Hubungan antara cross sectional terima pasien oleh independen,
penerapan timbang responden 36,7 penelitian
terima pasien % dan kategori baik sebelumnya
dengan ada 63,3 %. Hasil keselamatan pasien
keselamatan analisa biraviat sedangkan
pasien oleh menunjukkan ρ=0,000 penelitian sekarang
perawat pelaksana (α<0,05). pada pelaksanaan
di RSU GMIM hand over
Kalooran
Amurang
10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Hand over

Menurut Eaton[16], hand over memiliki beberapa istilah lain.

Beberapa istilah itu diantaranya handoffs, shift report, signout, signover

dan cross coverage. Hand over adalah komunikasi oral dari informasi

tentang pasien yang dilakukan oleh perawat pada pergantian shift jaga.

Friesen[17] menyebutkan tentang definisi dari hand over pasien adalah

transfer tentang informasi (termasuk tanggungjawab dan tanggunggugat)

selama perpindahan perawatan yang berkelanjutan yang mencakup

peluang tentang pertanyaan, klarifikasi dan konfirmasi tentang pasien.

Hand over juga meliputi mekanisme transfer informasi yang dilakukan,

tanggungjawab utama dan kewenangan perawat dari perawat sebelumnya

ke perawat yang akan melanjutnya perawatan.

Nursalam[18], menyatakan hand over adalah suatu cara dalam

menyampaikan sesuatu (laporan) yang berkaitan dengan keadaan klien.

Hand over pasien adalah waktu dimana terjadi perpindahan atau transfer

tanggungjawab tentang pasien dari perawat yang satu ke perawat yang

lain. Tujuan dari hand over pasien adalah menyediakan waktu, informasi

yang akurat tentang rencana perawatan pasien, terapi, kondisi terbaru, dan

perubahan yang akan terjadi dan antisipasinya.


11

a. Tujuan Hand over[16]

1) Menyampaikan masalah, kondisi, dan keadaan klien (data fokus)

2) Menyampaikan hal-hal yang sudah atau belum dilakukan dalam

asuhan keperawatan kepada klien

3) Menyampaikan hal-hal penting yang perlu segera ditindaklanjuti

oleh dinas berikutnya.

4) Menyusun rencana kerja untuk dinas berikutnya.

b. Hand over memiliki 2 fungsi utama yaitu:

1) Sebagai forum diskusi untuk bertukar pendapat dan

mengekspresikan perasaan perawat.

2) Sebagai sumber informasi yang akan menjadi dasar dalam

penetapan keputusan dan tindakan keperawatan.

c. Langkah-langkah dalam Hand over,[16]

1) Kedua kelompok shift dalam keadaan sudah siap.

2) Shift yang akan menyerahkan perlu menyiapkan hal-hal yang akan

disampaikan.

3) Perawat primer menyampaikan kepada perawat penanggung jawab

shift selanjutnya meliputi: (kondisi atau keadaan pasien secara

umum, tindak lanjut untuk dinas yang menerima operan, rencana

kerja untuk dinas yang menerima laporan).

4) Penyampaian hand over diatas harus dilakukan secara jelas dan

tidak terburu-buru.
12

5) Perawat primer dan anggota kedua shift bersama-sama secara

langsung melihat keadaan pasien.[18]

d. Prosedur dalam Hand over

Menurut Chaboyer et all,[19], prosedur hand over meliputi :

1) Persiapan

a) Kedua kelompok dalam keadaan siap.

b) Kelompok yang akan bertugas menyiapkan buku catatan.

2) Pelaksanaan

a) Dalam penerapannya, dilakukan hand over kepada masing-

masing penanggung jawab

b) Hand over dilaksanakan setiap pergantian shift atau operan.

c) Dari nurse station perawat berdiskusi untuk melaksanakan

hand over dengan mengkaji secara komprehensif yang

berkaitan tentang masalah keperawatan klien, rencana tindakan

yang sudah dan belum dilaksanakan serta hal-hal penting

lainnya yang perlu dilimpahkan.

d) Hal-hal yang sifatnya khusus dan memerlukan perincian yang

lengkap sebaiknya dicatat secara khusus untuk kemudian

diserahterimakan kepada perawat yang berikutnya.

e) Hal-hal yang perlu disampaikan pada saat hand over adalah :

(1) Identitas klien dan diagnosa medis.

(2) Masalah keperawatan yang kemungkinan masih muncul.


13

(3) Tindakan keperawatan yang sudah dan belum

dilaksanakan.

(4) Intervensi kolaborasi dan dependen.

(5) Rencana umum dan persiapan yang perlu dilakukan dalam

kegiatan selanjutnya, misalnya operasi, pemeriksaan

laboratorium atau emeriksaan penunjang lainnya, persiapan

untuk konsultasi atau prosedur lainnya yang tidak

dilaksanakan secara rutin.

(6) Perawat yang melakukan hand over dapat melakukan

klarifikasi, tanya jawab dan melakukan validasi terhadap

hal-hal yang kurang jelas Penyampaian pada saat hand

over secara singkat dan jelas

(7) Lama hand over untuk setiap klien tidak lebih dari 5 menit

kecuali pada kondisi khusus dan memerlukan penjelasan

yang lengkap dan rinci.

(8) Pelaporan untuk hand over dituliskan secara langsung pada

buku laporan ruangan oleh perawat.[18]

2. Keselamatan Pasien

a. Keselamatan Pasien Rumah Sakit

Sejak awal tahun 1990, institusi rumah sakit selalu

meningkatkan mutu pada 3 (tiga) elemen yaitu struktur, proses dan

hasil dengan bermacam- macam konsep dasar. Program regulasi yang

diterapkan terutama pada rumah sakit pemerintah seperti Penerapan


14

Standar Peiayanan Rumah Sakit, Quality Improvement, Perizinan,

Akreditasi Rumah Sakit, Crendentialing, Audit Medis, Indikator

Klinis, Clinical Governance, dan ISO. Meskipun program-program

tersebut telah dapat meningkatkan mutu peiayanan rumah sakit baik

pada aspek struktur, proses maupun outcome, namun masih saja

terjadi adverse event yang tidak jarang berakhir dengan tuntutan

hukum. Oleh sebab itu, perlu penerapan program lain yang lebih

mengena langsung pada hubungan dokter-pasien untuk lebih

memperbaiki proses pelayanan.[20]

Dari berbagai cara meningkatkan mutu peiayanan di rumah

sakit, mulai dari Quality Assurance, Total Quality Control sampai

yang terbaru Continuing Total Quality Improvement (CTQI),

sebenarnya berbasis yang relatif sama yaitu "upaya", jadi yang

terpenting tidak hanya dibicarakan kebaikan dan keunggulan, tetapi

paling penting adakh dapat dikerjakaa Ada 3 aspek mutu yaitu aspek

klinis, aspek efiseinsi, dan aspek Patient Safety[21],

Aspek Patient Safety merupakan upaya menjaga mutu dengan

mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat

melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang

seharusnya diambil.[22]

Keberhasilan patient safety juga sangat tergantung pada

individu staf medis yang terkait dengan peiayanan pasien. Akibatnya

banyak muncul hambatan internal dalam pelaksanaannya. Ada lima


15

karakteristik hambatan personal yang sering muncul dalam penerapan

patient safety ini, yaitu (1) visi institusi mengenai keselamatan pasien

tidak jelas, (2) takut dihukum, (3) sistem untuk menganalisis

kesalahan tidak memadai, (4) tugas masing- masing staf yang terlalu

kompleks, dan (5) team work yang tidak adekuat.[23]

b. Definisi Keselamatan Pasien

Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu

sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman.

Sistem tersebut meliputi: assesmen resiko, identifikasi dan

pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan

dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak

lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya

risiko. Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera

yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan

atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan. (Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nomor

1691/Menkes/Per/VIII/2011, Tentang Keselamatan Pasien Rumah

Sakit).[24]

Menurut IOM, keselamatan pasien (Patient Safety)

didefinisikan sebagai freedom from accidental injury. Accidental

injury disebabkan karena error yang meliputi kegagalan suatu

perencanaan atau memakai rencana yang salah dalam mencapai tujuan

Accidental injury juga akibat dari melaksanakan tindakan yang salah


16

(commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil

(comission). Accidental injury dalam prakteknya akan berupa kejadian

tidak diinginkan (near miss).

Menurut Sir Liam Donaldson (Ketua WHO World Alliance

For Patient Safety, Forward Programme, 2006-2007) mengungkapkan

bahwa "Safe care is not an option. It is the right of every patient who

entrusts their care to our health care system " yaitu pelayanan

kesehatan yang aman bagi pasien bukan sebuah pilihan akan tetapi

merupakan hak pasien untuk percaya pada pelayanan yang diberikan

oleh suatu sistem pelayanan kesehatan.

Dalam PERMENKES RI Nomor 1691/Menkes/PER/VIII/

2011) disebutkan bahwa keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu

sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang

meliputi asesmen resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang

berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,

kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjut selanjutnya serta

implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko

melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang

seharusnya diambil.

c. Tujuan Program Keselamatan Pasien.[24]

Menurut Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS),

tujuan program keselamatan pasien di rumah sakit antara lain:


17

1) Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit

2) Meningkatnya akuntabil it as rumah sakit terhadap pasien dan

masyarakat

3) Menurunnya kejadian yang tidak diharapkan (KTD) di rumah

sakit.

4) Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak

terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.

d. Tujuh Langkah Keselamatan Pasien.[24]

Komite Keselamatan Pasien yang dibentuk Persatuan Rumah

Sakit Indonesia (PERSI) yang juga disupervisi oleh Departemen

Kesehatan tahun 2008 mencanangkan tujuh langkah keselamatan

pasien yang harus dijalankan di tiap rumah sakit, antara lain adalah :

1) Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien, ciptakan

kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil.

2) Pimpin dan dukung staf. Bangunlah komitmen dan fokus yang

kuat dan jelas tentang keselamatan pasien.

3) Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko. Kembangkan sistem dan

proses pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi dan asesmen

hal yang potensial bermasajah

4) Kembangkan sistem pelaporan. Pastikan staf agar dengan mudah

dapat melaporkan kejadian atau insiden, serta rumah sakit

mengatur pelaporan kepada KKPRS.


18

5) Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien. Kembangkan cara-

cara komunikasi yang terbuka dengan pasien.

6) Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien.

Dorong staf untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajar

bagaimana dan mengapa kejadian itu timbul.

7) Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan

pasien.

8) Gunakan informasi yang ada tentang kejadian atau masalah untuk

melakukan perubahan pada sistem pelayanan

e. Rekomendasi Kebijakan terkait Keselamatan Pasien

Rekomendasi Kebijakan Tingkat Nasional terkait Keselamatan

Pasien. Untuk kebijakan tingkat nasional, IOM merekomendasikan

beberapa hal yang terkait keselamatan pasien antara lain adalah :[25]

1) Pembuatan standar untuk organisasi kesehatan dimana organisasi

kesehatan harus memberikan perhatian yang besar untuk program

keselamatan pasien. Regulator dan badan akreditasi mengharuskan

organisasi kesehatan untuk mengimplementasikan program

keselamatan pasien.

2) Pembuatan standar untuk profesi kesehatan yakni dengan test

periodik bagi dokter, perawat dan tenaga lain, sertifikasi,

pembuatan kurikulum keselamatan pasien, pelatihan, konferensi,

jurnal dan publikasi lain.

f. Lima Prinsip Keselamatan Pasien


19

Selain program, Kohn menyusun pula lima prinsip untuk merancang

safety system di organisasi kesehatan yakni :[25]

Prinsip 1 : Tugas Kepemimpinan meliputi:

1) Menjadikan keselamatan pasien sebagai tujuan utama/prioritas

2) Menjadikan keselamatan pasien sebagai tanggung jawab bersama

3) Menunjuk/menugaskan seseorang yang bertanggung jawab

untuk program keselamatan

4) Menyediakan sumber daya manusia dan dana untuk analisis error

dan redesign sistem

5) Mengembangkan mekanisme yang efektif untuk

mengidentifikasi "unsafe" dokter

Prinsip 2 : Memperhatikan keterbatasan manusia dalam perancangan

proses yakni:

1) Tehnik Keamanan bagi pasien

2) Menyederhanakan proses

3) Membuat standar proses

Prinsip 3 : Mengembangkan tim yang efektif

Prinsip 4: Antisipasi untuk kejadian tak terduga:

Pendekatan proaktif, menyediakan antidotum dan training simulasi.

Prinsip 5 : Menciptakan atmosfer "Learning"

g. Enam Sasaran Keselamatan Pasien

Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk

diterapkan disemua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi


20

Akreditasi Rumah Sakit, Penyusunan sasaran ini mengacu kepada

Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety[26]

yang digunakan juga oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit

PERSI (KKPRS PERSI), dan dari JCI:[24]

Sasaran I: Ketepatan Identifikasi Pasien

Kesalahan karena keliru dalam mengidentifikasi pasien dapat

terjadi dihampir semua aspek/tahapan diagnosis dan pengobatan.

Maksud sasaran ini adalah untuk melakukan dua kali pengecekan

yaitu : pertama, untuk identifikasi pasien sebagai individu yang akan

menerima pelayanan atau pengobatan; kedua, untuk kesesuaian

pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut.

Kebijakan dan/atau prosedur yang secara kolaboratif

dikembangkan untuk memperbaiki proses identifikasi, khususnya

pada proses untuk mengidentifikasi pasien ketika pemberian obat,

darah, atau produk darah; pengambilan darah dan spesimen lain untuk

pemeriksaan klinis; atau pemberian pengobatan atau tindakan lain.

Kebijakan dan / atau prosedur memerlukan sedikitnya dua cara untuk

mengidentifikasi seorang pasien , seperti nama pasien, nomor rekam

medis, tanggal lahir gelang identitas pasien, dan lain - lain. Nomor

kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk identifikasi.

Kebijakan dan/ atau prosedur juga menjelaskan penggunaan dua

identitas berbeda di lokasi yang berbeda di rumah sakit, seperti

pelayanan rawat jalan, unit gawat darurat, atau ruang operasi termasuk
21

identifikasi pada pasien koma tanpa identitas. Suatu proses kolaboratif

digunakan untuk mengembangkan kebijakan dan/ atau prosedur agar

dapat memastikan semua kemungkinan situasi unutuk dapat

diidentifikasi.

Sasaran II: Peningkatan Komunikasi Yang Efektif

Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap,

jelas,dan yang dipahami oleh pasien, akan mengurangi kesalahan, dan

menghasilkan peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi dapat

berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis. Komunikasi yang mudah

terjadi kesalahan kebanyakan terjadi pada saat perintah diberikan

secara lisan atau melalui telepon. Komunikasi yang mudah terjadi

kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan

kritis, seperti melaporkan hasil laboratorium klinik cito melalui

teelpon ke unit pelayanan.

Rumah Sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu

kebijakan dan / atau prosedur untuk perintah lisan dan telpon.

Kebijakan dan / atau prosedur juga menjelaskan bahwa diperbolehkan

tidak melakukan pembacaan kembali (read back) bila tidak

memungkinkan seperti di kamar operasi dan situasi gawat darurat di

IGD atau ICU.

Sasaran III : Peningkatan Keamanan Obat Yang Perlu Diwaspadai

(High Alert)
22

Bila obat - obat an menjadi bagian dari rencana pengobatan

pasien, manajemen harus berperan secara kritis untuk memastikan

keselamatan pasien. Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high alert

medication) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan /

kesalahan serius (sentinel event), obat yang berisiko tinggi

menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse event) seperti

obat-obatan yang terlihat mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/

NORUM), obat-obatan yang sering disebutkan dalam isu keselamatan

pasien adalah pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja

(misalnya, kalium klorida 2meq/ml atau yang lebih pekat, kalium

fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0,9%, dan magnesium sulfat ,

(50% atau lebih pekat). Kesalahan ini bisa terjadi bila perawat tidak

mendapatkan orientasi dengan baik di unit pelayanan pasien, atau bila

perawat kontrak tidak diorientasikan terlebih dahulu sebelum

ditugaskan, atau pada keadaan gawat darurat. Cara yang paling efektif

untuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut adalah

dengan meningkatkan proses pengelolaan obat-obatan yang perlu

diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit

pelayanan pasien ke farmasi, Rumah Sakit secara kolaboratif

mengembangkan suatu kebijakan dan / atau prosedur untuk membuat

daftar obat-obat yang perlu di waspadai berdasarkan data yang ada di

rumah sakit.

Sasaran IV:
23

Kepastian Tepat Lokasi, Tepat Prosedur, Tepat Pasien Operasi

Salah lokasi, salah prosedur, pasien salah pada operasi adalah sesuai

yang menghawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit.

Kesalahan ini adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau

yang tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurang/tidak melibatkan

pasien di dalam penandaan lokasi operasi (site marking), dan tidak ada

prosedur untuk verifikasi lokasi operasi. Disamping itu asesmen

pasien yang tidak adekuat, penelaahan catatan medis tidak adekuat,

budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim

bedah, permasalahan yang berhubungan dengan tulisan tangan yang

tidak terbaca dan pemakaian singkatan adalah faktor-faktor kontribusi

yang sering terjadi.

Penandaan lokasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan pada

tanda yang mudah dikenali. Tanda itu harus digunakan secara

konsisten di rumah sakit dan harus dibuat oleh operator / orang yang

akan melakukan tindakan, dilaksanakan pada saat pasien terjaga dan

sadar jika memungkinkan, dan harus terlihat sampai saat akan disayat.

Penandaan lokasi operasi dilakukan pada semua kasus termasuk sisi

(laterality), multipel struktur (jari tangan, jari kaki, lesi) atau multivel

level (tulang belakang).

Maksud proses verifikasi praoperatif adalah untuk:

1) Memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar


24

2) Memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil

pemeriksaan yang relevan tersedia, diberi label dengan baik, dan

dipampang.

3) Melakukan verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan / atau

implant yang dibutuhkan.

Tahap sebelum insisi (Time Out) memungkinkan semua

pertanyaan atau kekeliruan diselesaikan. Time out dilakukan ditempat,

dimana tindakan akan dilakukan, tepat sebelum tindakan dimulai, dan

melibatkan seluruh tim operasi.

Sasaran V :

Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan

Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar

dalam tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk

mengatasi infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan

merupakan keprihatinan besar bagi pasien maupun para profesional

pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai dalam semua bentuk

pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi pada

aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia (seringkali

dihubungkan dengan ventilasi mekanis).

Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain

adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Rumah sakit

mempunyai proses kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan dan /

atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi petunjuk hand


25

hygiene yang diterima secara umum dan untuk implementasi petunjuk

itu di rumah sakit.

Sasaran VI: Pengurangan Risiko Jatuh

Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera

bagi pasien rawat inap. Dalam konteks populasi / masyarakat yang

dilayani, pelayanan yang disediakan, dan fasilitasnya, rumah sakit

perhi mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk

mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh. Evaluasi bisa termasuk

riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi alkohol, gaya jalan

dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh

pasien.

h. Insiden Keselamatan Pasien

Dalam Institue of Medication, patient safety didefinisikan

sebagai: "An adverse event results in unintended harm to the patient

by an act of commission or omission rather than by the underlying

disease or condition of the patient. " Sementara dalam Permenkes No

1691 tahun 2011, insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut

insiden adalah setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang

mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat

dicegah pada pasien. Insiden keselamatan pasien juga merupakan

akibat dari melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak

mengambil tindakan yang seharusnya diambil (comission). Namun

demikian, penyebab terjadinya insiden keselamatan pasien di rumah


26

sakit sangat kompleks, melibatkan semua bagian dalam sistem yang

berlaku dalam rumah sakit.[28]


27

i. Jenis-jenis Insiden Keselamatan Pasien.[24]

Berdasarkan Permenkes No. 1691 Tahun 2011, tentang Keselamatan

Pasien Rumah Sakit, insiden keselamatan pasien terdiri dari:

1) Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)

Suatu kejadian yang tidak diharapkan yang mengakibatkan cedera

pada pasien akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak

mengambil tindakan yang seharusnya diambil, dan bukan karena

penyakit dasarnya atau kondisi pasien. Kejadian tersebut dapat

terjadi di semua tahapan dalam perawatan dari diagnosis,

pengobatan dan pencegahan.[27]

2) Kejadian Tidak Cedera (KTC)

Suatu insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak

mengakibatkan cedera.

3) Kejadian Nyaris Cedera (KNC)

Kejadian Nyaris Cedera adalah terjadinya insiden yang belum

sampai terpapar ke pasien. Misalnya suatu obat dengan overdosis

lethal akan diberikan, tetapi staf lain mengetahui dan

membatalkannya sebehim obat diberikan kepada pasien.

4) Kejadian Potensial Cedera (KPC)

Kejadian Potensial Cedera adalah kondisi yang sangat berpotensi

untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden. Misalnya

obat-obatan Look Alike Sound Alike (LASA )disimpan berdekatan.

5) Kejadian Sentinel
28

Adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera yang

serius. Biasanya dipakai untuk kejadian yang sangat tidak

diharapkan atau tidak dapat diterima seperti: operasi pada bagian

tubuh yang salah. Pemilihan kata 'sentinel' terkait dengan

keserhisan cedera yang terjadi (Misalnya Amputasi pada kaki yang

salah, dst) sehingga pecarian fakta-fekta terhadap kejadian ini

mengungkapkan adanya masalah yang serins pada kebijakan dan

prosedur yang berlaku.

3. Komunikasi SBAR

a. Pengertian Komunikasi SBAR

Komunikasi SBAR merupakan kerangka teknik komunikasi

yang disediakan dalam menyampaikan kondisi pasien kepada rekan

kerja atau perawat lainnya dan mrupakan model komunikasi khusus

yang membentu mengefektifkan komunikasi antara perawat dan

dokter Menurut Institute for Healthcare Improvement (IHI) teknik

komunikasi SBAR adalah teknik komunikasi yang digunakan untuk

menyelesaikan project dengan lebih mudah dan menciptakan

framework, teknik tersebut digunakan untuk melaporkan kondisi

pasien pada timbang terima keperawatan dalam situasi kritis 25.

Komunikasi SBAR dilakukan pada saat timbang terima (hand

over),pindah ruang rawat maupun melaporkan kondisi pasien ke

dokter atau tim kesehatan lain.

Komunikasi SBAR didefinisikan sebagai alat komunikasi


29

yang dikembangkan sebagai hasil dari penelitian yang

mengidentifikasi perlunya meningkatkan komunikasi antara dokter

dan perawat25. Komunikasi SBAR merupakan upaya menetapkan

pemikiran kritis terkait dengan mendefinisikan masalah pasien dengan

merumuskan solusi sebelum dokter menghubungi, sehingga penerima

tahu bahwa percakapan akan mencakup penilaian dan rekomendadi

untuk perawatan yang relevan dengan status pasien saat ini.

Komunikasi SBAR merupakan kerangka kerja untuk mengatur

informasi dalam persiapan untuk berkomunikasi antara perawat dan

dokter, perawat dengan perawat, perawat dengan tim kesehatan

lainnya dalam menyampaikan kondisi pasien yang terkini baik yang

kritis maupun tidak.

Komunikasi yang berbasis SBAR merupakan strategi

komunikasi yang dipakai oleh team pelayanan kesehatan dalam

melaporkan maupun menyampaikan keadaan pasien kepada teman

sejawat. Komunikasi SBAR dilakukan pada saat timbang terima

(hand over), pindah ruang rawat maupun melaporkan kondisi pasien

ke dokter atau tim kesehatan lain.[28]

Kerangka komunikasi SBAR memuat informasi pasien tentang

Situation, Background, Assessment dan Recommendation.

Komunikasi SBAR adalah cara sederhana yang secara efekif telah

mengembangkan komunikasi dalam setting lain dan efektif pula

digunakan pada pelayanan kesehatan.[29]


30

e. Kerangka Komunikasi dengan metode SBAR

Kerangka komunikasi SBAR adalah kerangka tehnik

komunikasi yang disediakan untuk berkomunikasi antar para petugas

kesehatan dalam menyampaikan kondisi pasien. SBAR adalah

kerangka yang mudah untuk diingat, mekanisme yang digunakan

untuk menyampaikan kondisi pasien yang kritis atau perlu perhatian

dan tindakan segera. SBAR menyediakan metode komunikasi yang

jelas mengenai informasi yang berkaitan tentang kondisi pasien antara

tenaga medis (klinis), mengajak semua anggota tim pelayanan

kesehatan untuk memberikan masukan pada situasi/kondisi pasien

termasuk rekomendasi. Fase pemeriksaan dan rekomendasi

memberikan kesempatan untuk diskusi diantara tim pelayanan

kesehatan. Metode ini mungkin agak sulit pada awalnya bagi pemberi

dan penerima informasi.[30],[31]

Tabel 2. Kerangka Komunikasi dengan metode SBAR

S- SITUATION Situasi yang menggambarkan


kondisi pasien sehingga perlu
dilaporkan
B- BACKGROUND Gambaran riwayat /hal yang
berhubungan dengan kondisi atau
masalah pasien saat ini
A- ASSESSMENT Kesimpulan dari analisa terhadap
gambaran situasi
R- RECOMMENDATION Usulan tentang alternatif tindakan
yang akan dilakukan, kapan,
dimana
31

Menurut Leonard[31], adapun prinsip-prinsip bagaimana

menggunakan SBAR dan apa saja yang harus dikomunikasi adalah

sebagai berikut:

1) S (Situation) mengandung informasi tentang identitas

pasien, masalah yang terjadi saat ini dan diagnosa medis.

2) B (Background) menggambarkan riwayat/data sebelumnya

yang mendukung situasi saat ini seperti :

a) Riwayat penyakit/kondisi sebelumnya

b) Riwayat pengobatan

c) Riwayat tindakan medis atau keperawatan yang sudah

dilakukan

d) Riwayat alergi

e) Pemeriksaan penunjang yang mendukung

f) Vital sign terakhir

3) A (Assessment) adalah kesimpulan dari masalah yang terjadi

saat ini, apakah kondisi membaik atau memburuk.

4) R (Recommendation) mengandung informasi tentang:

a) Tindakan apa yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah

yang terjadi

b) Solusi apa yang bisa ditawarkan ke dokter

c) Solusi/tindakan apa yang direkomendasi oleh dokter.

d) Kapan dan dimana dilakukan.


32

Dari beberapa laporan dan penelitian yang dilakukan

disimpulkan bahwa tehnik SBAR efektif dalam mencegah

terjadinya kesalahan pelayanan yang dilakukan oleh penyedia

layanan. Komunikasi tidak efektif merupakan akar penyebab

tertinggi dari sentinel event[32]. Penelitian yang dilakukan oleh

The Joint Commmission Organizations tentang sentinel events

didapatkan data bahwa kejadian total sentinel events terjadi

oleh karena masalah komunikasi sebesar 70%[33]. Jadi dapat

disimpulkan bahwa masalah komunikasi adalah hal yang penting

dalam pelayanan keperawatan karena kesalahan komunikasi

dapat mengakibatkan insiden keselamatan pasien.


33

B. Kerangka Teori

Teknik Komunikasi SBAR


dalam Komunikasi
Interpersonal:
1. Komunikator
2. Pesan
3. Lingkungan
4. Media Pesan
5. Tingkat Pesan

Pelaksanaan hand over


Penerapan timbang terima
pasien:
a. Prinsip timbang terima
b. Jenis timbang terima
c. Macam-macam timbang
terima
d. Langkah-langkah
pelaksanaan timbang terima
e. Pelaksanaan timbang terima
yang baik dan benar
f. Pemilihan tempat untuk
pelaksanaan timbang terima
g. Prosedur timbang terima
h. Tahapan dan bentuk
pelaksanaan timbang terima
i. Hambatan dalam
pelaksanaan timbang terima

Bagan 2.1. kerangka Teori

Sumber : Permanente, dan Leonard,[30],[31]


34

C. Kerangka Konsep

Komunikasi SBAR Pelaksanaan hand over

Bagan 2.2. Kerangka Konsep

D. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat :
1. Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah komunikasi SBAR .
2. Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalan pelaksanaan hand over

E. Hipotesis

Hipotesis adalah suatu jawaban sementara dari pertanyaan penelitian.

Biasanya hipotesis dirumuskan dalam bentuk hubungan antara kedua

variabel, variabel bebas dan terikat.[34]

Ho : Tidak ada hubungan antara penggunaan komunikasi SBAR dengan

dengan pelaksanaan hand over.

Ha : Ada hubungan antara penggunaan komunikasi SBAR dengan dengan

pelaksanaan hand over.

BAB III
METODE PENELITIAN
35

A. Jenis dan Desain Penelitian


1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Penelitian kuantitatif

adalah penelitian yang menerapkan prinsip objektifitas yang diperoleh

antara lain melalui penggunaan kuesioner yang telah diuji validitas dan

reliabilitasnya[33]. Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian korelasi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan penggunaan

komunikasi SBAR dengan pelaksanaan handover di Rumah Sakit

Nasional Diponegoro Semarang.

2. Desain Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan pendekatan waktu cross sectional,

yaitu data dikumpulkan sesaat atau data diperoleh saat ini juga. Penelitian

ini mengumpulkan data kuesioner penggunaan komunikasi SBAR

dengan pelaksanaan handover di Rumah Sakit Nasional Diponegoro

Semarang yang dilakukan pada waktu bersamaan.

B. Waktu dan Tempat Penelitian


1. Waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan bulan Oktober 2017 sampai dengan Februari

2018.

2. Tempat Penelitian

Tempat pengambilan data penelitian dilakukan di Rumah Sakit nasional

Diponegoro Semarang.
36

C. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan sebuah perangkat instruksi yang

lengkap untuk menetapkan apa yang diukur dalam penelitian dan bagaimana

cara mengukur variabel dan apa yang diukur dinyatakan dalam bentuk

indikator atau sub variabel. Definisi operasional juga membantu peneliti lain

yang ingin menggunakan variabel yang sama [39].

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat ukur Hasil Ukur Skala


Operasional
Penggunaan Kemampuan Kuesioner Kategori : Ordinal
komunikasi perawat menjawab 1. Baik bila skor >
SBAR pertanyaan tentang mean
penggunaan 2. Kurang baik bila skor
komunikasi SBAR < mean
Pelaksanaan Pelaksanaan dalam Kuesioner Kategori : Ordinal
handover menyampaikan 1. Baik : > mean jika
sesuatu (laporan) data normal dan >
yang berkaitan median jika data
dengan keadaan tidak normal
klien. 2. Kurang baik : < mean
jika data normal dan
< median jika data
tidak normal
37

D. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling


1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari subyek penelitian yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.

Populasi dalam penelitian ini adalah perawat DIII di ruang rawat

inap dan ICU Rumah Sakit Nasional Diponegoro Semarang pada tahun

2018 sebanyak 44 perawat.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan metode

sampling tertentu untuk bisa memenuhi atau mewakili populasi.

Sampling adalah suatu proses dalam menyeleksi porsi dari populasi

untuk dapat mewakili populasi yang akan diteliti[36]. Sampel dalam

penelitian ini adalah perawat DIII rawat inap di ruang rawat inap Rumah

Sakit Nasional Diponegoro Semarang sebanyak 44 perawat.

Dalam pengambilan sampel harus memperhatikan kriteria.

kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi dan eksklusi sampel

penelitian ini adalah :

a. Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian

dari suatu populasi yang sesuai dengan keterjangkauan dan tujuan

penelitian[38]. Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu :

1) Perawat rawat inap dan ICU yang sudah bekerja minimal 1 tahun

2) Perawat bersedia menjadi responden.


38

b. Kriteria eksklusi adalah kriteria dimana subyek penelitian tidak

dapat dimasukkan atau tidak layak untuk diteliti[37]. Kriteria eksklusi

dalam penelitian ini yaitu :


1) Perawat yang sedang mengambil cuti
2) Perawat yang sedang tugas/ ijin belajar

3. Teknik Sampling

Teknik sampling merupakan suatu proses seleksi sampel yang

digunakan dalam penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah

sampel akan mewakili keseluruhan populasi yang ada sebanyak 44 orang.

Dalam penelitian ini menggunakan sampling jenuh dimana mengambil

semua anggota populasi menjadi sampel(36). Cara ini dilakukan bila

populasinya kecil, bila sampelnya kurang dari 100 populasi maka anggota

populasi tersebut diambil seluruhnya untuk dijadikan sampel penelitian.

Dalam penelitian ini mengambil sampel 44 responden.

E. Instrumen Penelitian
1. Instrumen / Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner, alat

tulis, dan alat-alat pengolahan data seperti komputer dan kalkulator.

Kuisioner yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 24 pertanyaan

tentang metode komunikasi SBAR denga pilihan jawaban sesuai skor 3,

kurang sesuai skor 2 dan tidak sesuai skor 1. Sedangkan kuesioner

pelaksanaan handover terdiri dari 32 pertanyaan dengan pilihan jawaban

selalu diberi skor 4, sering diberi skor 3, jarang diberi skor 2 dan tidak

pernah diberi skor 1.

Tabel 3.2 Kisi-kisi Kuisioner


39

Variabel Pertanyaan Jumlah


Favourable Unfavoroubl
e
Penggunaan 1,2,3,4,5,6,7,8,9, 0 24
komunikasi SBAR 10,11,12,13,14,15,
16,17,18,19,20,21,
22,23,24
Pelaksanaan 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10, 32
handover 11,12,13,14,15,16,1
7,18,19,20,21,22,23
,24,25,26,27,28,
29,30,32,32
Jumlah

2. Uji Validitas dan Reliabilitas


a. Uji Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat

kevalidan atau kesahihan suatu instrumen, sebuah instrumen

dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan

dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat.

Uji validitas dilakukan di RS Banyumanik terhadap 15 perawat DIII

di ruang rawat inap.

Untuk menguji validitas suatu variabel dapat menggunakan

korelasi product moment dengan menggunakan perangkat komputer.


(29)
Rumus korelasi product moment yaitu :

N( XY) - ( X  Y)
r
NX 2
  X 
2
 NY 2
  Y 
2

Keterangan :

N : Jumlah teruji

r : Korelasi antara dua variabel yang dikorelasikan

X : Skor butir
40

Y : Skor total

Keputusan ujinya adalah: Bila rhitung lebih besar dari rtabel

(0,514) artinya variabel tersebut valid. Bila rhitung lebih kecil dari rtabel

artinya variabel tersebut tidak valid.

Berdaarkan hasil uji validitas yang telah dilakukan dari

kuesioner pelaksanaan handover didapatkan nila r hitung dengan

rentang 0,634 – 0,926 > 0,514 (r tabel 15 responden) dan komunikasi

SBAR dengan rentang 0,591 – 0,884 > 0,514 (r tabel 15 responden)

maka dapat disimpulkan semua item pernyataan valid dan dapat

dijadikan instrumen penelitian.

b. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauhmana

alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Pengujian

reliabilitas digunakan dengan rumus koefisien reliabilitas alpha

cronbach dengan bantuan komputer, dengan rumus yaitu :

 k   b 
2

r11 =   1  2 

  k  1   t 
 

Keterangan :

r11 : Reliabilitas instrumen

k : Banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal

 b
2
: Jumlah varians butir

 12 : Varians total
41

Untuk mengetahui reliabilitas instrumen dengan

membandingkan nilai alpha tabel dengan alpha cronbach.

Pernyataan dikatakan reliabel dengan ketentuan bila alpha cronbach

lebih besar dari alpha tabel.

Berdasarkan hasil uji reliabilitas yang telah dilakukan di

dapatkan nilai alpha cronbach pelaksanaan handover 0,982 dan

komunikasi SBAR 0,966 > 0,6 maka dapat disimpulkan semua item

pernyataan reliabel dan dapat dijadikan instrumen penelitian.

F. Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan melalui berbagai proses birokrasi

agar memudahkan proses penelitian. Pengumpulan data menggunakan alat

ukur kuisioner. Cara pengumpulan data yaitu :


1. Peneliti meminta surat ijin penelitian dari STIKES Karya Husada

Semarang.
2. Peneliti mengajukan surat permohonan ijin penelitian dari STIKES Karya

Husada Semarang kepada Direktur Utama Rumah Sakit Nasional

Diponegoro Semarang.
3. Setelah mendapatkan surat persetujuan dari Direktur Utama Rumah Sakit

Nasional Diponegoro Semarang, selanjutnya peneliti menentukan waktu

penelitian
4. Peneliti menemui ke Bagian Pendidikan dan Pelatihan (diklat) RSND

dengan membawa surat persetujuan Direktur Utama Rumah Sakit

Nasional Diponegoro Semarang


42

5. Peneliti bertemu dengan tiap-tiap kepala ruang dan meminta ijin

penelitian, kemudian peneliti menjelaskan maksud, tujuan dan manfaat

penelitian.
6. Peneliti meminta bantuan kepala ruang untuk menyebutkan jumlah

perawat, kemudian peneliti mengelompokkan responden tiap-tiap ruangan.


7. Peneliti selanjutnya melakukan pendekatan kepada calon responden

dengan menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian, kemudian peneliti

meminta kepada responden untuk bersedia menjadi responden, serta

melakukan pengisian lembar persetujuan menjadi responden.


8. Peneliti membagikan kuesioner ke responden untuk diisi.
9. Kuesioner dikembalikan kepada peneliti setelah selesai diisi.
10. Peneliti mengecek kembali kelengkapan dari pengisian butir-butir soal.
43

G. Cara Pengolahan Data


Pada proses pengolahan data langkah-langkah yang harus ditempuh

diantaranya [30]:
1. Editing
Mengedit adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan para

pengumpul data. Tujuan editing adalah mengurangi kesalahan atau

kekurangan yang ada pada daftar pertanyaan yang sudah diselesaikan

sampai sejauh mungkin33.


2. Scoring
Scoring adalah memberikan penilaian terhadap item-item yang perlu

diberi penilaian atau skor. Penelitian ini, menggunakan kuesioner dan

sebagai instrumen penelitian.


3. Coding
Coding adalah mengklasifikasikan jawaban dari narasumber kedalam

kategori-kategori. Biasanya diklasifikasikan dengan cara memberi tanda

atau kode berbentuk angka pada masing masing jawaban.


4. Tabulating
Tabulasi adalah pekerjaan membuat tabel. Jawaban-jawaban yang sudah

diberi kode dimasukan kedalam tabel.


5. Entry data
Entry data adalah proses memasukkan data kedalam kategori tertentu

untuk dilakukan analisis data.

H. Analisa Data

Analisis data penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif. Analisis

kuantitatif yaitu pengolahan data yang dikumpulkan dengan menggunakan

analisis univariat dan analisis bivariat.(33)

1. Analisis univariat
44

Analisis univariat adalah analisis yang dilakukan terhadap tiap

variabel dan hasil penelitian. Pada umumnya hanya menghasilkan

distribusi dan prosentase dari tiap variabel. Analisis univariat dilakukan

terhadap setiap variabel dari hasil penelitian.Analisis univariat

menghasilkan distribusi dan prosentase setiap. [33]

X=

Keterangan:

X = hasil presentasi

f = frekuensi hasil pencapaian

N = Jumlah seluruh observasi

Analisis univariat dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tujuan

khusus pada penelitian ini.

2. Analisis bivariat

Analisis bivariat yang digunakan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkorelasi.[33] Analisis bivariat dilakukan untuk

melihat hubungan penggunaan komunikasi SBAR dengan pelaksanaan

handover di Rumah Sakit Nasional Diponegoro Semarang menggunakan

Chi-square dengan rumus:

χ2 = 
O  E 2
E

Selanjutnya mencari Chi-square tabel dengan rumus:

Dk = (k-1)(b-1)

Keterangan:
45

χ2 : Chi-square

O : Frekuensi yang diamati

E : Frekuensi yang diharapkan

Dk : Derajat kebebasan

k : Banyaknya kolom

b : Banyaknya baris

Selanjutnya menentukan derajat kemaknaan dengan digunakan

tingkat kemaknaan (Convident interval) 95% atau tingkat kesalahan (α)

5%. Berdasarkan rumus diatas dan pengolahan data yang dilakukan

dengan menggunakan manual, maka jika didapatkan hasil: x2 hitung > x2

tabel, maka Ha atau hipotesis alternatif diterima (ada hubungan). Bila x2

hitung < x2 tabel maka Ha ditolak atau tidak ada hubungan.(30)

I. Etika Penelitian

etika yang harus diperhatikan selama penelitian adalah sebagai

berikut(30) :

1. Lembar Persetujuan ( Informed Consent )


Informed consent mearupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan

responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed

consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan

memberikan lembar persetujaan menjadi responden. Tujuan informed

consent adalah agar subjek bersedia, maka mereka harus menandatangani

lembar persetujuan. Jika responden tidak bersedia, maka peneliti harus

menghormati hak pasien.


2. Kerahasiaan ( Confidentiality )
46

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan

kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah

lainnya. Semau informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiannya

oleh peneliti hanya kelompok data tertentu yaitu akan dilaporkan pada

hasil riset.
3. Hak mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan ( Right to full

disclosure )
Peneliti memberikan penjelasan secara rinci tentang penelitian yang akan

dilaksanakan serta berjanji akan mempertanggungjawabkan kepada

subjek bila ada sesuatu yang terjadi akibat penelitian dilakukan.


4. Menghargai Martabat Manusia

a. Hak untuk self determination (menetapkan sendiri)

Prinsip self determination ini mengandung arti bahwa subjek

mempunyai hak untuk memutuskan secara sukarela apakah dia ingin

berpatisipasi dalam suatu penelitian, tanpa beresiko untuk dihukum,

dipaksa, atau diperlakukan tidak adil.

b. Hak untuk mendapatkan penjelasan lengkap (full disclosure)

Penjelasan lengkap berarti bahwa peneliti telah secara penuh

menjelaskan tentang sifat penelitian, hak subjek untuk menolak

berperan serta, tanggung jawab peneliti, serta kemungkinan resiko

dan manfaat yang bisa terjadi.

5. Manfaat ( Beneficence )
Peneliti harus berbuat baik, menghormati martabat manusia. Prinsip ini

dikatakan bahwa perlunya perlakuan yang terbaik bagi responden.

Beneficence membawa arti menyediakan kemudahan dan kesenangan


47

kepada responden mengambil langkah positif untuk memaksimalisasi

akibat baik dari pada hal yang buruk.

Anda mungkin juga menyukai