TATA CARA
PERENCANAAN UMUM DRAINASE PERKOTAAN
SNI : 02-2406-1991
RUANG LINGKUP:
Standar ini menetapkan Tata cara perencanaan umum Drainase perkotaan yang dapat digunakan untuk
memperoleh hasil perencanaan drainase perkotaan yang dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan -ketentuan
teknik perencanaan.
RINGKASAN:
Faktor - faktor umum :
- Sosial ekonomi: pertumbuhan penduduk, urbanisasi, angkatan kerja; kebutuhan nyata dan prioritas daerah;
keseimbangan pembangunan antar kota dan dalam kota, ketersediaan tataguna tanah: pertumbuhan fisik kota dan
ekonomi pedesaan
- Lingkungan : topografi. eksisting jaringan drainase Jalan, sawah. perkampungan , laut, pantai, tataguna tanah,
pencemaran lingkungan, estetika yang mempengaruhi sistem drainase kota, kondisi lereng dan kemungkinan
longsor; untuk daerah datar diperhitungkan pengelontoran, pengendapan dan pencemaran; untuk daerah yang
terkena pengempangangan dari laut, danau atau sungai diperhitungkan masalah pembendungan dan pengempangan.
Perencanaan
- Landasan : didasarkan pada konsep kelestarian lingkungan dan konservasi sumberdaya air yaitu pengendalian air
hujan agar lebih banyak meresap ke dalam tanah dan mengurangi aliran permukaan.
- Tahapan : pembuatan rencana induk, studi kelayakan, perencanaan detail; didasarkan pada pertimbangan teknik,
sosial ekonomi. Financial dan lingkungan: dilakukan dengan survai lokasi, topografi, hidrologi, geoteknik tataguna
tanah, sosial ekonomi, institusi, peran serta masyarakat, kependudukan, lingkungan dan pembiayaan; penyelidikan
terhadap parameter disain; penyiapan tanah; pelaksanaan drainase; operasi dan pemeliharaan. Data dan persyaratan;
data primer mencakup data 'banjir meliput luas, lama, kedalaman rata - rata, frekuensi genangan, keadaan fungsi,
sistem, geometi dan dimensi saluran, daerah pengaliran sungai: prasarana dan fasilitas kota yang ada dan yang
direncanakan; data sekunder meliputi rencana pembangunan kota, geoteknik foto udara, pembiayaan,
kependudukan, institusi, sosial ekonomi, peran serta masyarakat, kesehatan lingkungan; persyaratan kualitas dan
kualitas data, peralatan, metode perhitungan dan asumsi yang digunakan.
Sistem drainase perkotaan : sistem drainase terpisah dan ganungan ; sistem saluran terbuka dan tertutup.
Kriteria : pertimbangan teknik meliput aspek hidrologi, hidraulik dan struktur; pertimbangan lain meliputi biaya dan
pemeliharaan. Koordinasi dan tanggung jawab : seluruh penyelenggara teknis pekerjaan dilaksanakan dibawah
seorang ahli yang berkompeten dalam tim terpadu; masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh instansi yang
berwenang harus diajukan kepada pihak yang berwenang di atasnya.
“Siklus alamiah air menuntut kita untuk peduli terhadap lingkungan. Pada akhirnya, air yang ter-buang atau di-buang
akan berpengaruh terhadap air yang akan kita terima kembali”
Makin hari, makin banyak masalah lingkungan yang terus memburu kita. Mulai dari sampah, sungai tercemar, banjir
bandang dan banyak lagi. Bolehlah kita sesekali membuka mata bahwa permasalahan lingkungan adalah tanggung
jawab bersama. Kota tempat kita berpijak adalah ruang kehidupan kita bersama. Ruang yang harus kita rawat siklus
kealamiannya. ”Air” menjadi salah satu kata kuncinya. Permasalahan ”air” adalah permasalahan yang tak kunjung
usai. Karena bagaimanapun juga permasalahan lingkungan bukan permasalahan rekayasa teknis semata tapi juga
permasalahan sosial yang buntutnya adalah soal budaya.
Membahas ”air” berarti tak dapat lepas dari keberadaanya, air di permukaan tanah atau air di bawah tanah. Berdasar
siklus air, air hujan turun ke bumi kemudian meresap di dalam tanah. Air yang meresap ke dalam tanah ini akan
mengalir menuju hilir. Sedangkan air hujan yang tidak dapat meresap ke dalam tanah, melimpas, menjadi genangan
di permukaan atau mengalir ke sungai. Air sungai mengalir menuju hilir atau bermuara di lautan. Siklus ini akan
terus berulang hingga air dari penguapan laut turun kembali sebagai hujan.
Siklus air alami ini tidak akan menyebabkan permasalahan ketika air tidak ”diganggu” alirannya. ”Gangguan” ini
dapat berupa pembatasan gerak air, pencemaran lingkungan atau juga pengurangan jumlah air yang meresap ke
tanah. Proses alami air ini tentu saja ¾ mau tidak mau ¾ harus ”diganggu”. Perkembangan kota, pertambahan
jumlah penduduk disertai dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat menjadi faktor utama penentu proses siklus
air.
Drainase perkotaan menjadi tema yang mendesak untuk dibicarakan karena memegang fungsi sentral dalam hal
pengendalian air. Sistem Drainase berarti sistem pengatusan atau pengeringan kawasan atas air hujan yang
menggenang.
Idealnya, pada rencana induk kota, Sistem Drainase Perkotaan harus dikembangkan salurannya sendiri, mulai dari
air hujan, masuk ke selokan/parit sampai dengan meresap ke dalam tanah kembali atau mengalir ke sungai dan
bermuara di laut.
Sebagai sistem, penanganan drainase tidak dapat dilakukan secara individual, wilayah per wilayah. Rencana induk
kota harus mampu mengintegrasikan jaringan air mulai dari hulu sampai dengan hilir. Oleh karena itu, kebijakan
pemerintah punya pengaruh yang besar. Kebijakan ini memayungi prosedur-prosedur standar pengendalian air,
semisal, standar penyambungan saluran air hujan, air limbah, atau juga septictank rumah tangga. Melalui konsultan
teknisnya, pemerintah harus menjadi fasilitator bagi masyarakat. Begitu juga dengan masyarakat, partisipasi dan
sikap proaktif akan menentukan keberhasilan rencana induk kota.
• Menurut kontruksi :
1. Saluran terbuka
2. Saluran tertutup
Untuk air kotor disaluran yang terbentuk di tengah kota.
1. tersier drainage
2. secondary drainage
3. main drainage
4. sea drainage
Permasalahan drainase:
Permasalah drainase perkotaan bukanlah hal yang sederhana. Banyak faktor yang mempengaruhi dan pertimbangan
yang matang dalam perencanaan, antara lain :
1. Peningkatan debit
manajemen sampah yang kurang baik memberi kontribusi percepatan pendangkalan /penyempitan saluran dan
sungai. Kapasitas sungai dan saluran drainase menjadi berkurang, sehingga tidak mampu menampung debit yang
terjadi, air meluap dan terjadilah genangan.
3. Amblesan tanah
disebabkan oleh pengambilan air tanah yang berlebihan, mengakibatkan beberapa bagian kota berada dibawah muka
air laut pasang.
5. reklamasi
Drainase lapangan olahraga direncanakan berdasarkan infiltrasi atau resapan air hujan pada lapisan tanah, tidak run
of pada muka tanah (sub surface drainage) tidak boleh terjadi genangan dan tidak boleh tererosi.Kemiringan
lapangan harus lebih kecil atau sama dengan 0,007. Rumput di lapangan sepakbola harus tumbuh dan terpelihara
dengan baik. Batas antara keliling lapangan sepakbola dengan lapangan jalur atletik harus ada collector drain.
LAYAKNYA berondongan peluru, makin hari, makin banyak masalah lingkungan yang terus memburu kita. Mulai
dari sampah, sungai tercemar, banjir bandang dan banyak lagi. Bolehlah kita sesekali membuka mata bahwa
permasalahan lingkungan adalah tanggung jawab bersama. Kota tempat kita berpijak adalah ruang kehidupan kita
bersama. Ruang yang harus kita rawat siklus kealamiannya. ”Air” menjadi salah satu kata kuncinya. Permasalahan
”air” adalah permasalahan yang tak kunjung usai. Karena bagaimanapun juga permasalahan lingkungan bukan
permasalahan rekayasa teknis semata tapi juga permasalahan sosial yang buntutnya adalah soal budaya.
Membahas ”air” berarti tak dapat lepas dari keberadaanya, air di permukaan tanah atau air di bawah tanah. Berdasar
siklus air, air hujan turun ke bumi kemudian meresap di dalam tanah. Air yang meresap ke dalam tanah ini akan
mengalir menuju hilir. Sedangkan air hujan yang tidak dapat meresap ke dalam tanah, melimpas, menjadi genangan
di permukaan atau mengalir ke sungai. Air sungai mengalir menuju hilir atau bermuara di lautan. Siklus ini akan
terus berulang hingga air dari penguapan laut turun kembali sebagai hujan.
Siklus air alami ini tidak akan menyebabkan permasalahan ketika air tidak ”diganggu” alirannya. ”Gangguan” ini
dapat berupa pembatasan gerak air, pencemaran lingkungan atau juga pengurangan jumlah air yang meresap ke
tanah. Proses alami air ini tentu saja ¾ mau tidak mau ¾ harus ”diganggu”. Perkembangan kota, pertambahan
jumlah penduduk disertai dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat menjadi faktor utama penentu proses siklus
air.
Drainase dan sanitasi perkotaan menjadi tema yang mendesak untuk dibicarakan karena memegang fungsi sentral
dalam hal pengendalian air. Sistem Drainase berarti sistem pengatusan atau pengeringan kawasan atas air hujan yang
menggenang. Sedangkan sistem sanitasi berarti sistem pengendali tingkat higienis, kebersihan dan kesehatan air.
Idealnya, pada rencana induk kota, kedua alur sistem ini harus dipisah. Sistem drainase harus dikembangkan
salurannya sendiri, mulai dari air hujan, masuk ke selokan/parit sampai dengan meresap ke dalam tanah kembali
atau mengalir ke sungai dan bermuara di laut. Pun sistem sanitasi, karena sebagian besar berhubungan dengan
limbah, maka perlu diusahakan saluran yang benar-benar sehat agar nantinya dapat diolah di IPAL (Instalasi
Pengolahan Air Limbah) dan output-nya memenuhi standar baku air.
Sebagai sistem, penanganan drainase maupun sanitasi tidak dapat dilakukan secara individual, wilayah per wilayah.
Rencana induk kota harus mampu mengintegrasikan jaringan air mulai dari hulu sampai dengan hilir. Oleh karena
itu, kebijakan pemerintah punya pengaruh yang besar. Kebijakan ini memayungi prosedur-prosedur standar
pengendalian air, semisal, standar penyambungan saluran air hujan, air limbah, atau juga septictank rumah tangga.
Melalui konsultan teknisnya, pemerintah harus menjadi fasilitator bagi masyarakat. Begitu juga dengan masyarakat,
partisipasi dan sikap proaktif akan menentukan keberhasilan rencana induk kota.
Secara geografis, Propinsi Yogyakarta membentang dari batas utara Gunung Merapi sampai dengan batas selatan
Samudra Indonesia. Topografi Yogyakarta membentang dari kontur tanah tinggi ke rendah. Untuk pengaliran air,
kondisi ini jelas menguntungkan dan tidak membutuhkan rekayasa bangunan sipil yang istimewa. Selain itu,
Yogyakarta juga memiliki 3 sungai utama yang membelah wilayah perkotaan. Sungai-sungai tersebut adalah Winongo
di sisi barat, Code di sisi tengah dan Gajah Wong di sisi timur. Keunikan alami lainnya, jenis tanah di Yogyakarta
adalah tanah berpasir, hal ini karena adanya keberadaan gunung vulkanik. Dengan tanah berpasir, air yang
menggenang lebih mudah meresapnya.
Yogya juga memiliki beberapa mata air di sisi utara kota. Modal ini ditambah lagi dengan konsep tradisional
masyarakat pinggir sungai dalam memelihara konservasi air. Konsep ini biasa disebut dengan Mbelik. Mbelik adalah
sisi pinggir sungai yang menghasilkan mata air kecil dari resapan tanah atau pepohonan. Masyarakat biasanya
membatasi daerah ini dengan gundukan tanah atau semen. Daerah tetesan air dicekungi agar air menggenang dan
dapat digunakan.
Lewat paparan ini, jelas sudah bahwa sebenarnya Yogyakarta merupakan daerah yang serba kecukupan dan tidak
rumit pengelolaan airnya. Masalah drainase dan sanitasi muncul ketika manusia tidak lagi bijaksana menjaga
ekosistem. Konsep-konsep tradisional ini diganti ke konsep modern yang setengah hati. Sementara penduduk
bertambah banyak, rencana induk kota kurang tersosialisasi kepada masyarakat. Sebaliknya, respon masyarakat
terhadap kebijakan kota juga ragu-ragu.
Sistem Drainase Saat Ini, Tergesa Membuang Air
Konsep utama drainase di kota Yogyakarta, secara konvensional mengandalkan 3 sungai utama. Air dari daerah
tangkapan (catchment area) dibuang ke sungai lewat jaringan drainase. Seiring dengan bertambahnya permukiman
dan pusat kegiatan masyarakat, air yang mengalir di kota semakin sulit meresap dan semakin mudah melimpas (run
off). Tanah, sebagai peresap alami air, diganti dengan semen, aspal dan beton. Perubahan-perubahan alam ini terjadi
karena peningkatan kebutuhan dan aktivitas masyarakat. Faktor-faktor lain seperti keterdesakan ruang ekonomi,
juga mendorong orang untuk berurbanisasi, meninggalkan ”gaya lama” dan pindah ke kota, membangun tempat
tinggal, membutuhkan air bersih dan membuang air kotor tentunya. Akibatnya, semakin banyak bangunan dibuat,
semakin tinggi peluang air menggenang, semakin besar jumlah limbah yang dibuang.
Banyak hal yang menjadi permasalahan dan kendala dalam sistem drainase perkotaan. Masalah yang pertama yaitu,
masalah teknis konsep drainase perkotaan kita. Air hujan yang turun ke permukaan tanah masih dibuang ”secepat-
cepatnya” ke sungai. Air hujan yang turun tidak diberi kesempatan untuk meresap sebagai cadangan air tanah.
Akibatnya tanah tak punya cadangan air, muka air tanah turun, kekeringan melanda. Sementara itu, sungai tidak lagi
mengalirkan air bersih. Air sungai bercampur juga dengan air limbah, baik itu skala kecil maupun besar. Tumpang
tindih fungsi atas keberadaan sungai ini jelas membawa banyak permasalahan yang potensial merusak lingkungan.
Oleh karena itu perlu adanya pembagian fungsi sungai secara jelas. Saluran drainase dan sanitasi harus terpisah.
Masing-masing perlu solusi yang konkret.
Masyarakat dan pemerintah perlu bersinergi dan peduli pada lingkungannya.Untuk sistem drainase, pembuatan
sumur resapan dan kolam konservasi adalah solusinya, baik itu secara pribadi (per bangunan) atau massal.
Pemerintah saat ini sedang giat dalam usaha membangun ”embung”. Embung ini diharapkan mampu menampung air
hujan yang turun agar tidak langsung terbuang. Usaha ini perlu didukung masyarakat agar masalah pemeliharaannya
dapat berlangsung.
Sementara itu, sungguh sulit untuk menggalakkan pembuatan sumur resapan pribadi. Saat ini kebanyakan
permukiman dan bangunan tidak membuat sumur peresapan, padahal menurut IMB (Ijin Mendirikan Bangunan),
setiap bangunan harus memilikinya, ketentuan ini tercantum dalam Perda No. 4 tahun 1988. Jadi, seharusnya air
hujan yang mengalir/melimpas dari bangunan turun ke tanah, diresapkan lewat sumur resapan, lalu baru sisanya
dibuang ke SAH (Saluran Air Hujan).
Memang sulit untuk mulai menggalakkan pembuatan sumur resapan, kondisi ini disebabkan juga oleh keterbatasan
lahan di kota. Padahal, setelah dikulik lebih lanjut, ternyata sumur resapan merupakan warisan teknologi tradisional,
sebagaimana diungkapkan dalam sebuah leaflet ”sosialisasi sumur resapan” milik Bapedalda (Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan Daerah), “ Sumur peresapan air hujan, …secara konsep sistem ini merupakan teknologi nenek
moyang yang diekpresikan dengan 'tabu' menimbun sumur yang oleh suatu sebab tidak berfungsi lagi dan pada
umumnya dimanfaatkan untuk menampung air hujan dari halaman di sekitarnya. Begitulah kebiasaan-kebiasaan
masyarakat di pedesaan dengan membuat lubang-lubang di halaman yang secara teknis dapat di terjemahkan sebagai
retarding basin (kolam penunda aliran air-red) dan sekaligus berfungsi sebagai artificial recharge (pengisi air buatan-
red).”
Usaha pembuatan sumur resapan ini harus mulai digalakkan sejak saat ini. Sebuah desa di sebelah utara kota Yogya
telah menggunakan teknologi tradisional sumur resapan ini. Lewat berbagai modifikasi, warga desa wisata Tanjung,
Sleman, telah berhasil membangun 20 sumur resapan. Pembuatan sumur resapan ini dibantu oleh lembaga GGWRM
(Good Government in Water Resources Management), Uni Eropa. ”Akhir November 2004, kita akan merampungkan
20 sumur baru lagi bantuan dari Bapedalda, jadi akhir Desember kita sudah punya 20 sumur resapan,” ungkap
Jamhadi, ketua umum desa wisata Tanjung.
Prinsip sumur resapan yang diterapkan di desa Tanjung sebenarnya sederhana. Pertama, kita butuh lahan ukuran 2 X
2 m. ”Di areal itu digali, dimasuki buis beton ke dalam, diberi tutup semen, di sebelah tumpukan buis beton tadi
diberi bak kontrol semen ukuran 0,7 X 0,7 m, bak itu diberi tutup juga. Di samping bak kontrol, ditanam grass block
di permukaan tanah, diberi rumput sebagai penyaring,” ucap Sutoyo, salah seorang warga desa tanjung. ”Cara
kerjanya, air hujan turun dari tritisan rumah, menuju grass block, tersaring, kemudian masuk ke bak kontrol dan
akhirnya masuk ke buis tadi dan meresap ke dalam tanah,” tambahnya.
Teknologi tradisional nan murah di desa Tanjung ini seharusnya mampu menjadi pembelajaran bagi desa-desa lain.
Lewat gotong-royong warga, kita juga bisa menyelamatkan lingkungan dari tempat kita berpijak. Tanpa disadari, air
yang diresapkan warga desa Tanjung ini, nantinya akan memperbaiki siklus air kota secara keseluruhan.
Mengesankan.
Permasalahan kedua yang muncul dalam pengelolaan sistem drainase perkotaan adalah integrasi jaringan antar
wilayah/kabupaten. Sebagai sebuah jaringan dan sistem, tidak mungkin bila aliran air dikelola sendiri-sendiri.
Pendimensian saluran, penggunaan sungai secara terpadu, sosialisasi kepada masyarakat harus dilakukan secara
menyeluruh. Sebagai contoh, saluran drainase di Jalan Parangtritis di sebelah utara dan selatan Ring Road. Area
saluran ini terletak di dua wilayah administrasi yang berbeda, sebelah Utara wewenang Kodya Yogyakarta, sedangkan
selatan wewenang kabupaten Bantul. Tidak mungkin Kodya hanya menangani wilayahnya saja dan tidak bertanggung
jawab atas aliran air ke Bantul. Oleh karena itu dibutuhkan perbaikan saluran-saluran di masing-masing wilayah dan
juga kerjasama yang terpadu.
Seperti diungkapkan Ir. Toto Subroto, Kepala Sub Dinas Prasarana Pengairan dan Drainase Kota Yogyakarta, ”Dinas
Prasarana Kota Yogyakarta saat ini sedang melaksanakan berbagai perubahan saluran drainase”. Pada tahun
anggaran lalu, Dinas Prasarana Kota sudah mencoba memperbaiki saluran drainase di berbagai tempat. Di sebelah
timur misalnya, di Jl. Sudarsono, di dekat rel kereta api, Timoho, saluran drainase dari utara di-sudet ke arah timur
dan dialirkan ke Sungai Gajah Wong, agar debit air ke selatan tidak bertambah besar. Di sebelah Barat, di Jl. HOS
Cokroaminoto, saluran drainase di-sudet ke barat dan diarahkan ke sungai Winongo. Sudetan ini juga dimaksudkan
agar air yang masuk ke kota lebih sedikit. Selain itu, agar kawasan Pakuncen juga tidak tergenang air karena relief
tanahnya yang relatif cekung. Lain lagi di sebelah selatan, di Jl. Sorogenen, air di-sudet ke barat agar masuk ke sungai
Code. Di tengah kota, di Gayam, air dari Sungai Belik di-sudet ke arah sungai Gajah Wong agar mencegah terjadinya
banjir di Jl. Batikan.
”Sebenarnya kami masih ingin melakukan perbaikan di banyak tempat lagi, tapi semua kegiatan pemerintah selalu
berhadapan dengan skala prioritas,” ungkap Toto. ”Ada 4 prioritas dalam kegiatan kami saat ini. Prioritas pertama,
kegiatan berhubungan dengan keselamatan jiwa. Kedua, kegiatan yang bila tidak ditangani akan menimbulkan
dampak kerusakan yang lebih meluas. Ketiga, kegiatan yang bersumber pada masukan masyarakat, butuhnya apa?
Keempat, kegiatan berorientasi keindahan dan kerapian”. Jelas Toto. ”Itu makanya, rencana pemerintah membuat
ini-itu sering tertunda, karena terbentur skala prioritas, kalau mau bikin saluran drainase, eh ternyata ada talud yang
jebol dan itu membahayakan jiwa manusia, ya itu yang didahulukan”, tambah Toto.
Setelah perbaikan di masing-masing wilayah, masalah sinkronisasi dan koordinasi saluran drainase menjadi sangat
penting diagendakan. Untuk itu, pemerintah saat ini sedang mengusahakan sebuah lembaga koordinasi secara
bersama-sama. ”Sekber Kartamantul” (Sekretariat Bersama Yogyakarta-Sleman-Bantul) adalah salah satu hasil kerja
bareng antar wilayah administratif. Sekber ini mengarahkan lembaganya pada kerjasama pengelolaan prasarana dan
sarana perkotaan Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Selain saluran drainase di Jalan
Parangtritis, Menukan dan Sisingamangaraja, Sekber juga mendorong perbaikan saluran drainase di Jalan
Dongkelan, Karanglo, Jambon, Magelang dan AM Sangaji. Di Kelurahan Singosaren, Bantul, lewat Sekber, kini
Pemerintah Kota Yogyakarta akan meneruskan membangun saluran drainase yang terhenti di kota.
Di Yogyakarta, Sekber Kartamantul ini didukung oleh Lembaga Kerjasama Teknis Jerman, GTZ (Deutsche
Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit) Urban Quality. Keberadaan GTZ ini bertujuan untuk memperkuat
kelembagaan Sekber. Bukan hanya itu, Yogyakarta juga mendapat bantuan konsultan teknis lewat proyek kerjasama
dengan Swiss, YUIMS (Yogyakarta Urban Infrastructure Management Support) atau YUDP (Yogyakarta Urban
Development Project).
Untuk memperbaiki siklus alami air, saat ini Bapedalda juga membantu untuk menyumbang dana bagi pembangunan
sumur-sumur resapan dan atau penanaman kembali bibit-bibit pohon di sepanjang bantaran sungai. Bantuan ini
secara konkret antara lain diberikan kepada desa Tanjung (Sleman), Markurejo (Kalasan), Wonosalam,
Panggungharjo (Bantul) dan desa lainnya, yang secara keseluruhan berjumlah 9 lokasi.
Sama halnya dengan drainase, sistem sanitasi juga memiliki permasalahan dan kendala tersendiri. Secara konsep,
sistem sanitasi yang diterapkan di perkotaan seharusnya terpadu, komunal atau terpusat, jadi limbah dan saluran air
kotor dapat diolah dengan teratur. Saluran-saluran yang membentuk jaringan sanitasi harus diarahkan pada kawasan
pengolahan tersendiri, yaitu IPAL (Instalasi Pengolahan Air limbah). Melalui IPAL, warga kota bisa merasa nyaman
karena tak perlu lagi membuang air kotor secara sembarangan. IPAL ini tidak hanya diperuntukkan bagi limbah
rumah tangga, tetapi juga bagi sentra industri-industri, baik kecil atau besar. Jika konsep ini tercapai, wah, berarti tak
perlu khawatir lagi air sehari-hari kita akan tercemar. Kini pertanyaannya, apakah konsep ini mampu berjalan di alur
yang kita inginkan?
Sistem sanitasi selalu terkait dengan masalah limbah dan saluran air kotor. Sebagai kota dengan segudang predikat,
praktis Yogyakarta menyangga berbagai keberagaman aktivitas manusia sebagai penghasil limbah. Mulai dari limbah
rumah tangga (mandi, kakus, mencuci atau memasak), perkantoran, sekolah, universitas, hotel, rumah makan, mall,
sampai dengan industri skala kecil dan besar. “Dari data monitoring kami, industri yang tercatat di Yogya sejumlah
932, kegiatan pelayanan kesehatan (rumah sakit, laboratorium kesehatan, balai kesehatan dll) sejumlah 197, kegiatan
jasa/pariwisata, khususnya hotel 231. Data ini masih kami kembangkan lagi karena masih banyak yang belum
tercatat. Masih banyak kegiatan-kegiatan lain yang belum terdeteksi seperti usaha bengkel dan salon misalnya. Ini
membuktikan eksplorasi sumber daya air yang luar biasa, sedangkan upaya pengembalian keseimbangan air bersih
masih kecil, baik itu air permukaan ataupun air tanah,” jelas Ir. Endro Waluyo, Kepala Sub Bidang Pengendalian
Pencemaran Bapedalda.
Endro menambahkan, saat ini mayoritas universitas-universitas di Yogya pun juga masih belum memiliki IPAL dan
sumur peresapan sendiri. Padahal dengan daerah gedung yang luas ditambah dengan adanya laboratorium,
pengolahan air mandiri mutlak diperlukan.
Di Yogyakarta, saluran limbah cair dari perkotaan sebagian besar dialirkan ke IPAL Sewon, Bantul. Sedangkan
sisanya, saluran-saluran air kotor masih tetap mengandalkan sungai dan septictank yang non kedap air. Sungai-
sungai dijadikan tempat ”pelarian”, akibatnya, sungai tidak lagi bersih dan ini memperburuk siklus air secara
alamiah. Beban kota masih ditambah lagi dengan air tanah kota yang tak lagi sehat, septictank non kedap air
mengakibatkan merembesnya limbah dan bercampur dengan air tanah. Limbah ”berjabat tangan” dengan air tanah
yang sehari-hari kita perlukan.
Agar perkotaan kita tetap sehat, masalah-masalah sanitasi harus menjadi perhatian serius pemerintah beserta dengan
warganya. ”Jogjaku Bersih” harus menjadi slogan yang mampu diwujudkan. Hal ini senada dengan penjelasan Pieter
Lawoasal, Kepala Seksi Pemantauan dan Pemulihan KPDL (Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan), ”Kami
(KPDL-red) sekarang ini baru fokus ke IPAL komunal/domestik yang dirancang untuk menjaga air sungai dan air
tanah yang ada di Yogya, khususnya untuk masyarakat yang ada di pinggir sungai”.
Bagi Pieter, penting untuk menyadarkan masyarakat yang bermukim di pinggiran sungai-sungai karena cukup
banyak warga yang membuang limbah langsung ke sungai tanpa diolah terlebih dahulu. Maka dari itu, perlu
antisipasi seperti pembuatan septictank. “Masih banyak pula masyarakat yang ¾ maaf ¾ mekong (mepe bokong,
buang kakus sambil jongkok-red) di sungai”, ujar Pieter tersenyum.
Menanggapi fenomena lingkungan yang cukup meresahkan ini, KPDL telah berinisiatif untuk membangun IPAL-
IPAL komunal di berbagai tempat di Yogyakarta. IPAL komunal ini dibuat dengan tujuan agar masyarakat sadar dan
turut terlibat dalam hal kepedulian lingkungan. Selain itu, IPAL komunal memang lebih murah dan ringkas daripada
membuat septictank pribadi. Diharapkan, pembuatan IPAL-IPAL ini mampu menjadi pilot project bagi daerah-
daerah lainnya juga. ”Karena ini pilot project, jadi untuk mencapai kesempurnaan pembuatan IPAL membutuhkan
waktu yang cukup lama. Sejak tahun 2000, kami sudah mulai buat IPAL di beberapa lokasi, tapi hasilnya tidak
memuaskan, baru tahun 2003-2004 ini mulai baik, jadi membutuhkan waktu sekitar 3-4 tahun untuk mencapai yang
lebih baik”, ujar Pieter. Pieter juga menambahkan bahwa IPAL komunal yang dibuat ini dapat digunakan untuk skala
50-100 keluarga, dengan harapan agar setelah dibuang ke sungai, air sudah memenuhi baku mutu standar SK
Gubernur nomor 214 tentang baku mutu air sungai.
Cara yang digunakan KPDL dalam membuat IPAL Komunal pun tidak semata-mata membangun “sepihak”.
Masyarakat dilibatkan bersama-sama. Pemerintah yang memberi dana, konsultan, dan memberi contoh bentuk,
sedangkan yang melaksanakan adalah masyarakat setempat. Dananya pun dikelola oleh mereka, sehingga
kekurangan yang ada ditanggung oleh masyarakat sebagai pengelola. “Bahkan pernah pembuatan IPAL ini, 50 %
dananya dari masyarakat daerah itu sendiri. Bagi pemerintah, ini merupakan partisipasi dari masyarakat yang sangat
besar”, ucap Pieter bersemangat. Pemerintah tetap memberi konsultan yang membantu, tapi tanggung jawab
pembangunan diberikan penuh kepada masyarakat. Pieter juga memberi kebebasan apabila masyarakat merasa tidak
membutuhkan atau merasa kurang sreg (yakin-red) dengan konsultan teknis dari pemerintah, masyarakat tidak perlu
memakai jasa konsultan tersebut.
Beberapa IPAL komunal yang telah dibantu oleh KPDL antara lain di daerah Serangan, Patangpuluhan, Bumijo,
Pringgan (Kotagede), Tegalrejo dan di Rusunawa (Rumah Susun Sewa Sederhana) dekat Hotel Melia.
Mengenai teknis perancangan, Pieter menjelaskan bahwa IPAL komunal yang dibuat ini berbeda dengan septictank
pada umumnya. IPAL yang dibuat, sengaja dirancang kedap air, agar air limbah jangan meresap ke dalam tanah. Jadi
nantinya, limbah yang dibuang dapat disedot kembali, atau diolah sebagai pupuk.
Soal olah-mengolah limbah, warga Prawirodirjan bahkan telah memulai usaha kreatif ini. “Di RT 7, 8, 9 di
Prawirodirjan ini, kami mengolah limbah rumah tangga menjadi pupuk. Anak-anak muda banyak yang terlibat.
Bukan itu saja, bahkan fasilitas MCK (Mandi, Cuci, Kakus) komunal kami juga akan dibuat proyek “biogas”. Belum
pasti kapan, tapi yang jelas, nantinya limbah ini dapat digunakan untuk menghasilkan panas/api, sehingga ada
semacam “dapur bersama” di kampung ini,” jelas Suhayatmojo, Sekretaris Kelurahan Prawirodirjan. Melalui contoh
usaha kreatif ini, masyarakat dapat mulai untuk minimal peduli dengan lingkungan desanya sendiri. Yang dibuang
sayang, usaha ini pantas ditumbuhkembangkan.
• Menurut kontruksi :
1. Saluran terbuka
2. Saluran tertutup
Untuk air kotor disaluran yang terbentuk di tengah kota.
1. tersier drainage
2. secondary drainage
3. main drainage
4. sea drainage
Permasalahan drainase:
Permasalah drainase perkotaan bukanlah hal yang sederhana. Banyak faktor yang mempengaruhi dan pertimbangan
yang matang dalam perencanaan, antara lain :
1. Peningkatan debit
manajemen sampah yang kurang baik memberi kontribusi percepatan pendangkalan /penyempitan saluran dan
sungai. Kapasitas sungai dan saluran drainase menjadi berkurang, sehingga tidak mampu menampung debit yang
terjadi, air meluap dan terjadilah genangan.
3. Amblesan tanah
disebabkan oleh pengambilan air tanah yang berlebihan, mengakibatkan beberapa bagian kota berada dibawah muka
air laut pasang.
5. reklamasi
Jika dilihat, akar permasalahan banjir di perkotaan berawal dari pertambahan penduduk yang sangat cepat akibat urbanisasi (baik migrasi
musiman maupun permanen). Pertambahan penduduk yang tidak diimbangi dengan penyediaan prasarana dan sarana perkotaan yang memadai
mengakibatkan pemanfaatan lahan perkotaan menjadi semrawut. Pemanfaatan lahan yang tidak tertib inilah yang menyebabkan persoalan
drainase di perkotaan menjadi sangat kompleks. Hal ini barangkali juga disebabkan oleh tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah dan
tidak peduli terhadap permasalahan yang dihadapi oleh kota.
Permasalahan lain yang dihadapi dalam pembangunan drainse adalah lemahnya koordinasi dan sinkronisasi dengan komponen infrastruktur yang
lain. Sehingga sering dijumpai tiang listrik di tengah saluran drainase dan pipa air bersih (PDAM) memotong saluran pada penampang basahnya.
Sering juga dihadapi penggalian saluran drainase dengan tak sengaja merusak prasarana yang telah lebih dulu tertanam dalam tanah karena tidak
adanya informasi yang akurat, arsip/dokumen tidak ada, atau perencanaan dan pematokan di lapangan tidak melibatkan instansi pengendali tata
ruang.
sumber: Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan oleh D. Ir. Suripin, M.Eng
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kota merupakan tempat bagi banyak orang untuk melakukan berbagai aktivitas, maka
untuk menjamin kesehatan dan kenyamanan penduduknya harus ada sanitasi yang memadai,
misalnya drainase. Dengan adanya drainase tersebut genangan air hujan dapat disalurkan
sehingga banjir dapat dihindari dan tidak akan menimbulkan dampak gangguan kesehatan pada
masyarakat serta aktivitas masyarakat tidak akan terganggu.
Drainase merupakan suatu sistem untuk menyalurkan air hujan. Sistem ini mempunyai
peranan yang sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang sehat, apalagi di daerah yang
berpenduduk padat seperti di perkotaan. Drainase juga merupakan salah satu fasilitas dasar yang
dirancang sebagai sistem guna memenuhi kebutuhan masyarakat dan merupakan komponen
penting dalam perencanaan kota (perencanaan infrastruktur khususnya). Secara umum, drainase
didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau
membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara
optimal.Drainase juga diartikan sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam
kaitannya dengan salinitas, dimana drainase merupakan suatu cara pembuangan kelebihan air
yang tidak diinginkan pada suatu daerah, serta cara-cara penangggulangan akibat yang
ditimbulkan oleh kelebihan air tersebut.
Dari sudut pandang yang lain, drainase adalah salah satu unsur dari prasarana umum
yang dibutuhkan masyarakat kota dalam rangka menuju kehidupan kota yang aman, nyaman,
bersih, dan sehat. Prasarana drainase disini berfungsi untuk mengalirkan air permukaan ke badan
air (sumber air permukaan dan bawah permkaantanah) dan atau bangunan resapan. Selain itu
juga berfungsi sebagai pengendali kebutuhan air permukaan dengan tindakan untuk memperbaiki
daerah becek, genangan air dan banjir.
Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai salah satu tugas mata kuliah Hidrologi dan
Drainase, program studi teknik sipil dan perencanaan. Selain itu, penulis juga bertujuan untuk
meningatkan pengetahuan mengenai pentingnya keberadaan saluran drainase pada sebuah kota
atau daerah sebagai bagian dari menanggulangi bencana banjir maupun krisis kekurangan air.
C. Batasan Masalah
Banjir merupakan kata yang sangat popular di Indonesia, khususnya pada musim hujan,
mengingat hampir semua kota di Indonesia mengalami bencana banjir. Peristiwa ini hampir
setiap tahun berulang, namun sampai saat ini belum terselesaikan bahkan cenderung makin
meningkat, baik frekuensinya, luasannya, kedalamannya, maupun durasinya.
Jika dilihat, akar permasalahan banjir di perkotaan berawal dari pertambahan penduduk
yang sangat cepat akibat urbanisasi (baik migrasi musiman maupun permanen). Pertambahan
penduduk yang tidak diimbangi dengan penyediaan prasarana dan sarana perkotaan yang
memadai mengakibatkan pemanfaatan lahan perkotaan menjadi semrawut. Pemanfaatan lahan
yang tidak tertib inilah yang menyebabkan persoalan drainase di perkotaan menjadi sangat
kompleks. Hal ini barangkali juga disebabkan oleh tingkat kesadaran masyarakat yang masih
rendah dan tidak peduli terhadap permasalahan yang dihadapi oleh kota.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Drainase
Drainase yang berasal dari kata kerja 'to drain' yang berarti mengeringkan atau
mengalirkan air, adalah terminologi yang digunakan untuk menyatakan sistem-sistem yang
berkaitan dengan penanganan masalah kelebihan air, baik diatas maupun dibawah permukaan
tanah.
Drainase adalah lengkungan atau saluran air di permukaan atau di bawah tanah, baik
yang terbentuk secara alami maupun dibuat oleh manusia.
Drainase perkotaan adalah sistem drainase dalam wilayah administrasi kota dan daerah
perkotaan (urban) yang berfungsi untuk mengendalikan atau meringankan kelebihan air
permukaan didaerah pemukiman yang berasal dari hujan lokal, sehingga tidak mengganggu
masyarakat dan dapat memberikan manfat bagi kehidupan manusia.
Dalam bahasa Indonesia, drainase bisa merujuk pada parit di permukaan tanah
atau gorong-gorong di bawah tanah. Drainase berperan penting untuk mengatur suplai air demi
pencegahan banjir. Pengertian drainase perkotaan tidak terbatas pada teknik pembuangan air
yang berlebihan namun lebih luas lagi menyangkut keterkaitannya dengan aspek kehidupan yang
berada di dalam kawasan perkotaan.
Semua hal yang menyangkut kelebihan air yang berada di kawasan kota sudah pasti dapat
menimbulkan permasalahan drainase yang cukup komplek. Dengan semakin kompleknya
permasalahan drainase di perkotaan, maka di dalam perencanaan dan pembangunan bangunan air
untuk drainase perkotaan, keberhasilannya tergantung pada kemampuan masing-masing
perencana. Dengan demikian di dalam proses pekerjaan memerlukan kerjasama dengan beberapa
ahli di bidang lain yang terkait.
2. Menurut Konstruksi
a. Saluran terbuka
Saluran terbuka yaitu saluran yang lebih cocok untuk drainase air hujan yang terletak di daerah
yang mempunyai luasan yang cukup, ataupun untuk drainase air non-hujan yang tidak
membahayakan kesehatan/ mengganggu lingkungan.
Untuk efektifitas yang tinggi, pekerjaan land grading harus dilakukan secara teliti.
ketidakseragaman dalam pengolahan lahan dan areal yang memiliki cekungan merupakan tempat
aliran permukaan (runoff) berkumpul, harus dihilangkan dengan bantuan peralatan pengukuran
tanah.
Pada tanah cekungan, air yang tak berguna dialirkan secara sistematis melalui:
a. Saluran/parit (terbuka) yang disebut sebagai saluran acak yang dangkal (shallow random field
drains)
b. Dari shallow random field ditch air di alirkan lateral outlet ditch
c. Selanjutnya diteruskan kesaluran pembuangan utama (Main Outlet ditch)
Outlet ditch: umumnya saluran pembuangan lateral dibuat 15 – 30 cm lebih dalam dari saluran
pembuangan acak dangkal.
Overfall : jatuh air dari saluran pembuangan lateral ke saluran pembuangan utama dibuat pada
tingkat yang tidak menimbulkan erosi, bila tidak memungkinkan harus dibuat pintu air, drop
spillway atau pipa
2. Drainase Acak (Random Field Drains)
Drainase ini merupakan gambaran yang menunjukan pengelolaan untuk mengatasi
masalah cekungan dan lubang – lubang tempat berkumpulnya air. Lokasi dan arah dari saluran
drainase disesuaikan dengan kondisi tofografi lahan. Kemiringan lahan biasanya diusahakan
sedatar mungkin, hal ini untuk memudahkan peralatan traktor pengolah tanah dapat beroperasi
tanpa merusak saluran yang telah dibuat. Erosi yang terjadi pada kondisi lahan seperti diatas,
biasanya tidak menjadi masalah karena kemiringan yang relatif datar. Tanah bekas penggalian
saluran, disebarkan pada bagian cekungan atau lubang – lubang tanah, untuk mengurangi
kedalaman saluran drainase.
4. Drainase Mole
Drainase mole biasa disebut dengan lubang tikus berupa saluran bulat yang konstruksinya
tanpa dilindungi sama sekali, pembuatannya tanpa harus menggali tanah, cukup dengan menarik
(dengan traktor) bantukan baja bulat yang disebut mol yang dipasang pada alat seperti bajak
dilapisan tanah subsoil pada kedalaman dangkal. Pada bagian belakang alat mole biasanya
disertakan alat expander yang gunanya untuk memperbesar dan memperkuat bentuk lubang
Tidak semua daerah terdapat usaha-usaha pertanian atau perkebunan memerlukan irigasi.
Irigasi biasanya diperlukan pada daerah-daerah pertanian dimana terdapat satu atau kombinasi
dari keadaan-keadaan berikut :
a. Curah hujan total tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman akan air.
b. Meskipun hujan cukup, tetapi tidak terdistribusi secara baik sepanjang tahun.
c. Terdapat keperluan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil pertanian yang dapat
dicapai melalui irigasi secara layak dilaksanakan baik ditinjau dari segi teknis, ekonomis maupun
sosial.
D. Pola Jaringan
1. Siku
Dibuat pada daerah yang mempunyai topografi sedikit lebih tinggi dari pada sungai. Sungai
sebagai saluran pembuang akhir berada akhir berada di tengah kota.
2. Pararel
Saluran utama terletak sejajar dengan saluran cabang. Dengan saluran cabang (sekunder) yang
cukup banyak dan pendek-pendek, apabila terjadi perkembangan kota, saluran-saluran akan
dapat menyesuaikan diri.
3. Grid Iron
Untuk daerah dimana sungainya terletak di pinggir kota, sehingga saluran-saluran cabang
dikumpulkan dulu pada saluran pengumpulan.
4. Alamiah
Sama seperti pola siku, hanya beban sungai pada pola alamiah lebih besar
5. Radial
Pada daerah berbukit, sehingga pola saluran memencar ke segala arah.
G. Berdasarkan Fisiknya
1. Sistem Saluran Primer
Adalah saluran utama yang menerima masukan aliran dari saluran sekunder. Dimensi saluran ini
relatif besar. Akhir saluran primer adalah badan penerima air.
Dalam perencanaan dan pembangunan suatu drainase perlu strategi yang dapat diandalkan
sehingga sitem drainase berjalan dengan lancar tanpa timbulnya permasalahan dikemudian hari.
Adapun yang harus diperhatikan yaitu :
Penyiapan rencana induk sistem drainase yang terpadu antara sistem drainase utama maupun
lokal dengan pengaturan dan pengelolaan sungai.
Mengembangkan sistem drainase yang berwawasan lingkungan.
Adapun gambar alur perencanaanya sebagai berikut :
H. Pembangunan Sistem Drainase
1. Prinsip – Prinsip Utama
Kapasitas sistemharus mencukupi, baik untuk melayani pengaliran air ke badan penerima air, maupun ntuk meresapkan air ke dalam tanah. Untuk
mencapai kapasitas yang memadai dilakukan perencanaan berdasarkan prinsip hidrologi dan hidrolika.
Pembangunan sistem drainase perkotaan perlu memperhatikan fungsi drainase sebagai prasarana kota yang didasarkan pada konsep berwawasan
lingkungan.
Konsep ini antara lain berkaitan dengan usaha konservasi sumber daya air, yang pada prinsipnya
menendalikan air hujan agar lebih banyak yang diresapkan ke dalam tanah sehingga mengurangi
jumlah limpasan, antara lain dengan membuat bangunan resapan buatan, kolam retensi dan
penataan lansekap.
Sedapat mungkin menggunakan sistem gravitasi, hanya dalam hal sistem gravitasi tidak memungkinkan baru digunakan sistem pompa.
Stabilitas sistemharus terjamin, baik dari segi struktural, keawetan sistem dan kemudahan dalam operasi dan pemeliharaan.
Pembuatan Kolam Retensi dan Sistem Polder disusun dengan memperhatikan faktor sosial ekonomi antara lain perkembangan kota dan rencana
prasarana dan sarana kota.
Kelayakan pelaksanaan Kolam Retensi dan Sistem Polder harus berdasarkan tiga faktor antara lain : biaya konstruksi, biaya operasi dan biaya
pemeliharaan.
4. Rencana Induk
Rencana Induk sistem drainase perkotaan adalah perencanaan menyeluruh sistem
drainase pada suatu wilayah perkotaan, untuk perencanaan 25 tahun. Lingkupnya adalah sistem
drainase utama saja yang berada dalam suatu daerah administrasi.
5. Studi Kelayakan
Perencanaan sistem drainase perkotaan satu atau lebih daerah pengaliran air untuk waktu 5 atau 10 tahun.
Lingkupnya diarahkan pada daerah prioritas yang telah ditentukan dalam rencana induk.
Kajian meliputi kelayakan teknik, kelayakan keuangan/sosial ekonomi, kelayaan kelembagan serta kelayakan lingkungan.
6. Perecanaan Teknik
Perencanaan teknis dibuat untuk daerah prioritas yang telah mempunyai studi kelayakan atau rencana kerangka (outline plan). Jangka waktu
perencanaan untuk 2 sampai 5 tahun.
Rencana teknis harus membuat persyaratan teknis dan gambar teknis, kriteria perencanaan dan langkah-langkah konstruksi.
7. Salah satu rumus yang dapat digunakan dalam mendisain saluran drainase adalah :
‘’METODE RASIONAL’’
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seiring dengan pesatnya pertumbuhan perkotaan dan permasalahan banjir yang makin meningkat pula maka pengelolaan drainase
perkotaan harus dilaksanakan secara menyelutruh dimulai dari tahap perencanaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan yang ditunjang
peningkatan kelembagaan dan partisipasi masyarakat. perkotaan
Pembangunan Sistem Drainase Perkotaan harus memperhatikan fungsi drainase perkotaan sebagai prasarana kota yang didasarkan pada konsep
berwawasan lingkungan.
Konsep ini berkaitan dengan upaya konservasi sumber daya air yang pada prinsipnya adalah pengendalian air hujan.
Dengan memaksimalkan peresapan ke dalam tanah dan meminimalkan aliran permukaan (limpasan).