Anda di halaman 1dari 3

PERSEPSI IBU TENTANG STUNTING DI PUSKESMAS OESAPA

Indah Setyaningrum1, Rachel R. Woda2, Maria A.E. Deddy3,Nicholas


E.Handoyo4Mubasysyir Hasanbasri4

Poin penting :

NTT merupakan salah satu provinsi dengan persentase kejadian stunting terbanyak yaitu
53%. Salah satu daerah yang anak-anaknya masih ditemukan stunting yaitu wilayah kerja
Puskesmas Oesapa. Berbagai program perbaikan gizi telah dilakukan, tetapi terdapat
beberapa hal yang menyebabkan stunting masih tetap ada di wilayah kerja Puskesmas
Oesapa. Pengetahuan mengenai stunting yang sangat minim ditengarai menjadi salah satu
faktor yang turut mempengaruhi masih ditemukannya anak-anak yang stunting. Hal ini
terutama terkait pengetahuan ibu-ibu rumah tangga yang sangat minim tentang stunting. Jika
stunting saja tidak tahu, lalu bagaimana ibu- ibu yang menjadi tonggak penjaga gizi dalam
sebuah keluarga dapat memastikan bahwa asupan makan yang diberikan pada anak- anaknya
mengandung nilai gizi yang cukup, lengkap dan seimabang sehingga dapat mencegah
terjadinya stunting.

Kata Kunci: stunting, persepsi, pengetahuan ibu,program gizi

Profil narasumber :

Wawancara dilakukan dengan 4 narasumber selama kurang lebih 20 menit/ narasumber


dengan latar belakang narasumber yang bebeda. Narasumber diwawancarai di rumah masing-
masing.

FOTO NARASUMBER

Gambar di atas merupakan gambar salah satu narasumber ibu X (informan 1) dengan anak
stunting berusia 1 tahun 7 bulan.

Mengapa ibu-ibu memahami anak pendek sebagai masalah keturunan ?

Stunting merupakan istilah yang kurang dipahami masyarakat awam terutama ibu-ibu rumah
tangga. Seorang anak dinyatakan stunting jika indikator status gizi TB/U sama dengan atau
kurang dari minus dua standar deviasi (-2 SD) di bawah rata- rata. Severe stunting
didefinisikan bila kurang dari -3SD. Perhitungan nilai gizi secara ilmiah yang rumit dan
menjadi alasan kenapa ibu-ibu rumah tangga kurang memahami stunting. Menurut hampir
seluruh informan, anak yang pendek merupakan murni disebabkan faktor keturunan. Salah
satu informan bahkan mengatakan dengan tegas bahwa tidak mungkin pola makan bisa
mengakibatkan anaknya pendek. Inilah persepsi ibu-ibu rumah tangga dengan anak stunting
yang sebenarnya kurang tepat.

Mengapa anak-anak yang stunting masih tetap saja stunting?

Stunting merupakan masalah gizi yang kronis, tidak mudah untuk mengubah anak- anak yang
stunting menjadi bergizi baik dan menjadi anak dengan tinggi badan yang normal menurut
usianya. Beberapa perilaku dan pemikiran ibu-ibu rumah tangga inilah yang bisa saja menjadi
alasan anaknya masih stunting :

1. Beberapa ibu sudah menyadari dan berusaha memberikan makanan bergizi tinggi
kepada anak balitanya. Salah satu upaya mereka adalah memberiakan makanan instan
dalam frekuensi yang sering selama satu minggu. Mereka tidak menyadari bahwa hal
ini justru memberikan pengaruh yang sebaliknya terhadap gizi anak balitanya. Hal ini
dikarenakan kondisi perekonomian yang sulit.

“Kalau mi instan saya kasih, satu minggu 3-4 kali. Begitulah karena pas adanya mie
instan ya dikasih mie.”
2. Saat anak-anaknya sakit pun ibu tidak segan mengumpulkan uang untuk membeli
makanan tambahan seperti buah dan vitamin, tetapi saat anak itu sudah sembuh ibu
mengaku vitamin tidak dibeli lagi karena harganya mahal.
“Waktu usia 6 bulan anak saya sering sakit muntah,mencret (diare),demam, jadi tidak
mau makan. Saya periksakan ke dokter di Puskesmas Oesapa dan diberi vitamin oleh
dokternya, waktu vitamin habis dan anak saya belum sembuh jadi saya belikan
vitamin “SE” di toko. Anak saya jadi mau makan, tetapi sekarang sudah tidak lagi
karena harganya mahal 300-400ribuan.”
3. Masih terdapat mitos-mitos yang dipercayai ibu sebagai alasan anaknya stunting,
sehingga ibu kurang memperhatikan gizi anak dan menganggap stunting hal biasa.
“Saya pakai KB, jadi kata orang orang anak saya kecil pendek itu karena keracunan
obat KB.”
4. Ibu-ibu dengan anak stunting juga sudah mendapat bantuan dari Puskesmas Oesapa
berupa pemberian makanan tambahan khusus saat posyandu. Namun, karena banyak
hal yang dianggap ibu lebih penting daripada berangkat posyandu, akhirnya mereka
enggan dan tidak sempat membawa anaknya ke posyandu sehingga tidak mendapat
bantuan pemberian makanan tambahan.
“Saya 2 bulan yang lalu masih mendapat bantuan makanan, biasa ketemu bu bidan
“Y”, lalu disuruh datang ke Puskesmas Oesapa untuk ambil bantuan, tetapi sudah 2
bulan ini saya tidak dapat karena tidak datang posyandu jadi saya tidak tahu masih
boleh ambil atau tidak.”

Bagaimana Pendapat Ibu Tentang Program Gizi Dari Puskesmas?


Program gizi berupa pemberian makanan tambahan (susu dan biskuit) yang diberikan tiap
bulan sekali atau lebih pada anak-anak yang stunting telah dilakukan oleh bagian gizi
Puskesmas Oesapa. Hal ini jelas sangat membantu bagi anak-anak stunting untuk
memperbaiki gizinya, namun sangat disayangkan petugas kurang mampu memanfaatkan
waktu pertemuan tersebut untuk memberikan edukasi, sehingga tingkat pengetahuan ibu
mengenai stunting dan pengaturan pola makan pada anak sangat kurang. Padahal hal ini
penting guna perbaikan gizi dan pertumbuhan anak stunting.
“Saya bersyukur anak saya diberi bantuan susu bubuk dan biskuit untuk bubur. Saat bantuan
itu habis dalam 2 minggu pun saya bisa ambil lagi di Puskesmas Oesapa, tetapi apa itu
stunting, alasan anak yang pendek, saya tidak tahu karena tidak ada penjelasan.
Kesimpulan :
Pengetahuan ibu yang minimal dan masih adanya berbagai mitos yang berkembang di
kalangan masyarakat awam membuat perkembangan anak stunting tidak signifikan. Hal ini
ditambah dengan adanya faktor ekonomi yang menjadikan upaya untuk menjaga pola makan
anak stunting menjadi tidak maksimal. Diperlukan kerjasama yang sinergi antara ibu rumah
tangga, anggota keluarga, kader, dan petugas puskesmas dalam memperhatikan upaya terkait
penambahan edukasi mengenai stunting,gizi buruk, dan pola makan yang sesuai standar gizi
seimbang bagi balita agar kejadian stunting tidak semakin bertambah dan anak stunting bisa
bertumbuh lebih maksimal lagi.

Referensi :
1. Badan Peneliti dan Pengembangan. RISET KESEHATAN DASAR 2013 [Internet].
2013.
Available from:
http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/buku_laporan/lapnas_riskesdas2013/
Lapo
ran_riskesdas_2013.pdf
2. World Health Organization (WHO). WHO child growth standards. Lancet [Internet].
2006;371(9608):204. Available from:
http://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi?T=JS&PAGE=reference&D=emed8&NEWS=N
&AN=2008031311
3. Semba RD, de Pee S, Sun K, Sari M, Akhter N, Bloem MW. Effect of parental formal
education on risk of child stunting in Indonesia and Bangladesh: a cross-sectional
study. Lancet. 2008;371(9609):322–8.

Anda mungkin juga menyukai