Anda di halaman 1dari 20

Pendahuluan

Penyakit kolagen, penyakit kolagenosis, penyakit mesenkim merupakan sinonim dari penyakit
jaringan konektif. Menurut klasifikasi oleh KLEMPERER yang termasuk golongan penyakit tersebut
ialah lupus eritematosus, scleroderma, dermatomiositis, arthritis rematik, demam rematik dan
poliartritis. Klasifikasi tersebut berdasarkan atas degenerasi fibrinoid serat-serat kolagen yang luas
yang terdapat di dalam jaringan mesenkim.

Jaringan kolagen terdiri atas tiga elemen, yakni kolagen, elastin dan substansi dasar
(underlying ground substance) tempat serta-serat tersebut terletak. Kelainan serat kolagen dan serat
fibrin menimbulkan manifestasi klinis yang berlainan. Yang sama ialah, bahwa semua penyakit pada
golongan ini merupakan satu kompleks respons autoimun.

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan
menyerang berbagai system dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-macam,
bersifat sementara dan sulit untuk didiagnosa. SLE dapat menyebabkan timbulnya pelbagai
komplikasi. Antara komplikasi yang dapat timbul adalah adanya gagal ginjal, kerusakan pada otak,
dan mata. Komplikasi sering terjadi pada wanita menderita SLE yang hamil terutamanya jika adanya
gangguan pada ginjal.

1
Definisi

Lupus Eritematosus merupakan penyakit yang menyerang sistem konektif dan vaskular, dan
mempunyai dua varian, lupus eritematosus diskoid dan sistemik. L.E.D (Lupus Eritematosus Diskoid)
bersifat kronik dan tidak berbahaya. L.E.D menyebabkan bercak di kulit yang eritematosa dan atrofik
tanpa ulserasi. L.E.S (Lupus Eritematosus Sistemik) merupakan penyakit yang biasanya akut dan
berbahaya, bahkan dapat fatal. Penyakit bersifat multisistemik dan menyerang jaringan konektif dan
vaskular.1

Insidens dan Epidemiologi

Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) menyerang perempuan kira-kira delapan kali lebih sering dari laki-
laki. Penyakit ini seringkali dimulai pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Di Amerika
Serikat, penyakit ini menyerang perempuan Afrika Amerika tiga kali lebih sering daripada perempuan
Kaukasia.2 Di Asia pula, penyakit ini terjadi pada perempuan Asia 18 kali lebih sering daripada laki-laki
Asia.

Data prevalensi tersedia dari 24 negara, dan umumnya berada dalam 30-50/100,000
penduduk. Namun, satu survei menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dari 70% (Shanghai),
sedangkan tiga orang lainnya menunjukkan prevalensi yang lebih rendah dari 3,2-19,3% (India,
Jepang, Saudi Arabia). Hanya tiga negara telah mencatat tingkat insiden dan ini bervariasi 0,9-3,1%
per tahun.

Manifestasi umum pada lesi mukokutan terdapat 52-98% dari pasien, dan arthritis /
musculoskeletal 36-95%. Keterlibatan ginjal berkisar antara 18-100% pada lebih dari 50% penderita.3
Kira-kira 65% dari pasien SLE akan mengalami gangguan pada ginjalnya. Tetapi hanya 25% yang
menjadi berat.2 Antibodi antinuclear positif dalam 89-100% dari pasien. Sulit untuk membuat
generalisasi tentang bagaimana karakter epidemiologi penyakit oleh karena bervariasinya gejala dari
satu negara ke negara.3

Klasifikasi Lupus Eritemotosus

2
L.E.D (Lupus Eritematosus Diskoid) L.E.S (Lupus Eritematosus Sistemik)
Insidens pada wanita lebih banyak daripada Wanita jauh lebih banyak daripada pria, umumnya
pria, usia biasanya lebih dari 30 tahun terbanyak sebelum usia 40 tahu (antara 20-30 tahun)
Kira-kira 5% berasosiasi dengan atau Kira-kira 5% mempunyai lesi-lesi kulit L.E.D
menjadi L.E.S
Lesi mukosa oral dan lingual jarang Lesi mukosa lebih sering, terutama pada L.E.S akut
Gejala konstitusional jarang Gejala konstitusional sering
Kelainan laboratorik dan imunologik jarang Kelainan laboratorik dan imunologik sering

Tabel 1. Perbandingan Lupus Eritematosus Diskoid dengan Lupus Eritematosus Sistemik.1

Etiologi

SLE merupakan gangguan di mana interaksi antara faktor host (kerentanan gen, lingkungan
hormonal, dll) dan faktor lingkungan [ultraviolet (UV) radiasi, virus, obat] mengarah pada hilangnya
toleransi-tubuh, dan menginduksi autoimunitas.

Faktor host

Kerentanan Gen. Kontribusi genetik pada kerentanan terhadap LE didukung oleh peningkatan risiko
(sebanyak 20 kali lipat) dan oleh peningkatan penyakit pada anak kembar monozigot. Selain itu, studi
hubungan genetik dalam keluarga multipleks telah menjelaskan bahwa lesi kulit discoid LE pada
pasien-pasien SLE Afrika-Amerika terkait pada 11p13. Defisiensi genetik dari komponen pelengkap
awal C1q, C4, dan C2 mempengaruhi pasien pada peningkatan Lupus. Faktanya, defisiensi kongenital
lengkap dari C1q adalah faktor risiko genetik tunggal terkuat yang teridentifikasi pada peningkatan
dari fotosensitifitas SLE.

Hormon Seks. Salah satu pengamatan klinis yang paling mencolok di SLE adalah predileksi
penyakit ini pada wanita dikarenakan pengaruh hormon seks pada sistem kekebalan tubuh. Tingginya
kadar esterogen dan progesteron meningkatkan autoreaktivitas humoral. Penderita Lupus
memetabolisme esterogen dengan berbeda dan mengalami peningkatan 20 kali lipat dalam
pemecahan esterogen potensi tinggi ke esterogen potensi rendah bila dibandingkan dengan orang
sehat. Laki-laki dan perempuan dengan SLE mengalami penurunan ketersediaan testosteron,
dihidrotestosteron, dehydroepiandrosterone (DHEA), dan DHEA sulfat. Selain itu, laki-laki dengan
kekurangan androgen dengan sindrom Klinefelter memiliki insiden yang lebih tinggi dari Th2-
penyakit autoimune termasuk SLE.

3
Faktor lingkungan

Radiasi Ultraviolet. Sinar ultraviolet mungkin merupakan faktor lingkungan yang paling penting dalam
menginduksi SLE. Studi terkini menunjukkan bahwa lesi kulit LE dapat diprovokasi secara klinis di kulit
normal pasien SLE dengan paparan berulang dosis tinggi radiasi UVB. Kajian yang lebih mutakhir
berpendapat bahwa radiasi UVA juga dapat menyebabkan lesi kulit LE. Sinar UV dapat
mempengaruhi sel-sel immunoregulatory, yang secara normal membantu menekan pola abnormal
peradangan kulit.

Paparan Tembakau. Sebuah studi kasus-kontrol terbesar dan terbaru melaporkan bahwa
perokok berada pada risiko yang lebih besar terkena SLE daripada yang bukan perokok dan mantan
perokok. Peneliti berpendapat bahwa fakta ini mungkin berhubungan dengan amina aromatik
lipogenik yang terkandung dalam asap tembakau.

Obat-Obatan. Sejumlah obat terlibat dalam mendorong berbagai fitur SLE [misalnya,
procainamide, hydralazine, isoniazid, klorpromazin, phenytoin (dilantin), dan, terakhir, minocycline,
serta COL-3, suatu turunan tetrasiklin antikanker]. Sebuah mekanisme pada obat yang menginduksi
LE dimana agen provokatif menginduksi sel-T DNA hipometilasi merangsang perubahan DNA telah
dikemukakan.

Virus. Ada banyak spekulasi tentang peran agen menular, terutama virus dalam menginduksi
SLE. Infeksi dari semua jenis telah lama dikenal dalam memperburuk SLE. Infeksi oleh alphavirus
seperti Sindbis, rubella, dan cytomegalovirus tampaknya dapat menginduksi ekspresi sel permukaan
dari Ro / SS-A dan terkait autoantigens dalam sel yang mengalami apoptosis indiksi-virus.4

Patofisiologi

Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi
genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan
hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang
akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi auto antibodi maupun yang
berupa sel memori. Wujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk di
dalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.5

SLE adalah penyakit multigenik. Pada kebanyakan individu yang genetiknya rentan, alel
normal dari multipel gen normal masing-masing menyumbangkan sejumlah kecil respon imun
abnormal, jika variasi terkumpul cukup banyak, penyakit muncul. Kekurangan homozigot komponen

4
awal komplemen (C1q, r, s, C2, C4) menganugerahkan kecenderungan kuat untuk terjadi SLE, namun
kekurangan tersebut jarang terjadi. Setiap gen lain yang tercantum risiko meningkatkan SLE hanya
1,5 hingga 3 kali lipat. Beberapa alel gen mungkin berkontribusi terhadap kerentanan penyakit
dengan izin mempengaruhi sel apoptosis (C1q, MBL) atau kompleks imun (FCR 2A dan 3A), presentasi
antigen (HLA-DR2, 3,8), pematangan sel B (IL-10), T aktivasi sel (PTPN22), atau kemotaksis (MCP-1).
Tak satu pun dari hipotesis tersebut terbukti. Selain mempengaruhi kerentanan penyakit dalam
berbagai kelompok etnis, beberapa gen mempengaruhi manifestasi klinis penyakit (misalnya,
FcR2A/3A, MBL, PDCD1 untuk nefritis, MCP-1 untuk arthritis dan vasculitis). Sebuah daerah pada
kromosom 16 mengandung gen yang mempengaruhi untuk SLE, psoriasis arthritis, arthritis, dan
penyakit Crohn, menunjukkan adanya "gen autoimunitas" itu, saat berinteraksi dengan gen lain,
predisposisi penyakit autoimun yang berbeda. Semua kombinasi gen mempengaruhi respon imun
terhadap lingkungan eksternal dan internal, ketika respon tersebut terlalu tinggi dan / atau terlalu
lama, timbullah penyakit autoimun.6

Jenis kelamin wanita lebih banyak terkena SLE karena lebih banyak membuat respon antibodi
yang lebih tinggi daripada laki-laki. Perempuan yang memakai hormon estrogen yang terdapat pada
kandungan kontrasepsi oral atau penggantian hormon memiliki peningkatan risiko mengembangkan
SLE (1,2 hingga 2 kali lipat). Estradiol berikatan dengan reseptor pada limfosit T dan B, meningkatkan
aktivasi dan kelangsungan hidup sel-sel, sehingga mendukung respon imun berkepanjangan.

Beberapa rangsangan lingkungan dapat mempengaruhi SLE. Paparan sinar ultraviolet


menyebabkan kekambuhan dari SLE pada sekitar 70% pasien, mungkin dengan meningkatkan
apoptosis pada sel kulit atau dengan mengubah DNA dan protein intraseluler untuk membuat
mereka antigenik.

Ada kemungkinan bahwa beberapa infeksi menginduksi respon imun normal yang matang
mengandung beberapa sel T dan sel B yang menganggapnya antigen, sel tersebut tidak diatur dengan
baik, dan produksi autoantibody terjadi. Kebanyakan pasien SLE memiliki autoantibodi selama 3
tahun atau lebih sebelum gejala pertama penyakit, menunjukkan regulasi yang mengontrol derajat
autoimun selama bertahun-tahun sebelum kuantitas dan kualitas autoantibodi dan B patogen dan sel
T benar-benar menyebabkan gejala klinis. Epstein-Barr virus (EBV) mungkin menjadi salah satu agen
infeksi yang dapat memicu SLE pada individu yang rentan. Anak-anak dan orang dewasa dengan SLE
lebih mungkin terinfeksi oleh EBV dari usia, jenis kelamin, dan kontrol etnik-pengamatan dikonfirmasi
di Afrika-Amerika dewasa dalam populasi yang lain. EBV mengaktivasi dan menginfeksi limfosit B dan
bertahan dalam sel-sel selama beberapa dekade, tetapi juga mengandung sekuens asam amino yang
meniru susunan pada spliceosomes manusia (RNA / antigen protein sering diakui oleh autoantibodies

5
pada orang dengan SLE). Dengan demikian, interaksi antara kerentanan genetik, lingkungan, jenis
kelamin, dan abnormal tanggapan kekebalan menghasilkan autoimunitas.

Pada SLE, biopsi menunjukkan kulit deposisi terkena Ig di persimpangan dermal-epidermal


(DEJ), cedera pada keratinosit basal, dan peradangan didominasi oleh limfosit T dalam DEJ dan
sekitar pembuluh darah dan pelengkap dermal. Kulit klinis terpengaruh juga dapat menunjukkan
deposisi Ig pada DEJ tersebut.6

Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak
pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon. Kebanyakan
diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks
protein RNA yang disebut partikel ribonukleo protein (RNA). Ciri khas auto antigen ini ialah bahwa
mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini secara
bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA
membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.5

Gambar 1. Patogenesis SLE.6

Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan
klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan
penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya

6
deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada
berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut.

Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab


timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada
organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan
sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang
dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.5,6

Manifestasi Klinis

Gambaran klinis SLE dapat membingungkan, terutama pada awalnya.2 Manifestasi Klinis dapat dibagi
dalam1 :

1. Gejala konstitusional

Perasaan lelah, penurunan berat badan, dan kadang-kadang demam tanpa menggigil merupakan
gejala yang timbul selama berbulan-bulan sebelum ada gejala lain.1 Keletihan dan rasa lemah bisa
timbul sebagai gejala sekunder dari anemia ringan yang ditimbulkan oleh SLE.2

2. Kelainan di kulit dan mukosa


a. Kulit

Lesi yang tersering ialah :

 Lesi seperti kupu-kupu di area malar dan nasal dengan sedikit edema, eritema, sisik,
telangiektasis, dan atrofi.
 Erupsi makulo-papular, polimorfi, dan eritematosa bulosa di pipi.
 Fotosensitivitas di daerah yang tidak tertutup pakaian
 Lesi papular dan urtikarial kecoklat-coklatan
 Kadang-kadang terdapat lesi L.E.D atau nodus-nodus subkutan yang menetap
 Vaskulitis sangat menonjol
 Alopesia dan penipisan rambut
 Sikatrisasi dengan atrofi progresif dan hiperpigmentasi
 Ulkus tungkai

b. Mukosa

7
Pada mukosa mulut, mata, dan vagina, timbul stomatitis, keratokonjungtivitis, dan kolpitis dengan
ptekie, erosi, bahkan ulserasi.1

3. Dapat menyerang organ dalam seperti ginjal, paru, jantung, sendi tulang, kelenjar getah bening
dan system saraf pusat.

Gambar 2. Manifestasi Klinis SLE.

Diagnosis

Diagnosis dilakukan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sebagai
pembantu diagnosis.

Anamnesis

Anamnesis yang akurat sangat vital dalam menegakkan diagnosis yang tepat pada kondisi-kondisi
yang mengenai kulit. Keluhan utama tersering di antaranya adalah ruam, gatal, bengkak, ulkus,
perubahan warna kulit dan pengamatan tak sengaja saat pasien datang dengan keluhan utama
kondisi medis lain.7

 Kapan pertama kali pasien memperhatikan adanya ruam? Di mana letaknya? Apakah terasa
gatal? Adakah pemicu misalnya pengobatan, makanan, sinar matahari dan allergen
potensial?
 Dimana letak benjolan? Apakah terasa gatal? Apakah berdarah? Apakah bentuk/ukuran/
warnanya berubah?
 Adakah benjolan di tempat lain?

8
 Bagaimana perubahan warna yang terjadi misalnya pigmentasi meningkat, ikterus, pucat?
Siapa yang memperhatikan adanya perubahan warna? Sudah berapa lama? Bandingkan
dengan foto terdahulu.
 Adakah gejala penyerta yang menunjukkan adanya kondisi medis sistemik misalnya
penurunan berat badan, atralgia dan lain-lain?

Pertimbangkan akibat yang mungkin ditimbulkan oleh kondisi kulit yang serius, seperti kehilangan
cairan, infeksi sekunder, penyebaran metastatic ke kelenjar getah bening atau organ lain.7

Riwayat Penyakit Dahulu

 Pernahkan pasien mengalami gangguan kulit, ruam dan lain-lain?


 Adakah riwayat kecenderungan atopi (asma, rhinitis)?
 Adakah pasien memiliki masalah dengan kulit di masa kecil?
 Adakah riwayat kondisi medis lain yang signifikan khususnya yang mungkin memiliki
manifestasi pada kulit, misalnya SLE, penyakit seliaka, miositis atau transplantasi ginjal?7

Obat-obatan

Riwayat pemakaian obat yang lengkap penting bagi semua kenis pengobatan, baik obat resep
ataupon alternative yang dimakan atau topical.

 Pernahkah pasien menggunakan obat untuk penyakit kulit?


 Pernahkah pasien menggunakan imunosupresan?7
 Apakah dalam pengobatan prokainamid, hidantoin, griseofulvin, fenilbutazone, penicillin,
streptomisin, tetrasiklin dan sulfonamida? 1

Alergi

 Apakah pasien memiliki alergi obat? Jika ya, seperti apa reaksi alergi yang timbul?7
 Apakah pasien mengetahui kemungkinan allergen yang lain?
 Pernahkah pasien menjalani patch test atau pemeriksaan respons IgE?

Riwayat Keluarga

Adakah riwayat penyakit kulit atau atopi dalam keluarga? Adakah orang lain di keluarga yang
mengalami kelainan serupa?7

Riwayat Sosial

9
 Bagaimana riwayat pekerjaan pasien, apakah terpapar sinar matahari, allergen potensial atau
parasit kulit? Apakah menggunakan produk pembersih baru, hewan peliharaan baru dan lain-
lain?
 Apakah pasien baru-baru ini bepergian ke luar negeri?
 Adakah pajanan pada penyakit infeksi lain?7

Pemeriksaan Fisik

Pertama, dinilai dahulu keadaan umum pasien. Apakah pasien sakit ringan atau berat. Apakah pasien
tampak syok, berpigmen atau demam? Kondisi kulit yang serius yang mengenai daerah yang luas
pada kulit bisa menyebabkan kehilangan cairan yang membahayakan jiwa dan infeksi sekunder. Pada
inspeksi juga, diperhatikan lokalisasi, warna, bentuk, ukuran, penyebaran, batas dan effloresensi
yang khusus.1,7

Setelah inspeksi selesai, dilakukan palpasi. Pada pemeriksaan ini, diperhatikan adanya tanda-
tanda radang akut atau tidak, misalnya dolor, kolor, fungsiolesa, ada tidaknya indurasi, fluktuasi dan
pembesaran kelenjar regional maupun generalisata.1

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium

Kelainan laboratorium ialah anemia hemolitik dan anemia nomositer, leukopenia, trombositopenia,
peninggian laju endap darah, hiperglobulinemia dan bila terdapat sindrom nefrotik, albumin akan
rendah. Krioglobulin, kelainan faal hepar dan penurunan komplemen serum biasanya ada pula.
Proteinuria, biasanya bersifat gross proteinuria, merupakan gejala penting. Faktor rematoid positif
pada kira-kira 33% kasus. Tes serologic untuk sifilis positif hanya pada sekitar 10%.1 Laju endap darah
pada pasien SLE biasanya meningkat. Ini adalah uji nonspesifik untuk mengukur tingkat peradangan
dan tidak berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit. Urine diperiksa untuk mengetahui adanya
protein, leukosit, eritrosit dan silinder. Uji ini dilakukan untuk menentukan adanya komplikasi ginjal
dan untuk memantau perkembangan penyakit SLE.2

Fenomena Sel S.E dan tes sel S.E

Sel L.E terdiri atas granulosit neutrofilik yang mengandung bahan nuclear basofilik yang telah
difagositosis, segmen nuklearnya berpindah ke perifer. Fenomena ini disebabkan oleh factor
antinuclear (factor L.E dan yang lain) yang menyerang bahan nuclear di dalam sel yang rusak. Bahan

10
nuclear yang berubah dikelilingi neutrofil (bentuk rosette) yang memfagositosis bahan tersebut. Tes
sel L.E kini tidak penting karena pemeriksaan antibody antinuclear lebih sensitive.

Antibodi antinuclear (ANA)

Pada pemeriksaan imunofluoresensi tak langsung dapat ditunjukkan (ANA) pada 90% kasus.1
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya antibody yang mampu menghancurkan inti dari
sel-sel tubuh sendiri. Selain mendeteksi adanya ANA, juga berguna untuk mengevaluasi pola dari
ANA dan antibody spesifik. Pola ANA dapat diketahui dari pemeriksaan preparat yang diperiksa di
bawah lampu ultraviolet.2 Terdapat 4 pola ANA ialah membranosa (anular, peripheral), homogen,
berbintik dan nuclear. Yang dianggap spesifik untuk L.E.S ialah pola membranosa, terutama jika
titernya tinggi. Pola berbintik juga umum terdapat pada L.E.S. Pada homogen kurang spesifik.1

Lupus band test

Pada pemeriksaan imunofluoresens langsung dapat dilihat pita terdiri atas deposit granular
immunoglobulin G, M atau A dan komplemen C3 pada taut epidermal-dermal yang disebut lupus
band. Caranya disebut lupus band test, specimen diambil dari kulit yang normal. Tes tersebut positif
pada 90-100% kasus L.E.S dan 90-95% kasus L.E.D.1

Anti-ds-DNA

Anti autoantibody yang lain selain ANA ialah anti-ds-DNA, yang spesifik untuk S.L.E, tetapi hanya
ditemukan pada 40-50% penderita. Antibodi ini mempunyai hubungan dengan glomerulonefritis.
Adanya antibody tersebut dan kadar komplemen yang rendah dapat meramalkan akan terjadinya
hematuria dan atau proteinuria.1

Anti-Sm

Selain anti-ds-DNA, masih ada antibody yang lain yang spesifik ialah anti-Sm, tetapi hanya terjadi
pada sekitar 20-30% penderita dan tidak ditemukan pada penyakit lain.1

********

Kriteria diagnosis ialah yang diuraikan oleh A.R.A (the American Rheumatism Asociation) yang telah
direvisi pada tahun 1982. Diagnosis L.E.S dibuat jika paling sedikit terdapat 4 diantara 11 manifestasi
berikut ini :

 Eritema fasial (butterfly rash)


 Lesi diskoid

11
 Sikatrik hipotrofik
 Fotosensitivitas
 Ulserasi di mulut dan rinofaring
 Artritis (non erosif, mengenai 2 atau lebih sendi perifer)
 Serositis (pleuritis, perikarditis)
 Kelainan ginjal (proteinuria > 0,5 g/hari, cellular cast)
 Kelainan neurologik (kelelahan, psikosis)
 Kelainan darah, yakni anemia hemolitik, leukopenia (< 4000/µl), limfopenia, atau
trombositopenia (<100.000/µl)
 Gangguan imunologik {(sel L.E , anti DNA, anti- Sm (antibodi terhadap antigen anti otot
polos) atau positif semu tes serologik untuk sifilis)}, antibodi antinuklear. 1

Diagnosis Banding

Dengan adanya gejala di berbagai organ maka penyakit-penyakit yang harus didiagnosis banding
banyak sekali. Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan L.E.S mempunyai gejala-gejala yang dapat
menyerupai L.E.S yakni artritis reumatika, sklerosis sistemik, dermatomiositis, dan purpura
trombositopenik.1

 Artritis Reumatika. Otot dan kekakuan sendi biasanya paling sering di pagi hari. Pola karakteristik
dari persendian yang terkena adalah mulai pada persendian kecil di tangan, pergelangan, dan
kaki. Awitannya biasanya akut, bilateral, dan simetris. Persendian dapat teraba hangat, bengkak,
kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih dari 30 menit.8
 Sklerosis Sistemik. Penyakit ini disebut juga skleroderma sistemik. Skleroderma merupakan
kolagenosis kronis dengan gejala khas bercak-bercak putih kekuning-kuningan dan keras yang
seringkali mempunyai halo ungu disekitarnya. Sklerosis sistemik seperti skleroderma
sirkumskripta tetapi secara berturut-turut mengenai alat-alat viseral.1
 Dermatomiositis. Penyakit mulai dengan perubahan khas pada muka (terutama pada palpebra)
yakni terdapat eritema dan edema berwarna merah ungu kadang-kadang juga livid. Pada palpebra
terdapat telangiektasis, disertai paralisi otot-otot ekstraokular. Pada fase berikutnya timbul
perubahan-perubahan kutan yang menetap dan menyerupai Lupus Eritematosus. Kelainan di
muka menjalar ke leher, toraks, lengan bawah, dan lutut. Manifestasi patognomonik ialah papul
Gottron yaitu papul keunguan di bagian dorsolateral sendi interfalangeal dan atau
metakarpofalangeal. Fase ini disertai demam intermiten, takikardi, hiperhidrosis, dan penurunan
berat badan.1

12
 Purpura Trombositopenik. Penyakit ini juga dikenal sebagai sindrom Moschowite dengan trias :
trombositopenia, anemia hemolitik, dan gangguan susunan saraf pusat. Gejala yang timbul adalah
demam, purpura berupa ekimosis, ikterus, pembesaran limpa, disfungsi ginjal, artritis, pleuritis,
fenomena Raynaud, nyeri perut, dan pembesaran hati.9

Pengobatan

Pengobatan SLE Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.10

a. Pengobatan SLE Ringan

Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan berkesinambungan serta
ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di atas tercapai, yaitu:

Obat-obatan

- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.


- Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan nyeri
dan inflamasi.
- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi ringan)
- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250 mg
mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal akan pemberian
dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari
(200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.
- Kortikortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara .
- Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection faktor sekurang-kurangnya
15 (SPF 15).10

b. Pengobatan SLE Sedang

Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada pengobatan. Pada
SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta mengikuti protokol
pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison atau
yang setara.

c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa

13
Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan obat-obatannya. Pada
SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan sebagaimana tercantum di bawah
ini.10

Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan SLE mencakup10:

 Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari, terutama
pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemilitik, nefritis, neuropsikiatrik SLE,
manifestasi mukokutaneus, atau demam yang refrakter dengan terapi konvensional.
 Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan lupus serberitis.
 Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.
 Danazol pada trombositopenia refrakter.
 Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring effect pada SLE ringan.
 Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter dengan obat
lainnya.
 Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE yang berat.
 Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas stimulator limfosit sel B
telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE (saat ini belum tersedia di Indonesia)
 Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40 (CD40LmAb).
 Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.

Tabel 2. Jenis dan Dosis Obat yang Dipakai Pada SLE.10

Jenis Obat Dosis Jenis Toksisitas Evaluasi Pemantauan


Awal Klinis Laboratorik
OAINS Tergantung Perdarahan saluran Darah rutin, Gejala Darah rutin,
OAINS cerna, kreatinin, gastro- kreatinin,
hepatotoksik, sakit urin rutin, intestinal AST/ALT setiap 6
kepala, hipertensi, AST/ALT bulan.
aseptic, meningitis,
nefrotoksik.
Kortiko- Tergantung Cushingoid, Gula darah, Tekanan Glukosa
steroid derajat SLE hipertensi, profil lipid, darah
dislipidemi, DXA,
ostoenekrosis, tekanan
hiperglisemia, darah
katarak,
osteoporosis.
Klorokuin 250 mg/hari Retinopati, keluhan Evaluasi Funduskopi
(3,5-4 GIT, rash, mialgia, mata, G6PD dan

14
mg/kgBB/ sakit kepala, anemi pada pasien lapangan
hari) hemolitik dengan berisiko pandang
Hidrosikloro- 200-400mg/ defisiensi G6PD. mata setiap
kuin hari 3-6 bulan.
Azatioprin 50-150 mg Mielosupresif, Darah tepi Gejala Darah tepi
per hari, hepatotoksik, lengkap, mielo- lengkap tiap 1-2
dosis terbagi gangguan kreatinin, supresif minggu dan
1-3, limfoproliferatif AST/ALT selanjutnya 1-3
tergantung bulan interval.
berat badan AST tiap tahun
dan pap smear
secara teratur.
Siklofosfamid Per oral; 50- Mielosupresif, Darah tepi Gejala Darah tepi
150 mg per gangguan lengkap, mielo- lengkap dan urin
hari. IV : 500- limfoproliferatif, hitung jenis supresif, lengkap tiap
750 mg/m2 keganasan, leukosit, urin hematuria bulan, sitologi
dalam imunosupresif, lengkap. dan urin dan pap
Dextrose 250 sistitis hemoragik, infertilitas. smear tiap tahun
ml, infuse infertilitas seumur hidup.
selama 1jam. sekunder.
Metotreksat 7,5-20 mg/ Mielosupresif, Darah tepi Gejala Darah tepi
minggu, fibrosis hepatic, lengkap, foto mielo- lengkap,
dosis tunggal sirosis, infiltrate toraks, supresif, terutama hitung
atau terbagi pulmonal dan serologi sesak trombosit tiap 4-8
3. Dapat fibrosis. hepatitis nafas, mual minggu, AST/ALT
diberikan B&C, AST, dan dan albumin tiap
pula melalui fungsi hati muntah, 4-8 minggu, urin
injeksi. kreatinin. ulkus lengkap dan
mulut. kreatinin.
Siklosporin A 2,5-5 Pembengkakan, Darah tepi Gejala Kreatinin, LFT,
mg/kgBB nyeri gusi, lengkap, hipersensiti Darah tepi
atau sekitar peningkatan TD, kreatinin, fitas lengkap.
100-400 mg peningkatan urin lengkap terhadap
per hari pertumbuhan LFT. castor oil
dalam 2 rambut, gangguan (bila obat
dosis fungsi ginjal, nafsu diberikan
tergantung makan menurun, injeksi), TD,
berat badan. tremor. fungsi hati
dan ginjal.
Mikofenolat 1000-2000 Mual, diare, Darah tepi Gejala Darah tepi
mofetil mg dalam 2 leukopenia. lengkap, gastrointes lengkap terutama
dosis. feses tinal; mual, leukosit dan
lengkap. muntah. hitung jenisnya.

15
Kortikortikosteroid

Kortikortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE. Meski
dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, kortikosteroid tetap merupakan obat
yang banyak dipakai sebagai anti inflamasi dan imunosupresi. Dosis kortikosteroid yang digunakan
juga bervariasi.

Indikasi Pemberian Kortikortikosteroid ;

Pembagian dosis kortikosteroid membantu kita dalam menatalaksana kasus rematik. Dosis rendah
sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk
SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada
vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral.10

Efek Samping Kortikortikosteroid :-

Efek samping kortikortikosteroid tergantung kepada dosis dan waktu, dengan meminimalkan jumlah
kortikortikosteroid, akan meminimalkan juga risiko efek samping.

Obat Imunosupresan atau Sitotoksik

Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang biasa digunakan pada SLE, yaitu
azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil. Pada keadaan tertentu
seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan
antara kortikortikosteroid dan imunosupresan /sitotoksik karena memberikan hasil pengobatan yang
lebih baik.10

Pencegahan

Penderita harus menghindarkan trauma fisik, sinar matahari, lingkungan yang sangat dingin dan
stress emosional. Antara pencegahan yang dapat dilakukan adalah:

 Memakai krim (sunscreen) apabila keluar dari rumah


 Memakai pakaian yang menutup ekstremitas
 Mengelakkan pemberhentian penggunaan kortikosteroid secara tiba-tiba.
 Istirahat
 Jika penderita menderita demam atau ada tanda-tanda infeksi maka harus diobati dengan
segera.
 Mengkonsumsi vitamin antioksidan untuk mengurangkan efek daripada stress oksidatif

16
 Perubahan gaya hidup untuk meningkatnya daya imun. 1,11,12
 Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam infeksi, gangguan
hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya mengurangi kelelahan
disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan aktivitas yang berlebih, dan mampu
mengubah gaya hidup.13
 Hindari Merokok
 Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
 Hindari stres dan trauma fisik
 Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia
 Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai 15.00
 Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon estrogen.13

Tabel 3. Butir-butir Edukasi Terhadap Pasien SLE.5

Komplikasi

SLE dapat menyebabkan timbulnya pelbagai komplikasi. Antara komplikasi yang dapat timbul adalah
adanya gagal ginjal, kerusakan pada otak, dan mata. Selain itu, obat yang digunakan pada
pengobatan SLE yaitu steroid dapat menyebabkan kecedaraan organ yang dapat menimbulkan
infeksi karena terjadinya supresi sistem imun. Antara komplikasi yang dapat timbul akibat
penggunaan steroid adalah gangguan psikiatri, rentan terhadap infeksi, kelemahann tulang,
pembentukan katarak pada mata, diabetes dan memperburuk kondisi penderita yang mendertia
diabetes. Peningkatan tekanan darah, insomnia dan penipisan lapisan kulit juga merupakan
komplikasi yang dapat timbul akibat penggunaan steroid.

17
Komplikasi sering terjadi pada wanita menderita SLE yang hamil terutamanya jika adanya
gangguan pada ginjal. Pada waktu pasca partus, penyakit dapat timbul kembali. Pada wanita yang SLE
sudah tidak aktif untuk 6 hingga 12 bulan, potensi untuk tidak berlakunya kegagalan kehamilan lebih
rendah. Selain itu, antibodi yang terbentuk pada ibu yang akan ditransfer ke janin dapat
menyebabkan timbulnya ‘rash’, anemia, dan bradikardi akibat daripada ‘complete heart block’
(neonatal lupus).1,13 SLE dapat menyebabkan berbagai komplikasi terhadap sistem organ.

 Komplikasi yang tersering adalah adanya lupus nefritis. Penderita dengan kondisi ini bisa
terjadi gagal ginjal sehingga perlu dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal. Tanpa nefritis
atau nefrosis pun seringkali ada proteinuri.1,2
 Thrombosis vena dalam atau emboli paru
 SLE dapat juga menyebabkan karditis yang menyerang miokardium, endokardium dan
pericardium; timbul perikarditis, endokarditis atau miokarditis.1,13
 Fenomena Raynaud timbul pada sekitar 40% dari pasien SLE. Beberapa kasus dapat sangat
berat sehingga terjadi gangrene pada jari.2
 Efusi pleura dan kerusakan jaringan paru, pleuritis. Pleuritis (nyeri dada) dapat timbul akibat
proses peradangan kronik dari SLE.2
 Abortus spontan, anak lahir mati dan komplikasi kehamilan yang lain. Jumlah abortus
spontan dan anak lahir mati pada penderita L.E.S memang lebih tinggi daripada wanita sehat,
tetapi abortus terapetik tidak merupakan indikasi.1
 Strok
 Trombositopeni
 Inflamasi pembuluh darah. Vaskulitis dapat menyerang semua ukuran arteri dan vena.
 Kolitis ulserativa serta hepatosplenomegali ditemukan.2,14
 Atritis, biasanya tanpa deformitas, bersifat episodik dan migratorik, nekrosis kepala femur
dan atrofi muskulo-skeletal dengan mialgia telah dilaporkan.1 Sendi-sendi yang paling sering
terserang adalah sendi-sendi proksimal tangan, pergelangan tangan, siku, bahu, lutut dan
pergelangan kaki.2
 Limfadenitis dapat bersifat regional atau generalisata.1
 Neuritis perifer, ensefalitis, konvulsi, dan psikosis dapat terjadi.1 Perubahan-perubahan pada
system saraf pusat sering diakibatkan oleh bentuk penyakit yang ganas dan seringkali bersifat
fatal.1,2,14

Pengobatan Pada Keadaan Jika Sudah Timbul Komplikasi 12

18
 Anemia Hemolitik :- Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari), dapat ditingkatkan
sampai 100-200 mg/hari bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu belum ada perbaikan
 Trombositopenia autoimun :- Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari). Bila tidak ada
respon dalam 4 minggu, ditambahkan imunoglobulin intravena (IVIg) dengan dosis 0,4 mg/kg
BB/hari selama 5 hari berturut-turut.
 Perikarditis Ringan :- Obat antiinflamasi non steroid atau anti malaria. Bila tidak efektif dapat
diberikan prednison 20-40 mg/hari
 Perkarditis Berat :- Diberikan prednison 1 mg/kg BB/hari
 Miokarditis :- Prednison 1 mg/kg BB/hari dan bila tidak efektif dapat dapat dikombinasikan
dengan siklofosfamid.
 Efusi Pleura :- Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, dilakukan pungsi pleura/drainase.
 Lupus Pneunomitis :- Prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu
 Lupus serebral :- Metilprednison 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil dilanjutkan
dengan pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan. Dapat diberikan metilprednison
pulse dosis selama 3 hari berturut-turut.12

Prognosis

Prognosis bagi pasien dengan SLE pada masa ini adalah lebih baik berbanding beberapa tahun yang
lalu karena adanya kesadaran dan tes yang akurat yang membolehkan diagnosis awal dibuat.
Diagnosis yang lebih awal membolehkan pasien mendapat perawatan lebih dini disamping adanya
kemajuan dari segi perobatan. Prognosis bervariasi tergantung kepada adanya inflamasi organ yang
serius.

Kebanyakan pasien SLE hidup tanpa masalah manakala ada juga yang mengalami gangguan
organ misalnya gagal ginjal, serangan jantung dan juga strok. Derajat komplikasi yang terjadi
bergantung kepada beratnya penyakit. Bagi wanita, mereka masih bisa hamil dan melahirkan seperti
wanita yang sihat. Penderita yang telah didiagnosis lebih 5 tahun menghidap SLE dengan keadaan
vaskulitis akut dan kronik mempunyai risiko mortalitas yang lebih tinggi berbanding penderita yang
didiagnosis dalam masa kurang dari 5 tahun. Berdasarkan data ‘survival rate’ selama 5 tahun adalah
93%. 13

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda Suria. Penyakit Jaringan Konektif. In Djuanda A., Mochtar H., Siti Aisah. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin Ed. 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.h.264-67.
2. Carter M.A. Lupus Eritematosus Sistemik. In Sylvia A.P, Wilson L.M. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Trans Pendit B.U, Hartanto H., Wulansari P, Mahanani D.A. Edisi 6.
Jakarta; Penerbit Kedokteran EGC; 2006; H 1392-6.
3. Navarra S.V. An Overview of Clinical Manifestations and Survival of Systemic Lupus
Erythematosus Patients in Asia. APLAR Journal of Rheumatology. Philippines. Diunduh pada 10
Disember 2006. Diunduh dari http://lup.sagepub.com/content/19/12/1365.short,2012.
4.
5. Isbagio H., Albar Z., Kasjmir Y.I, Setiyohadi B. Lupus Eritematosus Sistemik. In Sudoyo A.W.,
Setiyohadi B., Alwi I., Marcellus S.K., Siti S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 4. Jakarta
; FKUI; 2007. H 1214-21.
6. Hahn B.H. Systemic Lupus Erythematosus. In Longo D.L, Fauci A.S., Kasper D.L, Hauser S.L,
Jameson J.L, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi 18. United States of
America; Mc Graw Hill Companies; 2012. H 2724-35.
7. Gleadle J. At A Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Kulit. Trans Rahmalia A. Jakarta;
Erlangga Medical Series. 2007. H 42-3.
8. Rheumatoid Arthritis. Dalam: www. repository.usu.ac.id/rheumatoidarthritis/pdf. Diunduh pada
tanggal 8 Desember 2012.
9. Aisah Siti. Purpura. In Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Ed. 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2010.h.285-86.
10. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik.
Jakarta. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. 2011.
11. Fritzpatrick’s. Systemic Lupus Erythematosus. Colour Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology.
Wolf, Johnson, Suurmond. McGraw Hill. 5th edition. 2005. Pg 384-7
12. Anonym. Systemic Lupus Erythematosus. Diunduh pada 2012. Diunduh dari
http://journalmedical.blogspot.com/2012/05/sle-systemic-lupus-erythematosus.html,2012
13. William C.S. Systemic Lupus Erythematosus. Diunduh pada tahun 2012. Diunduh dari
http://www.emedicinehealth.com/lupus_systemic_lupus_erythematosus/page9_em.htm#comp
lications_of_lupus.
14. Michael E. Makeover. Systemic Lupus Erythematosus. Diunduh daripada
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000435.htm. Diunduh pada 2011.

20

Anda mungkin juga menyukai