Anda di halaman 1dari 4

2.4.

Permasalahan yang Terjadi di Kalimantan Barat

a) Angka Kematian Bayi (AKB)


Angka Kematian Bayi menggambarkan keadaan sosial ekonomi masyarakat
dimana angka kematian itu dihitung. Kegunaan Angka Kematian Bayi untuk
pengembangan perencanaan berbeda antara kematian neo-natal dan kematian bayi
yang lain. Karena kematian neo-natal disebabkan oleh faktor endogen yang
berhubungan dengan kehamilan maka programprogram untuk mengurangi angka
kematian neo-natal adalah yang bersangkutan dengan program pelayanan kesehatan
Ibu hamil, misalnya program pemberian pil besi (tablet Fe) dan suntikan anti tetanus.
Angka Kematian Bayi (AKB) di Kalimantan Barat untuk tahun 2012
berdasarkan laporan pendahuluan hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2012 adalah 31 per 1.000 Kelahiran hidup. Sedang untuk Angka
Kematian Bayi Nasional adalah 32 per 1.000 Kelahran Hidup. Hal ini menunjukan
angka kematian bayi di Provinsi Kalimantan Barat cukup tinggi dan hampir
menyamai Angka Kematian Bayi Nasional. Berturut-turut AKB di Kalimantan Barat
berdasarkan hasil SDKI mulai tahun 1994 adalah 97 per 1.000 Kelahiran Hidup,
Tahun 1997 menjadi 70 per 1.000 KH, Tahun 2002 menjadi 47 per 1.000 KH, turun
menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup berdasarkan SDKI Tahun 2007 dan turun
menjadi 31 per 1.000 KH berdasarkan laporan pendahuluan SDKI 2012. Adapun
target Indonesia pada tahun 2015 (target MDG’s) adalah menurunkan AKB sampai
19 per 1.000 kelahiran hidup.
b) Angka Kematian Ibu (AKI)
Dilihat dari hasil Sensus Penduduk Tahun 2010, angka kematian ibu Provinsi
Kalimantan Barat adalah sebesar 240 per 100.000 Kelahiran Hidup, sedang untuk
nasional sebesar 259 per 100.000 kelahiran hidup. Hal ini berarti bahwa angka
kematian ibu di Kalimantan Barat telah menunjukan adanya penurunan yang sangat
signifikan, dimana dalam dua dasawarsa, pada tahun 2012 angka kematian ibu di
Kalimantan Barat berada dibawah angka nasional, baik dibandingkan dengan hasil
SDKI maupun hasil Sensus Penduduk. Sedang, jika dilihat berdasarkan kasus
kematian maternal yang terjadi pada tahun 2015 di Provinsi Kalimantan Barat,
tercatat sebanyak 130 kasus kematian ibu. Sehingga jika dihitung angka kematian ibu
maternal dengan jumlah kelahiran hidup sebanyak 91.138, maka kematian Ibu
maternal di provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2015 adalah sebesar 141 per
100.000 kelahiran hidup.

c) Gizi Buruk
Berdasarkan hasil laporan program gizi Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan
Barat Tahun 2015, dari seluruh Kabupaten/Kota yang ada terdapat kasus gizi buruk
sebanyak 397 kasus. Angka tersebut didapatkan dari laporan kasus dilihat
berdasarkan tanda-tanda klinis kasus gizi buruk. Penyebaran kasus gizi buruk di
Kalimantan Barat tahun 2015, kasus gizi buruk terbanyak ada di Kabupaten Kapuas
Hulu yaitu sebanyak 114 kasus, diikuti oleh Kabupaten Ketapang sebanyak 69 kasus
dan Kabupaten Kaubu Raya 30 kasus. Kabupaten lainnya rata-rata masih dibawah
30 Kasus. Dilihat dari gizi buruk yang mendapat perawatan, seluruh balita gizi
buruk mendapat perawatan sesuai prosedur tatalaksana gizi buruk (100%).
Hasil Riskesdas tahun 2013 prevalensi buruk-kurang (underweight) secara
nasional adalah 19,6 persen, terdiri dari 5,7 persen gizi buruk dan 13,9 persen gizi
kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 %)
dan tahun 2010 (17,9 %) terlihat meningkat. Perubahan terutama pada prevalensi
gizi buruk yaitu dari 5,4 persen tahun 2007, 4,9 persen pada tahun 2010, dan 5,7
persen tahun 2013. Sedangkan prevalensi gizi kurang naik sebesar 0,9 persen dari
2007 dan 2013. Untuk mencapai sasaran MDG tahun 2015 yaitu 15,5 persen maka
prevalensi gizi buruk-kurang secara nasional harus diturunkan sebesar 4.1 persen
dalam periode 2013 sampai 2015.

d) Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)


Berat Badan Lahir Rendah (< 2.500 gram) merupakan salah satu faktor utama
yang berpengaruh terhadap kematian perinatal dan nenonatal. Barker dkk dalam
Hardiansyah dkk (2000) mengungkapkan bahwa BBLR mempunyai dampak yang
kompleks sampai usia dewasa antara lain meningkatkan resiko terkena penyakit
jantung koroner, diabetes mellitus, gangguan metabolik dan kekebalan tubuh serta
katahanan fisik yang resultantenya adalah beban ekonomi individu dan masyarakat.
Di Kalimantan Barat, kecenderungan kasus BBLR sejak tahun 2011 di Provinsi
Kalimantan Barat fluktuatif. Hal ini terlihat pada tahun 2011 sampai tahun 2012
cenderung mengalami penurunan, dan dari tahun 2013 sampai tahun 2015 terjadi
peningkatan kasus BBLR. Hasil Riskesdas 2013 menunjukan prevalensi bayi
dengan berat badan lahir rendah (BBLR) berkurang dari 11,1% persen tahun 2010
menjadi 10,2 persen tahun 2013. Variasi antar provinsi sangat mencolok dari
terendah di Sumatera Utara (7,2%) sampai yang tertinggi di Sulawesi Tengah
(16,9%). Menurut kelompok umur, persentase BBLR tidak menunjukkan pola
kecenderungan yang jelas. Persentase BBLR pada perempuan (11,2%) lebih tinggi
daripada laki-laki (9,2%), namun persentase berat lahir ≥4000 gram pada laki-laki
(5,6%) lebih tinggi dibandingkan perempuan (3,9%). Menurut pendidikan dan
kuintil indeks kepemilikan terlihat adanya kecenderungan semakin tinggi
pendidikan dan kuintil indeks kepemilikan, semakin rendah prevale nsi BBLR.
Menurut jenis pekerjaan, persentase BBLR tertinggi pada anak balita dengan kepala
rumah tangga yang tidak bekerja (11,6%), sedangkan persentase terendah pada
kelompok pekerjaan pegawai (8,3%). Persentase BBLR di perdesaan (11,2%) lebih
tinggi daripada di perkotaan (9,4%).

DAFPUS
http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PROVINSI_201
5/20_Kalbar_2015.pdf

Anda mungkin juga menyukai