Anda di halaman 1dari 4

Diam-Diam Menguak Warna

(Sebuah catatan kepada Kelompok Seni Rupa Ledalero Arts)

Oleh Eto Kwuta

Mahasiswa STFK Ledalero. Tinggal di Wisma Arnoldus Nitapleat

Pameran seni rupa di galeri atau pada acara semacam bienial dan festival memang biasa,
tetapi ada pameran di sebuah biara, itu baru hal luar biasa. Beberapa waktu lalu telah
diselenggarakan sebuah pameran seni rupa yang unik serentak khas biara. Mengapa khas
biara? Pameran ini bukan menghadirkan perupa ternama, misalnya KH Mustofa Bisri, Dian
Anggaraini, Nasirun, dan lainnya, tetapi mau memberi warna bahwa dari sekian banyak
penghuni Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, ada orang-orang seni atau seniman-seniman
yang “diam”.

Kesan saya dari pameran itu hanya satu kata saja, yaitu “diam”. Pameran seni rupa yang
diam-diam diadakan, tetapi memberi warna tersendiri bagi para penghuni Seminari Tinggi St.
Paulus Ledalero. Semua itu bermula dari “diam”.

Di Kompas edisi 6 Oktober lalu, pada halaman 21, lima penyair menggelar perhelatan “Lima
Rukun: Pamer Seni Lukis dan Puisi”. Kelima maestro seniman itu adalah Sapardi Djoko
Damono, A Mustofa Bisri, Jeihan Sukmantoro, D Zawawi Imron, dan Acep Zamzam Noor.

Perhelatan yang menarik dan luar biasa oleh kelima seniman tidak bermaksud
menerjemahkan puisi ke dalam gambar atau sebaliknya menarasikan gambar ke dalam bentuk
puisi. Puisi hadir sebagai puisi, lukisan hadir sebagai lukisan. Ketika asyik membaca rubrik
“Seni” dengan judul “Lima Penyair Menguak Warna”, saya teringat pada pameran seni rupa
yang diadakan oleh Ledalero Arts, sebuah kelompok seni rupa yang beranggotakan para
frater peminat dan juga penikmat seni rupa. Apa hubungan kelima maestro seniman itu
dengan Ledalero Arts atau L’Arts yang baru didengar namanya itu. Hemat saya, ada unsur
seni di dalamnya. Sapardi Djoko Damono dkk. tampil menguak warna dengan “puisi rupa”,
sedangkan Ledalero Arts tampil diam-diam menguak warna. Kehadiran kelompok seni rupa
itu bukan tanpa tujuan. Sesuatu yang digagas selalu memiliki tujuan atau orientasi, melihat
jauh ke depan, kemudian diperkuat dengan satu tujuan bersama.

Sekilas tentang Ledalero Arts (L’Arts)

Kelompok seni rupa ini digagas pada 8 September 2013, bertepatan dengan perayaan 100
tahun SVD di Ledalero. L’Arts lahir dari situasi “ada bersama, kerja sama, susah sama-sama,
mete sama-sama”. Dengan kata lain, kebersamaan dalam setiap kegiatan mendekorasi, itulah
yang menjadi warna dasar hadirnya kelompok seni rupa L’Arts. Menjadi lebih menarik
karena L’Arts memiliki visi, menjadi wadah bagi pengembangan minat dan bakat di bidang
seni rupa dalam komunitas Ledalero. Hal ini bermula dari keprihatinan para frater anggota
seksi Dekorasi, bahwa selama ini lebih banyak frater SVD yang menghasilkan karya sastra
seperti puisi dan cerpen, padahal banyak juga yang memiliki jiwa seni, khususnya seni rupa.

Lebih jauh, L’Arts memiliki misi untuk menjaring konfrater yang memiliki minat dan bakat
dalam bidang seni rupa, menghasilkan karya-karya seni rupa (lukisan, hiasan dinding, dan
lain-lain) untuk kebutuhan komunitas Ledalero. Visi dan misi ini menjadi satu kekuatan yang
memperkuat kesadaran, komikmen dan kekompakan saat ada bersama dalam sebuah
komunitas seperti Ledalero.

Bermula dari “diam-diam”

Dalam menciptakan karya seperti puisi, cerpen, novel, dan lainnya, ada begitu banyak
penyair atau penulis mendambakan “diam” atau saat-saat hening. Sebuah puisi lahir dari satu
proses permenungan, yang mengabadikan pencapaian bentuk ke dalam susunan kata-kata.
Ledalero Arts dengan hasil karya lukisan-lukisannya justru mau menguak “diam” itu menjadi
“nada” yang indah dan merdu didengar oleh siapa saja. Penulis tidak bermaksud membuat
kritik seni rupa atau kritik puisi rupa di sini, melainkan membaca “diam-diam” itu secara
positif (positif thinking), karena kadang juga dinilai kalau “diam-diam” itu ada muatan
negatif. Diam-diam ubi berisi, misalnya.

Penyair membutuhkan diam, begitu juga pelukis. Penyair memerlukan waktu hening untuk
bermenung sampai menghasilkan sebuah karya sastra, sedangkan pelukis atau perupa
memerlukan waktu hening pula untuk menyelesaikan sebuah lukisan yang baik. Diam itu
sungguh-sungguh emas kalau dipelihara dengan bijaksana.

Dari “diam” itu, L’Arts menentukan visi dan misi secara “diam-diam”. Hemat saya, visi dan
misi yang dibiarkan seperti kata yang bebas, liar, dan menari ria. Dengan kata lain, visi dan
misi itu akan menemukan makna atau nilainya ketika sudah dijalankan sesuai cita-cita dan
harapan bersama. Kalau tidak sesuai dengan cita-cita dan harapan itu, maka “diam” itu akan
dicap “kosong”, yang artinya tidak ada hasil dari “diam” itu, diibaratkan kepompong yang tak
kunjung kupu-kupu.

Jangan hanya “diam”

Diam saja tidak cukup. Menjadi lebih baik kalau “ribut”. Seperti apakah “ribut” yang
dimaksud? Saya lebih senang menyinggung Joko Pinurbo dalam tulisan ini. Beliau itu
ekspresinya serius dan garing, jelas tidak “diam” saja. Kalau kita membaca setiap puisi-puisi
hasil karya beliau, kita bakal tertawa sendiri. Saya ingin mengangkat apa yang dimiliki Joko
Pinurbo alias Jokpin sebagai penyair yang tidak diam. Ia selalu bersuara dalam situasi apa
pun.

Pertama, kebermain-mainan (playfulness) dan kecerdas-jenakaan (wittiness) ala Jokpin.


Selalu ada jenaka dan itu menjadi merdu dalam setiap puisi-puisinya. L’Arts sebagai sebuah
kelompok seni harus membutuhkan dua kemampuan ala Jokpin ini. Yang harus dibuktikan
adalah bagaimana L’Arts tampil di hadapan ruang publik. Publik atau masyarakat ingin tahu
seberapa jauh sebuah kelompok seni itu memberikan ruang di tengah masyarakat. Kita harus
bangga bahwa L’Arts lahir di dalam sebuah komunitas seperti Ledalero. Menjadi satu
tanggung jawab besar karena L’Arts itu satu wadah, ruang, dan tempat untuk berekspresi
sebagai seniman atau perupa-perupa yang kemudian mendapat tempat di hati masyarakat.
Dari situlah kebermain-mainan (playfulness) dan kecerdas-jenakaan (wittiness) ala Jokpin
menjadi semacam ideologi revolusioner. Membangkitkan semangat juang untuk terus
bersuara. Tidak hanya diam-diam saja, tetapi “ribut” menyuarakan setiap hasil karya. Dalam
arti membuat terobosan bienial atau acara semacam festival di dalam lingkungan Ledalero
sendiri maupun ke luar daerah atau lingkungan selain Ledalero.

Kedua, berani “menggonggong” dan melihat setiap persoalan kemanusiaan akut di sekitar
kita. Setelah berjalan sekian jauh dan beziarah sekian lama, kita tiba pada satu saat kala orang
berbicara tentang kampung dunia, global village. Dalam global village itu, segala macam
persoalan menjadi semacam “perang” yang terus berkecamuk. Untuk itu L’Arts setidaknya
menggunakan kebermain-mainan dan kecerdas-jenakaan ala Jokpin untuk menghasilkan
karya-karya yang kedengarannya menggema dan menyentuh hati masyarakat. Dengan kata
lain, lukisan-lukisan yang dihasilkan harus berkenaan dengan situasi masyarakat (budaya,
adat-istiadat, suku, dan lain-lain).

Ketiga, kolaborasi dengan seniman atau perupa-perupa yang lebih berpengalaman. Kita
membutuhkan lobi atau pendekatan secara mudah, karena di sekitar kita ada begitu banyak
orang yang justru “tahu baik” mengenai seni rupa. Bagaimana menghasilkan sebuah lukisan
yang baik dan berkualitas itu ditentukan oleh kebiasaan seorang perupa atau seniman
menciptakan karya sesering mungkin dan belajar dari mereka yang berpengalaman atau
bergelut dalam dunia seni rupa itu sendiri. Karya yang dihasilkan mendapat tempat di hati
masyarakat kalau itu baik dan dinilai sarat makna. Artinya lukisan-lukisan itu sungguh
menguak warna kehidupan masyarakat banyak.

Dengan begitu, L’Arts bukan hanya diam-diam menguak warna dalam lingkungannya sendiri,
melainkan menguak warna juga dalam hati masyarakat. Selamat berjuang dan bergelut
dengan dunia seni rupa bagi para seniman-seniman atau perupa-perupa L’Arts!

Anda mungkin juga menyukai