Anda di halaman 1dari 4

Puisi yang Lahir dari Rutinitas

(Apresiasi atas Puisi Yohan Wutun)

Oleh Eto Kwuta


Bergiat pada Komunitas Sastra Sandal Jepit Nitapleat Ledalero

"Sejak dua minggu lalu, setiap malam, sesudah dengar radio, aku bunuh diri, pakai
sajak yang kau tulis, dengan tangan kirimu. supaya setiap pagi, sebelum lonceng berbunyi,
aku dapat bangkit lagi, mengasah tajam-tajam, sajakmu, yang itu-itu lagi." Demikianlah
bunyi sajak yang ditulis oleh saudara Yohan Wutun dengan judul "Rutinitas" (2014). Yohan
Wutun adalah rekan sebiara dalam Serikat Sabda Allah (SVD), yang untuk selanjutnya saya
sebut YW. Ia menulis sajak ini dalam sebuah statusnya di Facebook. Ketika membaca sajak
YW, di benak saya muncul sebuah pemahaman mengenai puisi yang sedikit aneh. Umumnya,
orang mengartikan puisi sebagai ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima,
serta penyusunan larik dan bait. Atau, gubahan bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata
secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman supaya
membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus. Maka,
puisi YW di atas, hemat saya merupakan sebuah proses mempertajam adanya (diri YW)
dalam, dari, dan untuk sesuatu. Dan, sesuatu yang dimaksud di sini ialah rutinitas.
Membaca sajak YW ini, pertama-tama dipahami bahwa YW hidup dalam biara
dengan segala aturan yang ada di dalamnya. Biara sebagai tempat mendidik calon imam
mencerminkan sesuatu yang rutin, dengan segala aturan yang disusun teratur dan tidak
berubah-ubah. Atau, serangkaian perintah yang dirancang untuk beberapa tujuan tertentu dan
memiliki penggunaan umum. Maka, sajak berjudul "Rutinitas" ini sebenarnya lahir dari
sebuah kesadaran akan sesuatu yang rutin, sehingga memberi makna bahwa sajak YW
tercipta dari kesadarannya yang penuh, dalam, dari, dan untuk sebuah rutinitas.

YW dan Puisi

YW adalah seorang adik satu seminari sejak bersekolah di Seminari Hokeng. Setelah
tamat dari Seminari Hokeng, YW masuk Novisiat Sang Sabda di Kuwu, Ruteng, Manggarai.
Sekarang, YW tengah belajar filsafat di STFK Ledalero sambil menulis puisi juga cerpen.
Kecintaan YW pada sastra, khususnya puisi dan cerpen yang digumulinya sejak masih di
Seminari Hokeng membawanya meraih Juara I (satu) lomba Sayembara Menulis Cerpen
Menyongsong Dies Natalis STFK Ledalero (2013). Beberapa puisi YW juga sudah dimuat di
Harian Flores Pos dan beberapanya di Jurnal Sastra Santarang (sebuah jurnal sastra yang
menghimpun tulisan-tulisan putera-puteri NTT berupa puisi dan cerpen). Puisi YW berjudul
"Rutinitas" memberi kesan bahwa YW tidak terlepas dari puisi. Hidup YW adalah puisi. Ia
ada di dalam sesuatu yang rutin. Hemat saya, YW mempuisikan dirinya itu, di dalam, dari,
dan untuk rutinitas. Sehingga, pantaslah kalau "Rutinitas" sungguh menjadi satu judul puisi
yang mewakili keseluruhan puisi-puisinya, yakni "Rutinitas" yang transendental atau
"Rutinitas" yang menonjolkan hal-hal yang bersifat kerohanian, pergumulan batin YW
dengan Tuhannya.

Rutinitas yang Transendental

YW pernah menulis beberapa puisi lain yang tidak kalah menarik. Membaca puisi-
puisinya, kita sebetulnya terbawa dalam apa yang disebut sebagai "Rutinitas". Beberapa dari
judul puisi yang pernah ditulisnya seperti, Kopi Lima Waktu, Kopi Pahit, Secangkir Malam
pada Suatu Kopi, Persamaan Kopi ini dan Malam ini, Sejak Kapan Buat Sajak? Kalau kita
mencicipi puisi-puisi YW ini, itu berarti kita sedang mencicipi rutinitas khas Biara. Rutinitas
yang menonjolkan nilai-nilai kerohanian, pergumulan batin YW dalam seluruh rutinitasnya.
Misalnya, penggalan puisi dengan judul "Rutinitas" tersebut di atas, /Sejak dua minggu
lalu/setiap malam/sesudah dengar radio/aku bunuh diri/pakai sajak yang kau tulis/dengan
tangan kirimu/. Bait pertama puisi ini sangat sederhana. Pemilihan kata demi kata yang
menghasilkan kalimat yang mengalir. Kata sejak, justru menentukan waktu yang sudah lama
sekali. Ketika YW melanjutkan dengan dua minggu lalu, maka kata sejak itu
menghubungkan antara minggu pertama dan minggu kedua, tepatnya pada setiap malam,
sesudah (selesai) dengar radio, aku atau (YW) bunuh diri, pakai sajak yang kau tulis, dengan
tangan kirimu. Sebuah pertanyaan bisa diajukan di sini. Mengapa YW bunuh diri? Pakai
sajak yang "kau" tulis? Mengapa harus "kau"? Kenapa YW bunuh diri pakai sajak dan tidak
menggunakan senjata, misalnya pisau, baigon, atau lainnya? Siapakah "kau" yang dimaksud
YW?
Sebetulnya YW dalam pergumulannya sampai pada satu titik jeda, pada malam hari.
Malam yang sejatinya sunyi dan hening itu membawa YW masuk ke dalam dirinya. YW
melihat kembali sesuatu yang rutin dialami sehari-hari, mulai dari bangun pagi, mandi,
berkemas menuju kapela, ibadat, meditasi, merayakan Ekaristi, sarapan pagi, berangkat ke
kampus (kuliah), makan siang, tidur siang dan bangun lagi, belajar, kerja, ibadat sore, makan
malam, rekreasi, dan tidur malam. Rutinitas yang konkret disadari sebagai puisi. Aku bunuh
diri memberi arti YW menggali lagi hal-hal yang mati setelah sehari penuh sibuk dengan
rutinitas yang padat. YW membunuh diri pakai sajak yang "kau" tulis. Mengapa harus "kau"?
Dalam penggalan puisinya, YW sengaja menulis kau dengan huruf kecil. Sebenarnya
kau yang dimaksud ialah Kau (Tuhan). Tuhan di sini, dalam pemahaman YW adalah Tuhan
yang ditentangnya. Tuhan yang membuat YW bunuh diri, merasa jenuh dengan sesuatu yang
rutin, yang disebut YW sebagai sajak tulisan tangan kirinya. YW tidak berhenti pada titik itu,
tetapi menyadari secara penuh sambil berdiri dan mengatakan; /supaya setiap pagi/sebelum
lonceng berbunyi/aku dapat bangkit lagi/mengasah tajam-tajam/sajakmu/yang itu-itu lagi/.
Adanya proses kelahiran kembali. YW bangkit lagi dari kekalahannya untuk menjalankan
secara lebih baik rutinitas yang itu-itu saja. YW merindukan tajamnya sajak, atau rindu
menjalankan aktivitas harian dengan sadar dan penuh tanggung jawab, sesuatu yang rutin
yang menurut YW adalah hadiah dari Kau (Tuhan). Namun, YW sebenarnya kembali
mengurung semangatnya dengan mengatakan pada akhir puisinya, yang itu-itu lagi. Mengapa
demikian?

Kembali ke dalam Diri

Di Facebook, saya sempat mengomentari puisi ini. Kemudian, Saudara Gusti


Horowura, SVD secara tajam mengomentari juga puisi YW. Menurutnya, ada banyak hal
yang menarik. Kalau memang yang itu-itu lagi, berarti tidak ada kemajuan. Seorang filosof
yang juga penyair semestinya adalah dia yang mampu merefleksikan hidupnya jauh
melampaui yang bukan penyair. Saya juga setuju dan turut menyambung bahwa, yang itu-itu
lagi berarti rutinitas yang sama atau rutinitas yang itu-itu saja, perlu diasa dengan kata 'harus'.
Maka, saya atau YW dan kita mau tidak mau harus menikmati apa itu aturan atau lainnya.
Yang terpenting, bagaimana kreativitas kita mengubah yang itu-itu saja menjadi sesuatu yang
bukan itu-itu saja. Paling tidak ada yang lain, ada sesuatu yang berubah. Dengan demikian,
YW dan kita harus kembali ke dalam diri. Kembali lagi mengasa tajam-tajam sajaknya
(rutinitas) sebagai pengalaman dan hadiah dari Dia Yang Tak Terbatas.
Puisi berjudul "Rutinitas" ini juga sangat mencerminkan Transendensi (nama yang
paling umum dipakai Karl Jaspers filsuf besar abad 20). Dalam sebuah perkuliahan, Pater
Leo Kleden, SVD mengatakan bahwa, Jaspers menggunakan kata Transendensi untuk
mengungkapkan Yang Maha Tak Terbatas, yang tak terjangkau oleh pikiran manusia biarpun
manusia selalu mencoba menyebut Dia dengan bermacam-macam nama seperti, Yang Abadi,
Asal, dan lainnya. Maka, YW menggunakan kata "kau" (Tuhan) yang selalu mengisi seluruh
rutinitas di biara, sehingga YW menjadi benar-benar berada di dalam rutinitas, berasal dari
rutinitas, dan untuk rutinitas. Dalam pergumulannya, YW terus berbincang atau bercerita
tentang dirinya dan Transendensi sebagaimana yang sering dipakai Jaspers. Hal yang sangat
penting ialah bukan hanya YW yang harus masuk ke dalam dirinya, tetapi kita, calon imam,
para imam, bruder, suster, dan kita sebagai masyarakat peziarah perlu kembali ke dalam diri.
Kita masuk dan menggumuli pengalaman batin bersama Dia Yang Tak Terbatas.
Di sini, hal baru yang diberikan YW adalah puisi yang lahir dari rutinitas. Hal yang
jarang disentil oleh penyair-penyair. YW justru sedang menulis tentang sesuatu yang rutin,
yang mewakili seluruh kepuisiannya. Hal yang penting, yakni YW tidak terlepas dari
kehidupannya sebagai calon imam yang tentu menggumuli banyak hal berhubungan dengan
kerohanian. Selanjutnya, dalam sebuah puisinya yang berjudul, Kopi Lima Waktu (2013)
berbunyi, Aku heran, karena/Mereka bilang/Mereka heran, ketika/Aku bilang/Aku minum
kopi lima waktu/. Kopi Lima Waktu, merujuk pada aspek-aspek dalam Serikat Sabda Allah,
yakni kepribadian, akademik, kerohanian, solidaritas, dan kaul-kaul yang dihayati,
kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan. Kopi dengan rasa manis bisa juga pahit karena tanpa
gula, memberi rasa suka dan duka, manis dan pahit. Adanya variasi suka maupun duka dalam
menghayati aspek-aspek kebiaraan dalam Serikat Sabda Allah.
Beberapa aspek ini masuk dalam satu ruang yang disebut sebagai "Rutinitas". Hal
yang rutin, yang tidak dilihat sebagai (hanya) main-main, melainkan harus diolah untuk
diberi bobot bagi hidup seseorang. Dan YW justru telah menunjukkan kepada kita bagaimana
memulai puisi yang lahir dari rutinitas. Rutinitas memang yang itu-itu saja, tetapi bagaimana
kita meraciknya menjadi yang bukan itu-itu saja. Dengan demikian, awal kepenyairan YW ini
merupakan awal mempuisikan dirinya dalam, dari, dan untuk sesuatu yang rutin. Sesuatu
yang akan terus dipertentangkan YW dengan kau, Tuhan-nya YW dan Tuhannya kita juga.
Mengutip Joko Pinurbo, Selamat Menunaikan Ibadah Puisi. Proficiat untuk Yohan Wutun!*

Anda mungkin juga menyukai