Anda di halaman 1dari 1

Tembakau

Sekarang musim kemarau. Ayah duduk di bawah pohon langsat. Matanya sayu.
Wajahnya berkeringat. Sesekali, kulihat ia menyeka mukanya dengan handuk cokelat yang
dibalut pada lehernya. Ia perlahan mengangkat kepalanya, melihat ke atas langit, menyesali
matahari. Mungkin. Barangkali benar, kalau ia menyesali matahari. Lalu, ia melempar
tatapannya pada tembakau-tembakau yang ditanamnya pada lahan tanah bengkok yang subur
di leher Gunung Sumbing itu. Ya, seorang petani seperti ayahku adalah petani yang berpikir
keras.

Aku melihat gerak-gerik ayah yang tidak biasa. Ada sesuatu yang tak terbaca dari
dirinya. Kemarau? Tidak. Ayah terus menyiram pohon demi pohon yang ditanamnya. Jadi,
kalau ia mencemaskan kemarau, aku tidak yakin. Baru saja, aku melihatnya begitu semangat
menyiram tembakau. Ada ribuan pohon di sana, tapi ayah tak bosan menyiram.

“Pedro, larilah ke pondok. Sampaikan pada ibumu, ayah sudah lapar!” katanya dari
jauh, di sudut pandanganku sejak tadi. Maka, aku bergegas. Kuberlari kencang melintasi
pematang, menyusuri pinggiran kebun tembakau, menembus ke bawah lereng Gunung
Sumbing, sementara angin gunung melukis sejuk pada kulit sawo matangku. Dari atas, kulihat
pondok kecil ada di sudut timur paling bawah. Aku pun tiba, lalu Ibu kaget karena aku
terengah-engah dan langsung menyampaikan pesan ayah.

“He, nak! Lain kali jangan lari, ya! Ibu tahu sekarang jam makan siangnya ayahmu.
Bawalah air dahulu ke atas. Ibu akan menyusul segera,” kata ibu dengan wajah tampak
keringatan.

Maka, dengan tenaga tersisa, kuayunkan kakiku menaiki pematang demi pematang,
sambil menjinjing jerigen berisi air hangat. Kuberlari kencang sambil berteriak lantang.

“Ayah...., aku datang....., ayah....aku datang..,” teriakku sambil bernyanyi ceria.

Anda mungkin juga menyukai