Anda di halaman 1dari 5

Hadrah Kiai: Upaya Penghormatan Santri Terhadap Kiai*

oleh: Sir Dandy

Menyair berarti membangun serangkaian yang terdiri dari tindak-tanduk mengamati,


menangkap, merasakan, memikirkan, menghayati, dan mewujudkan. Tindak-tanduk yang
dirangkai oleh penyair inilah dibangun ke dalam sebuah bangunan puitik.

Tentu apa saja yang ada di dalam dan di luar diri si penyairlah yang menjadi serangkaian ia
melakukan tindak-tanduk tersebut. Dan, Raedu Basha dalam kumpulan puisinya yang
berjudul Hadrah Kiai ini merangkai bangunan puitiknya yang berada dari luar dirinya sendiri.

Hadrah berasal dari kata ‘hadlara’ yang bisa berarti ‘hadir’ atau ‘kehadiran’. Kata hadir
dalam bahasa Indonesia memang diserap dari kata Arab ini. Jadi, memang dapatlah dikatakan
bahwa penyair Raedu Basha dalam antologinya yang berjudul Hadrah Kiai ini adalah
upayanya untuk meng-hadlara kembali spirit rohani para kiai dengan nuansa yang
berinstrumen puitik.

Spirit rohani para kiai yang coba dibangun oleh penyair ini dapat kita lihat dari ‘dua
kehadiran’ yang coba ia pisahkan, yaitu Hadrah Arwah dan Hadrah Hayah. Kehadiran yang
telah tiada dan kehadiran yang masih ada, dengan jumlah Hadrah Arwah sebanyak 32 puisi
dan Hadrah Hayah sebanyak 5 puisi. Bagi saya, upaya yang dilakukan oleh penyair Raedu
Basha ini penting kiranya bagi peninggalan jejak sajak di Indonesia.

Spirit rohani yang coba dipercikkan kembali oleh si penyair ke dalam bentuk puisi, salah
satunya terdapat pada puisi berjudul Narasi Gandul Makna Miring yang ditujukan untuk
tradisi gandul atau makna miring yang diciptakan oleh Sunan Gunung Jati dan Bunga Ibriz
Kiai Bisri yang merupakan Al Ibriz, kitab tafsir al Qur’an pertama berbahasa Jawa karya KH.
Bisri Mustofa.

Dalam bait satu Narasi Gandul Makna Miring, si penyair menuliskan:

makna miring saban halaman kitab kuning


huruf-huruf gandul memaknai lembaran kitab gundul
menerjemah berbaris-baris petuah, menjamah arti kalamullah
sejumlah hijaiah seumpama seni simbol-simbol mengasyikkan
berteka-teki, seumpama meneliti gerak laku ruang waktu

Puisi ini menegaskan bahwa kitab kuning yang dituliskan dengan huruf arab tanpa harakat ini
merupakan tulisan yang dipenuhi simbol-simbol mengasyikkan bagi yang benar-benar
hendak menyelami lautannya. Dalam artian, terdapat sangat banyak hikmah di dalam lautan
ilmu pengetahuan ini.

Lalu dilanjutkan pada bait sepuluh, si penyair menuliskan:

otong terlihat bangga menjadi santri


ia berjanji akan belajar agama lewat mengaji
mengikuti halakah dan mencari barakah
tak akan menggunakan buku-buku instan terjemahan
yang terkadang menyesatkan, bukan?
melainkan mempelajari agama

Aku-lirik yang digunakan dalam puisi Narasi Gandul Makna Miring ialah seorang santri
bernama Otong. Semangat si penyair yang melestarikan tradisi keislaman di Indonesia sangat
terlihat pada puisi ini, karena kitab kuning merupakan medium pembelajaran di dalam
pesantren yang terdapat di Indonesia. Kitab kuning bukanlah merupakan karya instan
terjemahan, akan tetapi buah hasil dari ikhtiar si penulis mentransformasikan gagasan dan
pengalaman batin ke dalam sebuah objek sehingga dapat mengantarkan pembaca naik tangga
menuju pengalaman religius dan transendental.

Sedangkan pada puisi yang berjudul Hadrah Kiai, kita dapat melihat bagaimana ketepatan
Raedu menempatkan puisinya tersebut sebagai prolog dalam buku ini. Sebagian petikannya
seperti ini:

oh, demi yang mengubah senjata pejuang


menjelma pena di tangan santri jalang

aku mulai berjihad sambil berdendang:

oh abu nawas mari bernyanyi


wahai ar-rumi mari menari

syair perahu hamzah fansuri


bagai iktiraf nancap di hari

rebana ditabuh sunyi dilabuh


jasad terpiuh ke dalam ruh

Puisi yang berjudul Hadrah Kiai ini bukan sekadar prolog puitik dalam buku ini, melainkan
puisi tersebut merupakan landasan kompleks Raedu menyair sebuah kitab syair. Dapat kita
simak dalam puisi tersebut, ia memasukkan Abu Nawas yang bernyanyi, Jalaluddin Rumi
yang menari, dan syair perahu Hamzah Fansuri. Abu Nawas yang bernyanyi merupakan
simbolisasi dari kejenakaan bagaimana Islam agar tak dikotomi oleh bangunan syariat dengan
pengekangan formalitasnya, Jalaluddin Rumi dengan tarian darwish-nya yang diiringi oleh
gendang dan suling untuk mencapai ekstase, serta Hamzah Fansuri yang merupakan ulama-
penyair pertama yang menulis syair dalam tradisi sastra Melayu-Indonesia, yang di mana
syair tersebut sangat kental dengan ajaran tasawuf sebagai khazanah intelektual dan spiritual
Islam yang pada masanya sangat kontroversial. Dengan demikian, puisi berjudul Hadrah Kiai
tersebut dapat mencerminkan bagaimana wawasan keintelektualan dan keislaman Raedu tak
lah bisa dipisahkan dari dirinya.

Puisi-puisi dalam buku ini dapat pula dikatakan sebagai obituari. Obituari puitik –saya
menyebutnya demikian– karena Hadrah Kiai tak cuma menghadirkan, tetapi pula mengenang.
Karena sebagian besar dalam buku ini ditujukan kepada si ‘ia’ yang telah tiada. Ini berarti, si
penyair mengajak para pembaca, pun dirinya sendiri, untuk mengenang jasad si ‘ia’ yang
telah tiada di muka bumi ini dengan upaya meng-hadlara, menghadirkan kembali, spirit
rohaninya, yang tentu saja dengan balutan instrumen puitik.

Menuliskan kembali orang yang kita takzim ke dalam bentuk puisi tentu saja akan membuat
pembaca berpikir: “Apa untungnya saya membaca sebuah biografi yang dikemas dalam
bentuk puisi jika saya bisa membaca biografi yang tidak dalam bentuk puisi?” Ini merupakan
tantangan bagi si penyair, dan, menurut saya setelah membaca sekumpulan puisi dalam
Hadrah Kiai ini, Raedu Basha cukup berhasil. Berhasil dari sudut pandang saya sebagai
pembaca yang dalam artian tak bosan membaca puisi-biografi ini, dan berhasil dari sudut
pandang penyair yang dalam artian ia menuliskan kembali dengan instrumen puitik yang
cukup padat dan estetik, bukan malah cenderung pada prosa liris.

***

Sungguh menarik melihat puisi-puisi yang terkumpul dalam buku ini, karena kita dapat
melihat betapa nuansa dan tradisi pesantren sangatlah kental dan apa yang menjadikan
Muhammadiyah dan NU berbeda ialah, “Muhammadiyah menghormati tradisi, sedangkan
NU melestarikan tradisi”. Seperti yang dikemukakan oleh Jamal D. Rahman pada epilog yang
terdapat dalam buku ini, Raedu Basha adalah seorang penyair yang melestarikan
tradisionalisme Islam di Indonesia, yaitu kiai dan pesantren. Akan tetapi, ke-nahdliyin-an-nya
seorang Raedu tak pula membuat ia mengotakkan dirinya seutuhnya ke dalam ruang
Nahdlatul Ulama, karena dalam buku ini, ia pun mempersembahkan masing-masing sebuah
puisi kepada tokoh Muhammadiyah, yaitu KH. Ahmad Dahlan yang berjudul Matahari
Muhammadiyah Kiai Ahmad Dahlan dan sebuah puisi untuk Buya Hamka yang berjudul
Azhar Buya Hamka. Seorang Raedu Basha sangat menghormati kiai melalui puisi-puisinya
dalam buku ini, karena memang ia beranjak dari Kota Madura yang nuansa dan tradisi
kepesantrenannya sangatlah kental. Hal ini merupakan peneladanan santri kepada kiai yang ia
takzim, pertanggungjawaban santri terhadap kiai-nya, atau bisa juga dikatakan sebagai
ucapan terima kasih dari proses yang terus berproses.

Roman Jacobson (dalam Benny H. Hoed “Semiotik & Dinamika Sosial Budaya, Komunitas
Bambu, 2016) seorang pemikir linguistik yang mengembangkan teori Karl Buhler
menjelaskan ada enam fungsi bahasa, salah satunya adalah fungsi puitik. Fungsi puitik bahasa
terjadi ketika bahasa digunakan untuk menonjolkan pesan, sehingga bentuknya menjadi
bebas dan khusus.

Jacobson tak melihat lagi struktur bahasa sebagai sesuatu yang penting, karena bahasa dalam
teori menjadi aksi sosial (penghubung antara pengirim dan penerima), menjadi alat
komunikasi (penyampai pesan). Raedu Basha sebagai penyair dalam buku tersebut tetap
berada dalam kerangka linguistik tersebut, dan memberdayakan fungsi bahasa tersebut.

Puisi-puisi yang dituliskan oleh Raedu Basha sederhana tapi menghanyutkan. Bukan
melenakan, namun membawa pembaca masuk ke dalam pusara kesunyian rohani Kiai. Sekali
kita bersentuhan dengan puisi-puisinya, ini akan membuat diri seperti orang yang sedang
ngalap berkah langsung kepada kiai.

Hikmah adalah pengetahuan yang mendalam dan benar tentang inti atau hakikat sesuatu yang
oleh Imam Ghazali dipandang sebagai keindahan paling asas dari sebuah puisi. Ibnu Sina
lebih jauh berpendapat bahwa keindahan tak punya makna apa-apa tanpa adanya kaitan
dengan kebaikan dan kebenaran, maka sebuah puisi mestilah memiliki pesan moral dalam
artian estetik dan sastra, serta mengemukakan pandangan dunia dan pandangan hidup yang
jelas. Puisi-puisi yang demikian itulah puisi yang menyampaikan hikmah. Dan, dalam buku
ini, Raedu Basha telah berhasil menyampaikan sebuah hikmah yang mana di dalam hikmah
tersebut terdapat penyemaian kebaikan dan kebenaran dari kiai-kiai yang ia hormati.

Mari kita simak penggalan puisinya yang berjuduk Taklikat Fakih dan Sufi. Dalam bait satu
dan dua, ia menerangkan:

akan senantiasa bermuka-muka


wajah siti jenar dan walisongo di jawa
seperti pantulan dua-tiga abad selanjutnya
di sumatera muncul wajah fansuri dan raniri
silang sudut pandang antara fakih dan sufi

wajah-wajah pertama menganut jalan sir


wajah-wajah kedua berpedoman pada lahir
kendati purnama terlihat bercahaya kuat
akan kita dapatkan langit pernah begitu pekat
sebagaimana di bumi kita menemukan duri
meski di pucuk dahan mawar mekar merah segar

dan, pada bait tujuh dan delapan, ia menerangkan:

kelam yang akan kembali bermuka-muka


ke zaman-zaman selanjutnya
sampai pantulan wajah-wajah dari masalalu tiba
berwujud bayangan pada peradaban kita
ada yang kanan ada yang kiri
ada bayang wajah fansuri
ada bayang wajah raniri
keduanya menghimpit kita
yang tertatih-tatih menempuh jalan ilahi

nun
apapun yang tersurat
apapun yang tersirat
mereka orang-orang yang terhormat
kita cukup mengaji dengan khidmat
kepada sejarah dan siasat

Taklikat dalam bahasa Arab berarti catatan tepi. Puisi ini merupakan catatan tepi antara fakih
(orang yang paham syariat) dan sufi (orang yang mendalami ilmu tasawuf). Inilah yang
sering menjadi perbedaan yang terkadang pula diperdebatkan, yaitu antara fakih dan sufi.
Dalam bait satu, si penyair menegaskan bahwa akan bermunculan wajah yang bermuka-
muka, yang di mana wajah pertama menganut jalan sir (kerahasiaan) dan yang kedua
berpedoman pada lahir. Jauh lebih jelasnya lagi, ia terangkan pada bait ke delapan, bahwa
apapun yang tersurat, apapun yang tersirat, kita cukup mengaji dengan khidmat kepada
sejarah dan siasat karena mereka adalah orang-orang terhormat. Mereka di sini adalah wajah-
wajah pada dua-tiga abad yang lalu, seperti Syekh Siti Jenar dan Walisongo.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, ada satu hal yang sebenarnya cukup mengganggu saya
sebagai pembaca. Yaitu, penulisan titimangsa. Di titimangsa tersebut, Raedu menuliskan
kembali namanya, yang bagi saya, hal ini merupakan pemborosan. Dan, barangkali baiknya,
si penyair dalam penulisan titimangsa tersebut mengacu pada daerah tempat ia menyelesaikan
sebuah puisi yang ia tulis, agar pembaca pun dapat melacak jejak sajak yang ditulis oleh si
penyair. Namun, lebih dari itu, upaya penghormatan santri terhadap kiai-nya berhasil
dilakukan oleh Raedu.

*Tulisan ini adalah bahan untuk diskusi buku “Hadrah Kiai” karya Raedu Basha yang
diselenggarakan oleh Pelangi Sastra Malang di Kafe Pustaka, 06 November 2017

Anda mungkin juga menyukai